• Tidak ada hasil yang ditemukan

UF berupaya mengompromikan tulisan saya dengan pro-gram belajar ke Barat itu, dengan logikanya bahwa belajar ilmu tafsir, hadits dan fiqh tetap ke Timur Tengah dan yang Barat ada-lah untuk belajar ilmu umum. UF mengatakan :

“Apa yang dipraktekkan oleh Departemen Agama dengan mengirim sarjana IAIN belajar ke Barat, sepengetahuan penulis, sudah sejalan dengan pikiran Daud Rasyid. Depar-temen Agama, sekali lagi, menurut pengetahuan penulis, tidak mengirim sarjana IAIN untuk belajar fiqh, hadits atau tafsir. Yang mereka pelajari adalah ilmu-ilmu yang oleh kita dinamakan ilmu umum atau di luar tafsir, hadits atau fiqh. Mereka mempelajari sosiologi, antropologi, filsafat, ilmu politik dan ilmu pendidikan. Kalaupun belajar “Islamic Stud-ies”, penekanannya bukan pada materi khusus di atas, mel-ainkan lebih dari sejarah dan tinjauannya dari segi sosiologi”.

Jika UF membaca tulisan itu keseluruhan, barangkali dia tidak berkesimpulan demikian. Karena alasan di atas hanya meru-pakan salah satu alasan kenapa tak perlu belajar ke Barat. Jadi, bukan satu-satunya alasan. Justru yang amat saya tekankan ialah kerancuan metodologi Barat dalam mengkaji Islam. Metodolo-gi orientalis berangkat dari keyakinan bahwa Al-Qur’an bukan wahyu Allah, tetapi karangan Muhammad n Muhammad n bukan seorang Rasul terakhir yang diutus Allah dan Islam bukan agama yang datang dari Allah.

Konsekuensinya, bagi mereka kebenaran Al-Qur’an masih perlu diuji dan kalau perlu dikritik. Muhammad n hanya seorang manusia biasa, bukan maksum (bersih dari kesalahan/dosa). Ka-renanya, kepribadian dan kehidupan Nabi n perlu ditelaah se-cara kritis yang biasanya cenderung apriori. Yang parahnya, “kaca mata” yang mereka gunakan untuk menilai pribadi Rasul itu pun adalah kaca mata Barat yang bebas “nilai”. Seakan mereka mem-bayangkan bahwa Muhammad n itu seperti manusia Barat yang “haus” sex, tidak kenal “halal haram” dan materialistis.

Demikian pula persepsi mereka, Islam bukan sebagai aga-ma Allah, sehingga harus diperlakukan sebagai “objek” yang diteliti. Posisinya disejajarkan dengan objek-objek lainnya. Yang tidak fairnya, metode mereka itu masih sangat terkait erat, bah-kan didikte, oleh doktrin religius mereka.

Bila kerancuan terletak pada metodologi, maka ilmu apa-pun yang dipelajari dari Barat akan menghasilkan tashawwur (gambaran) yang serupa. Baik yang belajar politik, sosiologi, fil-safat dan ilmu-ilmu humanitas lainnya yang dikaitkan dengan Islam, akan sampai pada kesimpulan yang sama, yaitu menem-patkan Islam pada posisi sebagai “tertuduh” yang harus

dihu-kum. Jadi bagi yang belajar politik Islam, hanya bisa melihat gam-baran-gambaran negatif dalam sejarah percaturan politik Islam. Demikian pula yang belajar sosiologi dan filsafat hanya mempu-nyai kesan-kesan negatif tentang masyarakat Islam dan sejarah pemikirannya. Dan cenderung ingin mengadopsi budaya Barat, menerapkan sistem sosial dan pola pikirnya ke tengah-tengah masyarakat Muslim.

Saya kira UF keliru besar, jika UF menyejajarkan antara Ras-jidi di satu pihak dan Harun Nasution serta Mukti Ali di pihak lain. Kedua pihak ini menunjukkan dua kubu pemikiran yang bertolak belakang, kendatipun mereka sama-sama pernah mengenyam pendidikan di Barat. Yang pertama melihat Barat secara kritis dan punya daya “filter” yang tinggi. Mengambil yang bermanfaat dan dibutuhkan serta menangkal “komoditas” yang merusak dan membahayakan. Sementara yang kedua cenderung sebaliknya. Paling tidak mengambil seluruhnya. Mirip dengan pola Thaha Husein di Mesir yang tertuang dalam bukunya “Mustaqbal

ats-Tsaqafah fi Mishr”.

Berbeda dengan lainnya, Rasjidi benar- benar mengguna-kan metodologi ilmiah itu secara proporsional. Berpikir netral tanpa prakonsepsi seperti orientalis Barat. Nah, kalau anda kata-kan ini sudah menjadi pengetahuan umum dan tentunya anda sebagai cendekiawan sudah lebih dahulu tahu, toh kenapa anda tidak mengerti juga? Artinya, mengapa anda masih memperta-hankan studi Islam ke Barat itu dengan segala macam risiko dan bahayanya?

Apa yang disebut UF bahwa mereka yang dikirim itu sudah punya pengetahuan agama yang baik, agaknya perlu dipertan-yakan. Bagaimana UF dapat mengatakan baik, ukuran baik bagi

UF itu, apa? Apakah dengan status yang ada sudah dijamin baik? Buktinya, mereka yang pulang dari Barat itu toh tidak semuanya menunjukkan sikap komitmen Islamnya? Bahkan justru memec-ah belmemec-ah umat yang cenderung akhir-akhir ini sudmemec-ah mulai ber-satu. Apakah ini memang sudah diprogram oleh Barat? Jangan-jangan apa yang anda sebut “baik” itu justru kebalikannya bagi orang lain.

Kalau yang UF maksudkan dengan pengetahuan agama itu sebagai penguasaan atas ilmu-ilmu Islam, maka kondisinya lebih memprihatinkan lagi. Bagaimana orang menyandang gelar doktor dalam “Islamic Studies” sedangkan dia tidak bisa berba-hasa Arab? Dalam tulisannya mengutip pendapat Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, Al-Mawardi, Ibnu Taimiyah, Rasyid Ridha dan sebagainya padahal dia tidak mampu membaca literatur yang asli, hanya mengandalkan terjemahan dalam bahasa Inggris? Memadaikah ini dari sudut metodologi?

Kalau belajar ke Barat itu karena didorong adanya bantuan luar negeri dalam bentuk beasiswa, maka indikasi ini jelas mem-perkuat kebenaran analisis Faruqi. Beliau membongkar rahasia “Islamic Studies” di Amerika khususnya, yang memberikan bea-siswa kepada mahabea-siswa-mahabea-siswa asing jutaan dolar dengan tujuan untuk merusak pemikiran mereka. Dan di dalam penyalu-ran beasiswa, Yahudi memegang pepenyalu-ran yang cukup penting.103)

Sebagai Muslim yang baik, tentunya kita tidak hanya me-lirik tawaran “orang”, tapi hendaknya memikirkan secara jernih risiko dan dampaknya di kemudian hari. Sepintas lalu gejala ini sama saja dengan tawaran “supermie dan beras” kepada rumah

103) Lihat “Rahasia Gerakan Freemasonry”, Muhammad Fahim Amin, terjemahan Muham-mad Thalib dan Kathur Suhadi, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, cet. ke-dua, 1992.

tangga Muslim di beberapa tempat. Inilah yang telah diperingat-kan Allah dalam Al-Qur’an:

“Maka sekali-kali janganlah kamu tertipu oleh gemerlapnya kehidupan dunia dan sekali-kali janganlah syetan yang pintar menipu, memperdayakan kamu tentang Allah”. (Faathir: 5)

Kalau kebutuhan terhadap doktor memang sangat mende-sak, maka pintu untuk memperolehnya masih terbuka luas di ne-gara-negara Arab. Mesir bukan hanya satu-satunya negara yang membuka program pascasarjana. Yang kurang selama ini adalah keseriusan untuk menerobos pintu-pintu itu. Mungkin mereka tergiur dengan iming-iming Barat. Tidak dipungkiri, kesulitan

“ijr’at” (urusan) di negara-negara Arab ada, tetapi tidak sampai ke

tingkat “mustahil”.

Apalagi mengingat ilmu-ilmu yang dipelajari di sana me-mang sudah sinkron dengan pengklasifikasian bidang di jajaran IAIN . Karean sejauh ini, IAIN belum berubah menjadi Universitas umum atau Institut Ilmu Sosial yang mengajarkan sosiologi, an-tropologi, politik, kriminologi, psikologi dan lain-lain. Dan kalau mau ilmu-ilmu itu, orang tidak perlu masuk IAIN . Wadahnya su-dah ada disediakan negara, seperti UI, UGM dan lain-lain. Jadi kalau dosen-dosen IAIN yang dari semula belajar ilmu-ilmu Islam, lalu belakangan “menyeberang” ke ilmu-ilmu sekuler, hasilnya jadi apa? Jadi pakar politik tidak dan ulama juga bukan. Dan geja-la keilmuan yang mengambang seperti ini sama sekali tidak men-dukung bobot lembaga ilmiah tersebut. Oleh karena itu, “arah” pascasarjana di IAIN hendaknya dikembalikan kepada asalnya.