• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perspektif Makna Nilai-Nilai Al-Fatihah

Apabila diterapkan dengan baik dan menjadi kebiasaan yang membentuk moral bersama, nilai-nilai Al-Fatihah akan menghasilkan makna yang bermanfaat bagi pengembangan pribadi ataupun sosial masyarakat (Munirah, Amir Razzak, and Yakub 2012; Wahab 2016). Makna nilai-nilai Al-Fatihah diharapkan dapat membingkai karakter mulia peserta didik. Karena pada al-Fatihah terdapat nilaia-nilai utama meliputi: kasih, tanggung jawab, syukur, disiplin dan pembelajar. Nilai-nilai utama tersebut dapat dijadikan panduan untuk menjalani kehidupan yang lebih baik dan berdaya guna di masa depan.

Madrasah sebagai lembaga pendidikan madrasah memiliki fungsi penting dalam mendesiminasikan niai-nilai kejujuran agar dapat membentuk karakter warganya. Di antara fungsi madrasah tersebut adalah: pertama, fungsi perbaikan terhadap sistuasi dan kondisi paling aktual; kedua, fungsi pencegahan terhadaap beragam hal yang akan membawa mudarat; ketiga, fungsi penyesuaian terhadap hal-hal baru yang lebih baik; keempat, fungsi pengembangan terhadap segala capian dan pengalaman bermakna; kelima, fungsi penyaluran minat dan bakat serta kompetensi peserta didik; keenam, fungsi sumber nilai sebagai rujukan dalam mengambil keputusan penting; dan ketujuh, fungsi pengajaran yang berkelanjutan untuk menyiapkan masa depan (Hidayatullah 2010; Prastowo 2014; Sanaky 2016).

Sebagai lembaga pendidikan yang berbasis religius, madrasah dapat berfungsi memperbaiki kesalahan-kesalahan, kekurangan-kekurangan, dan kelemahan peserta didik dalam hal keyakinan, pemahaman, dan pengalaman

99 mengamalkan sikap kasih, tanggung jawab, syukur, disiplin dan pembelajar dalam kehidupan sehari-hari. Madrasah dapat mencegah dan menangkal hal-hal negatif dari lingkungannya atau budaya asing yang dapat membahayakan peserta didik serta mengganggu perkembangan dirinya menuju manusia seutuhnya.

Madrasah dapat membimbing peserta didik untuk menyesuaikan dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosialnya, dan dapat mengarahkannya untuk dapat mengubah lingkungannya sesuai dengan ajaran Islam (Hidayah, 2018; Kurniyati, 2016; Muntaha & Wekke, 2018).

Menurut rencana awal pendiriannya, keberadaan madrasah diharapkan dapat menumbuhkembangkan dan meningkatkan keimanan serta ketakwaan peserta didik kepada Allah Ta‟ala yang telah ditanamkan dalam keluarga.

Madrasah dapat berfungsi menyalurkan peserta didik yang berbakat khusus untuk mendalami bidang agama agar dapat berkembang secara optimal serta bermanfaat untuk dirinya sendiri ataupun orang lain. Madrasah bisa memberikan pedoman hidup untuk mencapai kesuksesan atau kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat (Anekasari 2015; Ghozali and Wahyuningsih 2017; Nurhadi 2017).

Madrasah juga dapat menyampaikan pengetahuan keagamaan secara fungsional, di mana fungsi ini akan terlihat dari proses belajar mengajar pendidikan agama di kelas sebagai salah satu mata pelajaran yang harus dipelajari oleh semua peserta didik di lingkungan madrasah.

Sesungguhnya nilai kasih (prososial) akan dapat meningkatkan semangat menjalani kehidupan, mendapatkan spirit, dan inspirasi untuk terus mengembangkan potensi dan terus berusaha memberikan manfaat terhadap sesama tanpa pilih kasih. Sifat kasih atau uluran tangan yang diharapkan orang lain dalam istilah psikologi disebut dengan perilaku kasih (prososial), yaitu perilaku sukarela menolong orang lain tanpa ingin memperoleh imbalan dan Si penolong merasa puas setelah menolong (Matondang 2016; Muhtadi 2017;

Utami 2017).

Perilaku kasih (prososial) memiliki ciri khusus yang meletakkan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi. Kesejahteraan dan keuntungan orang atau kelompok merupakan tujuan perilaku kasih (prososial)

100 ini. Bahkan Eisenberg mengemukakan bahwa tingkah laku kasih (prososial) meliputi tiga aspek, yaitu: (a) tindakan yang dilakukan secara sukarela; (b) tindakan yang ditujukan demi kepentingan orang lain atau sekelompok orang;

dan (c) tindakan itu merupakan tujuan, bukan sebagai alat untuk memuaskan motif pribadinya ataupun lebih condong untuk memuaskan egonya.

Seorang pendidik seyogianya mampu menjadi teladan dalam berperilaku kasih (prososial) untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi peserta didiknya atau kesulitan yang terjadi di masyarakat sekitar. Untuk itu, guru seyogianya memiliki dan mengembangkan sensitivitas interpersonal yang tinggi dan sikap peduli merespons secara efektif terhadap permasalahan yang muncul, baik di lingkungan sekolah atau di lingkungan masyarakat (Efendi 2011; Mamat and Rashid 2013; Soerjoatmodjo 2016).

Sedangkan faktor yang mendasari seseorang untuk bertindak kasih (prososial) salah satunya, adanya nilai-nilai dan norma yang diinternalisasi oleh individu selama mengalami sosialisasi. Nilai dan norma tersebut diperoleh individu melalui ajaran agama dan lingkungan social yang memiliki pengaruh kuat untuk membentuk karakter kasih berkembang pada diri seseorang. Karena itu, menurut Mangunwijaya, agama dan religiusitas merupakan kesatuan yang saling mendukung dan melengkapi. Sebab, keduanya merupakan konsekuensi logis dari kehidupan manusia yang diibaratkan selalu mempunyai dua kutub, yaitu kutub kehidupan pribadi dan kutub kebersamaan di masyarakat. Agama akan memandu seseorang untuk meningkatkan kesalehan indvidu dan kesalehan sosial (Baharudin 2016; Nasution 2017; Shuhari and Hamat 2015).

Sebenarnya religiusitas sebagai perwujudan rasa percaya terhadap ajaran agama yang dianut seorang dan dampak ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Religiusitas seseorang tecermin dalam keterlibatannya pada lima dimensi, yaitu: dimensi kepercayaan, dimensi ritual atau praktik, dimensi pengalaman, dimensi pengetahuan, dan dimensi konsekuensi. Maka, dalam konteks pendidikan, adanya religiusitas yang tinggi pada seorang guru akan dapat membantu mengarahkannya untuk menghayati perannya dalam mendidik dengan sebaik-baiknya sesuai kebutuhan masa depan peserta didik, dan

101 sekaligus sebagai wujud ibadah untuk memaknai hidup di hadapan Tuhan (Nasution, 2017; Thobroni, 2014; Wati, 2013).

Nilai tanggung jawab harus menjadi landasan seseorang dalam berkata maupun berperilaku di setiap aktivitas kehidupan. Tanggung jawab merupakan wujud ketulusan hati atau kelurusan hati seseorang dalam bertindak. Tanggung jawab dapat dimaknai sebagai sikap hati yang tulus atau lurus yang mendasari suatu tindakan. Kelurusan hati ini mengandaikan adanya keselarasan antara hati dan sesuatu yang benar atau lurus seperti kebenaran yang diyakininya atau kebenaran dalam aturan-aturan masyarakat di mana seseorang hidup (Mokhtar et al. 2011; Muhammad and Shihab 2018; Syaifudin 2013).

Tanggung jawab memiliki makna benar dalam perkataan dan benar dalam perbuatan. Berlaku tanggung jawab dengan perkataan dan perbuatan mengandung makna bahwa dalam berkata harus sesuai dengan yang sesungguhnya. Sebaliknya, jangan berkata yang tidak sesuai dengan yang sesungguhnya. Perkataan itu sendiri disesuaikan dengan tingkah laku perbuatan.

Rasa saling percaya itu hanya tercipta karena ada tanggung jawab di antara masing-masing pihak (FatchurRahman, 2017; Intaswari, 2016; M. Iqbal &

Prawening, 2018).

Apabila perilaku tanggung jawab dapat ditegakkan dengan baik dalam kehidupan nyata, maka sikap amanah akan dapat ditegakkan, baik amanah dari Allah Ta‟ala ataupun amanah dari sesama manusia. Selain itu, hal tersebut juga akan dapat menghindari prasangka buruk, baik sebagai bagian dari kehidupan keluarga, lembaga sosial, organisasi, maupun sebagai bagian kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, perlu diusahakan berbagai cara menanamkan sikap tanggung jawab, baik oleh keluarga, masyarakat, ataupun pemerintah secara berkesinambungan. Seseorang yang istikamah membawa dirinya untuk bersikap tanggung jawab. Seseorang akan merasa bangga menjadi hamba Allah Ta‟ala dan merasa merdeka karena tanggung jawab. Orang yang menjadikan tanggung jawab sebagai kebutuhan, akan menempatkan dirinya dalam tingkat kemuliaan. Tanggung jawab sebagai kunci mendapatkan surga-Nya. Maka jauhilah berdusta, karena dusta akan membawa pada dosa dan dosa

102 akan membawa pada neraka. Biasakan berkata dan bersikap dengan tanggung jawab, karena akan membawa pada kebaikan dan kemuliaan.

Sikap tanggung jawab dalam segala hal akan membawa manfaat dan kebaikan yang besar dalam kehidupan. Secara psikologis, orang yang memiliki sikap bertanggung jawab tidak akan terbebani oleh perasaan bersalah kepada dirinya sendiri, juga tidak menentang nuraninya. Tanggung jawab dapat dimaknai sebagai sikap mengakui, berkata, atau bersikap yang sesuai dengan kebenaran dan kenyataan (Iqbal and Prawening 2018; Liana 2018; Zen Istiarsono 2012). Sikap tanggung jawab seseorang biasa dihubungkan dengan hati nurani dan kesadaran diri.Saat berkata atau berperilaku yang tidak sesuai dengan hati nurani, orang yang bertanggung jawab akan merasa risau dan tidak tenang sehingga akan mengganggu jiwanya. Tanggung jawab sebagai komponen rohani yang memantulkan berbagai sikap terpuji (honorable, respectable, creditable). Perilaku yang bertanggung jawab merupakan perilaku yang diikuti sikap jujur dan adil atas apa yang diperbuat, siap menghadapi segala risiko yang akan terjadi dengan sukacita dan bahagia.

Nilai syukur atas segala nikmat yang telah diterima akan membentuk sikap menerima dan memanfaatkan segala yang dimiliki untuk menambah bobot amal kebajikan serta memberikan kenyamanan dan kebahagiaan dalam menjalani kehidupan dalam segala situasi dan keadaan. Rumusan syukur yang lebih lengkap dikemukakan oleh Ar-Ragib Al-Isfahani yang menyatakan bahwa syukur berarti menggambarkan nikmat dan menampakkannya yang merupakan lawan dari kufur (kufr) yang berarti melupakan nikmat dan menutupinya.

Syukur, kata Al-Ragib, ada tiga macam: syukurnya hati (syukr al-qalb) berupa penggambaran nikmat, syukurnya lisan (syukr al-lisan) berupa pujian kepada sang pemberi nikmat, dan syukurnya anggota tubuh yang lain (syukr sair al-jawarih) dengan mengimbangi nikmat itu menurut kadar kepantasannya (Amīn, 2016; Aziz & Baru, 2011; Latif, 2014).

Agama Islam memerintahkan umatnya untuk membalas kebaikan orang lain dengan berterima kasih atau bersyukur. Bahkan telah dinyatakan bahwa keengganan untuk bersyukur kepada manusia berarti keengganan untuk

103 bersyukur kepada Allah Ta‟ala. Berterima kasih atas kebaikan sesama manusia sangat penting untuk menciptakan kebaikan hidup bersama (Amin 2016; Hanani 2014a; Kaula and Islam 2015). Berdasarkan fakta, syukur malah dapat membangkitkan semangat dan tekad para pelaku kebajikan yang ikhlas untuk terus beramal dengan giat. Mereka melihat bahwa amal kebajikannya bermanfaat untuk orang lain sehingga akan berusaha untuk meningkatkannya.

Keterkaitannya dengan syukur kepada Allah Ta‟ala, manfaatnya akan memberikan timbal balik kepada pelaku, bukan kepada Allah Ta‟ala sebagai pemberi nikmat. Kebesaran dan kekuasaan Allah Ta‟ala tidak akan bertambah lantaran syukur manusia. Seperti dikatakan oleh Al-Qurtubi, “Dengan bersyukur, seseorang akan memperoleh kesempurnaan, kelestarian, dan pertambahan nikmat” (Arif., 2015; Hanani, 2014; Setiyawan, 2018). Motivasi syukur memungkinkan ahli ibadah untuk beribadah secara istikamah dan hanya mengharap rida-Nya. Sebab, nikmat yang harus disyukuri tidak pernah habis.

Hal ini berbeda dengan motivasi menginginkan sesuatu atau takut akan sesuatu, jika keinginan tercapai, maka takut pun hilang. Bisa jadi pelaku ibadah itu sudah tidak bersemangat lagi dalam beribadah. Melaksanakan ibadah dengan motif syukur ini pula yang dilakukan Rasulullah saw. sehingga walaupun telah mendapatkan jaminan pengampunan (maghfirah) dari Allah Ta‟ala, namun beliau tetap rajin beribadah.

Nilai disiplin dalam menjalankan tugas akan dapat mengukuhkan sikap dinamis, efektif, dan efisien dalam semua kegiatan sehingga dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi kehidupan pribadi, keluarga, ataupun sosial masyarakat. Kedisiplinan merupakan fungsi operatif manajemen dari seluruh organisasi, termasuk organisasi sekolah. Hal tersebut dikarenakan semakin baik disiplin peserta didik, maka semakin tinggi prestasi belajar yang dapat dicapai (Heryati and Rusdiana 2018; Matondang 2016; Thobroni 2014). Penegakan disiplin di sekolah bertujuan membantu peserta didik memahami dan menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungannya, dan menjauhi melakukan hal-hal yang dilarang sekolah, serta memberikan pengalaman pada peserta didik untuk belajar hidup dengan kebiasaan-kebiasaan baik dan bermanfaat baginya

104 serta lingkungannya. Tanpa disiplin yang baik, sulit bagi peserta didik untuk mencapai hasil melaksanakan suatu sistem yang mengharuskan orang tunduk pada keputusan, perintah, atau peraturan. Disiplin merupakan kepatuhan menaati peraturan dan ketentuan yang telah ditetapkan. Hakikat disiplin adalah sebagai pernyataan sikap mental individu maupun masyarakat yang mencerminkan ketaatan, kepatuhan, yang didukung oleh kesadaran untuk menunaikan tugas dan kewajiban dalam pencapaian tujuan (Arif., 2015; Bariyah, 2013; Hanani, 2014).

Berdisiplin sangat penting karena akan membuat seorang memiliki kecakapan cara belajar yang baik. Juga merupakan suatu proses ke arah pembentukan watak yang baik. Kedisiplinan sebagai alat pendidikan diterapkan dalam rangka pembentukan, pembinaan, dan pengembangan sikap serta tingkah laku yang baik. Sikap dan tingkah laku yang baik tersebut dapat berupa budi pekerti luhur, patuh, hormat, tenggang rasa, dan berdisiplin. Disiplin bertujuan mengarahkan peserta didik agar mereka belajar mengenai hal-hal baik yang merupakan persiapan bagi masa depanya (Hadianti and Krisnani 2015; Wahib 2015; Wulandari 2015), di mana saat dewasa kehidupan seseorang akan sangat bergantung kepada disiplin diri yang sudah dibiasakan dalam kehidupaanya.

Nilai pembelajar sebagai tuntutan untuk mengembangkan potensi diri agar peserta didik dapat terus belajar dengan mengembangkan potensi melalui proses assessment, refleksi atau dengan mengambil tindakan nyata yang dilakukan secara bertahap, diantaranya secara kontinu melakukan update ketrampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan aktual atau dengan cara menentukan arah pengembangan potensi yang dibutuhkan di masa depan.

Sebenarnya perubahan paradigma pembelajar berpusat pada peserta didik yang memiliki konsekuensi keaktifan dalam proses pembelajaran (Ari Setyorini 2011;

Rozak 2017). Hanya saja peserta didik yang bertipe pembelajar biasanya memiliki kemampuan lebih dalam menunjukkan perilaku aktif kreatif dalam menjalani proses pembelajaran. Biasanya tipe pembelajar selalu mengalami tahapan pembelajaran secara normalS agar semangat pembelajar ini tumbuh kembang secara baik dalam diri peserta didik.

105 Upaya yang dapat dilakukan pendidik untuk menumbuhkan sikap pembelajar diantaranya yaitu bersedia membangun hubungan positif dengan peserta didik dan memerankan peran yang tepat dalam proses pembelajaran sesuai dengan karakteristik peserta didik. Karena itu pendidik harus berusaha mengembangkan hubungan dan pola komunikasi interpersonal dengan peserta didik secara normal, sehingga peserta didik akan lebih terbuka dan hal tersebut menjadi peluang bagi pendidik untuk membantu peserta didik dalam menumbuhkan semangat belajar. Apabila pendidik dapat memosisikan dirinya sebagai pembelajar yang baik, maka aktivitas pembelajaran akan selalu beriring dengan aktivitas pengembangan diri sekaligus dalam upaya menjaga kedekatan dengan Allah Ta‟ala, sehingga sosok pembelajar akan selalu terpanggil untuk berpartispasi aktif pada beragam kegiatan sosial kemanusiaan, sosial kemasyarakatan, ataupun sosial keagamaan (Khumairo and Anam 2017;

Maslihah et al. 2016).