• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.3. Analisis Sosial Ekonomi

Analisis kelayakan finansial perkebunan kelapa sawit dilakukan dengan menggunakan kriteria tingkat keuntungan internal (Internal Rate of Return, IRR), nilai bersih terkini (Net Present Value, NPV) dan rasio antara keuntungan dan biaya (B/C). Suatu usaha dinyatakan layak secara finansial bila nilai IRR lebih

besar dari tingkat suku bunga pinjaman bank. Kegiatan usaha dikatakan layak apabila B/C > 1. Analisis dilakukan berdasarkan pola pengelolaan perkebunan kelapa sawit yakni perkebunan rakyat dan perkebunan besar negara/swasta (PBN/PBS). Nilai kelayakan didasarkan atas harga TBS sebesar Rp 1.400 kg-1 dengan umur produktivitas tanaman menghasilkan (TM) hingga 25 tahun (perhitungan produksi dimulai pada tahun ke 4 setelah penanaman). Pada perkebunan sawit pola perkebunan rakyat produktivitas berkisar 14 – 22 ton TBS ha-1th -1. Sedangkan pada PBN/PBS produktivitas kelapa sawit berkisar 19 – 30 ton TBS ha-1th -1.

Hasil analisis finansial menunjukkan pembangunan perkebunan kelapa sawit pola perkebunan rakyat (1 ha) mempunyai nilai IRR = 27%, NPV discount rate 17 % = Rp 32,94 juta ha-1 th-1 dan B/C = 1,45. Sedangkan pada perkebunan kelapa sawit skala perusahaan/industri (6.000 ha) mempunyai nilai IRR = 34 %, NPV discount rate 17% Rp. 242.797.776.924 dan B/C 3,2 (Lampiran 10). Berdasarkan hasil analisis finansial tersebut dapat dinyatakan bahwa pembangunan perkebunan kelapa sawit layak untuk diusahakan. Hasil penelitian Herman et al. (2009) menyebutkan bahwa pada lahan gambut layak dikembangkan perkebunan sawit dengan hasil analisis finansial menunjukkan nilai IRR = 28,25 %, NPV discount rate 15 % = Rp 39 juta ha-1 th-1 dan B/C = 1,77.

Kebutuhan hidup layak (KHL) masyarakat pekebun di perkebunan kelapa sawit rakyat di Kabupaten Bengkalis-Meranti dipaparkan pada Tabel 23.

Tabel 23. Kebutuhan hidup layak (KHL) pekebun perkebunan kelapa sawit1) Jenis Pengeluaran % Kg Beras Harga Beras (Rp kg-1)2) Pengeluaran (Rp orang-1 th-1) Jumlah Anggota Keluarga3) Kebutuhan (Rp KK-1 th-1) KFM4) 100 320 7.000 2.240.000 5 11.200.000 Pendidikan 50 160 7.000 1.120.000 5 5.600.000 Kesehatan 50 160 7.000 1.120.000 5 5.600.000 Sosial/Tabungan 50 160 7.000 1.120.000 5 5.600.000 KHL5) 5.600.000 28.000.000 Keterangan :

1) dimodifikasi dari Monde (2008)

2) rata-rata harga beras di Kabupaten Bengkalis-Meranti pada saat penelitian

3) rata-rata jumlah anggota keluarga 4,6 orang dibulatkan menjadi 5 orang

Kelayakan perkebunan kelapa sawit dapat dinilai dari prospek perkebunan dalam memenuhi kebutuhan hidup minimum (KHM) dan kebutuhan hidup layak (KHL) tahunan pekebun. Keluarga tani dinyatakan hidup layak jika telah memenuhi kebutuhan hidup meliputi pangan, tempat tinggal, pakaian, pendidikan, kesehatan, rekreasi, kegiatan sosial dan tabungan. Nilai ambang kecukupan pangan untuk pengeluaran di daerah pedesaan 240 – 320 kg beras orang-1th-1, sedangkan untuk wilayah perkotaan 360 – 480 kg beras orang-1th-1 (Sayogyo, 1977).

Kebutuhan fisik minimum (KFM) mempunyai proporsi maksimal yang mencapai 100 % dibandingkan dengan pendidikan, kesehatan dan sosial yang masing-masing 50 %. Berdasarkan pola konsumsi (pengeluaran) rumah tangga pedesaan nilai KFM (100 %) rata-rata untuk makanan mencapai 70 % dan sisanya (30%) untuk keperluan sandang dan papan. Pengeluaran untuk makanan bila dirinci menurut nilai gizi terdiri dari 35 % karbohidrat, 11,12 % protein dan 13,08 buah dan sayuran serta 10,8 % untuk berbagai makanan lainnya (Kasryno dan Suryana,1996). Sedangkan konsumsi beras penduduk di Indonesia mencapai 139,15 kg orang-1 th-1 (Firdaus et al. 2008; Nainggolan, 2008; BKP, 2009).

Menurut Sinukaban (2007) jumlah pendapatan bersih yang harus diperoleh keluarga tani untuk dapat hidup layak minimal adalah setara dengan 320 kg beras setahun x harga (Rp kg-1) x jumlah anggota keluarga x 2,5. Perincian kebutuhan hidup layak minimal antara lain : (1) nilai setara 320 kg beras orang-1 th-1 untuk kebutuhan fisik minimum (pangan, sandang dan papan) yaitu 8,89 kg beras x 3 x 12 bl = 320 kg beras orang-1 th-1 (100 %); (2) kebutuhan kesehatan dan rekreasi : 50 % x 320 kg beras orang-1 th-1; (3) kebutuhan pendidikan : 50 % x 320 kg beras orang-1 th-1 dan (4) kebutuhan sosial : 50 % x 320 kg beras orang-1 th-1.

Kebutuhan hidup layak (KHL) bagi keluarga pekebun yang berjumlah 5 orang di Kabupaten Bengkalis-Meranti mencapai Rp. 28.000.000 th-1 (Tabel 23). Jumlah tersebut masih bersifat kebutuhan hidup layak bagi keluarga pekebun. Selanjutnya perlu diketahui luas lahan perkebunan kelapa sawit minimal yang diperlukan untuk kehidupan pekebun. Luasan lahan minimum usaha tani (Lmin) agar memenuhi KHL dapat diperoleh dengan membagi KHL dengan pendapatan bersih per 2 ha kebun sawit (Pb) atau dengan persamaan : L min = KHL Pb-1

(Monde, 2008) . Untuk sampai kepada hasil-hasil analisis tersebut maka data usaha tani kelapa sawit yang digunakan adalah data aliran dana (cash flow) atau pengeluaran dan penerimaan kegiatan perkebunan kelapa sawit untuk periode untuk 25 tahun kegiatan produksi (tanaman menghasilkan) dengan memanfaatkan modal pinjaman bank dengan tingkat diskonto atau nilai bunga 17 % th-1.

Pendapatan bersih dari perkebunan sawit seluas 2 ha rata-rata pada kondisi eksisting sebesar Rp.27.687.936 th-1. Pendapatan rata-rata pekebun (eksisting) menunjukkan bahwa luas kebun sawit 2 ha hampir memenuhi KHL (Rp.28.000.000) dengan kekurangan sebesar Rp 312.064. Pendapatan pekebun pekebun dapat ditingkatkan dengan melakukan perbaikan pada input produksi, sehingga pendapatan pekebun dapat memenuhi KHL. Dengan demikian luas lahan perkebunan kelapa sawit rakyat minimal 2 ha untuk dapat memenuhi KHL.

Kepemilikan lahan 2 ha oleh pekebun kelapa sawit memberikan keuntungan tetapi tidak cukup untuk dapat meningkatkan kesejahteraan pekebun. Dengan reformasi agraria pada lahan tidur dialih fungsikan untuk pengembangan kelapa sawit rakyat dengan pola patungan dan meredistribusikannya pada pekebun dengan luasan 4 ha untuk setiap KK pekebun, diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi kesenjangan pendapatan, kemiskinan dan pengangguran (Suroso, 2008).

Untuk memperoleh luas lahan gambut optimal (Lopt) agar memenuhi KHL dilakukan dengan membagi KHL dengan pendapatan bersih setiap 2 ha kebun sawit (Pb) ditambah Lmin atau dengan persamaan : L opt = KHL Pb + Lmin. Hasil analisis menunjukkan bahwa luas lahan optimal yang diusahakan untuk memperoleh pendapatan optimal pekebun perkebunan sawit rakyat seluas 3 ha. Sedangkan luas lahan maksimal (Lmak) diperoleh dengan persamaan : L mak = KHL Pb+ Lopt. Hasil analisis menunjukkan bahwa luas lahan maksimal yang diusahakan untuk memperoleh pendapatan maksimal pekebun perkebunan sawit rakyat seluas 4 ha.

Usaha perkebunan kelapa sawit mempunyai potensi untuk dikembangkan, berdasarkan RTRW Provinsi Riau arahan peruntukan areal pengembangan perkebunan mencapai 3.300.767,5 ha. Sedangkan realisasi pembangunan perkebunan hingga tahun 2008 mencapai 2.857.567,65 ha, sehingga terdapat

potensi lahan yang dapat dikembangkan seluas 443.199,85 ha yang tersebar pada berbagai kabupaten di Provinsi Riau. Luas lahan yang dapat dikembangkan untuk perkebunan kelapa sawit mencapai 45.608 ha di Kabupaten Bengkalis-Meranti. Dengan demikian perluasan perkebunan kelapa sawit rakyat dapat dilakukan dimasa yang akan datang.

Jumlah penduduk Kabupaten Bengkalis-Meranti 738.996 jiwa pada tahun 2008 dengan jumlah pekebun 28.322 KK. Luas lahan yang dapat dikembangkan untuk perkebunan kelapa sawit mencapai 45.608 ha. Bila diasumsikan jumlah KK pekebun tidak mengalami perubahan di Kabupaten Bengkalis-Meranti, maka potensi lahan yang dapat dikembangkan untuk perkebunan kelapa sawit rakyat mencapai 1,61 ha KK-1. Dengan demikian potensi lahan yang dapat dikembangkan secara maksimal untuk perkebunan kelapa sawit 3,6 ha KK-1.

Pendapatan pekebun pada lahan gambut menunjukkan adanya perbedaan berdasarkan fisiografi lahan. Pada fisiografi lahan gambut Tipe C (gambut transisi) menunjukan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan Tipe B (gambut pantai). Perbedaan pendapatan pekebun lebih disebabkan oleh faktor umur tanaman sawit pada lahan gambut transisi yang mencapai produktivitas puncak yakni 10-16 tahun. Sedangkan pada gambut pantai pengusahaan perkebunan kelapa sawit oleh masyarakat relatif baru yakni 5 – 8 tahun.

Meningkatnya pendapatan masyarakat menyebabkan terjadinya perubahan pada pengeluaran rumah tangga pekebun pada berbagai tipe lahan gambut, seperti yang dipaparkan pada Tabel 24.

Tabel 24. Jenis pengeluran rumah tangga pekebun (Rp bulan-1) perkebunan kelapa sawit pada berbagai fisiografi lahan gambut.

No Jenis pengeluaran Gambut Pantai Gambut Transisi Nilai (Rp.) % Nilai (Rp.) % 1 Pangan 458,490.57 25.43 522,800.00 30.90 2 Sandang 185,849.06 10.31 168,800.00 9.98 3 Rumah Tangga 234,905.66 13.03 107,200.00 6.34 4 Pendidikan 136,792.45 7.59 174,000.00 10.28 5 Kesehatan 72,641.51 4.03 69,200.00 4.09 6 Penerangan 176,415.09 9.79 131,840.00 7.79 7 Transfortasi/Bahan Bakar 243,396.23 13.50 206,000.00 12.18 8 Kegiatan Sosial 98,113.21 5.44 106,000.00 6.27 9 Agama 95,283.02 5.29 81,600.00 4.82 10 Komunikasi 100,943.40 5.60 124,400.00 7.35 Jumlah 1,802,830.19 100,00 1,691,840.00 100,00

Pendapatan pekebun yang tinggi tidak diikuti oleh tingkat pengeluaran, dimana pada gambut transisi pengeluaran pekebun lebih kecil dibandingkan pada tipe lahan gambut pantai. Berdasarkan jenis pengeluaran menunjukkan pola pengeluaran pekebun yang hampir sama pada fisiografi lahan gambut pantai dan transisi.

Kebutuhan pangan, sandang, rumah tangga dan pendidikan menjadi komponen utama pada struktur pengeluaran rumah tangga pekebun sawit. Pengeluaran bahan bakar merupakan komponen yang cukup besar, hal ini disebabkan oleh ketersedian energi listrik yang berasal dari PLN masih terbatas. Sumber energi umumnya masih tergantung pada listrik desa atau diusahakan secara swadaya yang membutuhkan biaya operasional yang tinggi.

Pembangunan perkebunan kelapa sawit di Riau dapat mengurangi ketimpangan pendapatan antar golongan masyarakat dan mengurangi ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota. Selain itu, juga dapat menciptakan

multiplier effect dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan. Aktivitas pembangunan perkebunan kelapa sawit memberikan pengaruh eksternal yang bersifat positif atau bermanfaat bagi wilayah sekitarnya. Meningkatnya ekspor yang berasal dari produk turunan kelapa sawit (CPO) dapat menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi di daerah. Kegiatan perkebunan memberi manfaat terhadap ekonomi pedesaan antara lain: (1) memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha; (2) peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar; (3) memberikan kontribusi terhadap pembangunan daerah.

Suroso (2008) menyatakan bahwa kebijakan peningkatan stimulus ekonomi, peningkatan ekspor dan investasi pada perkebunan kelapa sawit rakyat, perkebunan besar dan industri pengolahan kelapa sawit dapat meningkatkan

output bruto sektoral dan pendapatan seluruh golongan rumah tangga. Perkebunan kelapa sawit rakyat memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap output bruto

sektoral dan mampu mewujudkan distribusi pendapatan yang lebih merata dibandingkan jika stimulus ekonomi diberikan pada perkebunan kelapa sawit perusahaan besar. Stimulus ekonomi pada industri pengolahan kelapa sawit juga memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap output bruto sektoral dibandingkan dengan perkebunan kelapa sawit perusahaan besar dan industri

pengolahan lainnya, tetapi masih lebih kecil dibandingkan dengan kontribusi perkebunan kelapa sawit rakyat. Namun demikian kontribusinya terhadap pendapatan rumahtangga masih lebih kecil dibandingkan dengan perkebunan kelapa sawit rakyat dan perkebunan kelapa sawit perusahaan besar.

Beberapa kegiatan yang secara langsung memberikan dampak terhadap komponen ekonomi pedesaan dan budaya masyarakat sekitar antara lain : (1) kegiatan pembangunan sumberdaya masyarakat desa; (2) pembangunan sarana prasarana yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat setempat, terutama sarana jalan darat; (3) penyerapan tenaga kerja lokal; (4) penyuluhan pertanian, kesehatan dan pendidikan; (5) pembayaran kewajiban perusahaan terhadap negara (pajak-pajak dan biaya kompensasi lain).

Stimulus ekonomi kepada perkebunan kelapa sawit rakyat akan mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dibandingkan dengan stimulus ekonomi kepada perkebunan kelapa sawit perusahaan besar. Selain itu, peningkatan investasi masing masing sebesar 10 % pada perkebunan kelapa sawit rakyat, kelapa sawit perusahaan besar dan industri pengolahan sawit mempunyai dampak yang positif terhadap pendapatan sektoral pada daerah (Suroso, 2008).