• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fenomena kata pencemaran menjadi barang populis, semenjak revolusi industri berlangsung 1880 di Perancis. Kemudian memasuki abad ke-20 istilah pencemaran menjadi akrab dalam telinga, apalagi setelah terhubungkan dengan istilah pencemaran udara. Perkins (1974) menyebutkan pencemaran udara adalah adanya satu atau beberapa kontaminan di dalam udara atmosfir. Seperti debu, busa, gas, kabut, bau–bau-an, asap atau uap dalam kuantitas yang banyak dengan berbagai sifat maupun lama berlangsungnya di udara. Sampai dapat menimbulkan gangguan–gangguan terhadap manusia, tumbuh–tumbuhan, binatang maupun kelestarian kehidupan organisme lainnya.

Menurut SK Menteri Kependudukan Lingkungan Hidup No. 02/ MENKLH/1988 menggariskan bahwa pencemaran udara adalah masuknya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lainnya ke udara dan atau berubahnya tatanan udara oleh kegiatan manusia atau proses alam sehingga kualitas udara menurun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi peruntukannya. Tekstual inilah yang juga mengisyaratkan bahwa adanya gas buangan kendaraan motor yang di luar ambang batas emisi berarti sebuah pencemaran. Padahal di berbagai daerah perkotaan seperti

Surabaya, Jakarta, dan Bandung emisi kendaraan bermotor telah melebihi ambang batas yang ditentukan.

Sumber–Sumber Pencemar

Dalam konteks udara perkotaan sumber pencemar umumnya datang dari jenis kegiatan seperti industri pengolahan, transportasi, dan kegiatan keseharian rumah tangga. Sumber pencemaran udara cukup penting adalah yang berasal dari lalu lintas kendaraan bermotor. Menurut Moestikahadi (1999) dalam identifikasinya bisa dengan melihat secara fisik bahan pencemar. Sehingga, bisa di bedakan sumber pencemar menjadi Partikel (debu, aerosol, timah hitam), Gas (CO, NOx, SOx, hidrokarbon) dan Energi (suhu dan kebisingan).

Khusus pada kendaraan bermotor sendiri terkandung sumber dari fisik gas, yaitu hidrogen (H) dan karbon (C). Pembakarannya akan menghasilkan senyawa HC,CO, karbon dioksida (CO2), serta NOx pada kendaraan yang berbahan bakar bensin. Sedangkan pada kendaraan yang berbahan bakar solar, gas buangnya mengandung sedikit HC dan CO tetapi lebih banyak CO-nya.

Bahaya polutan terparah adalah adanya paparan timah hitam (Pb) yang berfungsi menaikkan octan. Timbal merupakan bahan aditif dalam bensin sebagai anti-knocking. Dalam bentuk Tetra Etil Lead (TEL), timbal (Pb) meningkatkan nilai oktan bensin serta berfungsi sebagai pelumas dudukan katup mobil. Sementara itu, pada bahan bakar solar tidak ditambah timbal (Pb) sehingga tidak terlalu masalah. Bahkan sumber polusi yang utama justru berasal dari transportasi. Hampir 60% dari polutan yang dihasilkan terdiri dari karbon monoksida dan sekitar 15% terdiri dari hidrokarbon (Fardiaz, 1992).

Dampak Pencemaran Lingkungan

Emisi kendaraan bermotor diyakini mengakibatkan atau mempunyai kontribusi yang cukup luas terhadap gangguan kesehatan masyarakat. Gangguan yang lazim dikenal akibat emisi kendaraan bermotor adalah; gangguan saluran pernapasan, sakit kepala, iritasi mata, mendorong terjadinya asma, penyakit jantung dan menurunkan intelegensia pada anak-anak. Beberapa penelitian terakhir bahkan menemukan ternyata emisi kendaraan bermotor juga menyebabkan kanker (Pirngadie, 2001). Harsono (1996) menyatakan dampak pencemaran udara yang terutama disebabkan oleh debu dan timah hitam (Pb) terbukti memberi ancaman

serius bagi kesehatan manusia, bahkan kematian. Selain itu juga timah hitam (Pb) menyebabkan penyakit jantung, bronkhitis, darah tinggi dan membuat turunnya intelegensia anak.

Selain mempunyai dampak terhadap kesehatan masyarakat, pencemaran udara khususnya dari sektor transportasi juga berdampak terhadap lingkungan. Salah satunya adalah kehadiran zat–zat prekursor hujan asam yan dihasilkan oleh emisi kendaran bermotor, yaitu NO dan SO akan menyebabkan korosi pada berbagai macam barang yang terbuat dari logam, bahan bangunan dan bahan tekstil (Pirngadie, 2001).

Gambar 1. Dampak polusi kendaraan dan industri sering menjadikan wilayah perkotaan di negara berkembang, setiap

pagi terjadi smog.

Menurut penelitian Suyono (2003) semburan asap kendaraan bermotor di sejumlah kota besar menyumbang berton–ton polutan ( debu, timah hitam, NOx, CO, dan lian-lain). Dampaknya tidak main-main. Bila polusi semakin parah, hujan asam akan betul terjadi, semua jadi serba asam (pH<6) akibatnya akan merusak hutan, bangunan dan mempengaruhi iklim global.

Harsono (1996) menyatakan zat pencemar udara baik yang berupa gas maupun partikel juga mengganggu perkembangan tumbuhan. Efek dari SO2 dan juga timah hitam terhadap vegetasi dapat menimbulkan pemucatan pada bagian antar tulang daun atau tepi daun. Selain itu

dapat pula meracuni dan masuk ke dalam vegetasi melalui stomata maupun hujan asam.

Selain berdampak pada manusia NO2, SO dan Pb juga dapat menimbulkan kerusakan pada tumbuhan yaitu timbulnya bintik–bintik pada daun sampai mengakibatkan rusaknya tenunan daun. Selain polutan Zn dan Cd, timah hitam (Pb) merupakan polutan yang juga menghalangi proses fotosintesis. Karena karotenoid yang terkandung di dalam daun dapat dirusak oleh timah hitam (Pb). Pohon– pohon yang berada di tepi jalan perkotaan menyerap sejumlah zat pencemar timah hitam (Pb) sehingga kadar klorofilnya rendah dibandang kadar klorofil pada pohon yang tumbuh di daerah yang jauh dari sumber pencemar (Kovacs, 1992). Hal ini jika terjadi secara berkelanjutan maka produksi oksigen dapat terganggu.

Menyaring Pencemar di Perkotaan

Zoer’aini (1992) menyimpulkan yang dimaksud dengan penghijauan adalah segala daya upaya untuk memulihkan, memelihara dan meningkatkan kondisi lahan agar dapat berproduksi dan berfungsi secara optimal, baik sebagai pengatur tata air atau pelindung lingkungan. Bentuk–bentuk upaya penghijauan kota antara lain pengelolaan taman– taman kota, taman lingkungan, jalur hijau dan sebagainya. Dengan meningkatkan penghijauan di perkotaan berarti mengurangi CO2, atau pencemar lainnya yang berperan terhadap terjadinya efek rumah kaca. Mengingat pentingnya peranan vegetasi terutama di perkotaan untuk menangani krisis lingkungan maka diperlukan perencanaan dan penanaman vegetasi untuk penghijauan.

Ramlan (1997) mendefinisikan Tanaman Tepi Jalan (TTJ) sebagai tumbuhan yang tumbuh di tepi jalan yang bermanfaat untuk menaungi jalan, menyerap polusi udara yang berbahaya akibat asap kendaraan dan menyediakan oksigen yang sangat berguna bagi kehidupan. Jalur hijau adalah suatu lahan yang bertumbuhan pohon–pohonan di dalam wilayah perkotaan baik di dalam maupun di luar jalur lalu lintas yang berfungsi sebagai penyangga lingkungan dalam hal pengatuan tata air, udara habitat flora dan fauna serta memiliki nilai estetika yang tinggi.

Namun demikian, ternyata fungsi tanaman tepi jalan yang sangat besar cenderung diabaikan. Akhirnya yang tampak hanyalah tindakan perusakan. Tabel 1 menyajikan fakta dan alasan tindakan perusakan tanaman tepi jalan.

Tabel 1. Aneka perusakan tanaman tepi jalan