• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akibat Hukum Terhadap Pihak yang Melakukan Wanprestasi Dalam Perjanjian Lisan

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN LISAN

C. Akibat Hukum Terhadap Pihak yang Melakukan Wanprestasi Dalam Perjanjian Lisan

Dalam membuat suatu perjanjian pada dasarnya tidaklah terikat oleh suatu bentuk tertentu, di dalam KUH Perdata tidak menyebutkan secara sistematis bentuk perjanjian, untuk membuat suatu perjanjian setiap pihak memiliki kebebasan dalam membuat perjanjian, para pihak dapat menentukan perjanjian yang akan dibuat perjanjian secara lisan ataupun perjanjian secara tertulis, dimana dalam hal ini asas kebebasan berkontrak telah memeberikan kebebasan bagi para pihak yang membuatnya.79

Menurut Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Didalam perjanjian sah atau tidak sahnya perjanjian yang dibuat oleh para pihak haruslah sesuai dengan syarat-syarat sahnya suatu perjanjian sebagaiamana yang telah diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, sehingga didalam

79 Yahya Harahap, Op.Cit., hal. 85

47

membuat perjanjian masyarakat dapat dibebaskan dalam menentukan bentuk perjanjian yang akan dibuat. Membuat perjanjian secara lisan tetaplah sah selama telah memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian yang sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Perjanjian lisan juga memiliki kekuatan hukum untuk mengikat para pihak, Sehingga jika terjadi wanprestasi dalam perjanjian lisan, perjanjian yang dibuat secara lisan tersebut dapat dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa seseorang telah melakukan wanprestasi.

Dalam perjanjian baik yang dibuat secara tertulis dan secara lisan apabila terdapat pihak yang tidak melakukan sebagaimana yang telah diperjanjikan, maka telah dianggap melakukan wanprestasi, dimana ia telah alpa atau lalai atau ingkar janji, atau juga telah melanggar isi perjanjian, bila mana ia telah melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya.

Dalam hal ini terhadap pihak yang telah telah melakukan kelalaian atau kealpaan (debitur sebagai mana pihak yang wajib melakukan sesuatu) akan mendapatkan ancaman atau akibat hukum dari perbuatannya ada empat macam, yaitu :

1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau ganti-rugi 2. Pembatalan perjanjian

3. Peralihan resiko

4. Membayar biaya perkara jika sampai diperkarakan didepan hakim.80 Dalam Pasal 1238 KUH Perdata yang berbunyi :

“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai atau demi perikatannya sendiri, ialah jika

80 Ibid

ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”

Dalam ketentuan pasal menerangkan bahwa wanprestasi dapat diketahui dengan 2 (dua) cara, yaitu:

a. Adanya pemberitahuan atau somasi, apabila perjanjian tidak menentukan waktu tertentu kapan seseorang dinyatakan wanprestasi atau perjanjian tidak menentukan batas waktu tertentu yang dijadikan sebagai patokan wanprestasi yang dilakukan oleh debitur.

b. Sesuai dengan perjanjian, jika dalam perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak telah ditentukan jangka waktu pemenuhan perjanjian dan debitur tidak memenuhi isi perjanjian tersebut pada waktu yang telah ditentukan, maka dia telah melakukan wanprestasi.81

Apabila seorang debitur sudah diperingatkan oleh kreditur dengan tegas menagih janjinya, sebagaimana yang telah disepakati oleh para pihak, ia berada dalam kelalaian atau kealpaan maka dapat diberlakukan sanksi-sanksi atau akibat dari perbuatannya sebagaimana yang telah disebutkan diatas:

1. Ganti Rugi

Yang dimaksud dengan ganti kerugian adalah ganti kerugian yang ditimbulkan karena debitur melakukan wanprestasi karena telah lalai, ganti kerugian itu haruslah dihitung berdasarkan nilai uang buka berupa barang.

Ganti-rugi merupakan kewajiban bagi pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan penggantian atas kerugian yang telah ditimbulkannya, yang dimana

81 Abdul Kadir, Op.Cit., hal. 8

49

untuk memulihkan kerugian yang prestasinya tidak lagi dimungkinkan atau sudah tidak diharapkaan lagi oleh pihak kreditur.82

Adapun unsur ganti kerugian yang diatur dalam Pasal 1246 KUH Perdata ganti kerugian terdiri dari 3 (tiga), yaitu:

a) Biaya yang telah dikeluarkan (cost), ialah biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan sehubungan dengan perjanjian atau kontrak yang telah dibuat, misalnya adalah biaya notaris.

b) Kerugian karena kerusakan, kehilangan atas barang kepunyaan kreditur akibat dari kelalaian debitur yang dimana mengakibatkan berkurangnya nilai kekayaan dari pihak yang dirugikan karena adanya wanprestasi.

c) Bunga atau keuntungan yang diharapkan, akibat dari debitur yang telah lalai kreditur kehilangan keuntungan yang mana seharusnya didapatkan.83 Ketiga unsur ini tidaklah harus ada dalam ganti kerugian, minimal ganti kerugian itu ialah kerugian sesungguhnya yang telah diderita oleh kreditur.84 Walaupun debitur telah melakukan wanprestasi dan diharuskan membayar ganti kerugian, namun undang-undang masi memberikan pembatasan-pembatasan dalam hal gati kerugian yang seharusnya dibayar oleh debitur.

Adapun dalam Pasal 1247 KUH Perdata mengenai pembatasan ganti kerugian yang dapat dituntut dari debitur, adalah kerugian yang nyata telah diperhitungkan pada saat perjanian tersebut telah dibuat oleh para pihak.85 Pada Pasal 1248 KUH Perdata dan Pasal 1248 KUH Perdata menyebutkan bahwa “Bahkan jika hal dipenuhinya itu disebabkan tipu daya si berutang, penggantian biaya, rugi dan

82 Agus Yudha Hernoko, Op.Cit., hal. 10

83 Abdul kadir., Op.Cit, hal. 40

84 Ahmad Miru dan Sakka Pati,Op.Cit., hal. 16

85 Yahya Harahap, Op.Cit., hal. 56

bunga sekedar mengenai kerugian yang dideritanya oleh si berutang dan keuntungan yang terhilang baginya hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perikatan” dan “ Debitur hanya diwajibkan mengganti biaya, kerugian dan bunga yang menyebabkan kreditur menderita kerugian dan kehilangan keuntungan, hanya mencakup hal-hal yang menjadi akibat langsung dari tidak dilaksanakannya perikatan itu”.

Apabila ia terlambat memenuhinya, maka disamping itu kreditur berhak untuk memuat ganti rugi akibat keterlambatan melaksanakan prestasinya, dalam hal ini disebabkan kreditur akan mendapatkan keuntungan apabila debitur melaksanakan prestasinya tepat pada waktunya. Dalam Pasal 1267 KUH Perdata, dalam menjelaskan bahwa kreditur memilih agar tidak dirugikan, dimana dapat menuntut debitur untuk dilaksanakan perjanjian jika masih dimungkinkan dan pembatalan perjanjian dengan disertai ganti rugi

2. Pembatalan Perjanjian

Pasal 1266 KUH Perdata mengatur tentang pembatalan perjanjian dimana Para pihak dapat membebaskan diri dari kewajiban memberikan kontrak prestasi dengan menggunakan hakim, pasal ini yang menyebutkan bahwa:

“Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya”

Dalam hal ini perjanjian dapat dibatalkan dimana yang bertujuan untuk membawa kedua belah pihak kembali kepada keadaan sebelum diadakannya perjanjian.

51

3. Peralihan resiko

Sebagaimana yang diatur didalam Pasal 1237 ayat (2) KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa “Pada suatu perikatan untuk memberikan barang tertentu, barang itu menjadi tanggungan kreditur sejak perikatan itu lahir, jika debitur lalai untuk menyerahkan barang yang bersangkutan, maka barang itu semenjak perikatan dilakukan menjadi tanggungannya.86 Dimana ketentuan ini hanya berlaku kepada perikatan yang memberikan sesuatu, berdasarkan pasal ini bahwa kelalaian debitur dalam menyerahkan kebendaan mengalihkan resiko menjadi atas tanggungannya. Bahwa kreditur dapat memilih tuntutan-tuntutan atas wanprestasi yang akan dilakukan oleh debitur, sebagai berikut:

a) Pemenuhan Perjanjian;

b) Pemenuhan perjanjian disertai dengan ganti rugi;

c) Ganti rugi saja;

d) Pembatalan perjanjian

e) Pembatalan perjanjian disertai dengan ganti rugi.87 4. Pembayaran biaya perkara

Debitur yang telah lalai dalam perjanjian akan mendapat sanksi pembayaran biaya perkara jika sampai terjadi perkara idhadapan hakim, sebagaimana dalam peraturan Hukum Acara bahwa pihak yang kalah diwajibkan membayar biaya perkara pada Pasal 181 ayat (1) HIR.88

86 R. Subekti, Op.Cit., hal. 49

87 Ibid.

88 Ibid, hal. 51

BAB IV