• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bagian 2: Ketegangan Sains-Ekologi dan Agama;

B. Polusi Meruyak, Hujan Asam Mengancam

Langkah “revolusioner” revolusi industri di Eropa yang dimulai sekitar awal abad ke-18 disadari atau tidak telah membuat peningkatan polusi udara di bumi. Sebab, revolusi industri telah memaksakan bahan bakar batubara dan minyak sebagai sember utama energi untuk mesin-mesin. Akibatnya, tingkat emisi dari hujan asam yakni gas-gas SO2, NOx dan HCl meningkat. Padahal bisaanya precussor ini hanya berasal dari gas-gas gunung berapi dan kebakaran hutan.

Robert Angus Smith, tahun 1872 mulai memaparkan tentang fenomena hujan asam akibat aktivitas polusi yang dikeluarkan dunia industri. Saat itu, Smith menjelaskan fenomena hujan asam pada bukunya berjudul, “Air and Rain; The Beginnings of Chemical Technology”. Dalam buku Smith mengutarakan kondisi kota Manchester yang memiliki ancaman hujan asam akibat pesatnya industri. Hujan asam pun sebenarnya istilah yang kurang tepat menggambarkan pelepasan zat-zat asam ke udara, namun yang lebih tepat merupakan dekomposisi asam.

Dalam sejaranya, fenomena hujan asam dalam skala yang cukup besar pertama terjadi pada tahun 1960-an ketika sebuah danau di Skandinavia meningkat keasamannya hingga mengakibatkan berkurangnya populasi ikan. Hal tersebut juga terjadi di Amerika Utara,

pada masa itu pula banyak hutan-hutan di bagian Eropa dan Amerika yang rusak. Sejak saat itulah dimulai berbagai usaha penaggulangannya, baik melalui bidang ilmu pengetahuan, teknis maupun politik.

Bahkan, pada tahun 1970 Amerika mulai mengontrol emisi SO2 dan NOx dengan peraturan pemerintah Clean Air Act. Peraturan ini menentukan standar polutan dari kendaraan bermotor dan industri. Pada tahun 1990 Congress menyetujui amandemen untuk lebih memperketat kontrol emisi yang menyebabkan hujan asam. Amandemen tersebut tercatat mempu mengurangi pengeluaran SO2 dari 23,5 juta ton menjadi sekitar 16 juta ton. US juga merencanakan untuk mengurangi emisi NOx hingga 5 juta ton pada tahun 2010.

Kementerian lingkungan hidup mencatat, Jawa memiliki indeks tingkat emisi penyebab hujan asam tertinggi di Indonesia, ini terjadi karena aktivitas sector ekonomi dan industri Negara ini teprusat di Jawa. Dua puluh tahun silam, tingkat precursor SOx di Indonesia tercatat mencapai 157.000 ton per tahun, sedangkan NOx mencapai 175.000 ton per tahun. Penelitian tahun 2000, Kota Surabaya tercatat mengemisikan 0,26 ton SO2 dan 66,4 ton NOx ke udara dari berbagai sumber pencemar. Hujan asam memiliki air berkadar pH rendah, kondisi hujan normal, pH airnya mendekati 5,6. Sedangkan pada kondisi hujan asam, pH airnya mencapai 3-3,5. Hujan asam ini dalam teorinya akan dapat merusak bangunan, berbagai peralatan logam, dan memusnahkan pepohonan serta mematikan ikan-ikan dan biota perairan.

Di sisi lain, kementerian lingkungan hidup, sejak sejak tahun 2010 mencatat ada 77 izin penggunanan lahan hutan untuk pertambangan telah memanfaatkan lahan seluas 43.136 hektar dan dan 68 izin pinjam pakai hutan seluas 50.113 hektar. Kondisi ini membuat tutupan hijau di Indonesia terus alami pengurangan, padahal tutupan hutan bisa menjadi paru-parunya tanah air. Akibatnya tingkat kerusakan lingkungan di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya. Bahkan, kerusakan itu sudah mencapai 40-50% dari luas wilayah Indonesia sekitar 190 juta hektare. Rendahnya kebijakan otonom daerah terhadapa aktivitas penambangan sumber daya alam membuat, tingkat Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) di Indonesia masih rendah, di mana sebagian besar wilayah provinsi dan kabupaten/ kota di indonesia tidak memenuhi standar lingkungan hidup. Padahal, mengacu pada IKLH, standar mutu harus mencapai 80-90%.

Data kementerian lingkungan, dihitung per antar pulau sejak tahun 2009-2010 Pulau Sulawesi mempunyai nilai indeks tertinggi dan Pulau Jawa terendah. Untuk Pulau Jawa, tahun 2010 mencapai 59,82% dan tahun 2009 menurun hingga 54,41%. IKLH Pulau Sulawesi pada tahun 2010 mencapai 77,21% dan tahun 2009 turun ke angka 75,40%. Kondisi inilah yang kemudian menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan satu milyar pohon.

Secara teoritis, atmosfir dapat mengangkut berbagai zat pencemar ratusan kilometer jauhnya, sebelum menjatuhkannya ke permukaan bumi. Dalam perjalanan jauh itu atmosfir bertindak sebagai reaktor kimia yang kompleks merubah zat pencemar setelah berinteraksi dengan substansi lain, uap air dan energi matahari. Pada kondisi tertentu sulfur oksida (SOx) dan nitrogen oksida (NOx) hasil pembakaran bahan bakar fosil akan bereaksi dengan molekul-molekul uap air di atmosfir menjadi asam sulfat (H2SO4) dan asam nitrat (HNO3) yang selanjutnya turun ke permukaan bumi bersama air hujan yang dikenal hujan asam (Gambar 6).

Gambar 6. Proses terjadinya hujan asam

Hujan asam telah menimbulkan masalah besar di daratan Eropa, Amerika Serikat dan di Negara Asia termasuk Indonesia. Dampak negatif dari hujan asam selain rusaknya bangunan dan berkaratnya benda-benda yang terbuat dari logam, juga terjadinya kerusakan lingkungan terutama mengasakan (acidification) danau dan sungai. Ribuan danau airnya telah bersifat asam sehingga tidak ada lagi kehidupan akuatik, dikenal dengan “danau mati”.

Konteks di atas disadari atau tidak merupakan turunan pengembangan sains dan teknologi yang dipersepsi menjadi peruncing ketegangan sains atas lingkungan hidup. Logika populer pun barangkali juga tidak akan mengelak dengan munculnya turunan-turunan sains yang cukup pesat berkembang. Populasi penduduk yang telah mencapai lebih dari10 miliar adalah realitas peradaban yang sangat wajar. Namun, persoalanya kenaikan itu akan menjadi problem akibat ketidakseimbangan sumber daya alam dengan jumlah manusia. Untuk itulah, sains mulai mengembangkan berbagai jalan manis untuk menyiasatinya. Termasuk mengagas sistem pangan yang cepat dan mudah di produk. Tapi di sisi lain bersifat mengancam ekosistem. Hingga membuat kuasa teknologi atas sumber daya alam kian runyam dan memukul beragam sendi.

Teknologi dan perkembangan sains membawa turunan semua pengelolaan sumber daya alam hanya didasarkan pada keuntungan ekonomis bukan investasi ekologis. Kemajuan teknologi sebagai cerminan dari adanya globalisasi dapat dikatakan telah menjadi ancaman terhadap keberlangsungan lingkungan hidup itu sendiri. Kesalahan penggunaan teknologi ini dapat terlihat pada agrikultur yang terjadi di Afrika pada era kolonialisme. Sebelum bangsa kolonial masuk ke Afrika dengan memperkenalkan teknologi yang memudahkan pertanian, para petani menggunakan alat sederhana seperti cangkul dan ember dalam bertani. Namun kemudian bangsa kolonial memperkenalkan teknologi dengan standar Eropa untuk lebih memudahkan dalam bidang agrikultur sehingga perlahana merusak lahan dan merusak engetahuan lokal pengelolaan pertanian yang ramah lingkungan. Josephson (2006) mengatakan dalam prospek globalisasi mendatang, lingkungan hidup tetap dapat terjaga seandainya pemerintah mampu untuk memlihara nilai-nilai lokal yang telah tertanam dalam masyarakat. Negara wajib untuk meningkatkan pengetahuan dalam mengatur dan membuat kebijakan.

Di Indonesia, akhir 2012, Deputi VII Kementerian Lingkungan Hidup Bidang Kelembagaan, Henri Bastaman, mengatakan, hujan asam sudah mulai terindikasi terjadi. Indikasi ini muncul setelah ada pemantauan di wilayah Bogor, Serpong, Maros, dan Kotoabang. Dari pemantauan deposisi basah di Serpong 2012, secara umum derajat keasaman atau pH air hujan berkisar antara 4,46 — 6,38. Padahal sebuah hujan dikatakan hujan asam jika PH kurang dari 5,6. Begitu juga kadar gas ammoniak (NH3) pada pemantauan deposisi kering 2012 di Serpong, Bogor, Bandung,

Kototabang dan Maros masih lebih tinggi dibandang gas-gas lainnya seperti SO2, HNO3 dan HCl (Antara, 14/12/2012).

Meski belum berani dikatakan secara tegas sebagai hujan asam karena rentang derajat keasamnya masih mencapai 6,3, namun kondisi ini menjadi serius bagi kualitas lingkungan Indonesia. Namun jika melihat data BMKG seperti pada Gambar 7 pantauan keasaman air hujan di Indonesia hanya terdapat beberapa lokasi pemantauan yang ph keasamannya berada di atas normal. Dari gambar tersebut terlihat bahwa indikasi adanya hujan asam di Indonesia sudah tinggi. Sebab, dari baku mutu yang seharusnya harus ber-PH 5,6 hanya 6 lokasi pemantauan yang kondisi air hujannya masih normal, yaitu Bandung, Jayapura, Palembang, Ujung Pandang, Jambi dan Samarinda. Sementara 27 lokasi pengamatan lain yang tersebar di berbagai kota menunjukkan air hujan dalam konsisi asam atau di bawah baku mutu derajat keasaman air hujan. Kondisi terparah terjadi di wilayah Jakarta, Tangerang, Yogyakarta dan Jawa tengah serta Malang.

Jika dibandingkan dengan hasil pemantauan di bulan sebelumnya, yaitu Februari 2012 (Gambar 8) dan Mei 2011 (Gambar 9) terlihat dalam kurun beberapa bulan tingkat kualitas air hujan di Indonesia jauh lebih buruk derajat keasamannya.

Gambar 7. Tingkat keasaman air hujan November 2012 (Sumber: www.bmkg.go.id)

Gambar 8. Tingkat keasaman air hujan Februari 2012 (Sumber: www.bmkg.go.id)

Gambar 9. Tingkat keasaman air hujan Mei 2011 (Sumber: www.bmkg.go.id)

Dari perbandangan masing-masing grafik terlihat bahwa ancaman hujan asam di Indonesia sudah berada di ujung mata. Kondisi ini pun menunjukkan betapa aktivitas yang menghasilkan polusi makin memperparah kualitas lingkungan hidup. Tidak ada yang bisa dilakukan kecuali mulai berfikir dan bertindak nyata mengurnagi faktor penyebab hujan asam yang terjadi di negeri ini. Polutan industri, kendaraan bermotor dan mobil pembakaran lahan dan banyaknya penggundulan hutan harus segera ditekan demi kelangsungan hidup.