• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN LISAN APABILA TERJADI WANPRESTASI (STUDI PUTUSAN. NOMOR 03/Pdt.G/2012/PN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN LISAN APABILA TERJADI WANPRESTASI (STUDI PUTUSAN. NOMOR 03/Pdt.G/2012/PN."

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

NOMOR 03/Pdt.G/2012/PN.Pwr)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

Ratih Shania NIM: 160200141

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)
(3)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Ratih Shania NIM : 160200141 Departemen : Hukum Perdata

Judul Skripsi : Tinjauan Yuridis terhadap kekuatan hukum perjanjian lisan apabila terjadi wanprestasi (Studi Putusan Nomor.

03/Pdt.G/2012/PN. Pwr) Dengan ini menyatakan :

1. Skripsi yang saya tulis ini tersebut di atas adalah benar tidak merupakan ciplakan dari skripi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti dikemudian hari skripsi yang sama persis dengan milik saya maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun.

Medan, Januari 2020

Ratih Shania NIM : 160200141

(4)

ABSTRAK Ratih Shania*

Tan Kamello**

Syamsul Rizal***

Mengingat perjanjian lisan memang kerap kali terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, namun tanpa disadari bagaimana jika perjanjian lisan tersebut mengakibatkan kerugian yang besar bagi pihak yang membuatnya. Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah bagaiamana kesesuaian perjanjian lisan menurut KUH Perdata, bagaimana akibat hukum terhadap pihak yang melakukan wanprestasi dalam perjanjian lisan tersebut, dan bagaimana pertimbangan hukum oleh hakim dalam Putusan Nomor 03/Pdt.G/2012/PN. Pwr yang menentukan bahwa perjanjian lisan memiliki kekuatan hukum apabila terjadi wanprestasi.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis normatif menggunakan bahan kepustakaan penelitian. Tahapan penelitian menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier untuk melengkapi data sekunder yang diperoleh melalui kepustakaan.

Hasil penelitian menjelaskan bahwa tergugat telah melakukan wanprestasi, dimana tidak dipenuhinya hak penggugat oleh tergugat dalam perjanjian lisan tersebut dikarenakan bahwa tergugat tidak mengakui atau mengkingkari bahwa telah adanya perjanjian lisan yang dibuat oleh para pihak. Namun, berdasarkan pertimbangan dan fakta yang ada Hakim menyatakan bahwa tergugat adanya perjanjian lisan yang dilakukan oleh para pihak selain dari perjanjian tertulis. Kemudian Hakim memberikan putusan bahwa tergugat dinyatakan telah melakukan wanprestasi karena tergugat tidak melaksanakan kewajiban sebagiaman mestinya dan dihukum untuk mengosongkan rumah sewa tersebut dan kepada penggugat Hakim juga memberikan putusan dimana penggugat harus mengembalikan sisa uang sewa yang belum dijalankan oleh tergugat sebesar Rp.

40.000.000,- (empat puluh juta rupiah). Perjanjian memiliki kekuatan hukum untuk menyatakan seseorang telah melakukan wanprestasi, selama perjanjian lisan tersebur terbutkti, dan telah sesuai dengan syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata

Kata Kunci : Perjanjian Lisan, Wanprestasi, Kekuatan Hukum

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

*** Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(5)

Puji dan syukur penulis kepada Allah Subhanahu Wa Ta‟ala, karena atas segala kenikmatan limpahan rahmad dan karunianya, sehingga penulis dapat meneylesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam juga senantiasa penulis sampaikan kepada Rasulullah Muhammad Shallallahu „Alaihi Wassalam yang telah membimbing umat manusia menuju jalan keselamatan dan keberkahan. Skripsi dengan judul ‘’TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN LISAN APABILA TERJADI WANPRESTASI (STUDI PUTUSAN NOMOR 03/Pdt.G/2012/PN.Pwr)” disusun untuk memenuhi tugas dan memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis juga mendapat banyak dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sebagai penghargaan dan ucapan terima kasih terhadap semua dukungan dan bantuan yang telah diberikan, penulis menyampaikan terimakasih kepada :

1. Prof Dr. Runtung Sitepu S.H.,M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M. Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. OK Saidin, S.H.,M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Puspa Melati, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(6)

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Rosinidar Sembiring, S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Prof. Tan Kamello, S.H., M.S., selaku Dosen Pembimbing I. Terimakasih atas bimbingan, saran, nasihat, dan ilmunya yang bapak berikan selama disetiap bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga skripsi ini selesai.

8. Bapak Syamsul Rizal, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II.

Terimakasih atas banyak saran, arahan, dan masukan yang membangun dalam setiap bimbingan, serta waktu yang bapak berikan sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini;

9. Ibu Dr. Megarita, S.H, CN., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing Akademik Penulis selama masa perkuliahan.

10. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mengajar dan memberikan ilmu yang terbaik, serta membimbing penulis selama menjalani studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

11. Seluruh staf pegawai dan tata usaha Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membantu dalam urusan administrasi;

12. Ayahanda tercinta Rahmad Guntur Ali Syahputra dan Ibunda saya tercinta Siti Aini yang tak henti-henti memberikan dukungan dan kasih sayangnya serta doa kepada penulis.

13. Terima kasih kepada Abang Tersayang Muhammad Ali Sufi, dan Adik Tersayang Dian Arfina dan Ali Ahmad yang telah memberikan semangat kepada penulis.

(7)

Muharayani, Aztrihayu Kharisma Fiqih, Nizamul Hayati yang selalu memberikan semangat kepada penulis.

15. Terimakasih Kepada Teman-teman Grup E Stambuk 2016 yang telah memberikan semangat kepada penulis.

16. Terimakasih Kepada Teman-teman Departemen Hukum Perdata Stambuk 2016 yang telah memberikan semangat kepada penulis.

Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dan penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan menjadi bahan masukan dalam pendidikan.

Medan , Januari 2010

Ratih Shania 160200141

(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ………...…. i

KATA PENGANTAR ………. ii

DAFTAR ISI ……… v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………..………. 1

B. Permasalahan ………...……… 8

C. Tujuan Penulisan ……….…... 9

D. Manfaat Penulisan ………... 9

E. Metode Penelitian ………... 10

F. Keaslian Penulisan ……….…………. 12

G. Sistematika Penulisan ………...……... 13

BAB II KESESUAIAN PERJANJIAN LISAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian ………... 15

B. Jenis-jenis Perjanjian ………...….. 19

C. Asas-asas Hukum Perjanjian ………...…... 25

D. Hak dan Kewajiban Para Pihak didalam Perjanjian ……… 29

E. Kesesuaian Perjanjian Lisan Menurut KUH Perdata ………….. 33

BAB III AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN LISAN A. Pengertian Wanprestasi ………...……….. 41

B. Penyebab Terjadinya Wanprestasi didalam Perjanjian ……… 44

(9)

BAB IV PERTIMBANGAN HUKUM OLEH HAKIM DALAM PUTUSAN No. 03/Pdt.G/2012/Pwr YANG MENENTUKAN PERJANJIAN LISAN MEMILIKI KEKUATAN HUKUM APABILA TERJADI WANPRESTASI

A. Kasus Posisi ………..……….. 54 B. Pertimbangan Hakim ………...….….. 61 C. Analisis Kasus……….………...……. 77 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ………... 85 B. Saran ………... 86

DAFTAR PUSTAKA ………... 88

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perjanjian merupakan hal yang sering terjadi dalam kehidupan bermasyarakat bahkan sudah menjadi kebiasaan. Dalam kehidupan bermayarakat manusia selalu membutuhkan manusia lain untuk memenuhi kehidupan hidupnya. Zoon Politicon merupakan istilah yang disebutkan Aristoteles bahwa manusia adalah makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk sosial, tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya.1 Hal inilah yang menjadi dasar utama untuk terjadinya suatu perjanjian yang kerap terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lainnya atau dimana dua orang itu berjanji untuk melaksanakan suatu hal.2 Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya saling terikat.

Dalam bentuknya perjanjian itu berupa rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.3 Adapun bentuk perjanjian yang dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu perjanjian tertulis dan perjanian lisan. Perjanjian tertulis adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan, sedangkan perjanjian lisan merupakan suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam wujud lisan atau cukup dengan kesepakatan para

1 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta:Rineka Cipta,2007),hal.209

2 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Internusa, (Jakarta, 2005)

3 Ibid.

(11)

pihak.4. Perjanjian boleh dilakukan dengan siapa saja, antara orang satu dengan orang lainnya, maupun dilakukan dengan orang perseorangan dengan badan hukum, dimana hal ini disebabkan karena perjanjian menganut asas kebebasan berkontrak.

Perjanjian secara lisan sudah banyak terjadi didalam kehidupan bermasyarakat, namun sering tidak disadari oleh masyarakat, misalnya dalam kegiatan berbelanja di toko, di pasar-pasar, hutang-piutang, pinjam-meminjam, sewa menyewa dan lain-lain. Untuk perjanjian tertentu undang-undang menentukan bentuk tersendiri sehingga bila bentuk ini diingkari maka perjanjian tersebut tidak sah.5 Dalam perjanjian terdapat unsur-unsur yang harus ada di dalam perjanjian tersebut, yaitu :

1. Pihak-pihak yang melakukan perjanjian, pihak-pihak yang dimaksud adalah subjek perjanjian;

2. Konsensus antara para pihak;

3. Objek perjanjian;

4. Tujuan dilakukannya perjanjian yang bersifat kebendaan atau harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang; dan

5. Bentuk perjanjian yang dapat berupa lisan ataupun tertulis.6

Di dalam perjanjian lisan sah dan mengikatnya suatu perjanjian secara hukum yang dibuat menimbulkan adanya kekuatan hukum untuk mengikat para pihak yangmelalukan perjanjian lisan tersebut, perjanjian yang merupakan janji dari dua pihak atau lebih yang melakukan suatu perjanjian untuk melakukan prestasi,

4 Salim H.S., Hukum Kontrak “Teori & Penyusunan Kontrak”, Jakarta, Sinar Grafika 2014, hal. 27

5 I Ketut Oka Setiawan, Hukum Perikatan, Jakarta Timur, Sinar Grafika, 2016, hal. 63

6 Rudy Haposan Siahaan, Hukum Perikatan Indonesia “Teori dan Perkembangannya”, Malang, Inteligensia Media, 2017, hal. 39

(12)

3

prestasi dalam perjanjian adalah pelaksanaan terhadap hal-hal yang telah diperjanjijan dalam suatu perjanjian oleh kedua belah pihak yang mana telah mengikatkan dirinya, sehingga jika terjadi wanprestasi dalam perjanjian lisan tersebut dapat dijadikan dasar untuk menyatakan seseorang melakukan wanprestasi.

Wanprestasi atau dikenal dengan istilah ingkar janji, yaitu kewajiban yang tidak dipenuhi atau kelalaian yang dilakukan oleh debitur baik karena tidak melaksanakan apa yang telah diperjanjikan maupun melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.7 Menurut Setiawan, dalam praktek sering dijumpai wanprestasi dalam hukum perdata, ada tiga bentuk, yaitu :

1) Tidak memenuhi prestasi sama sekali;

2) Terlambat memenuhi prestasi;

3) Memenuhi prestasi secara tidak baik.8

Kekuatan mengikat dari perjanjian lisan dapat muncul dari asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, dalam Pasal tersebut dinyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan berkontrak kepada para pihak untuk :

a) Membuat atau tidak membuat perjanjian;

b) Mengadakan perjan jian dengan siapapun;

c) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratan, dan

7 Yahman, Karateristik Wanprestasi & Tindak Pidana Penipuan “Yang Lahir dari Hubungan Kontraktual”, Jakarta, Kencana 2014, hal. 1

8 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung, Putra Abardin, 1999, hal. 18

(13)

d) Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.9

Kebebasan berkontrak yang memunculkan kekuatan mengikat tersebut tentunya memiliki batasan. Niewenhuis menyatakan bahwa kekuatan mengikat dari perjanjian yang muncul dari asas kebebasan berkontrak yang memberikan kebebasan dan kemandiriaan kepada pihak, pada situasi tertentu daya berlakunya dibatasi oleh dua hal, yaitu :

(1) Adanya daya mengikat perjanjian itu dibatasi oleh itikad baik sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, bahwa perjanjian itu harus dilaksanakan dengan itikad baik.10 Itikad baik merupakan asas bahwa para pihak yaitu kreditur dan debitur harus melaksanakan subtansi kontrak berdasarkan kepercayan atau keyakinan yang teguh atau kemauan dari para pihak.11

(2) Adanya overmacht atau force majeure (daya paksa) juga membatasi mengikatnya perjanjian terhadap para pihak yang mebuat perjanjian tersebut. Pada prinsipnya perjanjian itu harus dipenuhi para pihak, apabila tidak dipenuhi maka telah timbul wanprestasi dan bagi kreditur melekat hak untuk mengajukan gugatan baik pemenuhan, ganti rugi maupun pembubaran perjanjian.

Seringnya perjanjian yang dilakukan oleh masyarakat di dalam kehidupan bermasyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik perjanjian tertulis maupun perjanjian yang dilakukan dengan lisan, namun tanpa disadari yang menjadi permasalahan adalah bagaimana jika perjanjian lisan yang dibuat dapat

9 Salim H.S., Op.Cit., hal 9

10 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian “Asas Proposionalitas dalam Kontrak Komersial, Jakarta, Kencana,2010, hal.129

11 Salim H.S., Op.Cit.,hal 11

(14)

5

menimbulkan kerugian besar bagi pihak apabila terjadi wanprestai. Terlebih lagi, ketika diperkarakan di Pengadilan pihak yang diduga melakukan wanprestasi melakukan pembelaan dengan cara tidak mengakui atau menyangkal telah membuat perjanjian lisan tersebut, maka untuk itu perjanjian lisan hendaknya dilakukan dengan adanya saksi-saksi yang hadir dalam membuat kesepakatan perjanjian. Hal ini disebabkan apabila terjadi pelanggaran perjanjian (wanprestasi) di dalam menjalankan perjanjian, maka ada saksi-saksi yang dapat menyatakan kebenaran dari kesepakatan perjanjian yang dibuat oleh para pihak.

Wanprestasi atau tidak dipenuhinya janji dapat dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja, pihak yang tidak sengaja melakukan wanprestasi dapat terjadi karena memang tidak mampu untuk memenuhi prestasi tersebut atau juga karena terpaksa untuk tidak melakukan prestasi tersebut.12 Adapun akibat perbuatan wanprestasi dari pihak yang melakukan wanprestasi dapat menanggung tuntutan pihak lawan yang dapat berupa :

(a) Pembatalan kontrak

(b) Pembatalan kontrak disertai tuntutan ganti rugi (c) Pemenuhan kontrak

(d) disertai atau tidak disertai tuntutan ganti rugi13

Pasal 1243 KUH Perdata menyatakan bahwa penggatian biaya, kerugian dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau

12 Ahmad Miru, Hukum Kontrak Dan Perancamgan Kontrak, Rajawali Pers, Jakarta,2016, hal. 74

13 Ibid. hal.75

(15)

dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang ditentukan.14 Wanprestasi yang terjadi akibat salah satu pihak di dalam perjanjian melakukan prestasi yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikan sangat rentan terjadi di dalam perjanjian yang dilakukan secara lisan, hal ini disebabkan karena tidak adanya bukti yang kuat untuk membuktikan perjanjian tersebut benar atau tidak, serta perjanjian yang dilakukan secara lisan hanya bergantung pada keterangan saksi-saksi yang hadir disaat terjadinya kesepakatan anatara para pihak, sehingga membuat salah satu pihak dengan mudah melakukan wanprestasi.

Salah satu kasus wanprestasi yang terjadi di dalam perjanjian, yaitu dapat dilihat dalam perjanjian yang dibuat secara lisan akibat salah satu pihak melakukan prestasi yang tidak semestinya dapat dilihat dari putusan pengadilan Nomor: 03/Pdt.G/2012/PN.Pwr yang dimana batalnya perjanjian sewa-menyewa akibat dari perbuatan wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak, yang mana objek perjanjian sewa menyewa sebuah bangunan permanen berupa rumah dengan sertifikat hak milik no: 842, dengan luas kurang lebih 70m2 yang terletak di jalan Tanjunganom No.46 Kecamatan Kutoarjo, Kabuaten Purworejo, yang dilakukan dibawah tangan dimana salah satu pihak yaitu si Tergugat yang bernama Arbani dan Penggugat yaitu Robingah. Bahwa para pihak telah melakukan perjanjian sewa menyewa pada tahun 2006 sampai dengan tahun 2007 dengan uang sewa Rp. 4.000.000,- per tahun dan diperpanjang terus oleh tergugat mulai tahun 2008 sampai dengan tahun 2009 dengan uang sewa sebesar Rp.

6.000.000,- dengan kesepakatan secara lisan dan pada tahun 2010 tergugat menambah masa kontrak sampai tahun 2014 dengan uang sewa setiap tahunnya

14 Kitab Undang-undang Hukum Perdata

(16)

7

sebesar Rp. 8.000.000,- dibuat dengan perjanjian surat sewa menyewa tertanggal 1 Januari 2010, dan adanya kesepakatan lain yang dibuat oleh para pihak yang dilakukan secara lisan bahwa rumah tersebut digunakan hanya untuk tempat usaha penitipan sepeda dan tidak boleh dipergunakan untuk usaha lain selain yang diperjanjikan apabila penggugat ingin menggunakan rumah itu maka tergugat harus menyerahkan dengan syarat penggugat akan mengembalikan sisa uang sewa rumah tersebut kepada tergugat.

Namun saat perjanjian tersebut berjalan, Tergugat membuka usaha toko sembako di rumah tersebut tanpa meminta persetujuan dari pihak penggugat selaku pemilik rumah, Penggugat telah berusaha melakukan penyelesaian secara kekeluargaan, namun tergugat tetap tidak memperdulikan sehingga penggugat ingin mengakhiri perjanjian sewa menyewa rumah tersebut tetapi tergugat juga tidak memperdulikannya dengan tidak menunjukan itikad baik menyerahkan rumah sewa tersebut kepada penggugat, tergugat juga meminta denda terhadap penggugat apabila sewa menyewa rumah tersebut diakhiri sebesar Rp. 300.000,- per harinya dikalikan lima tahun.

Dalam hal ini Tergugat telah melakukan wanprestasi terhadap penggugat yang mana bahwa dikatakatan dalam kesepakatan secara lisan bahwa tergugat akan meneyerahkan rumah sewa tersebut apabila penggugat akan menggunakan rumah tersebut, serta tergugat telah melanggar perjanjian yang telah disepakati bahwa rumah sewa tersebut hanya boleh dipergunakan untuk usaha penitipan sepeda dan tidak boleh dipergunakan untuk kegiatan usaha lainnya. Dari kasus di atas Pengadilan Negeri Purworejo mengeluarkan putusan yang memerintahkan tergugat untuk mengosongkan bangunan rumah tersebut, kasus ini sangat

(17)

menarik untuk dibahas karena dapat dilihat bahwa masih banyak masyarakat yang menggunakan perjanjian secara lisan, dan dapat dilihat pula bagaimana penyelesaian dari kasus tersebut, bagaimana pertimbangan hukum oleh hakim dalam menentukan kekuatan hukum perjanjian apabila terjadi wanprestasi. Dan berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis membuat skripsi ini dengan judul

“TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN LISAN APABILA TERJADI WANPRESTASI (STUDI KASUS PUTUSAN NO. 03/Pdt.G/2012/PN.Pwr)”.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas, maka dirumuskan masalah permasalahan sebagai berikut;

1. Bagaimana kesesuaian perjanjian secara lisan berdasarkan Ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata ( KUH Perdata) ?

2. Bagaimana akibat hukum terhadap pihak yang melakukan wanprestasi di dalam perjanjian lisan ?

3. Bagaimana pertimbangan hukum oleh hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Nomor 03/Pdt.g/2012/PN.Pwr yang menentukan perjanjian lisan memliki kekuatan hukum apabila terjadi wanprestasi.

C. Tujuan Penelitian

Mengarah pada judul dan permasalahan dalam penulisan skripsi ini maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini dalah:

a. Untuk mengetahui kesesuaian perjanjian secara lisan menurut KUH Perdata

(18)

9

b. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap pihak yang melakukan wanprestasi di dalam perjanjian lisan

c. Untuk mengetahui pertimbangan hukum oleh hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Nomor 03/Pdt.g/2012/PN.Pwr yang menentukan perjanjian lisan memliki kekuatan hukum apabila terjadi wanprestasi

D. Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan skripsi ini merupakan satu rangkaian yang hendak dicapai, maka dengan demikian penulisan ini diharapkan akan dapat memberikan manfaat kepada pembaca, antara lain:

1. Manfaat Teoritis

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi hukum bagi para akademis di berbagai bidang hukum, selain itu dapat menjadi menambah wawasan khususnya mengenai hukum perdata mengenai perjanjian secara lisan bagi masyarakat umum.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan tambahan referensi bagi pihak yang membutuhkan. Dan dapat memberikan pandangan yang lebih baik kepada individu sebelum melakukan perjanjian yang dalam hal ini terkait tentnag perjanjian lisan sehingga dapat meminimalisirkan hal-hal yang tidak diinginkan para pihak.

(19)

E. Metode Penelitian

Penelitian ini tidak terlepas dari penggunaan metode guna menganalisis masalah yang akan dibahas dalam suatu penelitian, maka penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan di dalam penelitian ini adalah penelitian Hukum Normatif. Penelitian hukum normatif memiliki nama lain yakni penelitian hukum doktrine dan juga disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen. Disebut penlelitian hukum doktrine, karena penelitian ini dilakukan atau diajukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum lainnya. Dikatakan sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.15 Serta mencari bahan dan informasi yang berhubungan dengan materi penelitian berbagai peraturan perundang-undangan, karya tulis ilmiah yang berupa makalah, skripsi, buku-buku, situs internet dan studi kasus pada putusan Nomor 03/Pdt.G/2012/PN.Pwr yang menyajikan informasi yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.16

2. Sumber Data

Sumber yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder.

Data sekunder didapatkan melalui:

15 Suratman dan H. Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Alfabeta, 2014), hal.51

16 Bambang Sunggono, Metodlogi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 43

(20)

11

a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat kepada masyarakat dan yang telah ditetapkan oleh pihak yang berwenang meliputi:

1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata

2) Putusan Pengadilan Negeri Nomor.03/Pdt.G/2012/PN.Pwr

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer, dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer.17 Yang digunakan dalam hal ini berupa buku-buku hukum yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu merupakan bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.18 Bahan tersier yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa kamus, baik kamus bahasa Indonesia mapun kamu hukum dari internet, internet juga menjadi bahan tambahan bagi penulisan skripsi ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan.

3. Teknik pengumpulan data

Dalam melakukan penulisan skripsi ini, penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian kepustakaan (library research) yang merupakan pengumpulan data-data melalui literatur atau dari sumber bacaan buku-buku, peraturan perundang- undangan, karya ilmiah para ahli, artikel-artikel baik surat kabar, majalah, ,media elektronik dan bahan bacaan lain yang terkait dengan penulisan skripssi ini.19

4. Analisis Data

17 Ibid, hal. 67

18 Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI-Press, 2000, hal.53

19 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika ),hal.107

(21)

Metode analisis data yang dilakukan adalah pendekatan kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder, tersier yang relevan dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini, agar sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas guna mendapatkan kesimpulan.

F. Keaslisan Penulisan

Penulsian skripsi dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Kekuatan Hukum Perjanjian Lisan Apabila terjadi Wanprestasi (Studi Putusan No.03/Pdt.G/2012/PN.Pwr)

Penulisan skripisi ini adalah asli, sebab ide, gagasan pemikiran dari usaha sendiri bukan merupakan hasil ciptaan atau hasil penggandaan dari karya tulis orang lain yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu. Penulis juga telah melakukan tahan pemeriksaan oelh Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara/Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tertanggal “05 Agustus 2019”, tidak ditemukan adanya judul skripsi yang sama, dengan demikian penulisan ini dapat dipertanggungjawabkan atas keaslian penulisannya. Jika kemudian hari ditemukan penelitian yang sama percis dan muncul permasalahan hukum, maka penulis bersedia untuk mempertanggungjawabkannya baik secara moral maupun ilmiah.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembaca memahami skripsi ini, maka akan diuraikan secara singkat sistematika penulisan yang akan di bahas di dalam skripsi ini.

Secara sistematis skripsi ini dibagi menjadi lima bab dan tiap-tiap bab terdiri atas beberapa sub bab yang saling berhubungan satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

(22)

13

BAB I : PENDAHULUAN

Bab I ini merupakan gambaran umum yang berisikan tentang latar belakang, sehingga mengangkat judul tersebut, permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, keaslian penulisan, dan diakhiri dengan sistematika penulisan skripsi. BAB II : TINJAUAN HUKUM MENGENAI PERJANJIAN

LISAN MENURUT KUH PERDATA

Bab II ini membahas tentang perjanjian secara umum, jenis-jenis perjanjian, asas-asas hukum dalam perjanjian, hak dan kewajiban para pihak dalam menjalankan perjanjian, dan bagaimana kesesuaian perjanjian yang dilakukan secara lisan menurut KUH Perdata.

BAB III : AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DIDALAM PERJANJIAN LISAN

Bab III ini membahas tentang apa yang dimaksud dengan Wanprestasi, penyebab terjadinya wanprestasi didalam perjanjian lisan, dan bagaimana akibat hukum terhadap pihak yang melakukan wanprestasi didalam perjanjian lisan.

BAB IV : PERTIMBANGAN HUKUM OLEH HAKIM DALAM

PUTUSAN No. 03/Pdt.G/2012/PN.Pwr YANG MENENTUKAN PERJANJIAN LISAN MEMILIKI KEKUATAN HUKUM APABILA TERJADI WANPRESTASI

Pada bab ini akan membahas tentang kasus duduk perkara yang diangkat dari Putusan Pengadilan Negeri Nomor:

(23)

03/Pdt.G/2012/PN.Pwr tentang wanprestasi dalam perjanjian lisan.

Dan juga untuk mengetahui bagaimana Pertimbangan Hukum oleh Hakim dalam Putusan Nomor: 03/Pdt.G/2012/Pwr yang Menentukan Perjanjian Lisan Memiliki Kekuatan Hukum Apabila terjadi Wanprestasi.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Di dalam bab V merupakan bagian terakhir dari rangkaian bab-bab sebelumnya dalam penulisan skripsi ini. Dimana bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran atas setiap permasalahan yang dikemukakan.

(24)

BAB II

TINJAUAN HUKUM PERJANJIAN LISAN MENURUT KUH PERDATA

A. Pengertian Perjanjian

Perjanjian merupakan salah satu kegiatan yang kerap kali dilakukan didalam kehidupan bermasyarakat. Dalam bahasa Belanda perjanjian disebut dengan overeenkomst dan dalam hukum perjanjian disebut dengan overeenkomstrecht. 20 Setiap manusia pada umumnya akan selalu tertarik antara satu dengan yang lainnya untuk melangsungkan kehidupannya, sehingga dengan adanya hubungan antara sesama manusia, memudahkan untuk melakukan suatu kegiatan yang bertujuan untuk mempertahankan hidup dan kepentingannya dimana untuk itu manusia melakukan perjanjian dalam kehidupan bermasyarakat.

Dengan adanya perjanjian tersebut, para pihak yang bersepakat memiliki suatu hubungan hukum untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing pihak yang membuatnya. Hubungan hukum ini sering disebut dengan perjanjian.

Perjanjian di definisikan sebagai suatu hubungan hukum antara satu orang atau lebih berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut atas sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.21 Adapun pengertian perjanjian yang dikemukakan oleh para sarjana sebagai berikut:

20 C. S. T. Kansil, Christine S. T. Kansil, Model Hukum Perdata (Termasuk Asas-asas Hukum Perdata), Pradnya Paramita, Jakarta, 2000, hal. 204

21 Ibid

(25)

1. Menurut Prof Tan Kamello

Bahwa perjanjian adalah hubungan hukum antara dua orang atau lebih, dimana subjek hukum yang saling mengikatkan diri, didasarkan kepada kata sepakat mengenai objek tertentu dengan tujuan untuk menimbulkan akibat hukum.

2. Menurut R. Setiawan

Bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.22

3. Menurut R. Wirjono

Bahwa perjanjian merupakan hubungan hukum mengenai harta antara kedua belah pihak, dalam mana satu pihak berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal sedangkan pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan perjanjian.23

4. Menurut Prof. Subekti

Bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang yang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.24

22 R.Setiawan, Hukum Perikatan-perikatan Pada Umumnya, Bina Cipta, Bandung,1987, hal. 49

23 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Bale Bandung, Bandung, 1989, hal.7

24 R.Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta, Intermasa, 1963, hal. 1

(26)

17

Dalam Pasal 1313 KUH Perdata dijelaskan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Pasal ini menerangkan secara sederhana tentang pengertian perjanjian yang menggambarkan tentang adanya dua pihak yang saling mengikatan diri. Pengertian ini sebenarnya tidak begitu lengkap tetapi dengan pengertian ini sudah jelas bahwa dalam perjanjian terdapat satu pihak mengikatkan diri kepada pihak lain. Pengertian ini seharusnya menerangkan juga tentang adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri tentang sesuatu hal.

artinya jika hanya disebutkan bahwa satu pihak mengikatkan dirinya kepada pihak lain, maka seolah-olah yang dimaksud hanya perjanjian sepihak, tetapi jika disebutkan juga tentang adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri, maka pengertian perjanjian ini meliputi perjanjian sepihak maupun dua pihak.25

Para sarjana Hukum Perdata berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat didalam KUH Perdata adalah tidak lengkap dan terlalu luas. Salah satu Sarjana Hukum Perdata tersebut adalah Abdul Kadir Muhammad, dimana Abdul Kadir Muhammad menyebutkan kelemahan dari pasal tersebut yaitu :

a. Hanya menyangkut sepihak saja, hal tersebut dapat diketahui dalam perumusan ”satu orang atau lebih mengikatkan dirinya pada satu orang atau lebih”, kata “mengikatkan diri” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya dirumuskan saling mengikatkan diri, jadi ada consensus antara pihak-pihak.

b. Kata “perbuatan” mencakup juga tanpa consensus. Pengertian

“perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa,

25 Ahmadi Miru, Sakka Pati,Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hal. 67-69

(27)

tindakan melawan hukum yang tidak mengandung consensus, seharusnya digunakan kata “persetujuan”.

c. Pengertian perjanjian terlalu luas, pengertian perjanjian dalam pasal tersebut terlalu luas karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksudkan adaalah hubungan antara debitur dengan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki oleh Buku III KUH Perdata sebenarnya adalah perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal.

d. Tanpa menyebut tujuan mengadakan perjanjian sehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.26

R. Setiawan juga berpendapat bahwa definisi perjanjian pada Pasal 1313 KUH Perdata selain belum lengkap juga terlalu luas. Belum lengkapnya definisi tersebut karena hanya menyebutkan perjanjian sepihak saja, terlalu luas karena dipergunakan kata perbuatan yang juga mencakup perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan hal tersebut, maka definisi perjanjian perlu diperbaiki menjadi:

1) Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum.

2) Menambahkan perkataan atau saling mengikatkan dirinya dalam Pasal 1313 KUH Perdata.27

26 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung, Alumni,1990, hal.78

27 R. Setiawan, Op.Cit, hal. 34

(28)

19

B. Jenis-jenis Perjanjian

Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara, pembedaan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Perjanjian Menurut Bentuknya a. Perjanjian Tertulis

Perjanjian tertulis adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan, adapun bentuk perjanjian tertulis28, yakni :

1) Perjanjian tertulis Dalam Akta Bawah Tangan

Akta bawah tangan adalah Surat atau tulisan yang dibuat oleh para pihak tidak melalui perantara pejabat yang berwenang (pejabat umum) untuk dijadikan alat bukti, menurut Pasal 1874 KUH Perdata. Akta bawah tangan dibuat antara pihak yang berkepentingan yang dibuat sendiri secara tertulis, bentuknya bebas dan tempat membuatnya juga di bolehkan dimana saja.29

Dalam perjanjian akta bawah tangan, bahwa perjanjian tersebut hanya ditandatangani oleh pihak yang bersangkutan saja, perjanjian semacam ini hanya pengikat para pihak dalam perjanjian tetapi tidak mempunyai kekuatan mengikat pihak ketiga, jika perjanjian tersebut disangkal atau dibantah oleh pihak ketiga maka para pihak atau salah satu pihak dari perjanjian tersebut berkewajiban untuk memberikan bukti-bukti yang diperlukan hal ini bertujuan untuk membuktikan bahwa keberatan pihak ketiga dimaksud adalah tidak berdasar dan tidak dapat dibenarkan.30

2) Perjanjian Tertulis dalam Akta Autentik

28 Salim H.S.,Op.Cit.hal. 43

29 Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak “Memahami Kontrak dalam Persfektif Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum” (seri pengayaan Hukum Perikatan), Bandung, Mandar Maju, 2012, hal. 138

30 Salim H.S.,Loc.Cit

(29)

Menurut Pasal 1868 KUH Perdata. Akta autentik adalah akta yang ditentukan oleh undang-undang yang dibuat dihadapkan pejabat yang berkuasa (pejabat umum) di tempat dimana akta tersebut dibuat, adapun syarat- syarat yang harus dipenuhi dalam membuat akta autentik:

a) Akta yang dibuat dihadapan pejabat umum yang ditunjuk oleh undang- undang.

b) Bentuk akta ditentukan oleh undang-undang dan cara membuat akta harus menurut syarat materil (subtantif) dan syarat formil (procedural) yang ditetapkan oleh undang-undang.

c) Di tempat dimana pejabat berwenang membuat akta tersebut.31

Pasal 1868 KUH Perdata menjelaskan bahwa ada pejabat umum yang berkuasa yang dimaksud adalah Notaris, seorang Hakim, seorang Juru Sita pada Pengadilan, dan seorang pegawai Catatan Sipil. Dengan demikian, surat akta Notaris, surat keputusan Hakim, berita acara yang dibuat Juru Sita Pengadilan dan akta-akta berkaitan dengan peralihan dan pembebanan atas tanah adalah akta autentik.32 Fungsi dari dibuatnya akta autentik, sebagai berikut :

(1) Sebagai bukti bahwa para pihak yang bersangkutan telah mengadakan perjanjian tertentu.

(2) Sebagai bukti bagi para pihak bahwa apa yang tertulis dalam perjanjian adalah menjadi tujuan dan keinginan para pihak.

31 Muhammad Syaifuddin, Op.Cit., hal. 140

32 Rudy Haposan, Op.Cit hal. 47

(30)

21

(3) Sebagai bukti kepada pihak ketiga bahwa pada tanggal tertentu para pihak telah melakukan perjanjian. Dimana hal ini menentukan bahwa perjanjian sesuai dengan pihak yang membuatnya.33

Adapun perjanjian tertentu yang terdapat di dalam undang-undang yang menentukan pembuatan perjanjiannya dalam akta autentik, yaitu :

(a) Perjanjian hibah yang harus dibuat dalam bentuk tertulis dalam akta notaris, kecuali perjanjian hibah hak atas tanah terdapat dalam Pasal 1682 KUH Perdata.

(b) Perjanjian pemberian kuasa untuk memasang hipotik atas kapal harus dibuat dalam bentuk tertulis dalam akta notaris, Pasal 1171 KUH Perdata.

(c) Perjanjian pengalihan piutang yang dijamin dengan hipotil harus dibuat dalam akta notaris, Pasal 1172 KUH Perdata.

(d) Perjanjian subrogasi harus dalam bentuk tertulis dalam akta notaris, Pasal 1404 sub (2) KUH Perdata.

(e) Perjanjian peralihan (khususnya jual beli dan hibah) hak atas tanah, kecuali melalui lelang untuk tanah-tanah yang sudah terdaftar harus dalam bentuk tertulis dalam akta pejabat pembuat akta tanah, Pasal 37 PP Nomor 24 Tahun 1997.

(f) Perjanjian peralihan (khususnya perjanjian jual beli dan hibah) hak milik atas tanah satuan rumah susun, kecuali melalui lelang, dibuat harus dalam akta notaris, Pasal 37 PP Nomor 24 tahun 1997.

Dimana perjanjian yang telah ditentukan oleh undang-undang tersebut harus diterapkan sebagiamana mestinya, karena jika perjanjian tersebut tidak diterapkan

33 Salim H.S.,Loc.Cit

(31)

maka akibat hukumnya adalah perjanjian yang telah dibuat menjadi tidak sah, sehingga batal demi hukum.34

b. Perjanjian Lisan

Perjanjian Lisan merupakan suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak secara lisan atau cukup dengan kesepakatan para pihak yang membuatnya.35 Didalam perjanjian lisan terkandung suatu janji yang mengungkapkan kehendak yang dinyatakan dan dianggap sebagai elemen konstitutif dari kekuatan hukum mengikat suatu perjanjian. Namun demikian adanya suatu janji yang bertimbal balik tidak serta merta membentuk kontrak.

Kontrak baru terbentuk jika ada perjumpaan atau persamaan antara janji-janji yang ditunjukkan satu pihak terhadap pihak lainnya. Suatu kehendak yang telah dinyatakan dan diungkap dalam bentuk suatu janji, bertujuan baik menciptakan keterikatan maupun akibat hukum. Janji tidak muncul karena dinyatakan tetapi karena dikehendaki.36

2. Perjanjian Menurut Namanya a. Perjanjian Bernama

Perjanjian bernama merupakan perjanjian yang mempunyai nama sendiri.

Maksud dari perjanjian bernama adalah dimana perjanjian-perjanjian tersebut telah diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi.37

b. Perjanjian Tidak Bernama

34 Muhammad Syaifuddin, Op.Cit., hal. 147

35 M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung, Alumni, 1986.

36 Muhammad Syaifuddin, Op.Cit., hal. 137

37 Herlin Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapan di Bidang Kenotariatan, Bandung: Citra Aditya, 2010, hal. 35

(32)

23

Perjanjian tidak bernama merupakan perjanjian-perjanjian yang tidak diatur didalam KUH Perdata, tetapi terdapat dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas. Lahirnya perjanjian ini adalah berdasarkan asas kebebasan mengadakan perjanjian yang berlaku dalam hukum perjanjian.38

3. Perjanjian Menurut Sifatnya a. Perjanjian Obligator

Perjanjian obligator adalah perjanjian antara pihak-pihak yang sepakat mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan). Menurut KUH Perdata, perjanjian jual beli saja belum mengakibatkan beralihnya hak milik dari penjual kepada pembeli. Untuk beralihnya hak milik atas bendanya masih diperlukan satu lembaga lain, yaitu penyeraharan. Perjanjian belinya itu dinamakan perjanjian obligator karena membebankan kewajiban kepada para pihak untuk melakukan penyerahan, penyerahannya itu sendiri merupakan perjanjian kebendaan.39

b. Perjanjian Kebendaan

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seseorang menyerahkan haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban pihak itu untk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain. Penyerahannya itu sendiri merupakan perjanjian kebendaan.40 Adapun juga jenis perjanjian menurut sifatnya, yaitu:

1) Perjanjian Pokok

Perjanjian pokok merupakan perjanjian utama, yaitu perjanjian pinjam meminjam uang, baik kepada individu maupun lembaga perbankan.

38 Ibid, hal. 36

39 Rudy Haposan, Op.Cit hal.62

40 Ibid, hal.63

(33)

2) Perjanjian Accessoir

Perjanjian accessoir merupakan perjanjian tambahan, seperti perjanjian pembebanan hak tanggungan dan fidusia.41

4. Perjanjian Menurut Sumbernya

a. Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, misalnya perkawinan.

b. Perjanjian yang bersumber dari hukum kebendaan, adalah perjanjian yang berhubungan dengan peralihaan hukum benda.

c. Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban.

d. Perjanjian yang bersumber dari hukum acara.

e. Perjanjian yang bersumber dari hukum publik.42

C. Asas-asas Hukum Perjanjian

Dalam rangka menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki oleh para pihak sebelum perjanjian dibuat menjadi perikatan yang mengikat bagi para pihak, oleh KUH Perdata diberikan berbagai asas-asas umum yang merupakan pedoman atau patokan serta menjadi batas atau rambu dalam mengatur dan membentuk suatu perjanjian yang akan dibuat. Berikut asas-asas yang dikenal didalam hukum perjanjian atau kontrak, yaitu:

1. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)

Didalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata telah mengatur tentang kebebasan dalam membuat perjanjian dimana para pihak dapat dengan bebas mengatur hak dan kewajiban dalam perjanjian yang disepakati. Menurut Subekti asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya

41 Salim H.S., Op.Cit hal. 9

42 Mariam Darus Badrulzaman II, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2001, hal. 65

(34)

25

boleh membuat kontrak (perjanjian) yang berisi dan macam apapun asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.43

Menurut Munir Fuady, asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat atau tidak membuat kontrak, demikian juga kebebasan untuk mengatur isi kontrak tersebut.44 Secara historis kebebasan berkontrak sebenarnya meliputi lima macam kebebasan, yaitu;

a. Kebebasan para pihak menutup atau tidak menutup kontrak.

b. Kebebasan para pihak menentukan bentuk kontrak.

c. Kebebasan para pihak menentukan isi kontrak.

d. Kebebasan para pihak menentukan cara penutupan kontrak.45

2. Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme berasal dari kata “consensus “ yang artinya sepakat.

Asas konsensualisme dinyatakan di dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang menyebutkan “sepakat mereka yang mengikatkan diri”, artinya dari asas ini menurut Subekti adalah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karena itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainnya kesepakatan. Asas konsensualisme mempunyai arti yang terpenting, yaitu bahwa untuk melahirkan perjanjian adalah cukup dengan dicapainnya kata sepakat mengenai hal-hal pokok dan perjanjian tersebut, dan bahwa perjanjian sudah lahir pada saat atau detik tercapainnya consensus.46

3. Asas kepastian hukum (pacta sunt survanda)

43 R. Subekti II, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa,Jakarta,, 2005, hal.13

44 Munir Fuady II, Pengantar Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 12

45 Mariam Darus Badrulzaman II, Op.Cit, hal. 108

46 R.Subekti III, Aspek-aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, 2001, hal.5

(35)

Asas pacta sunt survanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum, asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt survanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati subtansi kontrak yang disebut oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang- undang. Asas pacta sunt survanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 KUH Perdata bahwa “ perjanjian dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”.

Bahwa para pihak harus memenuhi apa yang mereka terima sebagai kewajiban masing-masing karena persetujuan merupakan undang-undang bagi pihak-pihak yang mengadakan dan kekuatan mengikatnya dianggap sama dengan kekuatan undang-undang, sehingga istilah pacta sunt survanda berarti “janji itu mengikat”.

Terikatnya para pihak pada apa yang diperjanjikan, terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikendaki oleh kebiasaan dan kepatutan secara moral.47

4. Asas Iktikad Baik (Goede Trouw)

Didalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata bahwa kontrak harus dilaksanakan dengan iktikad baik, namun dalam KUH Perdata tidak memberikan definisi tentang iktikad baik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia iktikad baik adalah kepercayaan, keyakinan yang teguh, maksud, kemauan (yang baik).48

5. Asas Kepribadian (Personalitas)

Asas kepribadian (personalitas) merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang atau pihak yang akan melakukan atau membuat perjanjian hanyalah untuk kepentingan perseorangan saja, sebagaimana dalam hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 KUHP Perdata dan Pasal 1340 KUH Perdata.

47 Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit, hal.88

48 Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa- Depdikbud RI. 1997.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal.369

(36)

27

Pasal 1315 KUH Perdata yang menentukan bahwa “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan suatu perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri” dan Pasal 1340 KUH Perdata menyebutkan bahwa “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya” dari ketentuan Pasal ini menyebutkan bahwa seseorang yang mengadakan atau membuat perjanjian hanyalah untuk kepetingan bagi mereka yang membuatnya.

Asas kepribadian (personalitas) dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang mengatur “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”, pada kalimat “bagi mereka yang membuatnya” menunjukkan asas personalitas, kecuali diperjanjikan lain (pengecualian terdapat dalam Pasal 1317 KUH Perdata).49

Pasal 1317 KUH Perdata menyatakan bahwa “Perjanjian dapat pula diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain mengandung suatu syarat semacam itu”. Dalam pasal ini bahwa seseorang dapat mengadakan suatu perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat tertentu.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman sebagaimana yang diikuti oleh Salim H.S, dalam bukunya yang berjudul Hukum Kontrak Teori dan Teknik penyusunan Kontrak. Ada 8 (delapan) asas yang ada didalam perjanjian, kedelapan asas tersebut, yaitu :

a. Asas kepercayaan. Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian, akan memenuhi setiap prestasi yang akan diadakan di antara mereka dibelakang hari

49 Ahmad Miru dan Sakka Patti Op.Cit hal. 78

(37)

b. Asas Persamaan Hukum. Yang dimaksud dengan asas persamaan hukum yaitu bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama dalam hukum, tidak ada pembedaan antara satu sama lain.

c. Asas keseimbangan, merupakan asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur memunyai kekuatan untuk menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan baik.

d. Asas Kepastian Hukum. Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan yang mengikatnya, yaitu sebagai undang-undang bagi yang membuatnya e. Asas Moral, dimana asas ini terikat dari perikatan wajar, yaitu suatu

perbuatan sukarela dari seseorang tidak menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu didasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya.

f. Asas Kepatutan tertuang didalam Pasal 1339 KUH Perdata, asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian

g. Asas Kebiasaan, asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazam diikuti.

(38)

29

h. Asas Perlindungan (protection). Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa debitur dan kreditur harus dilindungi oleh hukum.50

D. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian

Dalam melaksanakan perjanjian tentunya akan menimbulkan hubungan hukum antara pihak yang telah membuatnya dan menimbulkan hak dan kewajiban yang sebagaimana harus dilaksanakan oleh para pihak secara timbal balik karena, seperti dalam perjanjian sewa menyewa adapun pihak penyewa maupun pihak yang menyewakan memiliki hak dan kewajiban.

Perjanjian sewa menyewa telah diatur didalam Buku III KUH Perdata Bab ke- VII, menurut Pasal 1548 KUH Perdata sewa menyewa adalah “Suatu persetujuan dengan mana pihak satu mengikat dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya”. Dan dalam Pasal 1550 KUH Perdata yang mengatur hak dan kewajiban penyewa dan yang menyewakan. Sewa menyewa merupakan jenis perjanjian yang termasuk di dalamnya adalah perjanjian sewa pakai, perjanjian sewa beli dan lain-lain. Perjanjian sewa menyewa pada umumnya sama seperti perjanjian lainnya, seperti perjanjian jual beli dan lain-lain, dimana perjanjian tersebut adalah perjanjian konsensual, yang artinya ia sudah terjadi dan mengikat para pihak pada delik terjadinya sepakat mengenai unsur-unsur pokoknya.51

Menurut Pasal 1550 KUH Perdata, hak yang harus didapatkan oleh pihak yang menyewakan, antara lain:

50 Yahman , Op.Cit, hal. 11

51 Yahya harahap, Op. Cit, hal. 60

(39)

1. Uang sewa yang harus dibayar oleh si penyewa pada waktu yang telah ditentukan sebagiaman didalam perjanjian sewa menyewa

2. Pandbeslag, yaitu penyitaan yang dilakukan oleh Pengadilan atas permohonan yang menyewakan mengenai prabot-prabot rumah yang berada di rumah yang disewakan, dalam hal penyewa tidak membayar lunas tunggakan uang sewa.52

Adapun pihak yang menyewakan mempunyai kewajiban, antara lain : a. Menyerahkan barang yang disewakan kepada si penyewa.

b. Memelihara benda atau barang yang disewakan kepada si penyewa.

c. Memberikan kepada si penyewa kenikmatan tentram dan damai dari barang yang disewakan, selama berlangsungnya perjanjian sewa menyewa, dan tidak adanya cacat pada pemakaian barang yang disewa.

d. Selama berlangsungnya perjanjian sewa menyewa melakukan perbaikan- perbaikan kecil yang menjadi kewajiban si penyewa.

e. Ia juga harus menanggung terhadap semua cacat dari barang yang disewakan yang merintangi pemakaian barang itu, walaupun pihak yang menyewakan itu sendiri tidak mengetahuinya pada waktu dibuatnya perjanjian sewa menyewa. Jika cacat-cacat itu telah mengakibatkan sesuatu kerugian bagi si penyewa maka kedepannya pihak yang menyewakan itu diwajibkan memberi ganti kerugian (Pasal 1551 dan Pasal 1552 KUH Perdata).53

Dan yang menjadi hak oleh pihak penyewa adalah :

52 Ibid, hal. 62

53 Ibid

(40)

31

1. Penyerahan barang dalam keadaan terpelihara sehingga barang itu dapat dipergunakan untuk keperluan yang diperlukan.

2. Jaminan dari yang menyewakan mengenai kenikmatan tentram dan damai dan tidak ada cacat yang merintangi pemakaian barang yang disewanya.54 Kewajiban dari pihak penyewa adalah:

a. Menggunakan barang dan memakai barang yang disewanya (Pasal 1560 KUH Perdata)

b. Membayar harga sewa pada waktu yang telah ditentukan oleh para pihak sesuai dengan perjanjian sebagaimana yang terdapat dalam (Pasal 1560 KUH Perdata).

c. Memakai barang yang disewanya itu menurut tujuannya yang sebenarnya dan semestinya.

d. Tidak melakukan perubahan yang tetap terhadap barang yang disewa tanpa seizin pemiliknya.

e. Tidak menyewakan lagi barang yang disedang disewajan kepada pihak lain, kecuali bila yang disewa itu adalah sebuah ruma yang didiami sendiri oleh penyewa, maka penyewa diperbolehkan menyewakan lagi sebagian dari rumah itu, misalnya dengan menerima indekost atau sebagainya (Pasal 1559 KUH Perdata)

f. Mengembalikan barang yang disewa itu kepada pemiliknya bila jangka waktu sewanya telah berakhir dalam keadaan yang paling tidak sama dengan keadaannya semula pada waktu barang itu mulai disewa.55

54 A. Ridwan Halim, Hukum Perdata Dalam Tanya Jawab, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1986, hal. 160

55 Ibid

(41)

E. Kesesuaian Perjanjian Lisan Berdasarkan Ketentuan KUH Perdata Dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menyebutkan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Sahnya perjanjian mempunyai kekuatan hukum apabila perjanjian tersebut dibuat sesuai sebagaimana dengan kaidah yang berlaku. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian tidak mengatur tentang bentuk perjanjian yang dibuat, sehingga dalam membuat perjanjian adanya kebebasan menentukan bentuk perjanjian, perjanjian tertulis atau perjanjian lisan selama memenuhi syarat sahnya perjanjian yang tercantum di dalam Pasal 1320 KUH Perdata antara lain:

1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak

Syarat yang pertama sahnya suatu perjanjian adalah adanya kesepakatan atau consensus pada pihak, kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata, yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Sepakat yang dimaksud bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus sepakat, setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan. Dimana kontrak yang dibuat berdasarkan kesepakatan bersama merupakan prinsip dasar yang menetukan keabsahan kontrak.56

Ada lima cara terjadinya kesepakatan antara kedua belah pihak, yaitu dengan : a. Bahasa yang sempurna dan tertulis;

b. Bahasa yang sempurna secara lisan;

56 Rosa Agustina, et al., Hukum Perikatan (Law Of Obligations), Denpasar, Pustaka Larasan,2012, hal. 80

(42)

33

c. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Karena dalam kenyataannya sering kali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya;

d. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;

e. Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan.

Pada dasarnya cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak, yaitu dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan secara tertulis.57

Kesepakatan para pihak merupakan suatu tindakan atau perbuatan hukum yang berisi pernyataan kehendak atas para pihak.58 Menurut KUH Perdata kesepakatan bersifat sukarela, dan dapat terpenuhinya kesepakatan apabila:

a. Tidak terdapat paksaan (dwang), yang bertentangan dengan undang-udang, misalnya tindakan menakut-nakuti atau paksaan seseorang agar mau menyetujui suatu perjanjian.

b. Tidak terdapat kekeliruan atau kekhilafan (dwaling), dalam hal ini berkaitan dengan objek atau prestasi yang akan diperjanjikan atau mengenai subjeknya.

c. Tidak ada terdapat unsur penipuan (bedrog) yang disengaja, ialah suatu serangkaian kebohongan dengan tipu muslihat sehingga menimbulkan kesan yang keliru.59

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

57Sudikno Mertokusumo, Rangkuman Kuliah Perdata, Yogyakarta, Fakultas Pascrasarjana Universitas Gadjah Mada, 1987

58 Yahya harahap, Op. Cit, hal. 15

59 Ibid, hal. 23

(43)

Setiap orang berwenang untuk membuat suatu perikatan atau untuk melakukan perbuatan hukum sebagaimana yang telah ditentukan oleh undang-undang, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal ini.

Kecakapan membuat perjanjian ini ada yang menyatakan pada umur 21 tahun sesuai dengan ketentuan KUH Perdata atau sudah kawin. Selanjutnya di dalam Pasal 1330 KUH Perdata yang tidak cakap membuat perjanjian ada 3 (tiga) golongan, yaitu:

a. Anak yang belum dewasa

Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menetapkan bahwa umur 19 tahun sebagai usia kedewasaan bagi pria dan umur 16 tahun untuk wanita. Sementara menurut KUH Perdata Pasal 330 menyatakan bahwa orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai uur 21 tahun, dan belum kawin atau belum pernah melakukan perkawinan

b. Orang yang berada dibawah pengampunan

Orang yang berada dibawah pengampunan atau orang yang ditaruh dibawa pengampunan, seperti cacat, gila, telah dinyatakan pailit oleh pengadilan dan sebagainya.

c. Perempuan bersuami

Perempuan yang bersuami atau telah kawin dalam hal-hal tertetu yang telah ditentukan oleh undang-undang dan pada umumnya dilarang untuk membuat perjanjian tertentu.60

60 Salim HS. Op.Cit hal. 33

(44)

35

Namun terhadap perkembangan hukum tentang ketidakcakapan dari perempuan yang bersuami dalam berbuat hukum dianggap tidak berlaku lagi, karena beberapa pertimbangan sebagai berikut: 61

Pengaruh dari perkembangan emansipasi wanita yang menuntut kesetaran gender.

a) KUH Perdata memaksudkan ketidakcakapan istri dalam berbuat tinakan hukum adalah khusus bidang hukum kekayaan. Jadi, istri yang bersuami tetap dianggap cakap melakukan tindakan hukum, misalnya dalam bidang hukum keluarga atau perkawinan.

b) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 memandang bahwa istri yang bersuami tetap cakap melakukan perbuatan hukum, dimana pada Pasal 31 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup dalam masyarakat, masing- masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum dimana suami adalah sebagai kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga.

c) Menurut Pasal 108 KUH Perdata seorang perempuan yang telah bersuami untuk mengadakan suatu perjanjian memerlukan bantuan bantuan atau izin (kuasa tertulis) dari suaminya. Tetapi dengan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963, ketentuan tersebut tidak berlaku lagi.

d) Di dalam praktik sehari-hari, sudah menjadi kebiasaan bahwa seperti juga suami maka istri yang bersuami juga tetap dianggap cakap dalam membuat perjanjian atas barang-barang yang dikuasai atau dimilikinya.

61 Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, (Jakarta: Grafindo Persada, 2014)

(45)

3. Suatu hal tertentu

Mengenai suatu hal tertentu maksudnya adalah bahwa objek perjanjian, setidak-tidaknya harus dapat ditentukan menurut Pasal 1333 KUH Perdata, adapun berdasarkan pasal tersebut, maka yang menjadi hal tertentu atau objek perjanjian dapat berupa: 62

a. Barang-barang yang dapat diperdagangkan b. Minimal sudah ditentukan jenisnya

c. Jumlah barang boleh belum ditentukan asal dapat ditentukan atau dihitung kemudian

d. Barang yang akan ada dapat menjadi objek perjanjian

e. Warisan yang belum terbuka tidak boleh dijadikan objek perjanjian.

Menurut ketentuan Pasal 1332 KUH Peradata, hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian.

Selanjutnya untuk barang-barang yang akan ada di kemudian hari dapat dijadikan pokok perjanjian, sebagaimana sesuai dengan ketentuan Pasal 1334 ayat (1) KUH Perdata.63

4. Adanya kausa yang halal

Menurut Pasal 1337 KUH Perdata suatu kausa yang halal ialah bukan hal yang menyebabkan perjanjian, tetapi isi perjanjian itu sendiri, isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun ketertiban umum.

62 Salim HS. Op.Cit, hal. 342

63 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2006, hal.59

Referensi

Dokumen terkait

Berkat bodi yang ramping, desain yang menarik, navigasi dengan layar sentuh responsif, serta memiliki port USB 3.0 dan serial (COM) untuk koneksi ke berbagai perangkat seperti

- Menimbang, bahwa yang menjadi dalil pokok gugatan para penggugat adalah adanya perbuatan wanprestasi dari tergugat karena tidak melakukan pembayaran ganti rugi

Bahwa dalam perkara gugatan yang diajukan penggugat adalah bahwa dari hasil kerja sama tersebut Penggugat merasa Tergugat telah melakukan Wanprestasi yaitu Tergugat tidak

Menimbang, bahwa tentang gugatan Penggugat agar Majelis menyatakan Para Tergugat telah melakukan tindakan wanprestasi atau cedera janji terhadap perjanjian yang

Pada Bab III ini akan dijelaskan metode yang digunakan dalam pengambilan dan pengolahan data serta proses perancangan dalam pembuatan film dokumenter ini..

"Bahwa fakta hilangnya sepeda motor Penggugat tersebut apabila dihubungkan dengan perjanjian penitipan barang yang telah terjadi antara Penggugat dengan Tergugat, maka Tergugat

Pertama, menentukan dan mengkoor- dinasi tata cara turun ke sawah; kedua, meng- atur pembagian air ke sawah petani; ketiga, membantu pemerintah dalam bidang pertanian;

Dari urain di atas dapat disimpulkan pertimbangan hukum hakim bahwa pihak tergugat 1,tergugat II dan tergugat III telah benar melakukan perbuatan