• Tidak ada hasil yang ditemukan

Di Situbondo, konflik kolonial antara Perhutani dengan masyarakat sekitar hutan juga mengoyak dinamisasi manusia dengan alamnya. Seorang nenek renta 65 tahun, Asiyani, dijebloskan penjara oleh Perhutani karena mencuri 7 batang kayu jati. Padahal, sang nenek meyakini bahwa kayu jati tersebut adalah miliknya yang telah disimpan berbulan-bulan. Kasusnya pun menyita publik hingga 7 bulan lebih pada tahun 2015 silam.

Dengan langkah gontai dan tertatih, nenek Asyani yang didakwa jaksa mencuri 7 batang kayu jati, harus mengikuti sidnag pertamanya di Pengadilan Negeri Situbondo, awal Februari 2015. Pad apersidangan pertama ini, tidak ada staupun media yang mengetahui adanya kasus encurian kayu ini. Baru pada persidangan kedua, sekitar awal maret 2015, kasus nenek Asiyani ini mencuat hebat. Awalnya, memang tidak ada yang istimewa dengan kasus ini, saya dna sjeumlah jurnalis televisi juga menganggap tidak terlalu menjadi berita “A” dengan gambar persidangan yang terjadi. Kami pun berfikir bahwa angel pemberitaanya pun datar dan diperkirakan sulit untuk bersaing dengan isu media mainstream nasional.

Di penghujung sidnag ini, tiba-tiba kami tersentak setelah melihat sang Nenek Asiyani ini tiba-tiba bersimpuh di depan majelis hakim sambil berteriak minta dibebaskan dan jangan dihukum. “ampun pak

hakim, saya tidak bersalah...saya tidak mencuri,” pekiknya dalam bahasa

Madura. Kami pun langsung mengambil momentum gambar dramatis nenek ini hingga lebih dari 2 menit roll kamera. Tidak ada maksud dalam hati untuk melakukan eksploitasi dalam pengambilan gambar snag Nenek. Namun, dalam tugas peliputan kami memang harus mengambil momentum yang memiliki gambar momentum paling bagus dari sekian sekuen cerita pemberitaan sebuah peristiwa. Dari momentum inilah sosok Asiyani kemudian tenar dan menjadi simpati seantero nusantara. Sidang-sidang berikutnya pun dipenuhi banyak pengunjung dair berbagai pihak, mulai masyarakat biasa,mahasiswa hingga para ahli hukum.

Begitu besarnya desakan publik atas kasus nenek ini, karena dianggap tumpul ke atas dan tajam ke bawah, hukum dalam persidangan pun banyak perubahan. Hingga akhirnya, pada persidangan berikutnya Bupati Situbondo, Dadang Wigiarto akhirnya menjamin snag nenek agar ditangguhkan penahanannya oleh Pengadilan (23/03). Penahananya yang memasuki 3 bulan 3 hari pun, akhirnya ditangguhkan oleh pengadilan negeri Situbondo. Mainstream news room semua media cetak dan elektronik seperti dicontohkan pada Gambar 4 pun seirama mengharuskan pada “tentang ketidakadilan hukum yang memperkuat dogma hukum tajam ke bawah (orang miskin) dan tumpul ke atas (kelas kakap, semacam koruptor dan pemilik kuasa)”. Fenomena lokal ini pun akhirnya mengoyak kehidupan nasional.

Gambar 4. Pemberitaan Asyani pencuri tujuh batang kayu jati Perhutani

Dalam perspektif hukum memang banyak yang menyesalkan sikap perhutani dan penegak hukum yang memproses nenek renta ini hingga ke kursi pesakitan. Tidak adil, tidak mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan adalah kecaman kerasnya. Semua pihak beradu argumen menampik tudingan semuanya. Perhutani menyangkal melaporkan Asyani sebagai

kilah cuci tangan atas kasus kemanusiaan ini. Mereka hanya melaporkan adanya pencurian kayu di petak 43F hutan produksi Jatibanteng. Sementara pihak kepolisian sudah berdalih bahwa pemrosesan nenek Asiyani sudha sesuai prosedur hukum yang berlaku.

Kasus ini pun menjadi menarik karena tidak hanya lagi persoalan hukum tentang perlindungan dan perusakan hutan. Namun, kasus nenek asyani ini sebenarnya memberikan informasi kritis tentang penanganan hukum lingkungan, konservasi, ethno-ekologi dan tentunya ekologi politik. Sebab, kasus nenek Asyani ini jelas sebagai puncak gunung es yang didalamnya masih banyak Asyani-Asyani lain yang dikriminalisasi oleh Perhutani sebagai wakil negara yang menguasai sekitar 70% hutan Jawa dan bahkan Indonesia. Ironisnya, penguasa hutan negeri ini hanya gagah mengadili pencuri-pencuri kremi daripada blandong-blandong besarnya.

Kita memang harus mengakui, merusak, mencuri dan menguasai hasil hutan tanpa izin adalah tindak kriminal. Namun, kasus mempidanakan warga miskin penghuni hutan menyiratkan betapa masih bobroknya pengelolaan hutan oleh negeri ini sehingga tidak mampu menjadikan hutan sebagai sumber kemaslahatan bagi masyarakat sekitar hutan. Jelas, merupakan kesalahan besar perhutani yang menyeret nenek miskin karena menguasai 7 batang kayu jati yang diduga diambil dari lahan produksi mereka. Analisis kritisnya negara sebagai pengendali 70% hutan Indonesia tidak mampu menempatkan peranya sebagai konservator hutan, yang seharusnya 3M, menjaga, merawat dan memanfaatkanya agar mampu mensejahterakan masyarakat miskin sekitar hutan. Dan Asiyani ini merupakan penduduk yang berada di pinggir hutan dnegan jarak tidak lebih dari 50 meter dari batas hutan negara. Kita juga mengamini, merusak hutan memang jelas juga sebagai investasi kehancuran makhluk hidup di muka bumi. Namun, jika kita melihat data dalam penelitian terbaru di Journal Nature Climate Change akhir September 2016 lalu, yang menyebut, deforestasi di Indonesia malah meningkat dengan cepat setelah kebijakan moratorium. Disebutkan dalam kurun 2000-2012, Indonesia kehilangan 6,02 hektare hutan setiap tahunnya. Artinya ini menegaskan bahwa masyarakat sekitar hutan bukanlan sebagai penyebab rusaknya hutan di negeri ini. Meskipun ketergantungan masyarakat sekitar hutan pada hutan adalah tertinggi di berbagai dunia. Jelas data itu, menyebut moratorium makin menegasikan

bahwa para cukong dan blandong-blandong besar lah yang memanfaatkanya.

Sebagai fungsi paru-paru dunia, hutan jelas menegaskan fungsinya sebagai ekosistem yang menentukan kelangsungan hidup makhluk di muka bumi ini. Hutan rusak akan merusak juga ekohidrologi bagi masyarakat-masyarakat di bawah hutan, sehingga sering kekeringan dan kekurangan air. Namun, pengelolaan oleh perhutani yang tersebar di pulau Jawa Indonesia menjadi kemirisan karena di sekitar hutan masih banyak warga miskin, sementara mantri-mantri hutan perhutani dimungkinkan justru makin gemuk-gemuk. Ironis lagi, sudah miskin warga sekitar hutan dikriminalisasi dengan jeratan hukum istimewa milik uu kehutanan.

Saat ini jumlah hutan kita sedikitnya 133.876.645 ha yang tersebar paling besar di papua, kalimantan, sumatera dan Jawa. Namun, rasio penduduk dengan luas hutan paling tinggi ada di Jawa. Satu hektar luas hutan dipenuhi sedikitnya oleh 1400 lebih penduduk. Sehingga peluang mengkriminalisasi warga sekitar hutan oleh perhutani potensinya besar di Jawa. Dari luas itu, negara ini padahal diprediksi oleh sejumlah pakar bisa menghasilkan sedikitnya 2.660 triliun dari hasil kayu hutan. Artinya, jika nenek Asyani dibui karena merugikan negara 4,2 juta, maka negara tanpa menindak nenek renta itu sebenarnya sudah mampu mensejahterakan warganya tanpa harus berhutang ke luar negeri.

Untuk itulah, kasus nenek Asyani ini menjadikan peluang untuk menata ulang sistem pengelolaan hutan yang lestari. Mustahil dan sangat memprihatinkan jika Perhutani yang memiliki program pengelolaan hutan bersama masyarakat tidak mampu mengakomodasi kesejahteraan warga sekitar hutan. Kemiskinanlah yang membuat mereka secara tidak sengaja membawa kayu dari hutan untuk ditukar dengan beras dan lauk pauk demi menyambung hidup.

Ini adalah momentum, dimana penguasa 70% hutan negara ini perlu dipertanyakan peranya dalam mengkonservasi hutan. Visi Nawacita presiden Jokowi seharusnya bisa menjadikan tonggak utama, kasus perhutani melawan rakyat miskin ini untuk merubah mental terutama Perhutani dalam mengelola hutan. Karena seharusnya penanggung jawab kesejahteraan masyarakat sekitar hutan bertumpu pada program mereka. Toh, seperti di Jerman, mengajak masyarakat dalam mengelola hutan bukan malah membuat jumlah deforestasi bertambah namun

justru berkurang dan lestari, ekonomi warganya pun juga ikut meningkat. Presiden Jokowi juga harus berani melakukan apa yang dilakukan Prof. Virgilio Viana, gubernur Amazonas Brazil, dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungan hidup tidak hanya dari kacamata ekonomi politik, namun juga ekologi politik yang mensejahterakan melalui 10 jurus jitunya yang populer.

Terakhir, kasus ini jangan hanya dipandang dari perspektif hukum saja tentang ketidakadilan hukum dan kemanusiaanya. Jika itu dilakukan maka, Perhutani juga akan terus berkilah dalam kasus lain tidak pernah melaporkan warga miskin, tua renta atau bahkan anak-anak. Anggota DPR juga hanya akan berempati untuk popularitasnya menegaskan dia sebagai wakil rakyat. Namun, lebih dari itu, bagaimana menempatkan Perhutani sebagai wakil negara untuk bersama-sama dengan lembaga masyarakat lokal memberi dan membayar langsung pelibatan masyarakat dalam mengelola hutan bersama demi menjamin keluarga miskin, kesehatannya dan pendidikanya. Sehingga kemiskinan sekitar hutan akan terurai secara perlahan. Mindset warga hutan pun makin memiliki hutan, dan tidak ada lagi Asyani-Asyani lain di negeri ini.

Terlepas persoalan tersebut, alih fungsi lahan hutan menjadi areal kebun dan areal pertanian holtikultura telah menyublim beragam persoalan ekologi. Bahkan, juga telah membuat munculnya bencana ekologis. Itu dibuktikan dengan fakta buruknya kuantitas hutan di Daerah Aliran Sungai (DAS) baik di Jawa maupun luar Jawa. Dan ironisnya, masih menjadi penyebab utama bencana ekologis, banjir dan tanah longsor. Tak terkecuali bencana banjir bandang yang baru menerjang Garut, Jawa Barat September 2016 lalu. Kepedihan dan duka mendalam pun tak terbendung terus mengalir hingga berbulan-bulan. Beragam kemirisan pun terungkap dalam musibah tersebut. Secara ekologis, gundulnya wilayah sekitar DAS menjadi pembuka tabir kejahatan yang menyebabkan jatuhnya belasan korban jiwa tak berdosa. DAS Cimanuk pun tergugat meneguhkan bahwa kejahatan ekologis di hutan hulu sungai itu tak terbendung.

Jumlah korban yang terus berjatuhan pun juga menegaskan bahwa kerusakan hutan masih menjadi momok buruk bencana hidrologi negeri ini. Harus diakui bahwa dalam dekade terakhir, persoalan hutan tersaji makin rumit dan carut marut. Tak hanya problem pembalakan liar dan alih fungsi hutan, namun, isu kebakaran hutan lahan menjadi kian

gencar mengalahkan isu tata kelola hutan lestari untuk mengurangi resiko bencana ekologis. Energi kita terpusat pada titik kebakaran hutan setiap tahun yang terus menajam dan menjadi problem multisektor dan bahkan multilateral.

Era Presiden SBY rasanya masih lekat dalam ingatan kita, bahwa negara kita harus meminta maaf karena asap kebakaran hutan menyelimuti negeri jiran, seperti Malaysia dan Singapura. Apalagi, konteksnya selalu berkutat pada perilaku warga membakar lahan gambut dan membakar lahan “hutan” untuk pembuatan lahan pertanian baru. Kementerian Kehutanan (saat ini telah dilebur menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) pun tak bisa berbuat lebih banyak karena kebakaran “hutan” diklaim tidak berada dalam hutan yang mereka kuasai sejak nenek moyang, yaitu di luar sekitar hutan sehingga menjadi ranah kewenangan bidang lain seperti Kementerian Lingkungan Hidup atau Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Nasional.

Tak hanya persoalan bencana hidrologi, hutan kita juga memiliki isu emisi gas karbon akibat pembukaan lahan dan alih fungsi hutan masif terjadi. Kondisi ini menyublim ketegangan multisektor berbagai kalangan, baik negara berkembang lain, negara maju bahkan dengan kalangan aktivis lingkungan. Banyaknya perusahaan yang membuka lahan sawit menjadi masalah pelik tentang tata kelola hutan. Sistem hutan rakyat yang dibangun pemerintah untuk kesejahteraan rakyat juga tak kunjung mensejahterakan masyarakat sekitar hutan. Perhatian publik pun terseret pada manajemen untuk mengatasi kebakaran lahan dan hutan. Dan kembali terhentak saat degradasi hutan akibat pembalakan di DAS menjadi pemicu bencana banjir dan longsor.

Pergantian menteri kehutanan setiap rezim juga tidak mampu menyelesaikan persoalan kehutanan yang kongkrit dan holistik, hingga akhir pemerintahan kementerian “mandiri” kehutanan 2014. Hasan (2004) menyebut terdapat 30,2 juta lebih daerah aliran sungai (DAS) lahannya rusak, gundul dan terdegradasi. Sebanyak 30% atau sekitar 10,6 juta DAS berada di luar kawasan hutan dan sisanya sekitar 19,9 juta berada dalam kawasan hutan.

Namun, bukannya tidak ada upaya, Hasan (2004) juga mengakui bahwa selama periode kepemimpinannya di “rimba” ini laju kerusakan hutan sekitar DAS telah mampu dicegah hingga 70 persen, dengan kemampuan merehabilitasi sekitar 27.294.000 hektar dengan penyebaran

14.836.387 hektar berada di dalam kawasan hutan dan 12.458.453 hektar di luar hutan. Namun, laju bencana banjir dan tanah longsor di negeri ini tetap tak terkendali di sekitar hutan seperti Manado Sulawesi, Purworejo Jawa Tengah, Pacitan dan Trenggalek di Jawa Timur dan terakhir di kawasan hutan konservasi DAS Cimanuk,Garut, Jawa Barat yang menelan banyak korban jiwa.

Memang harus diakui bahwa gebrakan menanam satu milliar pohon atau dikenal OBIT (ONE BILLION Indonesia Trees) era Zulkifli Hasan menjadi oase di tengah sengkarutnya kondisi hutan. Sebab, dengan laju degradasi 2 juta hektar per tahun, ancaman kerusakan hutan kita seperti lapangan sepak bola setiap harinya, padahal kita memiliki 222 juta hektar hutan. Dalam rentang kepemimpinannya mulai tahun pertama 2010 sampai 2013, Zulkifli mengklaim telah menanam 1,8 juta pohon dan berharap pada 2014 silam telah menanam 2 milyar pohon. Sebuah target prestisius dua kali lipat dari program OBIT. Gebrakan ini sangat menggema hingga melibatkan multisektor terutama TNI, perusahaan swasta, BUMN, Pemerintah Daerah dan bahkan pihak sekolah dan pelajar. Bahkan, hasil dari program ini diestimasi mampu menyerap karbon (CO2) sebesar 32,36 juta ton. Sebuah program yang berimplikasi besar karena jika negara maju mau membeli jumlah itu sebagai kompensasi menjaga paru paru dunia yang dimiliki Indonesia maka implikasi konservasi bagi hutan kita juga makin besar. Namun, sayang itu belum dilakukan oleh negara-negara maju meskipun kesepakatan dan protokol-protokol penurunan emisi gas karbon sering dilakukan. Untuk bencana hidrologi, meski telah banyak keberhasilan dalam menjaga hutan namun lajunya juga makin tinggi tiap tahun.