• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

PERTIMBANGAN HUKUM OLEH HAKIM DALAM PUTUSAN NO

C. Analisis Putusan

Perlu diketahui bahwa seseorang dapat dikatakan telah melakukan perbuatan wanprestasi, apabila perjanjian yang dibuat telah berdasarkan aturan-aturan yang telah menjadi syarat sahnya suatu perjanjian, jika perjanjian yang dibuat tidak sah, maka sesorang yang diduga telah melakukan wanprestasi tidak dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi. Namun wanprestasi yang terjadi dalam perjanjian lisan haruslah dilakukan pembuktian terlebih dahulu dikarenakan perjanjian lisan tidak menggunakan akta tertulis dimana pihak yang dituduh telah melakukan wanprestasi dapat menyangkal atau tidak mengakui perjanjian yang telah dibuat oleh keduannya.

Dapat dilihat dari kasus ini bahwa Penggugat telah menyatakan Tergugat melakukan perbuatan wanprestasi, dimana Tergugat telah mengontrak rumah milik Penggugat yang telah dibuat dalam surat perjanjian sewa menyewa, namun terdapat kesepakatan lain yang dibuat oleh para pihak, dimana Tergugat diperbolehkan mengontrak rumah Penggugat hanya untuk tempat usaha penitipan sepeda dan tidak diperbolehkan untuk usaha lain dan selain hal tersebut juga apabila sewaktu-waktu Penggugat menginginkan rumah tersebut sebelum masa kontrak habis maka Tergugat harus menyerahkan rumah tersebut kepada Penggugat dengan syarat sisa uang kontrak yang belum dijalani akan

75

dikembalikan dan diperhitungkan. Dalam hal ini bahwa terdapat perjanjian tertulis dan perjanjian lisan yang dibuat oleh para pihak.

Namun perjanjian yang dilakukan secara lisan yang dibuat oleh para pihak disangkal oleh Tergugat, dimana berdasarkan jawaban Tergugat ia menolak bahwa telah adanya kesepakatan yang dilakukan secara lisan oleh Penggugat.

Dirumuskan secara normatif bahwa Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan bahwa syarat sahnya suatu perjanjian harus memenuhi syarat subjektif dimana adanya kesepakatan antara kedua belah pihak, dan kecakapan untuk membuat, dan syarat objektif yaitu, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Jika syarat subjektif tidak dipenuhi dalam membuat perjanjian maka berakibat perjanjian tersebut akan dibatalkan, dan jika syarat objektif tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut akan batal demi hukum.90

Dimana dalam ketentuan pasal ini termasuk juga didalamnya tentang perjanjian sewa menyewa, dikarenakan dalam KUH Perdata tidak menyebutkan secara khusus mengenai perjanjian sewa menyewa yang dibuat secara lisan, dan dapat dilihat bahwa dalam ketentuan pasal ini tidak mengatur mengenai suatu bentuk perjanjian, sehingga perjanjian yang dibuat secara tertulis maupun lisan tetaplah sah, selama telah memenuhi syarat sah suatu perjanjian, perjanjian lisan juga sah selama tidak ada undang-undang yang menetukan bahwa perjanjian yang akan dibuat harus berbentuk tertulis, maka untuk itu perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1338 KUH Perdata. Bedasarkan uraian

90 Yahya Harahap., Op.Cit

tersebut bahwa perjanjian lisan juga memiliki kekuatan hukum dan mengikat para pihak yang membuatnya apabila terjadi wanprestasi.

Untuk mengetahui apabah benar bahwa adanya kesepakatan yang dibuat secara lisan dalam perjanjian tersebut, dimana Hakim haruslah memepertimbangkan, mendengarkan keterangan-keterangan saksi yang hadir dalam persidangan tersebut, jika tidak ada saksi yang hadir maka hakim akan mempertimbangkan bukti yang lain yang dapat memperkuat dalil dari para pihak.

Majelis hakim berpendapat bahwa yang menjadi dasar dari gugatan wanprestasi dalam perjanjian lisan yang dibuat oleh para pihak adalah didasarkan pada bukti P-1 s/d P-4 dan bukti T-1 s/d T-2, bahwa terdapat fakta-fakta yang bekesesuaian, dan berkenaan dengan perkara ini tentang adanya perjanjian lisan yang dibuat oleh para pihak. Dan dengan diperkuat adanya saksi dari pihak penggugat yang memberikan keterangan dari orang lain (testimonium de auditu), dan telah dilakukan pemeriksaan setempat yang dilakukan oleh hakim.

Perjanjian lisan memang sangat rentan untuk terjadinya wanprestasi, maka untuk itu jika seseorang ingin mendadililkan bahwa telah adanya perjanjian lisan yang telah dibuat maka harus diperkuat dengan alat bukti, mengenai alat bukti telah diatur dalam Pasal 1866 KUH Perdata dan Pasal 164 HIR, alat-alat bukti terdiri dari :91

f. Bukti tulisan g. Bukti dengan saksi h. Persangkaan i. Pengakuan, dan

91 M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal.556

77

j. Sumpah

Pasal 169 HIR menyatakan bahwa “Keterangan dari seorang saksi saja, dengan tidak ada suatu alat bukti yang lain dalam hukum tidak dapat dipercaya”.

Dilihat dari putusan pengadilan ini bahwa pihak penggugat juga memberikan saksi yang memberikan keterangan dari orang lain (testimonium de auditu). Pasal 173 HIR menyatakan bahwa Hakim diberikan wewenang untuk mempertimbangkan apakah sesuatu dapat diwujudkan sebagai alat bukti persangkaan, saksi testimonium de auditu menurut hakim dapat diakui secara eksepsional, namun dikontruksikan sebagai alat bukti persangkaan (Putusan Mahkamah Agung Nomor. 308 K/Pdt/1959 jo Putusan Mahkamah Agung 818 K/SIP/1983).

Perbuatan wanprestasi yang dilakukan tergugat dalam perjanjian lisan sudah sangat jelas dilihat dari pernyataan Penggugat dimana Tergugat telah mengubah fungsi rumah sewa tersebut tidak sebagaimana mestinya, tergugat menambah fungsi rumah sewa selain untuk penitipan sepeda bertambah menjadi toko sembako. dan terhadap ketentuan yang dimana ketika penggugat hendak meminta tergugat untuk mengosongkan objek sewa tersebut, tergugat menolak, dimana tergugat mengajukan syarat jika ingin dilakukan melakukan pemutusan perjanjian penggugat diharuskan untuk membayar ganti rugi kepada tergugat sebesar Rp.

300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) dikali 5 (tahun) sisa kontrak yang belum dijalankan tergugat, sehingga jika ditotalkan menjadi Rp. 540.000.000,- (lima ratus empat puluh juta rupiah).

Dapat dilihat mengenai objek sewa yang sudah berubah fungsinya, berdasarkan pada Pasal 1561 KUH Perdata menjelaskan bahwa :

“Jika si penyewa memakai barang yang disewa untuk suatu keperluan lain dari yang menjadi tujuannya, atau untuk suatu keperluan sedemikian rupa hingga dapat menerbitkan suatu kerugian kepada pihak yang menyewakan, maka pihak ini menurut keadaan dapat meminta pembatalan perjanjian”.

Dan mengenai pemenuhan syarat yang telah disepakati dimana tergugat harus bersedia untuk mengosongkan rumah sewa tersebut apabila penggugat membutuhkan objek sewa menyewa tersebut dalam Pasal 1578 KUH Perdata menyebutkan bahwa :

“seseorang yang hendak menggunakan kekuasaan yang diperjanjikan dalam perjanjian sewa, memaksa si penyewa mengosongkan barang yang disewa, diwajibkan untuk memperingati si penyewa sekian lama sebelumnya”.

Pasal 1579 KUH Perdata juga menyebutkan bahwa :

“Pihak yang menyewakan tidak dapat menghentikan sewa dengan menyatakan hendak memakai sendiri barang yang disewakan, kecuali jika telah diperjanjikan sebaliknya”.

Dilihat dari ketentuan pasal diatas dapat ditarik kesimpulan yang berkenaan dengan kasus ini, bahwa dimana tergugat telah melakukan melakukan perbuatan yang lain dari tujuan yang telah diperjanjikan sebelumnya dimana objek hanya untuk penitipan sepeda, bertambah menjadi toko sembako dan berdasarkan penggugat menyatakan bahwa ia telah berulang kali untuk bermusyawarah secara kekeluargaan dimana penggugat ingin menggunakan objek sewa tersebut, dimana hal ini sebelumnya sudah menjadi kesepakatan kedua pihak dalam perjanjian lisan yang teah disepakati, namun tidak adanya iktikad baik dari Tergugat dimana ia

79

menyangkal atau menolak bahwa telah adanya kesepakatan yg dibuat secara lisan, sehingga penggugat membawa perkara ini ke pengadilan.

Hal ini yang membuat penggugat meminta kepada hakim untuk membatalkan perjanjian sewa menyewa tersebut akibat dari adanya perbuatan wanprestasi dari perjanjian lisan.

Dalam kasus ini dimana penggugat dan tergugat telah melakukan perjanjian secara tertulis dan lisan serta dalam perjanjian ini sudah terpenuhinya syarat sah dari suatau perjanjian sebagaimana dalam Pasal 1320 KUH Perdata, namun yang menjadi alasan pembatalan perjanjian dalam kasus ini merujuk pada Pasal 1266 KUH Perdata.

Dalam Pasal 1266 KUH Perdata mengatur tentang syarat yang harus dipenuhi untuk terjadinya pembatalan perjanjian, yaitu :

a. Perjanjian harus bertimbal balik;

b. Harus ada wanprestasi

c. Harus dengan keputusan hakim92

Dapat dilihat bahwa permintaan pembatalan perjanjian yang diajukan oleh penggugat telah memenuhi dua syarat dari pembatalan perjanjian tersebut, dimana perjanjian yang dibuat penggugat dan tergugat telah memiliki sifat saling menguntungkan bagi keduanya, dimana Tergugat dapat menikmati objek sewa yang sesuai dengan tujuannya dari yang diperjanjian dan Penggugat mendapatkan haknya yaitu menerima uang sewa dari Tergugat, sehingga perjanjian yang dibuat telah bersifat timbal balik, dan dimana telah adanya perbuatan wanprestasi yang

92 Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, hal.301

dilakukan oleh tergugat dalam perjanjian lisan tersebut, hal ini sudah memenuhi dua syarat untuk pembatalan perjanjian.

Majelis Hakim yang menangani perkara ini mengabulkan pembatalan perjanjian sewa menyewa ini, yang mengakibatkan bahwa tergugat harus mengosongkan objek sewa menyewa, dan kepada Penggugat diwajibkan untuk mengembalikan sisa uang sewa rumah yang belum dijalankan oleh tergugat sebesar Rp. 40.000.000,- (empat puluh juta rupiah).

Namun dalam kasus ini penggugat juga meminta ganti kerugian terhadap Tergugat sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), dikarenakan tergugat yang tidak menyerahkan objek sengketa dalam perjanjian tersebut. Namun Majelis Hakim yang menangani perkara ini tidak mengabulkan permohonan Penggugat tersebut. Pasal 1246 KUH Perdata, menyebutkan unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam ganti kerugian terdiri dari 3 (tiga), yaitu:

a. Biaya yang telah dikeluarkan (cost), b. Kerugian karena kerusakan

c. Bunga atau keuntungan yang diharapkan93

Tuntutan ganti kerugian yang diminta oleh Penggugat tidaklah memenuhi unsur yang terdapat dalam Pasal 1246 KUH Perdata tersebut, dan dapat dilihat dari kasus ini bahwa Penggugat tidaklah mengalami kerugian, dimana tergugat juga masih memiliki hak untuk menempati rumah sewa tersebut, sehingga Majelis Hakim berdasarkan pertimbangannya menilai bahwa tindakan Penggugat adalah berlebihan.

93 Abdul kadir., Op.Cit, hal. 40

81

Berdasarkan uraian-uraian diatas dapatlah disimpulkan bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan wanprestasi dalam perjanjian lisan, dimana hakim yang menangani perkara ini telah menerapkan kepastian hukum sebagaiamana yang telah diatur dengan mendengarkan kedua belah pihak yang sesuai dengan fakta hukum, disini hakim bersifat netral, tidak memihak pada salah satu pihak tetapi hanya menjalankan sebagaimana yang terdapat dalam perundang-undangan.

Putusan pengadilan sejatinya lahir dari proses yang penuh kecermatan dan kehati-hatian. Dimana hakim dalam memutus suatu perkara senantiasa dituntut untuk mendayagunakan segenap potensi yang dimilikinya untuk menemukan fakta-fakta hukum, menemukan dan mengklarifikasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok perkara, serta menetapkan hukum dari perkara tersebut.94

94 M. Natsir Asnawi, Hermeneutika Putusan Hakim, UII Press Yogyakarta , Yogyakarta, 2014, hal. 5

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Didalam perjanjian terkandung suatu janji yang mengungkapkan kehendak yang dinyatakan dan dianggap sebagai elemen konstituf dari kekuatan hukum mengikat suatu perjanjian. Dalam pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian tidak mengatur tentang bentuk perjanjian yang dibuat, sehingga dalam membuat perjanjian adanya kebebasan menentukan bentuk perjanjian, baik perjanjian tertulis atau perjanjian lisan. Dimana dalam pasal tersebut menentukan ada 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi, yaitu :

a. Sepakat untuk mereka yang mengikatkan dirinya;

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

c. Suatu hal tertentu;

d. Suatu sebab yang halal.

Adapun untuk perjanjian tertentu, terdapat undang-undang yang telah menentukan pembuatan perjanjiannya dalam bentuk tertulis dalam akta autentik.

2. Akibat hukum dari perbuatan ingkar janji (wanprestasi) terhadap pihak yang telah telah melakukan kelalaian atau kealpaan (debitur sebagai mana pihak yang wajib melakukan sesuatu) didalam perjanjian lisan jika dapat dibuktikan oleh para pihak, maka pihak yang telahmelakukan wanprestasi akan mendapatkan ancaman atau akibat hukum dari perbuatannya, yaitu membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau ganti-rugi, pembatalan perjanjian,

83

3. peralihan resiko dan membayar biaya perkara jika sampai diperkarakan didepan hakim.

4. Penerapan putusan Hakim dalam Putusan No. 03/Pdt.G/2012/PN.Pwr adalah berdasrkan fakta yang ada di dalam persidangan dan pertimbangan-pertimbangan hukum, yang mana Hakim menyatakan bahwa adanya perjanjian lisan yang dibuat oleh penggugat dengan tergugat. Kemudian Hakim memberikan putusan bahwa tergugat dinyatakan telah melakukan wanprestasi karena tergugat tidak memenuhi kewajiban seperti yang diperjanjikan.

B. Saran

1. Perjanjian lisan memang sudah tidak asing lagi di kehidupan masyarakat, jika para pihak membuat perjanjian yang dibuat secara lisan, maka hendaknya diikuti dengan adanya saksi dalam proses pembuatan perjanjian tersebut, sehingga jika sewaktu-waktu salah satu pihak melakuakan perbutan ingkar janji (wanprestasi) adanya alat bukti untuk memperkuat dalilnya, karena perjanjian lisan sangatlah mudah untuk disangkal atau diingkari kebenarannya.

2. Hendaknya para pihak memenuhi hak dan kewajiban masing-masing sebagiamana yang diperjanjikan sampai berkahirnya perjanjian tersebut sehingga tidak ada pihak yang dirugikan dan tidak timbul sengketa antara para pihak dalam perjanjian.

3. Dalam membuat suatu perjanjian, hendaknya membuat perjanjian secara tertulis, sehingga dapat menentukan isi perjanjian secara jelas, dimana dalam perjanjian tertulis akan memudahkan proses penyelesaian jika terjadi perbuatan wanprestasi dalam perjanjian tersebut.