• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : DESKRIPSI PMKRI DAN PERUBAHAN POLITIK DI INDONESIA

3.PROGRAM KEMASYARAKATAN – KENEGARAAN

2.3.8 Gerakan 30 September 1965

Pada saat-saat genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan Jendral yang mengungkapkan bahwa beberapa petinggi Angkatan Darat tidak puas terhadap Soekarno dan berniat menggulingkannya. Menanggapi isu ini Soekarno disebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa menangkap dan membawa mereka untuk diadili. Seluruh akumulasi kekuatan PKI menyimpulkan bahwa mereka telah

siap merebut kekuasaan, dan tinggal menunggu waktu. Dalam bahasa isyarat PKI menyebut kondisi dan kekuatan itu dengan, "Ibu telah hamil tua.", tinggal menunggu saat-saat melahirkan, waktunya tak lama lagi.PKI telah menyiapkan tiga pasukan utama, yaitu pasukan Pasopati yang bertugas menculik dan membunuh para jendral Angkatan Darat yang berlawanan dengan PKI. Pasukan Pringgodani bertugas menguasai lapangan udara Halim Perdana Kusuma dan sarana-sarana penting politik dan ekonomi.39

1). Letnan Jendral TNI Ahmad Yani (Mentri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi).

Pasukan Bima Sakti bertugas menguasai sekitar Monas, Istana Negara, Radio Republik Indonesia, dan Telekomunikasi, dan tempat-tempat strategis lain. Pada tanggal 30 September 1965 terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap enam pejabat tinggi militer Indonesia, seorang perwira pertama, dan beberapa orang lain, dalam suatu usah pemberontakan atau kudeta yang dituduhkan kepada para anggota PKI.Ke enam pejabat tinggi Angkatan Darat yang dibunuh tersebut adalah :

2). Mayor Jendral R. Suprapto (Deputi II Mentri /Panglima Angkatan Darat bidang Administrasi).

3). Mayor Jendral Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Mentri/Panglima Angkatan Darat bidang Perencanaan dan Pembinaan)

4). Mayor Jendral Suwondo Parman (Asisten I Mentri/Panglima Angkatan Darat bidang Intelijen).

5). Brigadir Jendral Donald Izaacus Panjaitan (Asisten IV Mentri/Panglima Angkatan Darat bidang Logistik)

6). Brigadir Jendral Sutoyo Siswomihardjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jendral Angkatan Darat). Jendral TNI Abdul Haris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Tetapi, putrinya, Ade Irma Suryani

39

Nasution, dan ajudannya, Letnan Satu Pierre Andreas Tendean gugur dalam peristiwa itu.

Ada beberapa orang lain yang menjadi korban,yaitu :

1). Bripka Karel Satsuit Tubun (pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Mentri II dr. J. Leimana)

2). Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas Yogya). 3). Letnan Kolonel Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Umum Korem 072/Pamungkas Yogya).Para korban yang di Jakarta jenazahnya dibuang ke suatu lokasi (sumur tua) di daerah Lubang Buaya, Pondok Gede. Mayat mereka ditemukan pada tanggal 3 Oktober 1965.

Pada tanggal 1 Oktober 1965 pukul 07.00 waktu Indonesia bagian Barat, PKI mengumumkan melalui siaran RRI Pusat, tentang pembentukan gerakan perjuangan yang berfungsi sebagai pemerintahan sementara, yang disebut Gerakan 30 September, yang dalam praktek sehari-hari dilaksanakan oleh Dewan Revolusi Indonesia, akan dibentuk Dewan Revolusi Propinsi, Dewan Revolusi Kabupaten, Dewan Revolusi Kecamatan.

Menurut pengamat sejarah, PKI dengan cepat membentuk Dewan Revolusi yang terdiri dari 45 orang, lima di antaranya bertindak sebagai presidium, selebihnya sebagai anggota. Tetapi hasil pemberontakan mereka hanya sampai pada tahap ini. Karena sebelum mereka dapat menguasai berbagai posisi dan lokasi pengambila keputusan serta proyek vital, mereka telah kehabisan energi dan akhirnya keadaan berbalik kea rah kehancuran mereka. Soekarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner para "pemberontak" dengan berpindah ke pangkalan udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan. Kesalahan kecil tetapi berpengaruh pada tahap operasi militer Gerakan 30 September 1965 adalah lolosnya Jendral A. H. Nasution dan tidak diperhitungkannya Komando

Strategi Angkatan Darat (KOSTRAD) yang dipimpin Mayor Jendral Soeharto. Dua Jendral yang kurang diperhitungkan inilah yang menjadi motor dan lokomotif penghancuran PKI. Mayor Jendral Soeharto langsung mengontak Panglima Angkatan Laut, Panglima Angkatan Kepolisian, Komandan Batalyon Kujang Siliwangi di Bandung, dan menggerakkan pasukan elit Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) untuk merebut RRI Pusat dan Gedung Telkom. Pada pukul 19.00WIB tanggal 1 Oktober 1965, Soeharto sudah tampil berbicara di corong radio, mengumumkan bahwa Gestapu/PKI dan Dewan Revolusioner adalah makar dan pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah, dan meminta rakyat tidak melibatkan diri dalam pemberontakan tersebut. Inilah pertama kalinya seorang jendral menegaskan siapa kawan, siapa lawan, meminta rakyat menghancurkan pemberontakan tersebut.

Tanggal 6 Oktober 1965 Soekarno menghimbau rakyat menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara Angkatan Bersenjata dengan para korbannya dan penghentian kekerasan. Biro politik dan komite senttral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "Pemimpin Revolusi Indonesia" dan tidak melawan Angkatan Bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di Koran CPA bernama Tribune.

Tanggal 12 Oktober 1965, para pemimpin Uni Sovyet Brezhnev, Mikoyan, dan Kosygin, mengirim pesan khusus untuk Soekarno, "Kita dan rekan-rekan kita bergembira mendengar bahwa kesehatan Anda telah membaik... Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato Anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tenang dan menghindari kekacauan.Himbauan akan dimengerti secara mendalam." Tanggal 16 Oktober 1965, Soekarno melantik Mayor Jendral Soeharto menjadi Mentri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara. Dalam Konferensi Tiga Benua di Havana bulan Februari 1966, perwakilan Uni Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka menghindari pengotakan atas penangkapan dan pembunuhan orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat

Indonesia.Pendirian mereka mendapat pujian dari rezim Soeharto. Parlemen Indonesia menegesahkan resolusi tanggal 11 Februari 1966, menyatakan penghargaan penuh atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni Sovyet dan negara-negara lain di konferensi solidaritas negara-negara Afrika, Asia, dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisasi usaha-usaha para kontra revolusioner gerakan 30 September, dan para pemimpin serta pelindung mereka, untuk campur tangan terhadap urusan dalam negri Indonesia.

2.3.9 Asumsi Penangkapan Dan Pembunuhan

Pada bulan-bulan setelah peristiwa G 30 S - PKI, mereka yang dianggap simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui, ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi untuk diinterogasi dan disiksa tanpa perlawanan. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November), dan Bali (bulan Desember) 1965. Tidak diketahui dengan pasti berapa orang dibantai? Perkiraan konservatif menyebutkan 500 ribu orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juta orang. Namun diduga setidaknya satu juta orang menjadi korban bencana kemanusiaan enam bulan pasca kudeta itu. Tentara menghasut dan membantu kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap kanan seperti barisan Anshor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakuakan pembunuhan missal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya sampai di tempat-tempat tertentu terbendung mayat. Sewaktu regu-regu militer yang didukung CIA menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan dengan keji membantai mereka, majalah "Time" saat itu memberitakan, "Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala besar sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi sangat serius di Sumatra Utara, di mana udara lembab membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang terbendung mayat-mayat. Transportasi sungai terhambat secara serius.". Di

Bali, yang sebelum peristiwa G 30 S dianggap sebagai kubu PKI, sedikitnya 35.000 orang menjadi korban di awal tahun 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elit PNI adalah pelaku pembunuhan ini.Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka. 40

2.3.10 Angkatan 66

Di kota-kota besar perburuan rasialis "anti Tionghoa" terjadi. Para pekerja dan pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat. Diperkirakan sekitar 110.000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir tahun 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan, termasuk terhadap belasan orang sejak tahun 1980-an. Empat tahanan politik, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman, dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.

Jauh sebelum pemberontakan Gestapu/PKI, sudah ada pihak dan golongan anti komunis, baik secara terang-terangan maupun diam-diam. Golongan-golongan itu antara lain adalah beberapa perwira Angkatan Darat, tokoh-tokoh Islam seperti bekas-bekas anggota Masyumi, HMI, PII, kalangan muda NU dan Muhammadiyah,bekas-bekas anggota PSI, tokoh-tokoh tertentu, Katholik/PMKRI, SOKSI, dan lain-lain, secara naluriah, kelompok inilah yang paling cepat terpanggil untuk memerangi PKI.Sulastomo, ketua umum Pengurus Besar HMI saat itu, bersama Syarifuddin Harahap, pada tanggal 1 Oktober 1965 pagi langsung menghubungi Subchan Z. E. ketua PBNU yang dekat angkatan muda, untuk menilai situasi dan menentukan sikap bersama. 41

40

ibid

Atas inisiatif Subchan Z. E., diadakan rapat umum pertama untuk menentang, mengutuk Gestapu/PKI, menuntut pembubaran PKI dan antek-anteknya, di Taman Sunda Kelapa, Jakarta tanggal 4 Oktober 1965. Sore harinya, Subchan Z. E.bersama tokoh-tokoh anti komunis membentuk badan yang mengkoordinasikan aksi-aksi penumpasan PKI di kalangan sipil, yang dinamakan

41

"Kesatuan Aksi Pengganyangan Kontra Revolusi Gestapu" disingkat KAP Gestapu, merupakan kesatuan aksi pertama di Indonesia yang bertujuan menghancurkan komunisme di Indonesia, dengan alamat pejabatnya di Jl. Sam Ratulangi No. 1 (Sekretariat PMKRI) dan juga Jl. Banyumas No. 4 (rumah Subchan Z. E.). KAP Gestapu ini didukung NU, Partai Katholik, Muhammadiyah, Angkatan Muda Muhammadiyah, GP Anshor, IPKI, HMI/KAHMI yang ikut dalam susunan pengurus KAP-Gestapu adalah Syarifuddin Harahap (Biro Keuangan), Ismael Hasan Metareum, Mar'ie Muhammad, Dahlan Ranumihardja, dan Sulastomo (anggota). KAP- Gestapu menjadi "dapur pemikiran" untuk menilai setiap perkembangan situasi dan mengolahnya menjadi berbagai program aksi, mulai dari aksi jalanan (demonstrasi) sampai pada pengiriman petisi dan utusan kepada lembaga yang berkepentingan. KAP-Gestapu memperkenalkan dan memulai aksi-aksi jalanan dan demonstrasi yang kemudian menjadi program rutin seluruh kesatuan aksi lainnya. Sejalan dengan itu, seluruh kantor induk pejabat PKI dan organisasi pendukungnya, dihancurkan oleh kelompok-kelompok PII, HMI, dan Pemuda Muhammadiyah, atau diserahkan kepada militer.Setelah tanggal 1 Oktober 1965 dan beberapa bulan berikutnya terjadi perubahan situasi yang luar biasa di dalam konstelasi politik di Indonesia. Dampaknya sangat terasa di dunia kampus. Bukan saja karena gelombang-gelombang politik selalu memukul-mukul dinding kampus, juga karena peranan mahasiswa sangat menonjol dalam peristiwa di sekitar peralihan 1965-1966. Berbagai aksi demonstrasi terjadi terus-menerus pada bulan-bulan terakhir 1965, menjadi salah satu indikator ketidakpuasan masyarakat terhadap berbagai kebijakan pemerintah, khususnya dalam menuntaskan krisis politik akibat G 30 S 1965. Krisis politik belum selesai, pemerintah pada tanggal 22 November 1965 memperparah krisis bidang ekonomi dengan menaikkan harga bensin dari Rp 4 per liter menjadi Rp 250 per liter. Sehingga berbagai harga kebutuhan pokok dan tarif angkutan umum melonjak. Indeks biaya hidup meningkat tajam dari 22.651 menjelang bulan November menjadi 36.347 menjelang bulan Desember 1965. Ekonomi masyarakat Indonesia waktu itu sangat rendah sehingga melemahkan dukungan rakyat kepada

Soekarno dan PKI. Mereka tidak sepenuhnya menyetujui kebijakan "ganyang Malaysia" yang dianggap akan semakin memperparah keadaan Indonesia.Inflasi yang mencapai 650% membuat harga makanan melambung tinggi, rakyat kelaparan dan terpaksa harus antri beras, minyak, gula, dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Beberapa faktor yang berperan dalam kenaikan harga ini adalah keputusan Soeharto-Nasution untuk menaikkan gaji tentara 500% dan penganiayaan terhadap kaum pedagang Tionghoa sehingga mereka kabur. Akibat inflasi, banyak rakyat Indonesia yang sehari-hari hanya makan bonggol pisang, umbi-umbian, gaplek, dan bahan makanan yang tidak layak dikonsumsi lainnya, mereka juga memakai pakaian dari bahan karung. Belum sempat Indonesia sembuh dari berbagai luka politik, ekonomi, dan dampak yang disebabkan oleh peristiwa G 30 S 1965 masih menjadi trauma berkepanjangan bagi bangsa Indonesia, pada tanggal 3 Januari 1966 pemerintah menaikkan harga BBM. Harga bensin dinaikkan lagi secara drastis menjadi Rp 1.000,00 per liter. Minyak tanah yang menjadi kebutuhan rakyat Indonesia juga harganya naik menjadi lebih dari 100%, dari seratus lima puluh rupiah per liter menjadi empat ratus rupiah per liter. Diikuti kenaikan berbagai harga kebutuhan pokok dan tarif angkutan. Tarif bis, kereta api, dan pesawat terbang naik hingga 500%, tarif pos dan telekomunikasi naik hingga sepuluh kali lipat. Kenaikan harga BBM dan berbagai harga kebutuhan pokok yang menyengsarakan rakyat ini mengundang reaksi keras dari berbagai pihak, terutama dari para mahasiswa yang tampil menjadi moral force rakyat Indonesia. Pada tahun 1965-1966, pemuda dan mahasiswa Indonesia banyak terlibat dalam perjuangan mendirikan Orde Baru.

Gerakan ini disebut Angkatan 66, sebagai awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, sementara sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan.Tokoh-tokoh mahasiswa saat itu antara lain Cosmas Batubara (Ketua Presidium KAMI Pusat), Sofyan Wanandi, Yusuf Wanandi, ketiganya dari PMKRI, Akbar Tanjung dari HMI, dan lain-lain. Angkatan 66 mengangkat isu komunis sebagai bahaya laten Negara. Gerakan ini berhasil

membangun kepercayaan untuk mendukung mahasiswa menentang komunis yang ditukangi PKI. 42

2.3.11 Lahirnya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia

Mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) pada tanggal 25 Oktober 1965 yang merupakan hasil kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil dipertemukan oleh Mentri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) Mayor Jendral dr. Syarief Thayeb, di antaranya adalah Perhimpunan Mahasiswa Kaolik Republik Indonesia (PMKRI) , Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI),Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama Organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI).43

Tujuan pendiriannya, terutama agar para aktivis mahasiswa Indonesia dalam menggalang aksi dan melancarkan demonstrasi menuntut pembubaran PKI dan underbouw-underbouwnya, termasuk Central Gerakan Mahasiswa Indonesia, menjadi lebih terorganisasi, terkoordinasi, dan memiliki kepemimpinan.

Lahirnya KAMI diikuti berbagai kesatuan aksi lain, seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI),Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan lain-lain. Sejarah lahirnya KAMI berkaitan dengan peristiwa hamper sebulan sebelumnya, yaitu penculikan dan pembunuhan terhadap enam jendral dan satu perwira pertama oleh gerombolan Gerakan 30 S (G 30 S) yang dengan cepat berimbas terhadap sosial politik di tengah kehidupan bangsa Indonesia, termasuk kelompok mahasiswa saat itu.44

Tuduhan PKI sebagai dalang pun segera merebak. Terlebih setelah Angkatan Darat yang dipimpin Mayor Jendral Soeharto melarang surat kabar afiliasi terbit.

42

diunduh 9 juni 2013 pukul 16.30

43

Cosmas Batubara.2007. Sebuah Otobiografi Politik Kompas : Jakarta hal.57

44

Hanya koran Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha milik Angkatan Darat saja yang bebas menyiarkan berita yang umumnya provokatif. Beritanya seolah ditelan mentah-mentah tanpa knofirmasi itu kemudian memberi angin segar bagi kelompok anti komunis untuk melancarkan tuduhan dan serangan terhadap PKI dan underbouw-underbouwnya. Partai-partai yang bersebrangan dengan PKI seperti Partai Katholik, Partai Murba, IPKI, NU, mengecam tindakan PKI.

Di mana-mana didirikan front pembubaran PKI, hingga markas PKI di Jl. Kramat Raya Jakarta pun dibakar. Dunia mahasiswa, salah satu komponen masyarakat yang umumnya sudah dikotak-kotakkan dengan afiliasi partai politik-partai politik (termasuk seni, wanita, buruh, dan surat kabar) ketika itu mendirikan wadah anti PKI.

Dendam kalangan mahasiswa non komunis terhadap CGMI telah berlangsung lama sebelum peristiwa G 30 S. Sebab dengan naik daunnya PKI, karena kedekatannya dengan Presiden Soekarno membuat CGMI bersikap angkuh terhadap organisasi-organisasi mahasiswa lain. Perhimpunan Pergerakan Mahasiswa Indonesia (PPMI) sebagai gabungan organisasi-organisasi mahasiswa dikuasai CGMI. Tindakan mereka yang paling tidak disukai adalah menuntut pembubaran HMI, padahal sama-sama tergabung dalam PPMI.

Tuduhan kepada HMI saat itu adalah HMI memiliki hubungan dengan Masyumi, partai terlarang pada pemerintahan Presiden Soekarno. Tetapi keputusan yang tinggal ditandatangani Soekarno itu tidak terjadi, karena "gertakan" Menteri Agama K. H. Saifuddin Zuhri. Dendam kesumat itu memuncak pasca G 30 S. Giliran HMI membabat CGMI. Kemudian sejarah mencatat, dengan bantuan Angkatan Darat aktivis CGMI ditangkapi dengan mata-mata mahasiswa anti PKI.45

45

Seluruh elemen masa bergerak untuk membubarkan PKI meskipun Bung Karno bersikukuh mempertahankannya, tetapi tidak berhasil, wibawanya telah terkikis.HMI melibatkan diri dan menjadi pendukung utama kegiatan KAMI, mulai dari perencanaan kegiatan, persiapan sampai dengan pelaksanaan aksi dan kemudian evaluasi setiap aksi. Mulai dari penyusunan konsep, agenda, gagasan, dan ide, sampai pada mengerahkan massanya pada setiap kegiatan. Bahkan HMI, beberapa organisasi mahasiswa, dan pelajar dari kalangan Islam, menghiasi aksi-aksi jalanan dengan ucapan takbir membahana, sehingga aksi sangat bersemangat dan berwarna Ilahiah.

Dalam kepengurusan KAMI Pusat periode I 25 Oktober 1965-21 Juli 1966, HMI mengirimkan wakilnya Nazar E. Nasution (sebagai sekretaris jendral), dan Ismael Hadad (biro penerangan). Dalam kepengurusan periode II (mulai 21 Juli 1966), HMI mengirimkan Mar'ie Muhammad (sebagai salah seorang ketua), Farid Laksmana (sekretaris jendral), dan Ismael Hadad (biro penerangan), di mana peran HMI semakin kuat dan dominan di setiap kegiatan KAMI, karena dua hal yaitu pertama karena jumlah anggota (massa) HMI sanagat besar, sehingga setiap ada kegiatan aksi di jalan massa HMI yang ikut paling banyak. Kedua, HMI merupakan organisasi mahasiswa paling dibenci PKI dan bahkan dituntut untuk dibubarkan, sehingga bagi HMI komunisme adalah musuh sejak lama dan musuh sepanjang sejarahnya.