• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebelumnya perlu saya ingatkan bahwa masalah qath’i dan

zhanny ini adalah materi pembahasan ilmu ushul fiqh, khususnya

dalam pembahasan dalalah (maksud) ayat-ayat Al- Qur’an. Bukan masalah “tafsir” seperti yang sdr. ZK bayangkan. Jadi rujukan ZK seharusnya kepada kitab-kitab ushul fiqh, bukan kepada tafsir, konon lagi filsafat. Walaupun tidak berarti itu monopoli kajian

85) Dalam sebuah wawancaranya, Harun Nasution mengatakan : “Yang absolut itu –yang

5%– hanya ada dalam Qur’an dan Hadits. Selain yang absolut itu, adalah karangan para sahabat dan Ulama yang tidak ma’shum. Kalau ajaran yang nisbi, itu tidak sesuai dengan perkembangan zaman, bisa kita tinggalkan, kembali ke Qur’an mencari pe-nyesuaian dengan keadaan sekarang”. ( TEMPO, 22 September 1990)

ilmu ushul fiqh. Oleh karena itu, topik ini merupakan kajian ilmu syariat. Ini perlu diingatkan, agar ZK tidak salah paham. Konotasi

zhanny ad-dilalah itu biasanya kepada masalah-masalah hukum.

Yang dimaksud dengan qath’i ats-tsubut adalah nash (teks) yang dipastikan sumber dan asalnya dari Allah l. Seperti teks Al- Qur’an yang kita baca sekarang adalah identik dengan nash yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya n, tanpa mengalami perubahan sedikit pun. Karena diwariskan secara tawatur (terja-min) dari generasi ke generasi berikutnya.

Dari segi makna atau indikasinya terhadap hukum, ayat Qur’an dapat dibagi atas dua klasifikasi, yaitu:

Pertama, qath’i ad-dilalah, yaitu teks yang berindikasi hanya satu pengertian, tidak berkemungkinan untuk diberi interpretasi (takwil) lain dari makna harfiahnya. Umpamanya ayat-ayat yang menerangkan hukum waris. Bagian suami yang tak punya anak adalah separuh dari warisan, dan bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan. Demikian pula ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum pidana Islam (hudud) yang tidak mungkin ditak-wil.

Kedua, nash zhanny ad-dilalah yaitu nash yang menunjuk-kan suatu makna, tapi mungkin ditakwil untuk makna yang lain. Seperti kata “qur” dalam Al- Qur’an yang dalam bahasa Arab da-pat berarti: “haid” atau “bersih”. Sebagian ulama memakai arti “haid” dan yang lain memakai arti “bersih”. Jadi, ayat-ayat yang tergolong zhanny itu, artinya bukan tidak jelas, seperti yang ZK klaim. Tapi, artinya jelas, hanya maknanya lebih dari satu. Dalam menentukan makna itulah para mujtahid berbeda pendapat. Sekali lagi, teks-teks ini biasanya menyangkut aturan hukum (ayat

Tentang “takwil” itu sendiri yang erat kaitannya dengan nash-nash yang zhanny, mempunyai aturan dan metodologi yang sudah dirumuskan oleh ilmuwan kita, dalam hal ini ialah

ushuliyyun. Jadi takwil itu tidak dilakukan serampangan dan

men-urut selera nafsu. Karena metode semau gue ini biasanya adalah metode orientalis, seperti yang disitir oleh DR. Ujail Jasim dari Universitas Kuwait dalam bukunya “Al-Mustasyriqun Wa Mashadir

at-Tasyri’ Al-Islamy” (Orientalis dan Sumber-sumber Hukum Islam).

Salah satu kriteria penggunaan takwil itu, bahwa nash itu sendiri harus ditakwil. Sebab jika tidak, dia akan bertentangan dengan kaidah yang lebih prinsipil, atau bertentangan dengan nash lain yang lebih kuat. Pembahasan tentang materi ini banyak dijumpai dalam kitab-kitab ushul fiqh.

Dari segi legalitas, takwil itu terbagi dua. Ada “takwil sahih”, yaitu takwil yang memenuhi persyaratan. Dan ada “takwil fasid”, yaitu takwil yang tidak mengikuti metodologi, alias takwil seram-pangan. Maksudnya, mentakwil ayat dengan semaunya saja, tak peduli apakah bertentangan dengan hakikat syar’iyah atau nash yang qath’i atau tidak. Maka hukumnya batil dan ditolak.87) Ump-amanya, nash tentang hijab dan jilbab ditakwil sebagai pakaian tradisi setempat, seperti kebaya dan sejenisnya. Atau, jilbab ditak-wil dengan “mantel”. Sehingga, wanita yang memakai “rok mini” dikatakan sudah menutup aurat. Ini tergolong ke dalam “takwil

fasid” tadi.

Untuk mengetahui apakah suatu ayat hukum tergolong

qath’i ad-dilalah atau zhanny, maka kita tidak bisa menentukan

sendiri. Tapi, harus merujuk kepada pendapat mujtahidun dan fuqaha’ (ahli fiqh), umpamanya dalam kitab-kitab “ahkam

Qur’an” dari berbagai madzhab fiqh. Karena merekalah yang

berkompeten berbicara tentang ini sesuai dengan kapasitasnya. Dan bukan sesuatu yang memalukan jika kita tetap meruju’ ke-pada pendapat mereka. Justru yang sangat memalukan, jika kita berlagak sebagai mujtahid. Sementara kapasitas keilmuwan kita sangat pas-pasan.

Jika ini dipahami dengan baik dan kita tidak memaksakan diri di luar kemampuan yang ada, maka tentu tidak akan lahir klaim bahwa yang qath’iy itu hanya sepuluh persen. Bahkan di tempat lain, Harun menyebut : “95% ajaran Islam hasil ijtihad para

Ulama nisbi sifatnya, hanya 5% yang bersumber dari Al- Qur’an dan Hadits”.88)

Amat disayangkan seorang guru besar berbicara semba-rangan, tanpa menyebutkan dari mana sumbernya dan tidak menyebut rinciannya, mana saja yang 5% itu dan mana yang disebutnya hasil ijtihad itu. Dia hanya menyebutkan, contoh yang 5% itu misalnya, makan daging babi itu haram. Juga riba itu haram. Sedangkan bunga bank tidak disebut-sebut dalam Qur’an. Bagaimana mungkin Harun mengklaim 95% ajaran Islam itu merupakan hasil ijtihad Ulama? Bukankah ini hanya memper-lihatkan kedangkalannya dalam memahami Islam. Kalaupun dia menganggap 95% itu adalah ijtihad Ulama, tapi benarkah hasil ijtihad itu sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan zaman?

Dalam kaitan ini, ada sebuah fenomena yang cukup me-narik. Harun sebagai ilmuwan Muslim di satu sisi meremehkan karya Ulama, tapi di sisi lain sejumlah ilmuwan Barat justru men-gakui kesepakatan Ulama dan sangat menghargai karya mereka

sebagai warisan intelektual yang tiada taranya. Berikut ini komen-tar mereka tentang hukum Islam :

1. Cideo, ahli sejarah Perancis mengatakan : “Dapat dipasti-kan bahwa hukum Napoleon adalah jipladipasti-kan (diplikat) dari kitab fiqh versi mazhab Malik, khususnya dari kitab “syarh

ad-dardiir ‘ala matn Al-Khalil”.

2. Konferensi Internasional tentang Hukum yang diselengga-rakan oleh Fakultas Hukum Universitas Paris, menetapkan dalam putusannya, ”Prinsip-prinsip Hukum Islam (Syari’ah

Is-lamiyah) mengandung nilai-nilai hukum legislatif yang tiada tandingannya”, dan “Keberagaman mazhab- mazhab fiqh yang ada dalam khazanah Hukum Islam benar-benar men-gandung kekayaan konsep, informasi dan dasar-dasar perun-dangan yang menakjubkan”.

3. Famberry, seorang pakar hukum, pernah mengungkapkan : “Dengan memperhatikan universalitas dan kompleksi-tasnya fiqh Islam, membuat saya tertanya-tanya keheranan, kenapa bangsa-bangsa Muslim tidak menerapkan sistem dan perangkat hukum Islam yang sangat relevan dengan kondisi negeri mereka”.89)

Jika Harun di satu sisi mengecilkan ijtihad Ulama, tapi di sisi lain, pakar hukum dari negara-negara Barat sendiri men-yanjung tinggi fiqh Islam, tentu ini memperlihatkan kepada kita intelektualitas Harun yang sesungguhnya. Jika dulu dia katakan yang absolut itu 10% dan kemudian 2,5%. Dan ini menunjukkan apa?

89) “yariat Islam, hukum yang abadi”, Prof. Nashih Ulwan, terjemahan Daud Rasjidi, Usa-mah Press, cet. pertama, 1992, hal. 88, 89.