• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menurut Al Ghazali (2013: 130) “akhlak tercela ini dikenal dengan sifat-sifat muhlikat, yakni segala tingkah laku manusia yang dapat membawanya kepada kebinasaan dan kehancuran diri, yang tentu saja bertentangan dengan fitrahnya yang selalu mengarah kepada kebaikan”.

Al-Ghazali (2013: 130) mengemukakan ada empat hal yang mendorong manusia melakukan perbuatan tercela, diantaranya: 1. Dunia dan isinya, yaitu berbagai hal yang bersifat material yang

ingin dimiliki manusia sebagai kebutuhan dalam melangsungkan hidupnya agar bahagia.

2. Manusia selain mendatangkan kebaikan, manusia dapat mengakibatkan keburukan.

3. Syetan (iblis) adalah musuh manusia yang paling nyata, ia menggoda manusia melalui bathinnya untuk berbuat jahat atau menjauhi tuhan.

4. Nafsu, adakalanya baik (mutmainah) dan adakalanya buruk (amarah), akan tetapi nafsu cenderung mengarah kepada keburukan.

Menurut Nasih Ulwan dalam Mahmud (2013: 147) akhlak tercela adalah akhlak yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, diantara akhlak tercela tersebut adalah sebagai berikut:

1) Sombong atau takabur adalah membesar-besarkan diri dengan anggapan serba sempurna dan tidak mau menerima kebenaran orang lain.

2) Bohong atau dusta adalah pernyataan tentang suatu hal yang tidak cocok dengan keadaan yang sesungguhnya dan tidak saja menyangkut perkataan tetapi juga perbuatan.

3) Dengki atau dendam adalah rasa atau sikap tidak senang atas kenikmatan yang diperoleh orang lain, dan berusaha untutk menghilangkan kenikmatan itu dari orang lain tersebut, baik dengan maksudnya supaya kenikmatan itu berpindah ketangannya sendiri atau tidak.

4) Riya adalah mengharapkan tempat dihati manusia dengan memamerkan sifat-sifat yang baik menurut Islam.

Berdasarkan teori di atas dapat diketahui bahwa macam-macam akhlak tercela itu terdiri dari sombong atau takabur, bohong, dengki dan ria, untuk itu diperlukan tanggung jawab orang tua dalam memberikan didikan agama yang positif kepada anak sejak usia dini agar anak terhindar dari perbuatan tercela. Orang tua lebih menanamkan akhlak terpuji kepada anak sejak usia dini sehingga akhlak tersebut menjadi kebiasaannya dalam kehidupan sehari-hari

.

c. Pendidikan Ibadah Anak Usia Dini

Menurut Umar(2010: 30) “pendidikan ibadah adalah proses pengajaran, pelatihan dan bimbingan dalam pengamalan ibadah khusus. Adapun materi pendidikan ibadah tersebut meliputi: sholat, puasa, zakat, dan haji”. Dengan penjelasan yang sangat sederhana tentang pentingnya berbagai bentuk ibadah, lengkap dengan rukun-rukunnya, seperti: shalat, zakat, puasa dan haji. Selain itu emosional anak harus disiapkan saat membicarakan berbagai bentuk ibadah, sehingga mereka merindukan ikatan dengan Allah SWT dan beribadah kepadanya dengan cara yang benar.

Menurut Erna Hidayati (2012: 5) mengatakan bahwa:

Ibadah shalat itu harus dikenalkan kepada anak sejak usia dini. Pendidikan anak usia dini merupakan masa peka bagi anak, karena masa ini merupakan masa terjadinya pematangan fungsi fisik dan psikis yang siap merespon stimulasi lingkungan dan menginternisasikan dalam pribadinya.

Dapat kita ketahui bahwa pendidikan ibadah hendaknya dikenalkan sedini mungkin dalam diri anak agar tumbuh menjadi insan yang benar-benar takwa, yakni insan yang taat melaksanakan segala perintah agama dan taat pula dalam menjauhi segala larangan-Nya.

Berkenaan dengan hal ini, M. Fauzil Adhim dalam Abrasyi (2003: 109) mengklasifikasikan pendidikan ibadah bagi anak sesuai umur dan perkembangan jiwa anak sebagai berikut:

a. Sejak dalam kandungan selama kurang lebih 9 bulan. Kebutuhan yang paling penting dalam masa ini adalah kerahiman (kasih sayang tulus) dari ibunya.

b. Selanjutnya adalah masa lahir sampai usia dua tahun, masa ini umum disebut masa bayi. Pada masa ini, anak memerlukan kasih sayang dan perhatian yang melibatkan langsung dirinya untuk menuju kehidupan berikutnya. Ibu diharapkan membimbingnya untuk mengenalkan lingkungan sosialnya.

c. Berikutnya adalah masa thufulah atau masa kanak-kanak, yang berlangsung antara usia dua sampai tujuh tahun. Pada masa ini, anak butuh dikembangkan potensinya seoptimal mungkin, sehingga nantinya akan lebih merangsang anak untuk memiliki tauhid yang aktif, kedalaman tauhid yang nantinya akan mendorongnya untuk bergerak melakukan sesuatu yang baik.

d. Kemudian usia tujuh tahun, dimana anak memasuki tahap perkembangan tamyiz atau kemampuan awal membedakan mana yang baik dan mana yang buruk serta benar dan salah melalui penalarannya. Pada tahap ini anak perlu mendapatkan pendidikan pokok syariat (ibadah) yang sifatnya mahdhah maupun ghairu mahdhah, disamping tentunya pendidikan tauhid, pendidikan akhlak dan lain sebagainya secara simultan yang berlangsung hingga usia 12 tahun.

Berdasarkan teori di atas dapat kita ketahui bahwa pendidikan ibadah harus diberikan oleh orang tua sejak sedini mungkin, apabila anak telah terbiasa melaksanakan ajaran agama

terutama beribadah seperti shalat, puasa, dan do‟a maka pada waktu dewasa nanti ia akan merasakan pentingnya agama bagi dirinya. Sehingga ia akan terdidik untuk mentaati Allah SWT dan bersyukur kepada Allah SWT sebagai pencipta manusia.

Sebagai wujud dari tanggung jawab orang tua dalam mendidik dan menananmkan nilai-nilai ibadah kepada anak-anaknya, ada beberapa aspek yang sangat penting untuk diperhatikan orang tua. Dalam riwayat lain yang berkenaan dengan melatih puasa seorang anak yang masih belum baliqh, Imam al-Shadiq dalam Dradjat (1996: 58) bahwa:

Kami memerintahkan anak-anak kami berpuasa ketika mencapai usia tujuh tahun, berdasarkan kemampuan waktu mereka untuk berpuasa dalam sehari. Boleh setengah hari, atau lebih, atau kurang. Yang jelas, mereka boleh berbuka ketika rasa haus dan lapar menimpa mereka. Ini dilakukan agar mereka terbiasa berpuasa dan terasah kemampuannya. Ketika anak-anak anda mencapai umur sembilan tahun, desaklah mereka agar berpuasa. Namun mereka boleh berbuka bila rasa haus dan lapar menimpa mereka.

Menurut Zainuddin (2002: 9) bahwa:

Tujuan pokok ibadah adalah menghadapkan diri kepada Allah yang maha Esa dan mengkonsentrasikan niat kepadanya dalam setiap keadaan. Dengan adanya tujuan itu seseorang akan mencapai derajat yang tinggi diakhirat. Sedangkan tujuan tambahan adalah agar terciptanya kemaslahatan diri manusia dan terwujudnya usaha yang baik, shalat umpamanya, disayariatkan pada dasarnya bertujuan untuk menundukkan diri kepada Allah Swt dengan ikhlas, meningkatkan diri dengan berzikir, sedangkan tujuan lain adalah untuk menghindarkan diri dari perbuatan keji dan mungkar.

Menurut Ali Rohman (2006: 9-10) “yang menjadi tuntutan dalam mengenalkan shalat khususnya shalat fardhu kepada anak adalah mengenalkan gerakan shalat fardhu”. Anak yang sehari-hari sejak usia dini disandingkan ketika orangtua mendirikan shalat fardhu secara berjama‟ah, maka jika kegiatan itu dilakukan secara terus-menerus maka anak akan

terbiasa dan fasih dalam melafalkan bacaan dari shalat fardhu. Dan dia juga antusias dalam menirukan gerakan dari shalat tersebut.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa pengenalan aneka bacaan dan gerakan shalat fardu dapat lebih meningkatkan motivasi anak untuk belajar mendirikan shalat fardu bilamana orang tua (ayah dan ibu) di rumah menyediakan peralatan shalat khusus untuk anak dan diupayakan dengan mutu barang yang terbaik karena peralatan itu dikenakan ketika akan menghadapkan diri pada Allah SWT. Untuk anak laki-laki disediakan sarung, baju taqwa, peci, sajadah. Untuk anak perempuan disediakan mukena dan sajadah. Sehari-hari seusai mendirikan shalat fardhu, ajak anak untuk menyimpan peralatan shalat ini pada tempat masing-masing secara rapi seperti mukena dan sarung harus dilipat, agar bila waktu shalat fardu berikutnya datang tanpa dicari sudah siap pakai.