• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebelum membahas permasalahan “Ahlul-Kitab”, perlu diketahui bahwa kasus ini merupakan kasus fiqh. Dan untuk mengetahui kejelasannya harus diruju’ pendapat-pendapat ahli fiqh. Bukan merujuknya ke kitab tafsir yang dikarang oleh ahli yang bukan ahli fiqh. Waktu belajar metode riset dahulu, hal ini sangat ditekankan. Agar tidak terjadi kekeliruan yang tidak pan-tas. Tapi wajar, jika orang yang tidak belajar fiqh “keseleo” dalam memahami masalah-masalah fiqh.

Penulis secara jujur mengakui, bahwa penulis hanya meru-juk “Al-Manar” vol 2. Tapi, pada jilid keempat seperti yang ZK kata-kan, juga masalah itu tidak ditemukata-kan, biar di cetakan manapun. Adanya masalah ini ialah pada jilid keenam hal 185 sampai 196. mungkin ZK salah tulis, tapi, dalam mengkritik sesuatu, diperlu-kan sekali sikap cermat dan teliti.

Di sana, Imam Rasyid Ridha berpendapat bahwa Al- Qur’an men”diamkan” hukum mengawini perempuan yang bukan Ahl-ul-Kitab dan bukan musyrik. Karena mengawini wanita Ahlul-Kitab, yaitu Yahudi dan Nasrani, dibolehkan oleh sebagian Ulama dan diharamkan oleh sebagian yang lain. Sedangkan mengawini wanita musyrik, hukumnya jelas haram. Karena ditegaskan oleh Al- Qur’an dalam surat Al-Baqarah : 221.

Dalam hal ini, Rasyid Ridha beranggapan bahwa agama-agama lain seperti Brahmana, Budha, Konfuchu di Cina tidak ter-masuk ke dalam kategori “orang musyrik” yang diharamkan Allah

menikahi wanita mereka. Namun untuk memanfaatkan bolehnya menikahi wanita-wanita pemeluk agama di atas, Rasyid Ridha juga tidak terang-terangan.

Ini adalah pendapat pribadi beliau, sebagai jawabannya atas pertanyaan seorang penanya dari Jawa yang meminta fat-wa tentang hukum menikahi fat-wanita Cina, penyembah berhala

(watsaniyyah)96). Rasyid Ridha berasumsi bahwa tersebarnya Is-lam di negeri Cina adalah disebabkan karena kawin “campur” (la-ki-laki Muslim dengan wanita mereka lalu kemudian mengislam-kan si istri) itu. “Saya tidak tahu persis bagaimana pengaruhnya di tempat kalian (maksudnya di Jawa, dr.)” tulis beliau kepada si penanya.

Dari kasus ini, mari kita lihat beberapa hal :

1. Kalaupun dikesankan bahwa Ridha membolehkan perkaw-inan seorang lelaki Muslim dengan wanita pemeluk agama Brahmana, Budha dan Konfuche, karena beliau berangga-pan bahwa agama-agama itu termasuk ke dalam kategori “musyrik”, maka itu tidak lebih baik dari sekedar pendapa-tnya pribadi. Pendapapendapa-tnya itu tidak dapat mengalahkan pendapat mayoritas (jumhur) Ulama dari sejak zaman Nabi hingga sekarang. Karena menurut mainstream Ulama, yang dinamakan Ahlul-Kitab itu hanyalah pemeluk Yahudi dan Nasrani. Dan di luar itu adalah musyrik.97) Oleh karena itu pendapat beliau tergolong “syazz” (aneh). Pendapat yang syazz tentu tidak perlu dipegang. Lain soal, kalau NM dan dan kelompok “pembaharu”nya memang suka

mengumpul-96) Lihat “Al-Manar”, jld. 6 hal.186.

ngumpul pendapat yang syazz itu. Sehingga jadilah manu-sia yang “syazz”. Sikap ini cukup berbahaya bila dikaitkan dengan firman Allah “

“Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kes-esatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takqilnya, padahal tidak ada yang tahu takwilnya melain-kan Allah”. Q.S.3 : 7

2. Perkiraan Ridha bahwa tersebarnya Islam di negeri Cina adalah karena perkawinan “campur”, adalah asumsi belaka yang sulit dibuktikan secara kenyataan. Karena untuk mem-buktikan kebenaran asumsi ini, perlu data akurat dari suatu penelitian sosial. Dan besar kemungkinan bahwa Rassyid Ridha tidak melakukan hal itu.

Pertumbuhan jumlah umat Islam biasanya terjadi dengan kelahiran anak. Dan bangsa Cina dalam hal ini cukup dikenal dengan tingkat kelahiran yang tinggi. Jadi bukan dengan kawin “campur”.

3. Rasyid Ridha sendiri tidak memastikan gejala di negeri Cina itu, seandainya pun benar, persis dengan keadaan di neg-eri si penanya. Bahkan kenyataannya memang tidak men-dukung asumsi itu. Karena jumlah yang melakukan kawin “silang” itu dahulu sangat langka. Kalau tidak mau dikatakan tidak ada.

4. Lebih dari itu, Rasyid Ridha sendiri memperingatkan den-gan serius bahaya mengawini wanita Ahlul-Kitab jika si istri akan mencelakakannya. Sehingga suami mengikuti agama istrinya, bukan dia yang menarik istrinya ke dalam Islam. Hal ini, kata Ridha, banyak terjadi di zamannya, di mana

le-laki Muslim yang lemah imannya menikahi wanita-wanita Eropa, sehingga mereka tertipu. Dan “sadd az-zari’ah” (an-tisipasi suatu bahaya) hukumnya wajib dalam Islam.98) Dan yang terjadi di negeri si penanya tadi memang persis seperti yang diperingatkan oleh Rasyid Ridha itu. Sayangnya, fak-tor penting ini tidak diperhatikan oleh orang yang mengutip pendapat beliau, seperti NM dan ZK. Yang dikutipnya hanya pendapat yang sesuai dengan seleranya saja.

5. Kasus ini adalah kasus fiqh yang tidak bisa digeneralisir. Masalah aqidah dalam Islam sudah jelas, seperti diterang-kan dalam surat At-Taubah 29. Maka hubungan seorang Muslim dengan Ahlul-Kitab tidak melebihi apa yang digaris-kan Al-Qur’an dalam surat Al-Maidah : 5. Sedangdigaris-kan di luar itu harus dikembalikan kepada asalnya.

6. Dari segi lafazh, “Al-musyrikat” dalam surat Al-Baqarah : 221 itu berbentuk jama’ dan dimasuki “Al-ma’rifah” (the definite article). Menurut kaidah bahasa Arab, bentuk seperti ini menerangkan keseluruhan (lil-istighraq). Maksudnya, lar-angan mengawini seluruh jenis wanita musyrik, tanpa pan-dang bulu dari ras manapun dia berasal, musyrik Arab atau non Arab. Dan itu sangat logis. Sebab, apa bedanya wanita musyrik Arab dengan non Arab?

7. Akan halnya dengan “ Majusi” (penyembah api), menurut Islam dia tergolong ke dalam “musyrik”, bukan Ahlul-Kitab. Maka wanita mereka tidak boleh dinikahi dan sembelihan mereka tidak boleh dimakan. Ini adalah pendapat mayori-tas Ulama dari berbagai mazhab. Didasarkan pada Hadits :

“Perlakukan mereka (orang Majusi) sama dengan perlakuan kepada Ahlul-Kitab. Tapi jangan kawini wanita mereka dan jangan memakan sembelihan mereka”. Hadits ini, menurut

pada fuqaha, merupakan dalil (alasan kuat) bahwa penga-nut Majusi bukan Ahlul-Kitab.99) Sebab, hadits tersebut me-merintahkan agar kepada kaum Majusi diberlakukan atu-ran yang ditetapkan bagi Ahlul-Kitab, kecuali menyangkut kedua hal di atas (perkawinan dan sembelihan). Sebab jika kedua rumpun itu sama, tentu tidak perlu dianalogikan. 8. Yang lucu, jika ada yang menyebut-nyebut kitab “Al-Farqu

bain Al-Firaq” padahal dia sendiri tidak merujuk sumber

aslinya. Karena dilihatnya “Al-Manar” menyebut kitab itu di hal 186, dia pun ikut-ikut menyebut Imam Abu Hanifah. Kalau benar beliau berpendapat demikian, di mana beliau mengatakan itu? Kenapa tidak disebutkan sumbernya, agar tidak terkesan “asbun”? Padahal Imam ‘Abdul-Qahir dalam kitab “Al-Farqu” secara tegas telah menyatakan :

“Dan seluruh penyembah patung/berhala, penyembah manu-sia, malaikat, bintang dan api, hukumnya haram bagi kaum Muslimin memakan sembelihan mereka dan menikahi wanita mereka”.100)

Dari uraian ini, barangkali jelas bahwa selain dari penga-nut Yahudi dan Nasrani adalah musyrik dalam pandangan Islam. Bahkan, Yahudi dan Nasrani pun menurut sebagian sahabat Nabi tergolong “musyrik” yang haram dinikahi wanitanya. Ini penda-pat ‘Abdul ibn Umar (putra Umar bin Khattab) yang mengatakan :

“Saya tak pernah tahu syirik yang lebih parah dari wanita yang

men-99) “Ahkam Al-Qur’an”, Imam Qurthubi, vol 8, hal. 111. 100) “Al-Farqu baina Al-Firaq”, op.cit, hal. 353.

gatakan Tuhannya Isa atau manusia lainnya”. Lebih dari itu, Umar

sendiri pernah marah kepada dua sahabatnya Thalhah dan Hu-zaifah yang mengawini wanita Ahlul-Kitab. Belakangan keduanya menceraikan wanita itu.101)

Akhirnya, saya menasihatkan kelompok yang menahan di-rinya sebagai “ pembaru” agar menghentikan kerja-kerja mereka selama ini yang cenderung meresahkan umat Islam. Bertapa potensialnya, jika energi dan keahlian mereka dikerahkan untuk mengentas nasib umat Islam di negeri ini. Karena persoalan yang sedang dihadapi umat ini sangat membutuhkan tenaga dan keahlian plus untuk pemecahannya. Dan betapa kerasnya per-ingatan Allah bagi orang yang mengikuti hawa nafsunya seperti tertera dalam ayat dari surat Al-Jatsiyah :

“Maka pernahkah kami melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkan-nya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapa yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka men-gapa kamu tidak mengambil pelajaran?”

BBB

101) (Lihat “Tafsir Ayat Al-Ahkam”, Syaikh Muhammad ‘Ali Ash-Shobuni, jld. 1, hal. 287 dan majalah “Media Da’wah” No. 223 Rajab 1413).

BAB V

APA DAN BAGAIMANA

STUDI ISLAM DI BARAT

T

atkala terjadi perubahan Menteri Agama dari Munawir

Sjadzali kepada Tarmidzi Taher, maka salah satu persoalan penting yang dinanti-nanti banyak orang jawabannya, pal-ing tidak oleh TEMPO , ialah soal pengiriman sarjana dan dosen IAIN untuk belajar Islam ke Barat. Soalnya program ini boleh dika-takan adalah program Munawir yang sampai saat ini telah men-girimkan sekitar 200 sarjana IAIN ke berbagai Universitas di Barat. Katanya, diharapkan pada akhir pelita ini, Indonesia punya 34 doktor dan 88 master di bidang keagamaan (TEMPO 3/4).

Dalam laporan itu, banyak sekali diungkap kehebatan-ke-hebatan belajar di Barat. Tapi, ada semacam sikap yang kurang fair yang seakan-akan memperalat Pak Rasjidi untuk melegitimasi “kebijakan” itu. Seolah-olah Pak Rasjidi sepenuhnya setuju den-gan program belajar Islam ke Barat, hanya karena beliau pernah memberikan semacam rekomendasi kepada Harun Nasution un-tuk belajar di Mc. Gill. Jelas kesimpulan seperti ini keliru.

Apa yang diharapkan oleh Pak Rasjidi pada awalnya waktu memberi rekomendasi dan apa yang terjadi setelah di Mc. Gill, dapat dibaca dalam mukadimah bukunya yang berjudul “Koreksi

Terhadap Harun Nasution”.

Syaikh Musthafa ‘Abdur-Raziq, pakar filsafat Islam dan lain-lain. Mereka itu pernah mengecap pendidikan di Perancis, tapi gencar pula “menguliti” pemikiran-pemikiran orientalis. Rasjidi sendiri menempuh cara itu. Setelah menamatkan pendidikannya di Darul-Ulum dan Fakultas Adab Universitas Kairo, beliau “nyantri” di Sorbonne. Dengan bekal keilmuwan yang cukup yang telah dipersiapkan selama di Mesir, Rasjidi berhadapan dengan orien-talis. Rasjidi akhirnya tampil sebagai sosok ilmuwan yang menge-cap pendidikan Barat, tapi tidak terpengaruh dengan pola pikir orientalis.

Rasjidi berharap agar teman yang dikirimnya itu dapat mengikuti jejaknya, bersikap kritis, tidak membeo kepada orien-talis itu. Tapi ternyata harapan itu berlainan dengan kenyataan.