• Tidak ada hasil yang ditemukan

H. Kerinduan kepada Islam

I. Jilbab Artinya Mantel?

Ketidaksenangan NM pada busana yang Islami itu terlihat dari sikap sinisnya terhadap gejala semaraknya wanita muslimah memakai jilbab. Sehingga, NM menuduhnya merupakan “gerakan jilbab”. Seolah-olah pemakaian jilbab itu ada yang mengoman-donya. Mengapa NM terlalu curiga pada orang yang membersi-hkan dirinya dan melaksanakan perintah Tuhannya? Di lain piah NM tidak pernah sinis dan khawatir dengan orang-orang yang hidup ke Barat-Baratan dan krisis moral yang melanda generasi muda kita akhir-akhir ini. Mengapa orang yang ingin baik justru dipersoalkan? Kalau kita ingin tahu yang mengomandonya ialah Allah l dan Rasul-Nya n.

Berlagak seperti seorang “mujtahid” atau “mufti”, NM ber-fatwa bahwa aurat wanita itu memang sekujur tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan, kalau waktu shalat. Sedang di luar sha-lat, rambut itu bukan aurat.44) Dalil NM untuk mendukung penda-patnya ini, cukup menggelikan, yaitu pendapat alm. Syaifuddin Zuhri. Sepanjang pengetahuan saya, pendapat alm. Syaifuddin Zuhri tidak pernah termasuk dalam sumber Hukum Islam. Jangan-kan Syaifuddin Zuhri, pendapat Imam Mazhab pun tidak pernah dijadikan sebagai dalil hukum. Apalagi masalah yang dipersoal-kan itu sudah tegas ketentuan hukumnya di dalam nash-nash syara’. Imam Syafi’i sendiri pernah mengatakan: “Jika kamu

da-pati di antara pendapatku bertentangan dengan Hadits Nabi saw., maka ambillah Hadits tersebut dan buanglah pendapatku itu ke

43) Makalah NM, op.cit, hal. 9.

luar tembok”.45)

Tidak kurang anehnya, ialah “fatwa” NM yang mengata-kan bahwa jilbab itu artinya baju mantel dan hanya sekadar sim-bolisme yang tidak ada kaitannya dengan masalah menjalankan syariat. Ini sebuah fatwa yang menyesatkan dan penuh dusta ter-hadap Allah l (iftira’ ‘alallah al-kazib). Perhatikan kata-kata NM :

“ Apalagi memang dalam Al- Qur’an, jilbab dan kerudung itu kaitannya bukan kerudung tapi baju mantel. Kurang lebih permintaannya adalah pakailah mantelmu itu untuk me-nutupi dadamu. Bukan untuk meme-nutupi rabutmu. Ini sim-bolisme. Tidak ada urusannya dengan masalah menjalan-kan syariat. Kalau menjalanmenjalan-kan syariat mestinya orang lebih tahu bahwa menutup mulut jauh lebih penting dari pada menutup rambut”.46)

Berbicara masalah jilbab, berarti membicarakan sesuatu fundamental dalam Islam. Sebab, dia berkaitan dengan masalah aurat wanita, yang ketentuannya ditetapkan dalam Al- Qur’an dan Hadits Nabi n Keterangan tentang jilbab adalah keterangan yang bersifat qath’i (jelas). Jadi, kedudukannya dalam Islam sama seperti wajibnya mengerjakan shalat, shaum dan sebagainya. Mengingkari wajibnya mengakibatkan jatuhnya seseorang pada kekafiran. Sedangkan, meninggalkannya bukan karena menging-karinya, tapi karena terpengaruh oleh arus budaya asing, adalah maksiat yang dilarang Allah.47)

45) Lihat “Al-Inshaf fi Bayan Asbab Al-Ikhtilaf”, Syekh Waliyullah Ad-Dahlawi, Dar An-Nafa’is, Beirut, cet. ke-dua, 1984, hal.104.

46) Majalah “Matra”, Desember 1992, hal. 18.

Ketentuan hukum Allah tentang pakaian wanita di dalam Al- Qur’an secara khusus, diatur dalam surah An-Nur ayat 31 dan Al-Ahzab ayat 59. Di samping keterangan-keterangan di dalam hadits yang cukup jelas, sehingga tidak memungkinkan orang untuk berbeda pendapat lagi. Pertama sekali harus diketahui, bahwa seluruh ulama sepakat (ijma’) bahwa seluruh tubuh wani-ta adalah aurat yang wajib ditutup, kecuali muka dan dua telapak tangannya. Yang diperselisihkan ulama adalah hukum muka dan dua tangan itu, apakah termasuk aurat atau tidak. Menurut mazhab Syafi’i ( mazhab yang banyak dianut di Indonesia) dan mazhab Hambali, bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat tan-pa kecuali muka dan tangannya. Sedangkan menurut Iman Malik dan Abu Hanifah, muka dan tangan wanita tidak termasuk aurat.48)

Di Luar organ tersebut belum pernah terdengar ikhtilaf Al-Ulama , kecuali ikhtilaful-juhala’ (perselisihan antara orang-orang yang tidak mengerti). Apalagi membedakan antara aurat di waktu sha-lat dengan di luar shasha-lat. Ini termasuk ke dalam jenis khilaf tera-khir yang tidak perlu diperhatikan.

Bila diperhatikan ketentuan ayat yang mengatur tentang pakaian wanita, yaitu :

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak per-empuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. (al-Ahz-ab: 59)

Dapat dipahami bahwa kewajiban memakai jilbab bukan hanya kepada istri-istri Nabi dan anak-anak perempuannya, sep-erti diklaim oleh orang yang tidak memahami Al- Qur’an. Tapi

ke-Dimasyq, Suriah, cet. ke-dua, 1977, jild.2, hal. 380. 48) Tafsir Ash-Shobuni, op.cit, hal.154.

wajiban itu ditujukan kepada seluruh wanita muslimah seperti dinyatakan secara tegas dalam Al- Qur’an. Kemudian apakah yang dimaksud dengan “ jilbab” itu? Untuk mengetahui secara benar maksudnya sebaiknya kita kembali kepada kamus-kamus bahasa Arab agar tidak memberi interpretasi sendiri tentang jilbab.

Menurut kamus, jilbab artinya pakaian yang menutupi seluruh tubuh. Di dalam kamus “Lisan Al-‘Arab” disebutkan:

“Jil-bab ialah pakaian yang lebih luas dari khumur (kerudung, bukan jubah, yang dipakai wanita untuk menutup kepala dan dadanya)”.

Di dalam tafsir “Al-Jalalain”, dijelaskan bahwa jilbab ialah paka-ian yang menyelimuti seluruh badan wanita. Kata Ibnu ‘Abbas: “Istri-istri kaum Mukmin diperintahkan menutup kepala dan muka mereka dengan jilbab, kecuali satu matanya, agar diketahui bahwa dia adalah wanita merdeka”.49)

Terjemahan Departemen Agama juga menyebutkan arti “ jilbab” itu ialah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat me-nutupi kepala, muka dan dada.50)

Kemudian secara khusus untuk menutup kepala, dada dan leher, sesuai perintah Allah di dalam Al- Qur’an:

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemalu-annya serta janganlah mereka menampakkan perhiasann-ya, kecuali yang (terpaksa harus) nampak. Hendaklah mere-ka menutupmere-kan mere-kain kudung ke dadanya dan janganlah

49) Lihat materi”jim lam ba” dalam kamus “Lisan Al-‘Arab” dan Tafsir Ash-Shobuni, op.cit, hal. 375.

mereka menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka”. (an-Nuur: 31)

Kalau kita gabungkan dua perintah Allah tersebut dan dipa-hami sesuai bahasa aslinya (Arab), apalagi jika ditambah dengan hadits-hadits Rasulullah n serta praktek hidup wanita Anshar yang kesohor saat itu, maka pandangan NM itu jelas berten-tangan dengan perintah Allah.

Pakaian wanita juga tidak boleh tipis dan transparan seperti dijelaskan dalam sebuah hadits yang menyatakan bahwa Asma’ binti Abu Bakar (saudari ‘Aisyah x) pernah lewat di hadapan Ra-sulullah n dengan mengenakan pakaian tipis dan tembus pan-dang, lalu Rasulullah n memalingkan mukanya, seraya berkata : “Hai Asma’, sesungguhnya setiap wanita bila telah men-galami haidh, tubuhnya tidak boleh kelihatan kecuali ini dan ini, sambil menunjuk ke muka dan dua tangannya”.51)

Syekh Al-Albani, seorang ahli hadits kontemporer, men-gumpulkan delapan kriteria pakaian wanita muslimah, dari ayat-ayat dan hadits Nabi n, antara lain52) sebagai berikut:

1. Menutup seluruh anggota tubuhnya, kecuali bagian yang dikecualikan dan terpaksa harus kelihatan, seperti muka, tel-apak tangan, pakaian luar dan ujung pakaian bawah.

51) Diriwayatkan oleh Abu Dawud, dari Hadits ‘Aisyah x yang bunyinya sebagai berikut :

ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﺎﻬﻨﻋ ﺽﺮﻋﺄﻓ ﻕﺎﻗﺭ ﺏﺎﻴﺛ ﺎﻬﻴﻠﻋﻭ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﻰﻠﻋ ﺖﻠﺧﺩ ، ﺮﻜﺑ ﻰﺑﺃ ﺖﻨﺑ ﺀﺎﻤﺳﺃ ﻥﺃ ﻰﻟﺇ ﺭﺎﺷﺃﻭ ﺍﺬﻫ ﹼﻻﺇ ﺎﻬﻨﻣ ﻯﺮﻳ ﻥﺃ ﺞﻠﺼﻳ ﻢﻟ ﺺﻴﺤﻤﻟﺍ ﺖﻐﻠﺑ ﺍﺫﺇ ﺓﺃﺮﻤﻟﺍ ﻥﺇ ﺀﺎﻤﺳﺃ ﺎﻳ : ﺎﻬﻟ ﻝﺎﻗﻭ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﻪﻴﻔﻛﻭ ﻪﻬﺟﻭ 52) Lihat “Hijab Mar’at Muslimah”, Syekh Muhammad Nashiruddin Albani,

Al-Maktab Al-islami, hal. 15. Buku ini termasuk kitab yang terbagus yang mebahas tentang pakaian wanita Muslimah, karena didukung dengan dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah.

2. Pakaian itu sendiri pada dasarnya bukan merupakan mode/ perhiasan.

3. Tebal, tidak tembus pandang. 4. Longgar, tidak sempit.

5. Tidak menggunakan pewangi/parfum. 6. Tidak menyerupai pakaian lelaki.

7. Tidak menyerupai pakaian wanita nonmuslim. 8. Bukan pakaian yang mengikuti zaman.

Dari ketentuan ayat, hadits, praktek wanita muslimah sepanjang sejarah, dan penjelasan para ulama dapat diketahui bahwa sebenarnya masalah pakaian wanita ( jilbab), aurat dan yang sejenisnya itu tidak perlu dipermasalahkan. Karena dalil dan penjelasannya sudah selesai dan tidak ada yang membingung-kan. Mempersoalkan itu kembali hanya merupakan upaya untuk meragukan orang (tasykik) tentang kewajiban yang sudah jelas. Ini sebuah cara yang biasa dilakukan Ahli Kitab dan orientalis.