• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bagian 3: Otonomi Daerah Merusak Ekologi Politik

C. Kearifan Petani pada Alam

Saat ini, di Indonesia diduga terdapat kira-kira 20 000 jenis tumbuhan yang hidup di hutan dan sampai saat ini baru 4000 jenis saja yang diketahui manfaat langsungnya oleh penduduk. Dari jumlah tersebut hanya 25% saja yang telah dibudidayakan (Sastrapradja & Rifai, 1972). Sementara itu Rifai (1991), berpendapat bahwa landasan serta proses terjadinya sistem klasifikasi rakyat tidak sesederhana seperti yang berlaku dalam penyusunan sistem klasifikasi yang dianut para ahli taksonomi biologi. Etnobotani sebagai bagian dari etno ekologi mempunyai khazanah yang produktif bagi perkembangan pembangunan di Indoensia. Etnobotani sebagai sebuah studi mengenai tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat mempunyai harapan besar sebagai bagian dari ilmu yang akan mampu menjawab persoalan masa kini (Banilodu, 1998).

Lebih dari itu, sebenarnya etnobotani tidak harus terbenturkan oleh sebuah persepsi dan kaidah baku ilmiah. Etnobotani memberikan perspektif berdasarkan ruh dan hasil kajian fitrah masyarakat yang telah teruji secara berkala (Friedberg,1990). Salah satu nilai fitrah yang menarik dalam kehidupan masyarakat adalah pemanfaatan tumbuhan dalam konteks pestisida alami. Di tengah semakin menurunnya kualitas dan kuantitas lingkungan pertanian akibat introduksi teknologi modern yang menghasilkan pestisida kimia serta semakin mahalnya biaya yang harus dibebankan pada petani, etnobotani dalam pengggunaan biopestisida menarik untuk dieksplorasi.

Desa Sajen, di Pacet Mojokerto memiliki sejarah budaya yang menarik dalam dinamika ekologis. Sebagai daerah dengan kuantitas produk pertanian padi dan sayuran di Jawa Timur, saat ini Sajen akan dijadikan sentra produk pertanian organik di Kabupaten Mojokerto. Melalui pengamatan sebagai mekanisme penting dalam perolehan pengetahuan, petani melakukan penilaian atas hasil dari strategi menanggulangi hama dan penyakit melalui tumbuhan secara alami.

Sebelum diperkenalkan program intensisfikasi padi dan jenis pertanian lainnya, dengan turunan penggunaan obat bagi hama dan penyakit, petani hanya mampu memberikan pengetahuan tentang penyakit pada tanaman. Semua serangga yang menyerang tanaman mereka sebut sebagai hama yang membuat penyakit pada tanamannya.

Cukup unik Petani dalam mendefinisikan penyakit yang ditimbulkan oleh hewan. Ada yang menyebut hama sebagai “orang” karena bisa diamati oleh petani dan bergerak pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Ada juga Petani yang menyebut penyakit karena “sawan” (misterius) dari sebab yang tidak jelas, karena Petani terbatas untuk mengamatinya. Bagi Petani penyakit pada tanamannya mengacu pada gejala yang dikenal dan terlihat bisa juga bagi tanaman yang diserang karena penyerangnya tidak tampak.

Hama yang berada di tanaman padi dan bawang ketika tahun 1999 yang menyerang Sajen, disebut oleh Petani sebagai penyakit. Karena mereka tidak mampu mengamati hewan yang menyerang. Sehingga mereka hanya mengenal dengan istilah sundep, padahal yang menyerang tanaman itu adalah serangga jenis Lyriomiza sp. yang mereka namai dengan “Grandong”. Bentley (1992), menyadari petani memang kurang memiliki pengetahuan tentang parasitoid dan mikroorganisme, apalagi penyakit yang tidak bisa dilihat oleh mata petani.

Dengan persepsi yang berkembang selama ini di Petani tersebut, tindakan yang dilakukan dapat mengatasi penyakit tanamannya. Utamanya padi dan bawang merah serta sayuran adalah dengan upacara ritual (Winarto, 1998). Kondisi itu berlangsung sebelum revolusi hijau terjadi, namun setelah revolusi hijau diterapkan di pertanian Indonesia, maka petani cenderung mulai memahami tentang cara penanggulangan penyakit menggunakan pestisida kimia hingga membuat kesuburan tanah rusak dan sejumlah petani alami penyakit kronis.

Semakin menjamurnya teknologi dalam penanggulangan hama melalui pestisida kimia petani semakin runut dan runtut memperhatikan penggunaannya dan tekniknya. Sayangnya, pengetahuan petani pada pestisida cenderung telah terpatri dalam persepsinya bahwa semua pestisida adalah racun. Jadi, mereka mempersepsikan bahwa pestisida digunakan untuk meracuni semua hewan yang mereka anggap menimbulkan penyakit. Padahal, mereka tidak menyadari jika terdapat hewan-hewan yang justru menjadi musuh alami hama tersebut.

Petani kemudian mengenal istilah dnegan Insektisida untuk mengendalikan Serangga pengganggu. Herbisida, untuk mengendalikan tumbuhan pengganggu/gulma. Fungisida untuk mengendalikan jamur penyebab penyakit tanaman. Nematisida untuk mengandalikan

Nema-toda atau Cacing. Akarisida untuk mengendalikan akarina atau tungau.

Rodentisida untuk mengendalikan hama tikus. Pisisida untuk mengendalikan moluska/siput atau bekicot. Bakterisida untuk mengendalikan bakteri pada tanaman.

Usaha-usaha petani dalam menjaga tanamannya ditunjukkan dengan upayanya menjaga tanamannya tidak sakit. Collins & Gentner (1985), menyebutkan bahwa apa yang dilakukan dan dipikirkan petani terhadap tanamannya mempengaruhi apa yang mereka lakukan terhadap tanamnnya. Meski petani merunut dan memahami cara penggunaan pestisida, namun, Petani tidak memahami skema pemahaman pestisida sebagai obat. Mereka hanya tahu bahwa pestisida adalah racun bagi hama.

Kondisi tersebut, mengakibatkan dampak yang tidak diduga dari penggunaan pestisida kimia sebagai obat bagi tanaman yang terkena penyakit. Salah satu dampak itu adalah berkembangnya populasi serangga yang yang kemudian dapat berubah status menjadi hama. Ironisnya, semakin banyak penyakit semakin sering petani menyemprot obat dengan pestisida kimia. Sehingga yang terjadi adalah pembunuhan massal beberapa hewan yang sebenarnya berfungsi sebagai pengendali hama secara alami.

Atas perkembangan itulah Petani di Sajen melakukan proses pengamatan perubahan representasi yang diwujudkan dalam penemuan inovasi pembuatan pestisida secara alami dari tumbuh-tumbuhan sekitarnya. Petrie & Oshlag (1993), menyadari bahwa kemunkinan adanya proses belajar dnegan mengubah representasi atau pemahaman si penerima pengetahuan. Proses ini menimbulkan akibat tercapainya penciptaan atau perolehan pengetahuan yang baru.

Dalam proses pertaniannya, petani mulai belajar mengidentifikasi tentang nama tanaman ciri umum, kegunaan kandungan tanaman, serta fungsinya yang sebenarnya bisa menjadi pestisida. Tumbuhan yang mereka identifikasi bermanfaat hanya digunakan dalam skala pembuatan biopestisida. Petani kemudian melakukan inovasi dengan membuat Biopestisida sendiri oleh masyarakat yang disebut sebagai pestisida

dengan bahan dasar dari tumbuhan dan relatif mudah dibuat dengan bahan yang ada disekitar petani. Banyak istilah yang digunakan untuk menyebut Biopestida, ada yang menyebut sebagai Pestisida nabati, karena bahan-bahannya dari Tumbuh-tumbuhan, Pestisida alami, karena berasal dari bahan alami, baik tumbuhan atau zat organik lain.

Masyarakat petani Sajen mengetahui banyak mengenai proses penemuan biopestida yang dihasilkan dari proses pencandraan pengetahuan yang turun menurun, pewarisan pengetahuan berlangsung berurutan dari generasi ke generasi. Prosesnya adalah, identifikasi Hama/ Penyakit yang menyerang Tanaman. Sesuai dengan Kelompok Hama/ Penyakit. Selanjutnya, mencari Jenis (Kelompok) Hama/Penyakit, setelah menemukan jenis Hama, Proses pembuatannya secara tradisonal dan menurut pengalaman mereka meliputi, 3 cara yaitu merendam, merebus dan mengambil ekstrak tumbuhan.

Untuk perebusan, mereka sering menggunakan perbandangan tumbuhan dengan 2 : 1 : 1. artinya, 1 bahan 2 kg, 1 bahan 1 kg dan 1 bahan 1 kg. Setelah menemukan bahan, bahan ditumbuk (masing-masing) atau dirajang (dipotong kecil-kecil) tidak sampai halus (masih kasar), hal ini dilakukan untuk mempercepat pembusukan bahan-bahan aktif dalam tanaman. Hasil tumbukan ini oleh masyarakat ditambah air sebanyak 10 liter di dalam wadah peremdaman.Wadah ditutup rapat dan dibiarkan selama 1 minggu, setiap 2 hari sekali rendaman diaduk untuk mempercepat tercampurnya bahan aktif biopestisida. Setelah 1 minggu, campuran tersebut disaring untuk diambil airnya. Kemudian air hasil saringan dimasukkan di dalam kemasan yang siap digunakan untuk penyemprotan.

Sementara itu, untuk proses perebusan masyarakat sering menggunakan cara dengan perbandangan bahan tumbuhan: 2 : 1 : 1. artinya, 3 bahan tumbuhan dengan perbandangan 1 bahan 2 Kg, 1 bahan 1 kg dan 1 bahan 1 kg.. Kemudian masing-masing bahan dirajang (dipotong kecil-kecil) tidak sampai halus. Hasil rajangan tersebut, direbus dengan api sedang, kemudian ditambahkan air 10 liter selama 30 menit. Setelah mendidih, hasil rebusan langsung dimasukkan dalam wadah untuk direndam selama 1 minggu (wadah ditutup rapat). Setiap 2 hari sekali diaduk untuk mencampur bahan aktif biopestisida. Setelah 1 minggu, bahan disaring dan segera dimasukkan dalam kemasan yang siap digunakan untuk penyemprotan.

Terakhir mereka sering menggunakan tumbuhan sebagai biopestisida dengan teknik mengambil ekstrak (sari bahan). Perbandangan bahan tumbuhan yang digunakan adalah : 2 : 1 : 1 dengan perbandangan 1 bahan 2 kg, 1 bahan 1 kg dan 1 bahan 1 kg. Kemudian masing-masing bahan ditumbuk hingga halus. Hasil tumbukan diperas untuk diambil airnya (ketiga air ekstrak dari tumbuhan dicampur dalam 1 tempat). Air hasil ekstraksi disimpan didalam wadah (Botol), kemudian simpan ditempat teduh dan tertutup rapat selama 3 hari. Setelah 3 hari, Biopestisida dapat digunakan.

Petani mulai mengetahui tentang hubungan hama dan penyakit, serta cara melakukan penanggulangan. Walau dalam kasus ini persepsi yang digunakan adalah membunuh hama. Sebutan penyakit bagi gejala maupun penyebab serangan dan tidak selalu dapat dibedakannya hama dan penyakit, menunjukkan bahwa kategori-kategori yang diugunakan petani dapat tumpang tindih dan tidak secara tergas terpilah sebagai kategori yang eksklusif (Healey,1998).

Masyarakat juga mengidentifikasi berdasarkan klasifikasi penggunaan tanaman untuk penyakit dan hama tertentu. Friedberg (1990) menyebutkan bahwa etnobotani memberikan perspektif berdasarkan ruh dan hasil kajian fitrah masyarakat yang telah teruji secara berkala. Hal ini sesuai dengan apa yang selama ini diterapkan oleh masyarakat dalam pnggunaan biopestisida.

Pengalaman yang ada dalam masyarakat ini mempunyai nilai ruh yang besar berdasarkan fitrah pengetahuan lokal masyarakat. Beberapa tumbuhan yang bermanfaat itu saat ini sudah di kulturkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Sajen Pacet. Menurut Winarto (1998) bukti-bukti paleoetnobotani menunjukkan bahwa kertergantungan manusia terhadap tumbuh-tumbuhan telah diketahui sejak zaman prasejarah. Dalam proses perkembangan hubungan antara kelompok manusia tumbuh pengetahuan pemanfaatan tumbuh-tumbuhan itu. Fenomena ini mudah sekali terlihat dalam sejarah pemanfaatan tetumbuhaan, terutama sejalan dengan meningkatnya kebutuhan manusia akan sumber pangan, papan, sandang, kesehatan, kegiatan sosial dan ritual.

Upaya itu semata-mata untuk memberikan limitasi bagi upaya eksploitasi yang berlebihan oleh masyarakat. Naluri manusia untuk senantiasa berada dekat dengan alam lingkungannya tercermin dalam usahanya mengenali berbagai bentuk yang ada di sekitarnya. Ini semua

akan menghasilkan ketahanan lingkungan yang menjamin terjelmanya pertumbuhan kesejahteraan masyarakatnya serta dalam jangka panjang memapankan kemajuan kebudayaan bangsanya.

D. KEARIFAN LOKAL DAN EPISENTRUM KERUSAKAN EKOLOGIS