• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesesuaian Perjanjian Lisan Berdasarkan Ketentuan KUH Perdata Dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menyebutkan bahwa “Semua

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

TINJAUAN HUKUM PERJANJIAN LISAN MENURUT KUH PERDATA

E. Kesesuaian Perjanjian Lisan Berdasarkan Ketentuan KUH Perdata Dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menyebutkan bahwa “Semua

perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Sahnya perjanjian mempunyai kekuatan hukum apabila perjanjian tersebut dibuat sesuai sebagaimana dengan kaidah yang berlaku. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian tidak mengatur tentang bentuk perjanjian yang dibuat, sehingga dalam membuat perjanjian adanya kebebasan menentukan bentuk perjanjian, perjanjian tertulis atau perjanjian lisan selama memenuhi syarat sahnya perjanjian yang tercantum di dalam Pasal 1320 KUH Perdata antara lain:

1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak

Syarat yang pertama sahnya suatu perjanjian adalah adanya kesepakatan atau consensus pada pihak, kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata, yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Sepakat yang dimaksud bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus sepakat, setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan. Dimana kontrak yang dibuat berdasarkan kesepakatan bersama merupakan prinsip dasar yang menetukan keabsahan kontrak.56

Ada lima cara terjadinya kesepakatan antara kedua belah pihak, yaitu dengan : a. Bahasa yang sempurna dan tertulis;

b. Bahasa yang sempurna secara lisan;

56 Rosa Agustina, et al., Hukum Perikatan (Law Of Obligations), Denpasar, Pustaka Larasan,2012, hal. 80

33

c. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Karena dalam kenyataannya sering kali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya;

d. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;

e. Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan.

Pada dasarnya cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak, yaitu dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan secara tertulis.57

Kesepakatan para pihak merupakan suatu tindakan atau perbuatan hukum yang berisi pernyataan kehendak atas para pihak.58 Menurut KUH Perdata kesepakatan bersifat sukarela, dan dapat terpenuhinya kesepakatan apabila:

a. Tidak terdapat paksaan (dwang), yang bertentangan dengan undang-udang, misalnya tindakan menakut-nakuti atau paksaan seseorang agar mau menyetujui suatu perjanjian.

b. Tidak terdapat kekeliruan atau kekhilafan (dwaling), dalam hal ini berkaitan dengan objek atau prestasi yang akan diperjanjikan atau mengenai subjeknya.

c. Tidak ada terdapat unsur penipuan (bedrog) yang disengaja, ialah suatu serangkaian kebohongan dengan tipu muslihat sehingga menimbulkan kesan yang keliru.59

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

57Sudikno Mertokusumo, Rangkuman Kuliah Perdata, Yogyakarta, Fakultas Pascrasarjana Universitas Gadjah Mada, 1987

58 Yahya harahap, Op. Cit, hal. 15

59 Ibid, hal. 23

Setiap orang berwenang untuk membuat suatu perikatan atau untuk melakukan perbuatan hukum sebagaimana yang telah ditentukan oleh undang-undang, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal ini.

Kecakapan membuat perjanjian ini ada yang menyatakan pada umur 21 tahun sesuai dengan ketentuan KUH Perdata atau sudah kawin. Selanjutnya di dalam Pasal 1330 KUH Perdata yang tidak cakap membuat perjanjian ada 3 (tiga) golongan, yaitu:

a. Anak yang belum dewasa

Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menetapkan bahwa umur 19 tahun sebagai usia kedewasaan bagi pria dan umur 16 tahun untuk wanita. Sementara menurut KUH Perdata Pasal 330 menyatakan bahwa orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai uur 21 tahun, dan belum kawin atau belum pernah melakukan perkawinan

b. Orang yang berada dibawah pengampunan

Orang yang berada dibawah pengampunan atau orang yang ditaruh dibawa pengampunan, seperti cacat, gila, telah dinyatakan pailit oleh pengadilan dan sebagainya.

c. Perempuan bersuami

Perempuan yang bersuami atau telah kawin dalam hal-hal tertetu yang telah ditentukan oleh undang-undang dan pada umumnya dilarang untuk membuat perjanjian tertentu.60

60 Salim HS. Op.Cit hal. 33

35

Namun terhadap perkembangan hukum tentang ketidakcakapan dari perempuan yang bersuami dalam berbuat hukum dianggap tidak berlaku lagi, karena beberapa pertimbangan sebagai berikut: 61

Pengaruh dari perkembangan emansipasi wanita yang menuntut kesetaran gender.

a) KUH Perdata memaksudkan ketidakcakapan istri dalam berbuat tinakan hukum adalah khusus bidang hukum kekayaan. Jadi, istri yang bersuami tetap dianggap cakap melakukan tindakan hukum, misalnya dalam bidang hukum keluarga atau perkawinan.

b) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 memandang bahwa istri yang bersuami tetap cakap melakukan perbuatan hukum, dimana pada Pasal 31 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup dalam masyarakat, masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum dimana suami adalah sebagai kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga.

c) Menurut Pasal 108 KUH Perdata seorang perempuan yang telah bersuami untuk mengadakan suatu perjanjian memerlukan bantuan bantuan atau izin (kuasa tertulis) dari suaminya. Tetapi dengan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963, ketentuan tersebut tidak berlaku lagi.

d) Di dalam praktik sehari-hari, sudah menjadi kebiasaan bahwa seperti juga suami maka istri yang bersuami juga tetap dianggap cakap dalam membuat perjanjian atas barang-barang yang dikuasai atau dimilikinya.

61 Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, (Jakarta: Grafindo Persada, 2014)

3. Suatu hal tertentu

Mengenai suatu hal tertentu maksudnya adalah bahwa objek perjanjian, setidak-tidaknya harus dapat ditentukan menurut Pasal 1333 KUH Perdata, adapun berdasarkan pasal tersebut, maka yang menjadi hal tertentu atau objek perjanjian dapat berupa: 62

a. Barang-barang yang dapat diperdagangkan b. Minimal sudah ditentukan jenisnya

c. Jumlah barang boleh belum ditentukan asal dapat ditentukan atau dihitung kemudian

d. Barang yang akan ada dapat menjadi objek perjanjian

e. Warisan yang belum terbuka tidak boleh dijadikan objek perjanjian.

Menurut ketentuan Pasal 1332 KUH Peradata, hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian.

Selanjutnya untuk barang-barang yang akan ada di kemudian hari dapat dijadikan pokok perjanjian, sebagaimana sesuai dengan ketentuan Pasal 1334 ayat (1) KUH Perdata.63

4. Adanya kausa yang halal

Menurut Pasal 1337 KUH Perdata suatu kausa yang halal ialah bukan hal yang menyebabkan perjanjian, tetapi isi perjanjian itu sendiri, isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun ketertiban umum.

62 Salim HS. Op.Cit, hal. 342

63 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2006, hal.59

37

Syarat sahnya suatu perjanjian mengenai sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan yang disebut dengan syarat subjektif, jika tidak terpenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan (vernietighbaar, voidaible), sedangkan jika syarat suatu hal tertentu dan suatu kausa/sebab yang halal yang disebut dengan syarat objektif tidak dipenuhi , maka perjanjian itu batal dengan sendirinya demi hukum (nietig van rechtswege, null and void )

Pengertian kausa dalam Pasal 1365 KUH Perdata adalah kausa atau penyebab yang menimbulkan kerugian (kausa efficiens), dalam Pasal 1320, Pasal 1335 dan Pasal 1337 KUH Perdata sama sekali berbeda, dan kurang lazim. Dalam hal ini berarti pengertian kuasa menunjuk kepada hubungan tujuan (kausa finalis). Jadi kausa perjanjian adalah apa yang ingin dicapai para pihak dengan perjanjian, yaitu tujuan perjanjian atau isi perjanjian itu sendiri yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai.64

Dalam Pasal 1320 KUH Perdata ini menerangkan syarat yang harus dipenuhi untuk lahirnya suatu perjanjian baik tertulis maupun lisan dalam suatu perjanjian.

Syarat tersebut mencakup pihak yang membuat atau biasa disebut dengan syarat subjektif karena berkenaan dengan subyek perjanjian, jika tidak terpenuhinya syarat subjektifyaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak dan kecakapan untuk membuat perjanjian, maka mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Dapat dibatalkan artinya bahwa salah satu pihak dapat meminta pembatalan terhadap perjanjian yang telah dibuat sebelumnya, perjanjian tetap mengikat kedua belah pihak selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak

64 Ibid

meminta pembatalan perjanjian tersebut (pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas).

Syarat Objektif yaitu suatu hal tertentu, adanya kausa yang halal, apabila tidak terpenuhinya syarat itu maka perjanjian dapat batal demi hukum. Batal demi hukum artinya adalah dari semula dianggap tidak pernah ada atau dilahirkannya suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan, dengan demikian tidak ada dasar untuk saling menuntut di depan hakim (null and void).

Sehingga perjanjian yang dibuat secara lisan juga mengikat secara hukum pihak yang membuatnya, namun perjanjian lisan sangatlah rentan terjadinya perbuatan ingkar janji (wanprestasi), permasalahan ini sering terjadi dalam perjanjian lisan dimana salah satu pihak berdalih bahwa tidak pernah melakukan perjanjian, maka untuk itu dalam perjanjian lisan hendaknya terdapat alat bukti yang dapat digunakan, sehingga apabila terjadi suatu perkara adanya bukti yang mendukung. Mengenai alat bukti telah diatur dalam Pasal 1866 KUH Perdata dan Pasal 164 HIR, alat-alat bukti terdiri dari: 91

a. Bukti tulisan b. Bukti dengan saksi c. Persangkaan d. Pengakuan, dan e. Sumpah

Pasal 169 HIR menyatakan bahwa “Keterangan dari seorang saksi saja, dengan tidak ada suatu alat bukti yang lain dalam hukum tidak dapat dipercaya”.

91 M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal.556

39

Maka untuk itu dalam membuat perjanjian lisan hendaknya dihadirkan dua orang saksi yang terlibat dalam perjanjian tersebut untuk membuktikan jika nantinya terjadi sengketa di pengadilan.

Ketentuan mengenai saksi terdapat dalam Pasal 1910 KUH Perdata, dimana saksi tidak memiliki hubungan keluarga dan semenda dalam garis lurus dari salah satu pihak, begitu pula suami atau istri, sekalipun setelah perceraian.

BAB III