• Tidak ada hasil yang ditemukan

Setelah Barat merasa gagal menguasai umat Islam melalui politik imperialisme, Barat menempuh jalan lain. Di antaranya melancarkan serangan dari “dalam” (Al-ghazwu minad-dakhil). Untuk itu, mereka mengadakan kajian tenang Islam, untuk meng-etahui “titik-titik lemah”nya (menurut asumsi mereka). Kemudian disebarluaskan di lingkungan mereka dan ke tengah-tengah umat Islam sendiri untuk menggoyahkan keimanan umat Islam terhadap agamanya. Demikian secara sederhana gambaran latar belakang lahirnya studi keislaman di Barat, yang dapat disimpul-kan dari tulisan Prof. Isma’il Faruqi, seorang mantan guru besar dan ketua jurusan “Islamic Studies” di Temple University, AS. Me-mang bukan hanya ini, tapi faktor misi dapat dikatakan mendomi-nasi tujuan dibentuknya kajian Islam di dunia Barat, di antaranya Amerika Serikat. Hal ini dapat dibaca dari tulisan-tulisan mereka sendiri, seperti Edward Said dalam bukunya “orientalisme”.

Oleh karena studi Islam di Barat kian hari kian semarak dan dampaknya bagu dunia Islam tidak dapat dinafikan, maka sebagi-an tokoh-tokoh Islam, khususnya di dunia Arab, merasa perlu un-tuk mengirimkan “orang-orang”nya ke sana. Di antara tujuannya, untuk melihat dari dekat metodologi orientalis dalam mengkaji Islam dan sejumlah aktivitas mereka di bidang ini. Sekembalinya dari sana, mereka menulis berbagai analisis yang amat berharga tentang metodologi itu dan sejumlah pengalaman masing-mas-ing. Sebagai contoh, Isma’il Faruqi dari Amerika, Muhammad SAW Al-Bahiy dari Jerman, ‘Abdul Halim Mahmud dari Peran-cis, M. Salim Al-‘Owwa dari Inggris, Husein Muktazilah’nis dari

Spanyol dan sederetan nama-nama lain. Mereka membongkar rahasia-rahasia orientalis, membeberkan bahaya-bahayanya dan mengkritik tajam metodologi mereka. Tapi secara jujur, mereka juga tidak mengingkari beberapa karya orientalis yang berman-faat bagi umat Islam. Lalu, apakah dengan sikap seperti ini, mere-ka pantas dimere-katamere-kan sebagai anak didik orientalis? Orang yang arif, agaknya dapat membedakan antara dua hal :

“ma’rifatul-ja-hiliyah” (mengenal jahiliyah) dengan “ta’allum Al-ja“ma’rifatul-ja-hiliyah”

(mem-pelajari jahiliyah). Yang pertama bertujuan sekadar mengenal jahiliyah agar mudah mengantisipasinya. Yang kedua bertujuan mempelajari untuk diamalkan. Tokoh-tokoh Islam Arab yang pergi ke Barat lebih kurang dapat ditafsirkan untuk tujuan yang pertama. Ini terlihat dari sikap mereka setelah pulang.

Bagi orang yang banyak mengamati sejarah ilmu-ilmu, akan mengetahui bahwa runtuhnya peradaban Islam, salah satu penyebabnya adalah karena logika Aristoteles. Tidak dipungkiri, bahwa tak sedikit dari ilmuwan Muslim yang tertipu oleh logika Aristoteles. Mereka mengira bahwa sistem berpikir Yunani dapat memajukan ilmu-ilmu Islam. Sehingga mereka melepaskan sis-tem berpikir islami yang menekankan metode “eksperimen” dan

empirisme dalam mengembangkan Hadits Nabi N Sementara

logika Aristoteles tidak mensyaratkan eksperimen. Bahkan cukup hanya memadakan “imaginasi. Oleh karena itu, logika ini sering dikenal dengan “manthiq shuriy” (logika imaginatif). Dan menu-rut banyak pengamat, rahasia kemajuan peradaban Barat adalah karena waktu yang sama mengadopsi sistem berpikir islami yang “empiris” tadi. Sayangnya, di dunia Islam yang terjadi adalah ke-balikannya.

Inilah yang sejak dulu telah diprediksikan oleh sejumlah Ulama kita, sehingga sikap mereka terhadap “pendatang haram”

ini cukup tegas. Ulama- ulama terkenal pada zamannya, sep-erti Ibnu Shalah –pakar Hadits, fiqh dan sejumlah ilmu Islam94)– mengharamkan mempelajari logika Yunani ini. Karena ilmu mantiq tidak memberikan manfaat bagi umat Islam, melainkan kelesuan dalam semangat dan kreasi mereka.

Demikian pula sikap Imam Nawawi, seorang ahli fiqh mazhab Syafi’i. Sampai-sampai Imam Suyuthi, ilmuwan yang meninggalkan karya lebih dari 500 judul itu, menulis sebuah buku dengan judul “Shaunu ‘l-manthiq wa ‘-kalam ‘an fann

‘-man-thiq wa ‘l-kalam” (membentengi logika dan pikiran dari kerancuan

ilmu logika). Dalam sebuah “rasalah”nya, Suyuthi menukil ungka-pan Ibnu Taimiyah yang mengecam mantiq dengan keras. Beliau mengatakan :

“Siapa di antara generasi belakangan yang mengatakan bahwa mempelajari ilmu “manthiq” hukumnya fardhu ki-fayah, atau termasuk persyaratan ijtihad, maka ini membuk-tikan kejahilannya terhadap syari’at dan kedangkalannya dalam mantiq. Sesungguhnya mengetahui kerancuan pen-dapat tersebut adalah suatu kewajiban agama yang mesti diketahui setiap Muslim. Sebab generasi terbaik dari umat

94)Ibnu Shalah, yang nama aslinya Taqiyyu ‘d-Din Utsman b. ‘Abd Ar-Rahman Ash-Shalah, lahir tahun 577 H. di Syaharzur, Arbil, Iraq dan wafat tahun 643 H. di Dimasyq, Su-riah. Beliau adalah seorang ahli Hadits dan ahli fiqh bermazhab syafi’i. Al-Hafizh al’Iraqi, seorang Imam Hadits mengagumi Ibnu Ash-Shalah dan mengatakan dalam kitab “Alfiyyah” nya : “Setiap kali aku menyebut kata “Syaikh” dalam dalam kitabku, maka yang kumaksud adalah Ibnu Ash-Shalah”. Kitabnya “Al-Muqaddimah

fi ‘Ulum Al-Hadits” adalah referensi utama dalam bidang musthalah. Kitab-kitabnya

yang lain ialah : “Syarah Shahih Muslim”, “Adab Al-Mufti Wal-mustafti” dan “Nukat

‘ala Al-Muhazzab”. Ibnu As-Shalah juga dikenal ahli dalam ilmu fiqh. Karyanya

yang terkenal ialah : “Fatwa”, “Musykil Wasith” dan “Shilat An-Nasik di Shifat

Al-Manasik” dan masih banyak lagi karyanya dalam Ilmur-Rijal. (Lihat Muqaddimah

Tahqiq “Al-Muqaddimah” oleh Prof. DR. ‘Aisyah bint Asy-Syathi’, Dar Al-Kutub, Kairo, 1974, hal.32)

ini, yaitu sahabat, tabi’in dan para imam mashab, mereka se-jak dini sudah mengetahui kewajibannya dan telah matang ilmu dan keimanan mereka, jauh sebelum mereka mengenal ilmu mantiq”.

Dan yang bersemangat ketika itu menyuarakan “mantiq” adalah Imam Ghazali95). Inilah yang sangat disesalkan oleh se-bagian besar Ulama. Tapi, sebagaimana diketahui bahwa Imam Ghazali sendiri pada akhirnya memerangi filsafat, seperti yang dilukiskannya dalam “Tahafut Al-Falasifah”.

Setelah membaca sikap-sikap para Ulama yang dipercaya keilmuwannya, apakah kita berani mengklaim bahwa Ulama sehebat Ibnu Shalah –pengarang kitab “muqaddimah fi ulumi

‘l-hadits”, buku terbaik dalam metodologi Hadits dan pengarang

sejumlah kitab-kitab lainnya– mengharamkan mantiq, karena otaknya tidak mampu mendalami logika? Mari kita perhatikan penghinaan ZK terhadap Ibnu Shalah :

“Saya sangat heran dengan saudara, kenapa saudara kok alergi dengan falsafah dan logika. Jangan-jangan saudara seperti Ibnu Shalah, karena otaknya tidak mampu mendala-mi logika dan filsafat, lalu mencaci dan memfatwakan atas dasar hukum fiqh, bahwa falsafath dan logika itu adalah haram mempelajarinya”.

Masuk akalkah ini? Siapakah sesungguhnya yang otaknya tidak mampu? Bukankah ini sebuah sikap sukhriyyah (angkuh) dan

suu’ al-adab (tidak bermoral) terhadap Ulama? kibru ‘alamat Al-jahli. Dan untuk mengetahui rusak/bahayanya sesuatu –sebut

saja umpamanya AIDS–, apakah kita semua harus menjatuhkan

diri padanya, atau cukup dengan peringatan seseorang yang telah pernah terperosok ke dalamnya? Demikian halnya dengan Imam Ghazali dengan filsafatnya bagi orang yang berpikir.