• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : DESKRIPSI PMKRI DAN PERUBAHAN POLITIK DI INDONESIA

3.PROGRAM KEMASYARAKATAN – KENEGARAAN

2.3.12 Aksi Tritura

Selanjutnya KAMI menuntut pemerintah agar meninjau berbagai kenaikan harga, lalu KAMI menggelar seminar untuk membahas masalah ekonomi Indonesia pada tanggal 10 Januari 1966, di Universitas Indonesia. Tampil sebagai pembicara antara lain Jendral A. H. Nasution, Letnan Jendral Soeharto, Syarief Thayeb, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Adam Malik, Subchan Zaenuri Echsan. Saat itu HMI melahirkan pemikiran pada aspirasi rakyat yang dikenal dengan Amanat Penderitaan Rakyat dan memperjuangkan berbagai keluhan, tuntutan, dan hati nurani rakyat.

Kemudian memformulasikannya menjadi Tritura, substansinya disusun oleh Cosmas Batubara , David Napitupulu (PMKRI, dan Mar'ie Muhammad (HMI), sedangkan redaksinya disusun oleh Ismid Hadad (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia), dan Saverinus Suardi (PMKRI).46

1). Bubarkan PKI beserta ormasnya.

Tiga tuntutan rakyat yang mendasar kepada pemerintah itu mendapat dukungan penuh dari Angkatan Bersenjata. Isinya adalah

2). Turunkan harga dan perbaiki sandang pangan.

3). Perombakan dan pembersihan kabinet Dwikora dari unsur PKI.

Dari ketiga pasal tersebut, dua tuntutan pertama merupakan produk lama karena sebelumnya telah disuarakan Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan 30 September (KAP-Gestapu) sejak bulan Oktober 1965, sementara tuntutan terakhir merupakan produk baru. Keberadaan tuntutan yang ketiga dalam Tritura bernilai paling strategis karena langsung bersentuhan dengan kepentingan rakyat banyak.

Keberhasilan KAMI memformulasikan Tritura dalam perkembangan selanjutnya mampu menyimbolkan perjuangan bersama seluruh kekuatan mahasiswa. Sejak dicetuskannya Tritura, aksi-aksi demonstrasi mahasiswa berkembang semakin membesar dan intens, menjadi semakin bermakna dengan dukungan penuh rakyat dan Angkatan Bersenjata. Aksi-aksi Tritura yang diperjuangkan mahasiswa secara konsisten sejak awal Januari 1966 akhirnya terbukti menjadi semacam kata sandi bagi berbagai perubahan politik mendasar di tanah air sepanjang pertengahan tahun 1960, termasuk suksesi kepemimpinan nasional dari Soekarno ke Soeharto.47

Titik puncak keruntuhan wibawa Bung Karno salah satunya disebabkan aksi-aksi Tritura. Aksi-aksi-aksi Tritura sebagai reaksi-aksi terhadap keadaan politik, sosial, ekonomi, masyarakat dan pemerintahan waktu itu yang telah mengarah kepada kehancuran dan konflik di antara para elite politik yang berkuasa dalam pemerintahan. Timbul kecemasan rakyat di seluruh tanah air terhadap kelangsungan

46

ibid

47

hidup negara. KAMI, organisasi extra universitas, memimpin menyampaikan aspirasi masyarakat dengan berdemonstrasi di pekarangan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia kampus Salemba.

Didahului upacara yang diikuti pimpinan Resimen Para Komando Angkatan Darat, Kolonel Sarwo Edhie Wibowo beserta staff. Yang dipakai dalam aksi-aksi Tritura adalah panji-panji KAMI. Jaket kuning Universitas Indonesia menonjol dalam perjuangan menegakkan Orde Baru, disebabkan karena massa KAMI terbesar terdapat di UI dan diorganisasi oleh KAMI UI. Kampus UI merupakan pusat perjuangan Orde Baru, di mana berbagai kekuatan Orde Baru, khususnya mahasiswa dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia bertemu. Perjuangan angkatan 66 telah meluas dan melebar dari sekadar penghancuran komunisme di Indonesia, bukan sekadar masalah permukaan dan ringan, tetapi sudah masuk ke dalam perjuangan rakyat Indonesia.

Pemboncengan modus ekonomi ke politik menguntungkan KAMI, gelombang aksi mendapat dukungan luas ke daerah-daerah, sehingga KAMI menjadi kekuatan politik. Pemimpin-pemimpin KAMI Pusat seperti Cosmas Batubara, Sulastomo, Harry Tjan Silalahi, David Napitupulu, Arif Rahman, Mar'ie Muhammad menjadi idola baru tidak hanya di kalangan mahasiswa, tetapi juga di kalangan masyarakat umum.

Hasanuddin Haji Madjedi menjadi pahlawan Ampera pertama, gugur di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, gugur karena tembakan oknum tentara Batalyon K Kodam Diponegoro Jawa Tengah yang di-BKO-kan di Banjarmasin pada tanggal 10 Februari 1966. Ketika almarhum yang sedang memegang spanduk bertuliskan "Tak Ada Pilihan Lain, Menjadi Bangsa Indonesia atau Bangsa Asing", bersama rekan-rekan demosntran lain pulang dari berunjuk rasa di konsulat Republik Rakyat Tionghoa di Jl. Pacinan Laut (kini Jl. Kapten Pierre Tendean) Banjarmasin. Pahlawan Ampera ini dimakamkan satu kompleks dengan makam pahlawan nasional Pangeran

Antasari, di kawasan pekuburan muslim Jl. Masjid Jami' Banjarmasin. Puncak aksi terjadi pada tanggal 24 Februari 1966. Demo mahasiswa di depan istana negara berbuntut bentrok dengan pasukan Cakrabirawa. Pasukan Cakrabirawa mungkin telah kehilangan akal sehat menembak membabi buta kearah kerumunan hingga seorang mahasiswa kedokteran UI, Arif Rahman Hakim gugur tertembak. Revolusi membutuhkan korban.

Sang pahlawan yang kelak diberi gelar pahlawan Ampera itu membawa semangat baru di kubunya. Perjuangan KAMI dalam angkatan 66 mengalami suka duka, pahit manis, berhadapan dengan kekuatan, berhadapan dengan kekuatan penguasa militer yang memihak Soekarno (Orde Lama) dan PKI. Banyak mengambil resiko mulai dari kekurangan makan, tekanan, siksaan fisik, hingga kematian. Banyak korban tewas dalam perjuangan panjang menegakkan Orde Baru.

Dalam aksi tanggal 24 Februari 1966, gugur dua orang pejuang angkatan 66, Zubaedah (PII/KAPPI) dan Arif Rahman Hakim (HMI/KAMI). Rekan-rekan mereka mengantar jenazah mereka ke pemakaman tanggal 25 Februari 1966, dengan prosesi yang sangat sahdu dan mengharukan, seluruhnya memperkuat tekad dan semangat generasi muda untuk terus berjuang.

Para pejuang yang lain yang gugur dalam memperjuangkan Ampera pada saat itu antara lain Hasanuddin Noor (mahasiswa Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin) wafat tanggal 10 Februari 1966, Muhammad Syarif Al Kadri (mahasiswa Ujung Pandang) gugur tanggal 25 Februari 1966, Arismunandar (pelajar SMP Muhammadiyah X Yogyakarta), Margono (pelajar SPG Muhammadiyah I Yogyakarta) keduanya gugur tanggal 10 Maret 1966. Yusuf Hasim dan Dicky Oroh (pelajar di Manado) gugur tanggal 31 Maret 1966, Mohd. Syafi ‘I (pelajar Jakarta) gugur tanggal 9 Mei 1966, Yulius Usman (mahasiswa Fakutas Ekonomi Universitas Padjadjaran Bandung) gugur tanggal 18 Agustus 1966, Ahmad Karim (pelajar STM Bukittinggi) gugur tanggal 11 Desember 1966, Zaenal Zakse (wartawan Harian

KAMI) gugur tanggal 8 Mei 1967. Mereka semua dicatat dengan tinta emas dalam sejarah sebagai pejuang yang membela hak-hak rakyat dan diangkat sebagai pahlawan Ampera, dan rakyat Indonesia tidak akan pernah melupakan perjuangan mereka.48

Mereka berkata Semuanya mereka gugur sebagai pahlawan perubahan yang menjadi inovator perjuangan. Konsep kepemimpinan selalu dimulai oleh oarng muda. Perubahan memang memerlukan pengorbanan. Angkatan 66 yang terdiri dari pejuang muda, baik dari organisasi mahasiswa, pelajar dan pemuda, atau dari kampus yang tergabung dalam berbagai organisasi seperti KAMI, Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia, Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia, Kesatuan Aksi Wanita Indonesia, bergabung dengan Angkatan 66. Mereka berjuang meluruskan arah dan tujuan bangsa Indonesia yang diselewengkan Orde Lama dan komunis.

48

Parakitri T. Simbolon Angkatan 66 Peluang Emas yang Sia-sia :

BAB III