• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tugas dan Tanggung Jawab Orang Tua dalam Pendidikan Agama Anak Usia Dini

B. Orang Tua

4) Tugas dan Tanggung Jawab Orang Tua dalam Pendidikan Agama Anak Usia Dini

Menurut Rahman (2005: 65) “keluarga merupakan intitusi sosial yang bersifat universal multi fungsional, yaitu fungsi pengawasan, sosial, pendidikan, keagamaan, perlindungan dan rekreasi”. Secara umum fungsi keluarga adalah bertanggung jawab menjaga dan menumbuhkan kembangkan anggota-anggotanya, pemenuhan kebutuhan keluarga sangat penting, agar mereka dapat mempertahankan kehidupannya, yang merupakan pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, papan, dan kesehatan untuk pengembangan fisik dan sosial, dan kebutuhan akan pendidikan formal, dan non formal dalam rangka mengembangkan intelektual sosial, mental , emosional, dan spritual.

Anak yang lahir dari perkawinan ini adalah anak yang sah dan menjadi hak dan tanggung jawab kedua orang tuanya untuk memelihara dan mendidik dengan sebaik-baiknya. Terus berlanjut sampai ia dikawinkan atau dapat berdiri sendiri.

Perkembangan agama pada anak sangat ditentukan oleh pendidikan dan pengalaman yang dilaluinya, terutama pada masa pertumbuhan pertama yang pertama (masa anak) dari umur 0-6 tahun. Seorang anak yang pada masa ini tidak mendapatkan pendidikan agama dan tidak pula mempunyai pengalaman keagamaan, maka ia nanti setelah dewasa akan cenderung kepada sikap negatif terhadap agama (Dradjat, 1996: 68-69).

Pendidikan agama dan spritual bagi anak adalah termasuk bidang-bidang yang harus mendapat perhatian penuh oleh keluarga. Pendidikan agama dan spritual ini berarti membangkitkan kekuatan dan kesediaan spritual yang bersifat naluri yang ada pada anak melalui bimbingan agama yang sehat dan mengamalkan ajaran agama. Begitu juga membekali anak dengan pengetahuan agama dan kebudayaan islam yang sesuai umurnya dalam bidang-bidang akidah, muamalah, ibadah, dan sejarah. Begitu juga dengan mengajarkan kepadanya cara-cara yang betul, yang termasuk mula-mula sekali adalah iman yang kuat kepada allah, dan selalu mendapat pengawasan dari padanya dalam segala perbuatan dan perkataan.

Menurut Ahid (2010: 140-142). mengatakan cara-cara praktis yang patut digunakan oleh keluarga untuk menanamkan semangat keagamaan pada diri anak sebagai berikut:

a. Memberitahukan yang baik kepada mereka tentang kekuatan iman kepada allah dan berpegang kepada ajaran-ajaran agama dalam bentuknya yang sempurna dalam waktu tertentu.

b. Membiasakan mereka menunaikan syiar-syiar agama semenjak kecil hinga penunaian itu menjadi kebiasaan yang mendarah daging, mereka melakukannya dengan kemauannya sendiri dan merasa tentram sebab mereka melakukannya.

c. Menyiapkan suasana agama dan spritual yang sesuai dirumah dan dimana mereka berada.

d. Membimbing mereka membawa bacaan-bacaan agama yang berguna dan memikirkan ciptan-ciptaan allah untuk menjadi bukti kehalusan sistem ciptaan itu di atas wujud dan keagungannya. e. Membawa mereka turut serta dalam aktivitas-aktivitas agama dan

lain-lain.

Dari penjelasan di atas memberikan petunjuk kepada orang tua agar melaksanakan pendidikan agama, mengharuskan orang tua

mendidik anak-anaknya akan iman dan akidah yang betul dan membiasakan mengerjakan syariat agama.

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah:

“Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”(QS. Al-Isra‟:85).

Kata anak dalam ungkapan al-quran disebutkan dengan istilahpengertian anak mulai lahir sampai usia baligh. Hal ini seperti tertera dalam ayat berikut:

“Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, maka

hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”( QS. Al-Nur:59).

Menurut Tafsir (1984: 188) cara yang dapat membantu dalam mengembangkan jiwa keagamaan anak yaitu:

1. Kondisikan kehidupan di rumah tangga itu dengan kehidupan muslim, dalam segala hal, contohnya ialah kehidupan yang sederhana, tidak iri kepada orang lain, jujur dan lainnya. Lakukan semua perintah Allah SWT yang wajib dan sunnah, yakni shalat, puasa, zikir, doa akan makan, doa sesudah akan, akan tidur, berpakaian, akan pergi, akan masuk rumah dan sebagainya, ushakan agar anak-anak kita mengetahui hal itu dan usahakan agar anak-anak ita juga melakukannya sekalipun belum memahami mengapa begitu.

2. Sejak kecil anak sering diajak ikut ke masjid, ikut shalat, ikut mengaji, sekalipun ia belum menjalankannya dengan benar. Suasana ini akan memengaruhi jiwanya, masuk ke dalam jiwa tanpa melalui proses berpikir.

3. Adakan pepujian di dalam rumah, mushala atau masjid, pepujian atas berbagai jenis ucapan, ada shalawatan, doa dan ada yang berupa ayat al-quran.

4. Pada saat libur sekolah masukkan anak kita ke dalam pesantren kilat.

5. Libatkan anak-anak dalam setiap acara keagamaan di kampung, seperti ramadhan, panitia zakat fitrah, panitia idul fitri, dan idul qurban, dan lain sebagainya.

Jadi anak dimungkinkan dapat mengenal Islam pada mulanya melalui tanda/media Ke-Islaman seperti masjid dan lainnya. Terkadang anak juga mempertanyakan kepada orang tuanya tentang ketuhanan, sehingga anak berikutnya membiasakan diri untuk mengikuti orang tuanya dalam beribadah.

Menurut Zuhairini(1981: 33-46) bahwa “anak pada usia tiga tahun pertama sudah merasa akan adanya tuhan, sehingga dalam bentuk miniatur anak menganggap kedua orang tuanya sebagai tuhan”. Anak beranggapan kedua orang tua adalah sumber keadilan, kasih sayang, kekuasaan dan pertolongan, bahkan pemberi segala kebutuhan. Tetapi setelah ia dewasa, dengan sendirinya ia mengetahui kekurangan orang tuanya, sehingga berubahlah orientasi ketuhanan-Nya. Pada saat seperti itulah orang tua memiliki peran penting untuk membimbing dan memberikan pengetahuan tentang ketuhanan secara proporsional yakni memahamkan bahwa tuhan yang sebenarnya adalah Allah SWT yang telah menciptakan semua manusia dan bukan orang tuanya seperti yang ia rasakan sebelumnya.

Demikian juga pendapat Wilson (dalam Zuhairini, 1981: 40)bahwa “anak secara tabiat mengakui adanya tuhan, yaitu ketika ia bermain boneka, lalu ia rusak, maka ia akan berdoa pada tuhan”. Rumke menegaskan bahwa anak membenarkan adanya tuhan dan hal ini akan berkembang pesat ketika ia sampai usia akan baligh. Menurut Arifin (1981: 59) bahwa “perkembangan jiwa anak anak pada usia empat atau lima tahun ketika menginjak usia

taman kanak-kanak, ia mulai gemar menghafal doa-doa pendek yang diaajarkan oleh gurunya di sekolah atau keluarganya di rumah”.

Menurut Arifin (1981: 57) “Anak pada usia enam sampai sembilan tahun sudah dapat mengerti sesungguhnya Allah SWT adalah tuhan pencipta alam raya, manusia, binatang, tumbuhan dan lain-lain”. Pemahaman agama anak pada usia ini telah mulai menguat. Terbukti gemar melakukan ibadah meskipun atas perintah orang tuanya. Ia suka berdoa, beramal sesuai dengan kehendak Allah swt dan orang tuanya, rajin pergi ke tempat-tempat pendidikan sekolah dengan teman-temannya. Suka menyanyi, khususnya nyanyian religi. Sedangkan pemahamannya tentang kematian juga mulai tumbuh, terlebih ketika ditinggal mati oleh keluarganya. Anak mulai terbangun kepercayaan tentang adanya balasan amal, sehingga ia gemar beramal baik. Demikianlah pemahaman keagamaaan anak terus berkembang sampai dewasa.

Menurut Nasih Ulwan (dalam Mahmud, 2013: 170) pendidikan anak yang harus dilakukan setelah ia lahir adalah: 1. Membuka perkataan pertama pada pendengaran anak dengan

ucapan tauhid. Hal ini berdasarkan pada hadist yang artinya

“Perdengarkanlah pertama kali pada anakmu dengan bacaan tauhid”.

2. Diadzani di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri, rahasia dari

azan dan iqamah ini menurut Ibn Al Qoyyim yaitu supaya kalimat yang baik mengajak kepada keimanan, mengakui keagungan Tuhan-Nya, dan syahadat. Ajaran memiliki pengaruh psikologis yang besar kepada jiwa anak ketika menjadi dewasa, meskipun pada saat itu dia belum merasakannya.

3. Memerintahkanuntuk menjalankan ibadah mulai umur tujuh tahun, dan memukulnya jika ia meninggalkannya pada usia sepuluh tahun.

4. Mengajarkan pada anak untuk mencintai nabi, ahlul baitnya dan cinta membaca alquran.

Adapun tanggung jawab orang tua dalam menanamkan pendidikan agama kepada anak menurut Mansur (2005: 47) yaitu:

1. Memberikan pendidikan agama kepada anak, terutama „aqidah yang akan menjadi pondasi ke-Islamannya.

2. Tidak hanya „aqidah, tapi anak juga harus dibiasakan untuk menjalani rutinitas ibadah sedari dini, seperti shalat dan puasa. Karena pemenuhan hak Allah, tidak hanya terbatas pada „aqidah saja, tetapi juga mencakup „ubudiyyah (peribadatan). Dan untuk menjalankan rutinitas ini, orang tua akan menjadi contoh bagi anak-anaknya.

3. Hendaknyaorang tua memperhatikan kualitas peribadatannya. Dengan demikian, maka pendidikan agama bagi anak diperlukan sedari dini, agar kelak ketika anak dewasa, dia tidak akan menjadi seorang yang bodoh terhadap agamanya sendiri. 4. Kewajiban bapak dan ibu mendidik anak-anak mereka serta

mengajari mereka tatacara bersuci dan shalat. “Orang tua juga wajib mendidik anak mereka hadir shalat secara berjama‟ah dan menjelaskan kepada mereka tentang haramnya zina, homoseks, minum khamr, berdusta, bergunjing, dan semisalnya. (Dan ini diberikan) kepada anak laki-laki maupun perempuan.

5. Membiasakan anak-anak untuk berakhlak baik dan menasihatinya ketika melakukan kesalahan.

Menurut Mansur (2005: 47) “sebagian orang tua menganggap bahwa membiasakan anak untuk berakhlak baik pada usia dini belumlah perlu, karena anak-anak akan mendapatkannya pada pendidikan formal kelak”. Padahal, orang tua memiliki andil yang sangat besar untuk mengarahkan anak, karena rumah merupakan sekolah pertama bagi anak-anak. Dan sebelum anak beranjak menuju pendidikan formal, dia akan terlebih dulu mendapatkan pendidikan di rumah dan ditengah-tengah keluarganya. Seorang anak tidak hanya akan mewarisi bentuk fisik orang tuanya, tetapi juga akan mewarisi tabiat kedua orang tuanya. Dan rumah merupakan tempat dimana anak akan mengadaptasi ajaran dan kebiasaan yang dilakukan oleh orang tuanya untuk

kemudian diaplikasikan, tidak hanya didalam rumah tetapi juga diluar rumah.

Adapun kewajiban yang harus diberikan oleh orang tua kepada anaknya menurut Mansur (2005: 68) yaitu:

a. Salah satu dari orang tua, baik itu ayah maupun ibu, sedang menasihati anaknya, hendaknya orang tua yang lain ikut mendukungnya dan jangan menyelanya atau bahkan menjatuhkan wibawanya. Sebagai contoh, seorang ayah tengah menasihati anaknya agar melaksanakan shalat tepat pada waktunya.

b. Mengajarkan adab dan etika kepada anak. Para Salaf telah menaruh perhatian yang sangat besar terhadap adab Islami. Simak saja perkataan seorang Salaf kepada anaknya ini, “Wahai anakku, engkau mempelajari satu bab tentang adab lebih aku sukai daripada engkau mempelajari tujuh puluh bab dari ilmu.” Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah pun pernah berkata tentang kebiasaan para Salaf mengirimkan anak-anaknya untuk mempelajari adab dan ibadah selama 20 tahun sebelum mereka dapat menuntut ilmu.

c. Ada banyak macam adab yang mesti diajarkan kepada anak, namun secara garis besar, pembahasan tentang masalah adab, etika, dan akhlak.

d. Adab dan akhlak terhadap Allah, seperti penghambaan, tidak melakukan syirik, mentaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, ridha terhadap takdir-Nya, dan bersyukur atas semua nikmat-Nya.

e. Adab dan akhlak terhadap Rasulullah shallallahu „alaihi wa

sallam, seperti mengimani beliau sebagai Nabi dan Rasul

terakhir bagi seluruh manusia, mencintai Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam, mentaati apa yang beliau perintahkan dan menjauhi apa yang beliau larang, mengikuti Sunnah beliau shallallahu „alaihi wa sallam dan menjauhi segala bentuk bid‟ah.

f. Adab dan akhlak terhadap diri sendiri dan sesama manusia, seperti adab makan dan minum, adab tidur, adab berpakaian, adab bertamu, adab meminta izin, adab berdo‟a dan adab-adab lainnya.

g. Adab dan akhlak terhadap hewan dan tumbuhan yang sesuai dengan tuntunan syari‟at, seperti tidak menyakitinya, tidak menyiksanya, memberinya makan dan minum, merawatnya, dan tidak membunuhnya dengan cara-cara yang dilarang oleh agama. Hendaknya semua adab-adab tersebut dijadikan sebagai

suatu kebiasaan di dalam rumah, sehingga ketika si anak pergi keluar rumah, dia akan membawa adab tersebut bersamanya.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwaorang tua hendaknya menyertakan anak-anak dalam beribadah, bukan hanya sekedar memerintahkannya saja. Karena pendidikan anak akan lebih berhasil manakala setiap inderanya diberdayakan. Jadi, orang tua tidak hanya memberdayakan indera pendengaran anak saja untuk memerintahnya melakukan ini dan itu, tapi orang tua juga perlu memberdayakan indera penglihatannya untuk mencontoh sikap dan perilaku baik dari orang tua.Tidak hanya itu, orang tua juga dapat mengajak anak untuk memberdayakan perasaannya ketika beribadah, yakni menghadirkan rasa cinta dalam menjalankan suatu ibadah, sekaligus mengajarkan kepadanya bagaimana menghadirkan hati yang khusyu‟ ketika beribadah.Bersikap lemah lembut kepada anak dan bersikap tegas manakala diperlukan. Karena anak bukanlah benda yang tidak memiliki rasa. Sehingga, orang tua sesekali dianjurkan untuk mencandai anak, bermain dengannya, dan mencium mereka sebagai bentuk kasih sayang.