• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aktualisasi Nilai-nilai Al-Fatihah Sebagai Best Practice Pendidikan

Al-Qur‟an berfungsi sebagai pedoman hidup umat Islam, sangat urgen untuk dipahami dan diamalkan dalam kehidupan agar memberi solusi atas beragam persoalan. Al-Qur‟an diturunkan dalam bahasa Arab dengan setting

110 sosio-culture masyarakat Arab pada saat itu. Al-Qur‟an harus diposisikan menjadi solusi dalam berbagai permasalahan masa sekarang dan masa datang di mana pun berada, sehingga Al-Qur‟an senantiasa salih fi kulli zaman wa makan (Saeed: 2006; Shihab 2002). Munculnya beragam problema kehidupan di zaman sekarang ini telah menimbulkan keresahan intelektual. Di satu sisi terdapat individu atau sekelompok orang bersikukuh dengan makna tekstual, sehingga Al-Qur‟an tidak bisa memberikan jawaban atas beragam persoalan aktual.

Sedangkan pada sisi yang lain terdapat suatu dilema bagi umat Islam mengenai bagaimana cara membawa makna lokal dan aktual agar Al-Qur‟an tetap hidup dalam segala situasi dan kondisi yang aktual di zaman sekarang.

Menurut teori gerak ganda (double movement), yang dikemukan Fazlur Rahman, dalam menginterpretasikan Al-Qur‟an seorang penafsir harus melakukan gerak ganda. Pada gerak pertama, seorang penafsir harus mampu menyelinap ke masa lalu untuk memahami konteks di mana Al-Qur‟an diturunkan. Pada gerak kedua, seorang penafsir harus mengontekstualisasikan

“gerak pertama” dan mengonstruksi pemahaman ke masa sekarang (Berutu 2013; Saeed: 2006). Namun, upaya ini kurang memberikan pemahaman kembali untuk memasuki kesadaran atau memahami konteks dimana teks itu diturunkan, dan menyelami pemikiran penerima teks wahyu yang diterimanya. Sehingga pesan yang ingin disampaikan dalam sebuah teks tersebut benar-benar tersampaikan secara utuh untuk memandu kehidupan di masa sekarang.

Abdullah Saeed sebagai sosok contexstualist telah memberikan cara pandang baru dalam penafsiran Al-Qur‟an secara aktual. Kerangka berpikirnya telah menghasilkan langkah-langkah kokrit dengan menampilkan penafsiran yang dapat mengkontekstualisasikan ayat-ayat Al-Qur‟an utamanya yang bernuansa hukum formal (ethico-legal). Langkah-langkah kokret telah dirumuskan berdasarkan pemikiran mendalam dengan alasan mendasar sebagai berikut; pertama, Al-Qur‟an sebagai wahyu otentik diturunkan kepada Rasulullah Muhammad dan diperlukan rekonstruksi pemahaman bahwa turunnya wahyu itu tidak lepas dari sosio-historis dimana Al-Qur‟an diwahyukan. Kedua, adanya tradisi klasik terhadap isyarat penafsiran berbasis

111 konteks kehidupan yang sudah tercermin sejak masa awal Al-Qur‟an diturunkan (Muhammad and Shihab 2018; Saeed: 2006).

Karena itu apabila ingin menafsirkan Al-Qur‟an berbasis konteks, maka harus merujuk pada prinsip-prinsip dasar interpretasi, diantaranya: pertama, adanya kompleksitas makna teks yang harus dilihat secara cermat. Kedua, adanya keseimbangan ganda antara objektivitas teks dan subjektivitas penafsir dalam memberikan batasan teks. Ketiga, adanya ayat-ayat yang berkaitan ethico-legal sebagai diskursus yang tidak tuntas sepanjang zaman. Keempat, menelusuri makna literal teks sebagai langkah awal untuk melakukan penafsiran. Kelima, pemahaman terhadap konteks sosio-historis, dimana Al-Qur‟an diturunkan dalam suatu masa dan peradaban masyarakat Arab pada saat itu. Keenam, adanya hirarki nilai dalam teks ethico-legal yang meliputi: 1)obligatory values (nilai-nilai yang bersifat wajib), 2) fundamental values (nilai-nilai fundamental), 3) protectional values (nilai-nilai proteksional), 4) implementational values (nilai-nilai implementasional), dan 5)instructional values (nilai-nilai instruksional) (Azis 2012; Berutu 2013; Saeed: 2006).

Abdullah Saeed, telah merumuskan langkah kerja yang dapat djadikan rujukan seorang penafsir Al-Qur‟an untuk menghasilkan suatu interpretasi yang obyektif dan relevan dengan relitas kehidupan sekarang. Langkah pertama membahas tentang penemuan makna teks, penafsir mencari dan mengumpulkan ayat-ayat dalam Al-Qur‟an terkait permasalahan yang ingin dikaji. Langkah kedua berkaitan dengan analisis kritis, untuk mengkaji makna apa yang diinginkan Al-Qur‟an tanpa dikaitkan dengan konteks penerima wahyu dan kondisi saat ini. Langkah ketiga berkaitan dengan pengaitan antara makna teks dengan penerima wahyu (Nabi Muhammad). Langkah keempat berkaitan dengan pengaitan teks dengan konteks masa kini yang dilakukan dengan menganalisis konteks masa kini yang dianggap relevan dengan pesan-pesan dalam teks.

Selanjutnya mengomparasi konteks yang ada saat ini dengan konteks sosial-historis di mana teks itu diterima untuk ditemukan pengkerucutan dengan mempertimbangkan universalitas dengan lokalitas pesan teks. Langkah-angkah ini telah memberikan panduan integral untuk menangkap pesan utuh yang ingin

112 disampaikan oleh Al-Qur‟an. Sebab memahami Al-Qur‟an tidak terhenti secara linguistik, namun harus dikaji secara mendalam untuk menemukan makna baru yang sesuai dengan realitas kontemporer (Azis 2012; Berutu 2013; Saeed: 2006).

Penjabaran keempat langkah interpretasi Al-Qur‟an yaitu, pada langkah pertama dan kedua disebut sebagai “gerak pertama” di mana seorang penafsir harus mampu “menyelami” berbagai aspek kontekstualisasi yang terjadi masa pewahyuan. Sementara langkah ketiga dan keempat disebut “gerak kedua”

dimana penafsir harus mampu membawa pemahaman konteks pada gerak pertama kemudian ditarik pada konteks yang terjadi pada saat ini. Pada langkah pertama dan kedua sebenarnya telah banyak dikaji oleh para penafsir klasik (penafsir textualist) dalam tafsir-tafsir klasiknya. Sehingga penafsir modern tidak perlu disibukkan dalam mendapatkannya. Sementara pada langkah ketiga dan keempat ini menjadi tugas penafsir modern (progressive ijtihadist) untuk mencurahkan segala kemampuannya dalam mengontekstualisasikan nilai-nilai Al-Qur‟an pada kehidupan masa sekarang (Azis 2012; Saeed: 2006).

Langkah-langkah kerja yang dirumuskan Abdullah Saeed diharapkan dapat menghasilkan suatu interpretasi Al-Qur‟an yang objektif dan aktual sehingga dapat dipedomani penafsir untuk merumuskaan, menggali makna dan menerapkan nilai-nilai Al-Qur‟an sesuai dengan tuntutan kehidupan. Al-Qur‟an memiliki nilai-nilai utama yang dapat digali dan dipedomani dalam kehidupan aktual. Secara filosofis, nilai sangat terkait dengan masalah etika atau juga sering disebut sebagai filsafat nilai, yang mengkaji nilai-nilai moral sebagai tolok ukur tindakan dan perilaku manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Sumber etika ataupun moral merupakan hasil pemikiran, adat istiadat atau tradisi, ideologi, atau bahkan dari agama yang diyakini kebenaranya. Dalam konteks etika Islam, maka Al-Qur‟an dan As-Sunnah sebagai sumber etika dan nilai-nilai yang paling sahih, yang kemudian dikembangkan melalui ijtihad para ulama.

Nilai-nilai yang bersumber kepada adat istiadat atau tradisi dan ideologi sangat rentan dan bersifat situasional. Sebab keduanya sebagai produk budaya manusia yang bersifat relatif, kadang-kadang bersifat lokal dan situasional.

Sedangkan nilai-nilai Islami yang bersumber dari Al-Qur‟an sifatnya kuat dan

113 kokoh, karena Al-Qur‟an memiliki sifat mutlak dan universal. Sebagai sumber nilai yang kuat dan kokoh maka Al-Qur‟an harus dipegang teguh sebagai pedoman dalam kehidupan nyata untuk membentuk manusia yang memiliki moral yang luhur sehingga tercipta generasi bangsa yang memiliki karakter utama yang berbasis Al-Qur‟an sebagai sosok insan saleh (Amin 2016; Munirah, Amir Razzak, and Yakub 2012; Utami 2017).

Thomas Lickona dalam bukunya Educating for Character menekankan pentingnya tiga komponen karakter yang baik (components of good character), yaitu, moral knowing atau pengetahuan moral, moral feeling atau perasaan tentang moral, dan moral action atau tindakan moral. Karakter yang baik harus memiliki tiga hal tersebut yang saling berhubungan serta menerapkannya dalam kebiasaan hidup, cara berpikir, merasakan, atau dalam tindakan nyata. Ketiganya akan diperlukan dalam mengarahkan suatu kehidupan yang bermoral sehingga akan membentuk kedewasaan moral. Pendidikan karakter bukan saja untuk dipelajari, namun juga ditumbuhkan dalam hati dengan menginginkan hal yang baik (good will) untuk dilakukan agar membentuk karakter baik yang menyatu dalam kehidupan aktual. Terlebih lagi, era globalisasi yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini menyebabkan banyak terjadinya perubahan dalam kehidupan manusia. Perubahan tersebut satu sisi membawa kebahagiaan, namun pada sisi yang lain dapat membawa kegelisahan, karena munculnya berbagai permasalahan yang dapat menyebabkan bergesernya nilai-nilai moral yang harus dipedomani dalam kehidupan aktual (Fahriana 2018;

Muhammad Bashori 2016).

Tanpa adanya nilai-nilai kebajikan yang membentuk karakter baik, maka seorang individu tidak akan bisa hidup bahagia dan tidak ada masyarakat yang dapat berfungsi secara efektif. Tanpa karakter baik, seluruh umat manusia tidak dapat melakukan perkembangan menuju dunia yang menjunjung tinggi harkat dan martabatnya. Menghadapi situasi yang demikian kompleks ini, maka perlu untuk menanamkan nilai-nilai karakter yang bersumber dari Al-Qur‟an dan As-Sunnah kepada generasi sekarang. Sebagai sumber etika dan nilai-nilai, Al-Qur‟an memegang peranan penting dalam membentuk karakter kuat terhadap

114 generasi. Qur‟an sebagai akhlak Rasulullah, atau Rasulullah merupakan Al-Qur‟an hidup, maka apabila hendak mengarahkan pendidikan harus dimulai dengan menumbuhkan karakter yang kuat pada anak didik berdasarkan sumber rujukan yang sahih dan tidak diragukan. Sebagai orang Muslim, sudah sepatutnya menjadikan Rasululla SAW sebagai role model yang memiliki karakter utama yang sempurna, itulah alasannya mengapa Al-Qur‟an dipilih menjadi basis dari karakter utama yang kuat dan kokoh (Aziz and Baru 2011; Wulandari 2015).

Manusia harus senantiasa mengolah pikirnya agar mampu mengungkap kebesaran Allah Ta‟ala. Semakin mampu seseorang dalam mengolah pikirannya, semakin tertunduk kagum akan kebesaran Allah Ta‟ala dengan segala ciptaan-Nya yang indah mempesona. Dengan mengolah pikiran tentang alam semesta, maka manusia akan menjadi sosok hamba yang lebih bersyukur karena telah dianugerahi beragam nikmat. Kemampuan berpikir yang dimiliki manusia akan membawanya menuju manusia yang berkarakter cerdas, kreatif, kritis dan inovatif agar mampu menyelesaikan setiap problema kehidupann yang terjadi di dunia ini. Pola kehidupan zaman modern menuntut manusia untuk mengembangkan sikap kritis dan kreatif terhadap beragam perkembangan yang bergerak secara dinamis.

Pada zaman sekarang ini, manusia dianggap telah menemukan dirinya sebagai kekuatan yang dapat menyelesaikan persoalan-persoalan rumit yang membelenggu kehidupannya. Manusia dipandang sebagai makhluk yang bebas, independen dari Allah Ta‟ala ataupun alam. Manusia modern sengaja membebaskan diri dari tatanan ilmiah (theomorphisme), yang kemudian membangun tatanan hidup yang bersifat antropomorphisme, suatu tatanan yang berpusat semata-mata pada manusia. Posisi manusia menjadi tuan atas nasibnya sendiri sehingga dapat terputus dari nilai spiritualnya. Apabila hal yang demikian ini tidak diantisipasi sejak dini, maka akan berakibat fatal bagi masa depan kehidupan manusia pada zamannya (Muadz 2013; Salamet Haryadi 2012).

Pada perspektif yang lain, manusia modern dianggap telah kehilangan aspek moral dan spiritual sebagai fungsi kontrol yang terpasung dalam sangkar

“the tyranny of purely”, sebagaimana diungkapkan Bertrand Russell dalam

115 bukunya “The Prospect of Industrial Civilization”. Sebagian besar manusia modern mengalami anomi, sebagai suatu keadaan di mana setiap individu dalam posisi sedang kehilangan ikatan yang memberikan perasaan aman dan kebahagiaan untuk hidup berdampingan dengan sesama manusia lainnya.

Sehingga menyebabkan kehilangan pengertian yang memberikan petunjuk tentang tujuan dan arti kehidupan di dunia ini. Masyarakat modern juga tidak lagi menghiraukan persoalan metafisik tentang eksistensi diri manusia, asal mula kehidupan, makna, dan tujuan hidup manusia di jagad ini. Kecenderungan ini terjadi karena proses rasionalisasi kelewat batas yang menyertai modernitas.

Situasi ini telah menciptakan sekularisasi kesadaran yang memperlemah fungsi kanopi suci agama dari domain kehidupan para pemeluknya dan menciptakan suasana kacau (chaos), atau ketidakberartian hidup pada diri manusia modern (Opik Abdurrahman Taufik 2013; Yuberti 2015).

Saat ini bangsa Indonesia menghadapi berbagai tantangan yang berat di bidang pendidikan, terutama dalam konteks pembangunan masyarakat yang berakhlakul karimah. Globalisasi di bidang budaya, etika, dan moral yang didukung oleh kemajuan teknologi di bidang transportasi dan teknologi. Saling keterkaitan antara telekomunikasi, transportasi, dan teknologi ( 3-T ) semakin mempercepat daya jangkau dan daya tembus pengaruh budaya asing dengan gaya hidup (life style) tertentu yang datang dari luar. Para peserta didik saat ini telah mengenal berbagai sumber pesan pembelajaran, baik yang bersifat pedagogis terkontrol maupun nonpedagogis yang sulit terkontrol, terlebih lagi pada masa pandemik covid-19, dengan pola pembelajaran daring. Apabila kondisi yang demikian ini dibiarkan secara kontinyu, maka sumber-sumber pesan pembelajaran yang sulit terkontrol, secara alamiah akan dapat memengaruhi ketidakstabilaan karena perubahan budaya, etika, dan moralitas (Azis 2012;

Thabathaaba‟i 1991).

Konstelasi perkembangan dan perubahan pola kehidupan modern yang masif, ternyata konseptualisasi pendidikan madrasah belum dapat diwujudkan sepenuhnya dalam praktik di lapangan. Secara faktual, pendidikan madrasah terlihat lebih cenderung mengembangkan keilmuan sebatas “pure science.”

116 Akibatnya, terjadi penumpukan ilmu sebagai tolok ukur keberhasilan menjalani kehidupan. Meskipun pada dekade akhir telah dikembangkan sistem pendidikan yang berfokus pada pengembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik, namun aspek spiritualitasnya belum tersentuh. Artinya, upaya dalam bidang pendidikan madrasah untuk mengembangkan dimensi spiritualitas perlu mendapat perhatian lebih serius. Dengan mengembangkan pola pendidikan madrasah, diharapkan akan dapat mengembangkan kualitas keimanan dan ketakwaan generasi.

Eksistensi pendidikan madrasah sebagai sistem penyelenggaraan pendidikan yang didirikan dengan niat dan tujuan untuk mengejawantahkan nilai-nilai Islam yang universal sebagaimana tertuang dalam visi, misi, dan tujuan program maupun pada praktik pelaksanaan di lapangan. Hakikat pendidikan secara umum merupakan proses perubahan menjadi lebih baik, lebih bermartabat, serta lebih bahagia dan mulia. Menurut pendapat Al-Ghazali, pada diri setiap manusia memiliki empat potensi yang dapat memengaruhi perilakunya, yaitu:

“al-qalbu, al-ruhu, al-nafsu, al-aqlu”. Fungsi pendidikan dalam perspektif Islam bertujuan mengemas perkembangan pribadi secara utuh. Tujuan yang ingin dicapai bukan sekadar kecerdasan intelektual, tapi lebih ditekankan pada pencapaian kecerdasan emosional dan spiritual. Kepribadian Islami merupakan kepribadian yang berorientasi dan berakhir pada terbentuknya insan kamil, yaitu manusia paripurna yang memiliki integritas iman, ilmu, dan amal sehingga memiliki kompetensi dalam mengintegrasikan dirinya dalam berbagai aspek kehidupan secara aktual dalam aktivitas rutin keseharian (Agustin 2013;

Novayani 2017; Siti Arni Basir 1999).

Pada hakikatnya, pendidikan sebagai upaya sadar yang dilakukan oleh pendidik untuk dapat mengembangkan segenap potensi yang dimiliki peserta didik secara optimal. Potensi dimaksud mencangkup potensi jasmani ataupun potensi rohani sehingga melalui pendidikan, seorang peserta didik akan dapat mengoptimalkan pertumbuhan fisiknya agar memiliki kesiapan untuk melakukan tugas-tugas perkembangannya dan dapat mengoptimalkan proses perkembangan rohaninya. Dengan demikian, totalitas pertumbuhan fisik atau perkembangan psikisnya dapat berkembang secara serasi dan harmonis sehingga dapat

117 menjalankan tugas-tugas dalam kehidupannya secara keseluruhan, baik sebagai diri pribadi, anggota masyarakat, ataupun sebagai makhluk Allah Ta‟ala (Farhan, 2015; Hanani, 2014; Khizanah, 2011). Tugas pendidik sebagai orang dewasa selalu bertanggung jawab memberikan pertolongan kepada peserta didik dalam perkembangan jasmani ataupun rohaninya. Tujuannya, agar dapat mencapai kedewasaan serta mampu berdiri sendiri untuk memenuhi tugasnya sebagai makhluk Allah Ta‟ala, sebagai diri pribadi ataupun sebagai anggota masyarakat.

Pendidikan madrasah pada hakikatnya adalah sebuah proses, namun dalam perkembangannya juga sebagai rumpun mata pelajaran yang diajarkan di lingkungan madrasah ataupun pondok pesantren. Pada kenyataan di lapangan, pendidikan memegang peranan penting yang akan menentukan eksistensi ataupun perkembangan masyarakat. Karena itu, Islam sebagai agama “rahmatan lil „alaamīn” memiliki tanggung jawab menyiapkan generasi masa depan yang memiliki kualitas prima, baik moral, intelektual, keterampilan, tanggung jawab, ataupun kualitas spiritualnya. Salah satu upaya untuk menyiapkan generasi berkualitas, perlu dilakukan usaha sadar melalui cara mendidik generasi muda di dalam lembaga pendidikan formal yang memiliki kurikulum dengan muatan religius sehingga akan mengembangkan karakter utama peserta didik secara optimal (Kaula and Islam 2015; Mayasari 2014).

Sebagai sistem integral dalam meningkatkan kualitas sumber daya insani, pendidikan madrasah harus mampu merespons kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai sebuah produk transformasi budaya global yang aman dan membahagiakan. Kemajuan sains dan teknologi yang berkembang sedemikian pesat dalam berbagai bidang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, termasuk umat manusia. Hal ini telah manjadi tuntutan masyarakat global yang harus disikapi secara positif. Karena itu, harus diposisikan secara benar bahwa sains sebagaimana tujuan awalnya dikembangkan untuk kemudian dimanfaatkan bagi kesejahteraan umat manusia. Karena itu, kehadiran pendidikan madrasah dengan sasaran yang jelas diharapkan tetap memiliki konsistensi dalam melestarikan nilai keislaman yang dikenal sangat sarat dengan norma dan nilai

118 akhlak mulia yang akan memberikan kemaslahatan bagi kehidupan (Muntaha and Wekke 2017; Subagja 2010).

Sebagai rangkaian dari pembaruan pendidikan madrasah, maka nilai-nilai Al-Fatihah menjadi pilihan tepat dan urgen yang akan dijadikan muatan pokok (esensi) sehingga akan dapat menjamin corak kualitas generasi masa depan yang berkualitas holistik. Pendidikan menjadi penentu dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Karena itu, manusia menjadi kekuatan sentral dalam pembangunan, sehingga mutu dan sistem pendidikan akan ditentukan oleh keberhasilan menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas. Selanjutnya, untuk menjamin kelancaran dan kualitas dalam pengelolaan pendidikan madrasah, mutlak diperlukan muatan kurikulum yang holistik yang bersumber pada Al-Qur‟an dan As-Sunnah. Adapun indikator kurikulum yang holistik di antaranya dicirikan pada indikator sebagai berikut:

pertama, agama dan akhlak sebagai tujuan utama. Segala yang diajarkan ataupun yang dipraktikkan harus merujuk pada Al-Qur‟an dan As-Sunnah ataupun ijtihad ulama; kedua, mempertahankan pengembangan diri dan bimbingan terhadap semua aspek kepribadian peserta didik, baik dari aspek intelektual, psikologi, sosial, atau spiritual; ketiga, adanya keseimbangan antara kandungan kurikulum dan pengalaman langsung serta kegiatan pembelajaran yang diikuti peserta didik (Amin 2016; Mokhtar et al. 2011; Novayani 2017).

Al-Qur‟an sebagai kitab autentik yang memiliki makna integral, jika dijadikan pedoman akan menjamin keselamatan kehidupan umat manusia. Al-Qur‟an menerangkan perjalanan yang telah dan akan dialami seluruh manusia.

Alam dunia merupakan pengembaraan perjalanan hidup, sedangkan alam akhirat akan menjadi akhir perjalanan yang menjadi tempat abadi (Efendi 2011; Faozan 2009). Karena itu, akhirat menjadi orientasi kehidupan seorang Muslim untuk mendapatkan kenikmatan yang paling puncak atas rida-Nya. Al-Qur‟an merupakan petunjuk dan pedoman hidup dalam menjalankan segala bentuk amal perbuatan yang bersifat individual maupun sosial. Memedomani Al-Qur‟an dapat mengantarkan seseorang untuk mencapai kebahagiaan hakiki, di dunia dan akhirat atas rida-Nya. Al-Fatihah sebagai surah pembuka dalam Al-Qur‟an,

119 memiliki nilai-nilai substansial dan fungsional yang dapat memandu aktifitas ibadah ataupun aktivitas sosial.

Nilai-nilai Al-Fatihah menjadi muatan esensial kurikulum, menjadi pilihan strategis, karena Al-Fatihah memiliki nilai universal yang dapat menjamin berkembangnya potensi dan fitrah manusia. Sebagai pencipta dan pengatur kehidupan semua makhluk-makhluk-Nya, melalui Al-Fatihah, Allah Ta‟ala mengajarkan kepada orang beriman agar selalu ditunjukkan pada jalan kebenaran ataupun jalan keselamatan, yaitu jalannya orang-orang yang telah mendapatkan nikmat karena menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Beriman juga dianjurkan untuk meminta kepada-Nya secara langsung agar pikiran ataupun amal perbuatan manusia senantiasa berada di jalan lurus, jalan yang selamat dan sesuai dengan semua petunjuk-Nya (Abdullah et al. 2011; Subagja 2010).

Orang beriman selalu berdoa untuk dijauhkan dari kesesatan sebagaimana telah dialami orang-orang terdahulu karena hanya mementingkan diri serta mengikuti hawa nafsu dan egonya. Mereka melanggar syariat-Nya secara sengaja dan menolak melakukan ketaatan secara membabi buta karena kebodohannya.

Apabila ada segolongan umat yang tersesat dari jalan selamat, pada umumnya mereka mengikuti hawa nafsu dan kebodohannya dengan mengingkari petunjuk-petunjuk-Nya. Akhlak mereka menjadi rusak, amal mereka akan mubazir, mereka akan terjerumus pada kesengsaraan. Maka, azab atas mereka akan disegerakan di dunia sekalipun di akhirat kelak mereka akan tetap menikmatinya azab yang sangat pedih. Apabila kesesatan berjalan terus-menerus, pasti akan mempercepat datangnya kehancuran dan akan memusnahkan keberadaan mereka dari muka bumi, serta harus mempertanggungjawabkan segalanya di hari akhir (Mokhtar et al. 2011; Muhammad, Ripin, and Mohd Dani 1995).

Aktualisasi nilai-nilai Al-Fatihah dalam dunia pendidikan dapat memberikan pengalaman yang bermakna untuk meningkatkan kualitas karakter peserta didik. Aktualisasi nilai-nilai Al-Fatihah mewujud dalam tiga tahapan yang saling berkaitan yaitu: pertama, terumuskanya nilai-nilai Al-Fatihah; kedua, tergalinya makna nilai-nilai Al-Fatihah menurut pemahaman, keyakinan dan pengalaman; ketiga, terimplementasinya nilai-niai Al-Fatihah sebagai panduan

120 menjalani kehidupan. Aktualisasi nilai-nilai Al-Fatihah dapat dikategorikan sebagai best practice yang digali berdasarkan pengalaman langsung yang dialami perseorangan ataupun lembaga yang memiliki nilai tambah, sehingga dapat dijadikan role model bagi individu atau lembaga yang lainya (Efendi 2011; Kaula and Islam 2015; Latif 2014).

Dikategorikan best practice karena dapat menginspirasi dan melejitkan spirit untuk meningkatkan kualitas pengelolaan lembaga, sekaligus sebagai usaha untuk menggali pengalaman yang terbaik, yang dapat dijadikan rujukan untuk membangun dan mengembangkan dunia pendidikan. Adapun indikator best practice sebagai berikut: 1) mampu mengembangkan cara baru dan inovatif dalam pengembangan serta memecahkan masalah dalam pendidikan khususnya pembelajaran; 2) membawa sebuah perubahan dengan hasil luar biasa

Dikategorikan best practice karena dapat menginspirasi dan melejitkan spirit untuk meningkatkan kualitas pengelolaan lembaga, sekaligus sebagai usaha untuk menggali pengalaman yang terbaik, yang dapat dijadikan rujukan untuk membangun dan mengembangkan dunia pendidikan. Adapun indikator best practice sebagai berikut: 1) mampu mengembangkan cara baru dan inovatif dalam pengembangan serta memecahkan masalah dalam pendidikan khususnya pembelajaran; 2) membawa sebuah perubahan dengan hasil luar biasa