• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bagian 5: Mengurai Ketegangan Sains Ekologi; Mencari

G. Social Enterpreneur Sebuah Jalan Rehabilitasi

MEN-TAL EKOLOGIS

Jika perusakan lingkungan sudah berdimensi mental maka melakukan perubahan mental tidak cukup dengan menegakkan aturan. Untuk itulah, kini berkembang sejumlah strategi berupa sosial enterpreneurship. Istilah ini sebenarnya telah populer di ratusan tahun silam namun makin populer setelah salah satu tokohnya Dr. Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank di Bangladesh mendapatkan hadiah Nobel untuk perdamaian tahun 2006. Dalam konsep Yunus, usaha sosial dilakukan dengan program pemberdayaan masyarakat yang menyasar kelompok kurang mampu dalam bidnag keuangan. Sehingga dampaknya pada munculnya kesejahteraan sosial dan peningkatan penghasilan.

Secara umum Social Entrepreneurship merupakan sebuah istilah turunan dari kewirausahaan. Gabungan dari dua kata, social yang artinya kemasyarakatan, dan entrepreneurship yang artinya kewirausahaan. Pengertian sederhana dari Social Entrepreneur adalah sebuah aktivitas yang mengerti permasalahan sosial serta melakukan perubahan dengan cara wirausaha untuk melakukan perubahan sosial untuk kesejahteraan. Social Entrepreneurship ini juga telah berkembang sejak tahun 1980-an yang diawali oleh para tokoh seperti Rosabeth Moss Kanter, Bill Drayton, Charles Leadbeater dan Profesor Daniel Bell dari Universitas Harvard. Mereka mengembangkan 60 organisasi sosial yang berdimensi kesejahteraan sosial yang tersebar di seluruh dunia.

Dalam beberapa tahun terkahir, sebuah Bank ternama asal Singapura juga konsen memberikan bimbingan pada tokoh-tokoh muda untuk berinovasi dalam melakukan bisnis sosial. Prinsipnya juga sama dengan konsep sosial enterpreneurship, yaitu harus menyerap lapangan kerja, memberi kesejahteraan sosial dan menjawab persoalan sosial sekitarnya. Dan setiap tahun, juga dibuat klinik dan pelatihan serta kompetisi kreatif bagi para mahasiswa dan anak muda untuk berlomba melakukan usaha sosial.

Di Indonesia, sejumlah lembaga nirlaba telah melakukan upaya bisnis sosial dan social enterpreneurship. Salah satunya barangkali yang konsen adalah Lembaga Dompet Dhuafa. Diawali dengan inisiatif beberapa orang, kini Lembaga Dompet Dhuafa telah mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat lemah di hampir sleuruh penjuru dunia, bahkan mungkin di beberapa negara luar. Kemampuan manajerial yang kuat dalam mengentaskan problem sosial di masyarakat menjadi modla penting dalam sukses binis sosialnya.

Dari beragam pandangan di atas, kini setidaknya pelru untuk dikembangkan dalam praktek penanganan problem kerusakan lingkungan. Seorang yang memiliki kemampuan sosial enterpreneurship seharusnya mulai mengembangkan kemampuanya untuk bidang lingkungan hidup, yaitu merubah mental anti ekologis menjadi ramah lingkungan. Di Indonesia memang telah banyak dikembangkan terutama oleh anak muda dengan melakukan sosial enterpreneur di bidnag smapah perkotaan melalui bank sampah. Persoalan pangan dengan mengembangkan pertanian organik berbasis komunitas dan sebagainya.

Social enterpreneurship di bidnag pertanian organik telah nyata

misalnya dilakukan di kampung penanggungan Trawas, Mojokerto. Dari inisiatif seorang anak muda lalu terus berkembang menjadi komunitas yang menjawab masalah kemiskinan dan masalah eksploitasi hutan yang massif. Prospek perkembangan usaha sosial lingkungan hidup juga terus positif karena makin menjadi trend di kalangan aktivis lingkungan. Pilihan pun cukup sederhana dalam menerjemahkan problem lingkungan hidup di tengah peningkatan populasi penduduk bumi.

Sejak tahun 2007, penulis mencoba konsen dalam perlindungan lingkungan hidup namun dalam tiga tahun terakhir mulai fokus pada upaya social enterpreneurship lingkungan. Dalam sebuah project penebalan vegetasi mangrove di Tanjung Pecinan, Mangaran, Situbondo, penulis mencoba menerapkan tentang hal tersebut. Melalui pendanaan hibah dari Mangroves for the Future (MFF) Indonesia, kami mencoba mengurai problem sosial warga sekitar pesisir utara Situbondo ini. Pemetaan awalnya adalah, mangrove di sekitar lokasi sering dijadikan bahan eksploitasi untuk ditebang oleh para nelayan dan pemilik tambak untuk alih fungsi menjadi tambak. Ranting-rantingnya digunakan untuk kayu bakar dan dibuat rumpon di tengah laut.

Faktor ketidaktahuan menjadi awal perusakan yang tidak disengaja. Lalu disusul faktor ekonomi sosial warga pesisir memang dikenal dalam kesulitan secara ekonomi. Melalui pendekatan persuasif, akhirnya saya mulai menawarkan kerja-kerja sosial untuk konservasi mangrove dan memperkuat ekonomi mereka melalui kreasi yang bisa mereka lakukan. Kompleksnya persoalan lingkungan hidup karena adanya beragam faktor mulai ledakan jumlah penduduk, taraf pendidikan warga hingga persoalan ekonomi mebuat siapapun harus mampu mereduksi mental ekologisnya dengan beragam pendekatan. Untuk kasus di Situbondo ini, pendekatan persuasif dengan sekedar program tidaklah ukup. Kemampuan berkomunikasi dan menyentuh hati masyarakat pesisir dalam menjaga mangrove dan lingkungan pesisirnya mutlak diberikan sebelum meneruskan aksi usaha sosialnya.

Kecakapan komunikasi penting dalam membangun sosial enterpreneur. Sebab, seorang pelaku social enterpreneur ini harus mampu menyakinkan pada kelompok masyarakat bahwa apa yang akan dilakukan menjanjikan seara ekonomi maupun lingkungan hidup sekitarnya. Apalagi jika usaha sosial yang hendak dilakukan bersama masyarakat itu ternyata suatu hal baru dan aneh bagi mereka. Kebetulan, di lokasi program ini problem lingkungan dan ekonomi masih beriringan saling mempengaruhi sehingga cukup mudah dalam melakukan komunikasinya. Seara lingkungan mereka teranam laju abrasi yang membuat pemrukiman mereka harus mengungsi dari sepadan pantai menjauh ke daratan karena tergerus ombak.

Dari problem itulah lalu bisa dilakukan dengan model pendekatan

participation rural active (PRA), meskipun model ini telah dianggap

kuno dan banyak ditinggalkan dengan konsep lain. Namun, dengan PRA smeua amsyarakat kita ajak untuk berdiskusi memilih apa yang bisa dilakukan bersama dan untuk apa itu semua dilakukan. Praktek ini juga diperlukan ara komunikasi yang baik untuk tak hanya bisa biara di depan mereka tapi juga teknik dalam menjadi mediator, teknik menjadi pendnegar dna teknik menjadi leader. Semua persoalan pun akhirnya mengeruut pada pentingnya menanam mangrove di sepanjang pantai agar terhindar dari abrasi terus menerus. Kami pun lalu mulai membangun strategi usaha sosial yang bisa dilakukan dalam upaya konservasi mangrove. Seluruh kelompok masyarakat baik laki-laki dan perempuan pun kami ajak membibitkan mangrove dari buah yang ada

di sekitar mereka. Dan akhirnya berhasil membibitkan 40.000 mangrove, dengan penghasilan 200 rupiah per bibit. Lalu disusul dengan pendampingan budidaya kepiting bakau, pembuatan kerupuk bandeng hingga budidaya bandeng di tambak seara simultan.

Hasil dari semua kegiatan sosial ini menjaid modal untuk usaha sosial dalam menyelamatkan lingkungan. Sebab, dengan mereka memiliki penghaislan dair sumberdaya lokal yang tersedia di sekelilingnya, akhirnya mereka mau dan ammpu menjaga kelestarian mangrove di skeitarnya. Konservasi pun berhasil mereka lakukan hingga 5 ha hamparan man-grove yang menjaid investasi masa depan mereka dan generasi berikutnya. Dengan modal sosial ini, perlahan namun pasti, upaya merubah pikiran merusak dan an sih pada lingkungannya bisa terwujud. Dengan demikian, potensi social enterpreneurship diberlakukan dalam mengatasi persoalan lingkungan begitu besar harus dilakukan. Pendekatan-pendekatan konservasi harus mengarah pada sistem usaha sosial yang berkesinambungan dalam upaya merubahan mindset acuh pada lingkunganya.