• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bagian 5: Mengurai Ketegangan Sains Ekologi; Mencari

A. Episentrum Bencana Ekologis

Tesa di atas menunjukkan betapa krisis lingkungan yang terjadi telah menjadi persoalan krusial karena menyangkut moralitas individu seseorang. Ibarat korupsi, setiap pribadi akan melakukan tindakan perusakan lingkungan karena ada kesmepatan yang terbuka. Untuk itulah dari uraian sebelumnya, jelaslah bahwa bencana ekologis yang terjadi di tanah air ini karena bermuara pada tiga persoalan. Sains yang menurunkan kapitalisme dan industrialisasi, kearifan lokal yang dikebiri dan dilupakan keberadaanya serta salahnya pola pikir penguasaan otonomi sumber daya alam.

Episentrum bencana ekologis dewasa itu telah mampu merasuk dalam karakter bangsa yang an sich pada lingkungan hidupnya. Sebab ketiga episentrum itu telah dikuasai oleh kekuatan sistem penyelenggaraan kekuasaan yang koruptif, hegemonial dan ketidakadilan sosial. Hasilnya, apapun program restorasi yang dilakukan pemerintah melalui penilaian industri hijau, green and clean menjadi sia-sia. Karena indeks pencemaran udara di sejumlah kota besar tetap di atas ambang baku mutu lingkungan. Pusat industrialisasi dan kpitalisme telah menghasilkan pencemaran udara yang emningkatkan pemanasan global, gas rumah kaca yang akhirnya memicu perubahan iklim global. Intensitas

hujan menjadi tinggi, pergeseran waktu musim pun berubah. Buntutnya membuat perkotaan terendam banjir karena drainase buruk, tanah resapan minim terkubur beton-beton. Jakarta pun menjadi darurat banjir pertengahan Januari 2013, atau banjir lebih besar dibanding tahun sebelumnya.

Episentrum kearifan lokal yang dikebiri oleh pemerintah atau penguasa membuat masyarakat acuh terhadap keseimbangan lingkunganya. Hutan ditebang dan digunduli demi kebutuhan hidup mereka yang telah konsumerisme. Pola pertanian mereka menghasilkan banyak limbah dan meningkatkan pelepasan karbon di udara hingga membantu terjadinya efek gas rumah kaca dan pemanasan global. Di sejumlah kasus daerah, kearifan lokal masyarakat digusur pemerintah yang membuka lahan transmigrasi, serta perusahaan hutan produksi sawit dan aneka perkebunan lainnya. Ujunganya banjir bandang terjadi di mana-mana, kecuali kantong masyarakat yang masih memegang utuh budaya kearifan lokalnya atas alamnya.

Episentrum kesalahan pola pikir penguasaan otonomi atas sumber daya alam yang dilakukan para kepala daerah menjadi perunyam bencana ekologis. Kondisi ini pastinya akan rata dirasakan oleh seorang jurnalis di manapun berada, karena setiap musim hujan tidak bisa tenang untuk hanya tidur semenit. Sebab, ancaman banjir dan tanah longsor sudah merambah seluruh penjuru daerah di tanah air ketika hujan dnegan intensitas sedang turun agak lama.

Kesalahan pola pikir terburuk kepala daerah ini terjadi saat sumber daya alam mereka gadaikan ke perusahaan tambang. Baik, pertambangan mineral maupun pertambangan kecil pasir dan batu. Semuanya sama-sama merusak lingkungan hidup, perbuatan dosa makin ironis karena amdal yang dibuat justru untuk membenarkan aktivitas perusakan lingkunganya, bukan menjadi parameter untuk menentukan derajat bahayanya bagi kerusakan lingkungan maupun sosial. Hasilnya, bencana tanah longsor dan banjir bandang pun terus meningkat memakan korban masyarakat yang tidak berdosa. Kondisi ini semua diperparah oleh ekologi politik pemerintah baik pusat maupun daerah yang buruk. Semangat etika lingkungan kalah dengan semangat kapitalisme yang hanya ingin menguasai sumber daya alam untuk kepentingan politis, golongan dan menebar ketidakadilan sosial.

Ketiga episentrum inilah yang menjadi watak buruk bangsa ini. Sehingga bagi, Arne Naess dibutuhkan gerakan fundamental untuk merubah krisis lingkungan ini. Potensi gerakan perubahan watak buruk bangsa ini pun tidak hanya dengan program pemerintah melakukan pengawasan industri agar clean dan green. Bukan juga hanya memantau lingkungan hidup perkotaan daerah dengan adipura, atau memberikan hadiah adiwiyata pada sekolah yang gedung dan fasilitas di dalamnya ramah lingkungan.

Di saat kerusakan lingkungan makin parah dan semua sendi kearifan lokal masyarakat adat dikuliti dan disayat habis oleh penguasa, kini giliran masyarakat yang diajak untuk berpikir dan berpola menyelematkan lingkungan hidup. Padahal, ekologi politik yang seharusnya memberikan dampak positif bagi kelestarian alam yang adil dan beradab justru sebaliknya. Ekologi politik para penguasa, politisi justru menghasilkan kebijakan politik yang salah menjual, menggadaikan sumber daya alamnya untuk kepentingan politis, pengusaha dan kelompok tertentu. Masyarakat adat di korbankan, kesejahteraan rakyat dijadikan komodifikais politis sesaat untuk meraih suara politik. Ironis!

Sama halnya dengan sikap pemerintah, masyarakat kita yang multikultural, beragama dan berbudaya tidak mampu menjadikan agama dan nilai-nilai ketauhidan-nya untuk menekan ekologi politik yang salah. Simbol-simbol agama tidak mampu membuat kontrol atas perusakan lingkungan namun justru dikendalikan oleh penguasa. Simbol-simbol agama dikuliti oleh penguasa untuk dijadikan pelengkap filosofis dan pemulusan rencana strategi rasionalitas pembangunan yang an sich pada lingkungan pada masyarakat yang sktrem mengontrol. Inilah kemudian yang memunculkan pertanyaan mendasar, mengapa Indonesia yang memiliki bentang sumber daya alam dengan umat beragamanya yang juga multikultural tidak mampu menahan gejolak kerusakan lingkungan.

Padahal, seluruh agama yang diajarkan melalui ceramah, siraman rohani, kutbah bahkan pondok pesantren dan sekolah keagamaan selalu mengajarkan tentang tauhid dan etika manusia pada alam semestanya. Harus diakui agama yang seharusnya menjaid pelurus nilai cipta karsa manusia atas pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alamnya telah gagal melakukan tugas suci. Masyarakat beragama kita masih

belum mampu dan mau memanfaatkan nilai-nilai luhur agamanya untuk mengontrol persoalan-persoalan yang bersangkutan dengan etika lingkungan hidup. Sehingga mengurai ketegangan sains dan ekologi sebenarnya mengurai tentang ketegangana etika dan nilai-nilai manusia dengan rasionalitas pembangunan Indonesia yang mengacu pada prinsip kapitalisme.