• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai Tanggung Jawab; konsiten melaksanakan tugas dan kewajiban Tanggung jawab menjadi nilai pokok dalam keseluruhan dimensi

C. Nilai - nilai Karakter Berbasis Al-Fatihah

2. Nilai Tanggung Jawab; konsiten melaksanakan tugas dan kewajiban Tanggung jawab menjadi nilai pokok dalam keseluruhan dimensi

kehidupan. Dunia pendidikan menempatkan tanggung jawab sebagai nilai dasar yang harus dibentuk melalui proses edukasi yang dijalankan secara berkesinambungan. Sehingga peserta didik dapat mengembangkan potensinya dan memiliki pengalaman yang berguna untuk mengurus apa yang menjadi tugasnya. Orang yang dapat melaksanakan tanggung jawab sempurna layak disebut sebagai orang yang bertaqwa. Menurut Imam Al-Ghazali, ada enam tingkatan tanggung jawab. Tingkatan tanggung jawab dimaksud antara lain:

pertama, tanggung jawab dalam perkataan di setiap situasi, baik yang

75 berkaitan dengan masa lalu, masa sekarang, maupun masa yang akan datang;

kedua, tanggung jawab dalam niat, hanya karena Allah Ta‟ala; ketiga, tanggung jawab dalam bertekad. Seseorang bisa saja mempunyai tekad bulat untuk bersedekah bila dikaruniai rezeki. Juga bertekad berbuat adil bila dikaruniai kekuasaan. Namun, ada kalanya tekad itu disertai kebimbangan, tetapi juga merupakan kemauan bulat yang tanpa keragu-raguan. Orang yang mempunyai tekad bulat lagi kuat disebut sebagai orang yang benar-benar kuat dan tanggung jawab: keempat, tanggung jawab memenuhi tekad. Pada mulanya, jiwa sering dibanjiri kemauan kuat, tetapi ketika menginjak tahap pelaksanaan, itu bisa melemah. Sebab, janji tekad yang bulat itu mudah, tetapi menjadi berat ketika dilaksanakan: kelima, tanggung jawab dalam beramal.

Tidak mengekspresikan hal-hal batin, kecuali batin itu sendiri. Artinya, perlu adanya keselarasan dan keseimbangan antara yang lahir dan yang batin;

keenam, tanggung jawab dalam maqam-maqam agama, sebagi peringkat tanggung jawab tertinggi dalam menjalani ketataan beragama (Arianto 2017;

Aziz and Baru 2011; Munawar 2013). Sebagaimana misalnya dalam, maqam takut (khauf), harapan (raja'), cinta (hub), rida, tawakal, dan lain-lain.

Pesan moral Imam Al-Ghazali tersebut mengandung makna yang sangat tinggi bahwa manusia hidup di dunia ini hanyalah sementara. Dunia bagaikan persinggahan sesaat, tempat menyiapkan bekal di akhirat, tempat roh manusia akan hidup selamanya. Seseorang tidak masuk surga dengan amalnya jika tidak mendapat rahmat Allah Ta‟ala. Sebab, amal ibadah manusia tidak bisa diandalkan dibandingkan dengan nikmat yang diterima.

Karena itu, setiap manusia harus bekerja keras dengan menerapkan budaya tanggung jawab. Tanggung jawab menjadi dasar setiap niat, ucapan, dan perbuatan. Jika diterapkan dengan baik, budaya tanggung jawab akan bermakna bagi kehidupan dalam menghadapi perubahan zaman. Nabi Muhammad Saw bersabda, “setiap orang sebagai pemimpin yang harus dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Ta‟ala (HR. al-Bukhari).

Sesungguhnya nilai tanggung jawab yang dimiliki seseorang dapat menjadi tolok ukur tingkat kualitas kemanusiaan. Dengan tanggung jawab itu,

76 manusia mengaktualisasi diri dengan bertindak secara baik, berbicara secara baik, dan berperilaku secara baik. Budaya tanggung jawab seseorang meliputi seluruh perilakunya, mulai dari keyakinan, pikiran, ucapan, hingga perbuatannya. Walaupun kita sulit mengetahui nilai tanggung jawab seseorang karena sifatnya yang lebih introver dan mudah dimanipulasi, kenyataannya kualitas tanggung jawab seseorang dapat dilihat dari komitmennya menjalankan aktivitas yang digelutinya. Keyakinan senantiasa menjadi tiang penyangga untuk memperkuat budaya tanggung jawab seseorang (Efendi 2011; Faozan 2009; Haidir 2003). Walaupun nilai tanggung jawab itu bisa lemah dan kuat. Bisa dikatakan bahwa membudayakan tanggung jawab merupakan usaha nyata untuk senantiasa bersikap selaras dengan nilai-nilai kebenaran serta menjadi pola kehidupan bermoral dalam kebersamaan.

Karena itu, pembiasaan sikap tanggung jawab memiliki dampak yang cukup signifikan dalam dunia pendidikan. Sebab, dalam pembiasaan sikap tanggung jawab digunakan beberapa pendekatan yang efektif. Pertama, pendekatan pengalaman, yakni memberikan pengalaman kepada peserta didik dalam rangka penanaman nilai-nilai tanggung jawab. Kedua, pendekatan pembiasaan, yakni memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk senantiasa mengamalkan ajaran agamanya. Pembiasaan sikap tanggung jawab pada peserta didik melalui eksplorasi pengalaman dan pembiasaan sangat bermanfaat untuk membentuk karakter positif. Ketiga, pendekatan evaluasi dan refleksi. Pada tahapan ini dilakukan evaluasi, baik secara kelompok ataupun individu, untuk menyampaikan keaktifannya dalam menerapkan nilai tanggung jawab dan menyampaikan nilai manfaat ataupun pengalaman yang diperolehnya selama berinteraksi dengan sesama, baik di lingkungan madrasah ataupun di lingkungan keluarga dan masyarakat (Latif, 2014;

Nihayati, 2017; Ula, 2016).

Terdapat beberapa tahapan dalam pembiasaan sikap tanggung jawab, baik di lingkungan madrasah ataupun di lingkungan keluarga dan masyarakat.

Pertama, tahap transformasi nilai, pada tahap ini, pembimbing sekadar

77 menginformasikan nilai-nilai yang baik dan yang kurang baik kepada peserta didik yang semata-mata merupakan komunikasi verbal. Kedua, tahap transaksi nilai, yakni suatu tahap pendidikan nilai dengan jalan melakukan komunikasi dua arah atau interaksi antar peserta didik dengan pembimbing yang bersifat interaksi timbal balik. Berbeda dengan tahap transformasi dan komunikasi yang masih dalam bentuk satu arah, yakni pembimbing yang aktif. Dalam transaksi ini, pembimbing dan peserta didik sama-sama bersifat aktif. Tekanan dari komunikasi ini masih menampilkan sosok fisiknya daripada sosok mentalnya. Dalam tahap ini, pembimbing tidak hanya menyajikan informasi nilai yang dapat dipertanggungjawabkan, tetapi juga terlibat dalam melaksanakan dan memberikan contoh amalan yang nyata dan peserta didik diminta memberikan respons sama, yakni menerima dan mengamalkan nilai tanggung jawab. Ketiga, tahap transinternalisasi, tahap ini jauh lebih dalam dari sekadar transaksi. Dalam tahap ini, penampilan pembimbing di hadapan peserta didik bukan lagi sosok fisiknya, melainkan sikap mental ataupun kepribadiannya. Demikian pula respons peserta didik terhadap pembimbing tidak hanya terbatas pada gerakan dalam penampilan fisiknya, melainkan sikap mental dan kepribadiannya. Karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam transinternalisasi, komunikasi, dan kepribadian terlibat secara aktif untuk membangun sikap tanggung jawab (Minarti 2015;

Muhyidin 2008; Wahab 2016).

Setiap Muslim harus menjunjung tinggi nilai tanggung jawab, kapan pun dan di mana pun berada. Apabila seorang mahasiswa selalu mengedepankan sikap tanggung jawab, maka hal tersebut dapat mengantarkannya menjadi sarjana yang terhormat, yang kelak dapat menjadikannya sebagai pemimpin yang arif. Sebagai pegawai atau karyawan, tanggung jawab dapat mengantarkannya menjadi orang yang sukses dan berwibawa, serta akan membuat lembaga tempat kerjanya maju meskipun secara perlahan. Sebagai pemimpin, tanggung jawab sangat diperlukan demi membangun kepercayaan dan dukungan dari bawahan. Pemimpin yang tidak bertanggung jawab akan sangat membahayakan dirinya, bawahannya, dan

78 lembaga yang dipimpinnya. Karena itu, untuk mengangkat nama baik agama (Islam), dibutuhkan pemimpin agama yang bertanggung jawab dengan sebaik-baiknya (Iqbal et al. 2013; M. Nur Wahyudi 2015; Mubarok 2017).

Sifat tanggung jawab dapat terlihat dalam berbagai bentuk, yaitu:

pertama, benar dalam perkataan. Setiap Muslim harus selalu berkata benar dalam keadaan apa pun dan bagaimanapun. Orang yang berkata benar akan dikasihi Allah Ta‟ala dan dipercaya masyarakat. Orang yang suka berbohong tidak akan pernah dipercaya oleh masyarakat; kedua, benar dalam pergaulan.

Seorang Muslim tidak cukup hanya benar dalam perkataannya, tetapi juga benar dalam pergaulannya. Dalam pergaulannya dengan orang lain, setiap Muslim dilarang menipu, berbohong, berkhianat, dan sejenisnya. Dengan bekal tanggung jawab, seorang Muslim akan dapat bergaul dengan baik di masyarakat dan akan dipercaya oleh masyarakat; ketiga, benar dalam kemauan, setiap muslim juga harus benar dalam kemauannya dengan bekal tanggung jawab. Seorang Muslim akan dapat menuruti kemauannya yang benar. Kemauan yang benar harus dipraktikkan dengan cara-cara yang benar.

Jangan sampai kebenaran dicampuradukkan dengan kebatilan. Sebab, hal itu dilarang dalam agama (QS. Al-Baqarah [2]: 42); keempat, benar dalam berjanji. Seorang Muslim harus selalu menepati janji ketika ia berjanji. Nabi menyuruh menepati janji ini sampai kepada anak kecil sekalipun.

Sebagaimana Nabi bersabda: “Barangsiapa yang berkata pada anak kecil:

mari kemari, saya beri kurma, namun tidak memberinya, maka orang tersebut telah membohongi anak” (HR.Ahmad). Jadi, apabila seorang Muslim berjanji, maka harus menepatinya. Apalagi jika seorang pemimpin berjanji pada rakyatnya, maka wajib dipenuhinya. Allah Ta‟ala menyukai dan memuji orang-orang yang menepati janji (QS. Maryam [19]: 54); kelima, benar dalam kenyataan. Seorang Muslim harus menampilkan apa yang sesungguhnya terjadi pada dirinya dan jangan membohongi masyarakat (Arif, 2015; Hanani, 2014; Hayat, 2014).

Tanggung jawab juga dapat dimaknai sebagai kesesuaian antara ucapan lisan dan kenyataan tindakan. Sedangkan dalam makna yang lebih

79 umum, tanggung jawab dimaknai dengan kesesuaian antara lahir dan batin dalam melaksanakan tugas ataupun kewajiban yang menjadi urusanya. Maka, orang yang bertanggung jawab akan selalu bersama Allah Ta‟ala dan bersama manusia karena memiliki kesesuaian antara lahir dan batin. Karena itu, orang munafik disebutkan sebagai kebalikan orang yang mengedepankan tanggung jawab. Sebagaimana firman-Nya: “Allah Ta‟ala akan memberikan balasan kepada orang-orang yang benar, dan menyiksa orang munafik...” (QS. Al-Ahzab:24).

Tanggung jawab termasuk akhlak utama yang terbagi menjadi beberapa bagian. Sebagaimana Al-Harits Al-Muhasibi yang berkata:

“sesungguhnya tanggung jawab dan ikhlas sebagai fondasi segala sesuatu”.

Dari sifat tanggung jawab, tercabang beberapa sifat seperti jujur, sabar, qana‟ah, zuhud, dan rida. Sedangkan dari sifat ikhlas tercabang beberapa sifat seperti yakin, khauf (takut), mahabah (cinta), ijlal (membesarkan), haya`

(malu), dan takzim (pengagungan). Tanggung jawab terdiri atas tiga bagian yang harus dan saling melengkapi: pertama, tanggung jawab hati dengan iman secara benar; kedua, menjaga niat yang benar dalam perbuatan; ketiga, kata-kata yang benar dalam ucapan yang ditindaklanjuti dalam perbuatan nyata. Setiap akhlak yang baik bisa diusahakan dengan membiasakan dan bersungguh-sungguh menekuninya serta berusaha mengamalkannya. Dengan begitu, pelakunya mencapai kedudukan yang tinggi, baik dari tingkatan pertama ke yang lebih tinggi darinya dengan akhlaknya yang baik (Zainul Arifin, 2015; Maria Mansur, 2012; Wati, 2013).

Sikap tanggung jawab memiliki pengaruh positif dalam kehidupan manusia, diantaranya adalah teguhnya pendirian, kuatnya hati, dan jelasnya penyelesaian persoalan yang memberikan ketenangan kepada orang banyak.

Tanggung jawab membawa pelakunya bersikap berani karena bersikap kukuh, tidak lentur, dan karena selalu berpegang teguh dengan pendiriannya.

Tanggung jawab merupakan salah satu nilai moral yang harus dijunjung tinggi dalam segala aspek kehidupan. Tanggung jawab harus menjadi landasan seseorang dalam berkata maupun berperilaku di setiap aktivitas

80 kehidupan. Tanggung jawab adalah wujud ketulusan hati atau kelurusan hati seseorang dalam bertindak. Dengan demikian, tanggung jawab dapat diartikan sebagai sikap hati yang tulus atau lurus yang mendasari suatu tindakan nyata dalam mengurus suatu urusan yang menjadi urusanya (FatchurRahman, 2017; Intaswari, 2016; M. Iqbal & Prawening, 2018).

Kelurusan hati ini mengandaikan adanya keselarasan antara hati dan sesuatu yang benar atau lurus. Yakni, kebenaran yang diyakini atau kebenaran dalam aturan-aturan dalam masyarakat di mana seseorang hidup.

Tanggung jawab dalam makna inilah yang hendaknya diterapkan dalam kehidupan bersama kapan pun dan di mana pun berada. Franz Magnis Suseno mengatakan bahwa ada dua sikap tanggung jawab dalam berhubungan dengan orang lain, yaitu bersikap terbuka dengan orang lain dan bersikap fair.

Sikap terbuka berarti selalu tampil sebagai diri sendiri, tampil apa adanya.

Kita selalu menampilkan diri sebagaimana kita sesungguhnya bukan karena keinginan orang lain (Liana 2018; Sanaky.Hujair. AH 2011; Wiseza 2017).

Jadi, dalam pikiran, perkataan, dan perilaku harus selalu terealisasi sesuai keberadaan kita yang sebenarnya, bukan karena kita malu atau takut dengan sesuatu. Bersikap fair artinya kita bersikap sesuai norma terhadap orang lain, kita selalu berusaha memperlakukan orang lain dengan standar-standar norma dan kaidah sebagaimana diperlakukan orang lain.

Menurut Yunahar Ilyas, bentuk-bentuk tanggung jawab terdiri atas empat bentuk, yakni: a) tanggung jawab dalam perkataan. Dalam keadaan apa dan bagaimanapun seorang muslim harus berkata yang benar, baik dalam menyampaikan informasi, menjawab pertanyaan, melarang, atau memerintah apapun yang lainnya. Orang yang selalu berkata benar akan dipercaya oleh masyarakat. Sebaliknya, orang yang berdusta, tidak akan dipercaya oleh masyarakat. Sebagaimana peribahasa mengatakan, “Sekali berdusta, seumur hidup orang tidak akan memercayainya”; b) tanggung jawab dalam pergaulan. Barang siapa yang selalu bersikap tanggung jawab dalam pergaulan, dia akan menjadi kepercayaan masyarakat, siapa pun ingin bergaul dengannya. Tetapi sebaliknya, siapa yang suka berkhianat atau sering

81 berpenampilan palsu, masyarakat tidak akan memercayainya, bahkan akan menjauhinya; c) tanggung jawab dalam kemauan. Sebelum memutuskan sesuatu, seorang Muslim harus mempertimbangkan dan menilai apakah yang dilakukan itu benar dan bermanfaat. Apabila yakin benar dan bermanfaat, dia akan melakukannya tanpa ragu-ragu, tidak dipengaruhi oleh komentar yang mendukung atau mencelanya. Jika menghiraukan semua komentar orang, dia tidak akan melaksanakannya. Tetapi, bukan berarti dia mengabaikan kritik, asalkan kritik tersebut argumentatif dan konstruktif; dan d) tanggung jawab dalam berjanji. Sebab janji merupakan utang, eorang yang telah berjanji harus menepatinya. Jika seseorang sering kali tidak menepati janji, dia menjadi orang yang tidak dipercaya oleh orang lain (FatchurRahman, 2017; M. Iqbal

& Prawening, 2018; Kamsin et al., 2014).

Seiring dengan kewajiban untuk menegakkan sikap tanggung jawab, setiap muslim dilarang berkianat, karena sikap khianat akan merusak tatanan kehidupan bermasyarakat (Mamat and Rashid 2013; Muhtadi 2017; Nur Hidayat 2009; Thobroni 2014). Sebagaimana tanggung jawab, bentuk-bentuk penghianatan juga bermacam-macam. Pertama, berdusta, adalah sebagai bentuk penghianatan yang paling jelek karena akan merugikan orang lain.

Karena itu, Allah Ta‟ala dan Rasulullah melarang dan tidak menyukai sikap berkhianat (QS. An-Nisa [4]: 107). Kedua, ingkar janji juga merupakan bentuk penghianatan yang dilarang agama. Nabi SAW memasukkan ingkar janji sebagai salah satu predikat orang munafik (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Ketiga, kesaksian palsu. Sangat berbahaya dalam kehidupan manusia karena dapat memutarbalikkan kenyataan. Karena itulah kesaksian palsu termasuk salah satu dosa besar, orang yang terhindar dari kesaksian palsu akan menjadi hamba Allah Ta‟ala yang baik (QS. Al-Furqan [25]: 72). Keempat, memfitnah dikelompokkan sebagai sikap khianat karena sangat membahayakan kehidupan manusia. Orang yang memfitnah selalu bertujuan menjatuhkan orang lain yang difitnah, bukan sebaliknya. Saking bahayanya hal tersebut, Qur‟an menegaskan, “Fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan” (QS.

82 Baqarah [2]: 191 dan 217). Fitnah adalah salah satu bentuk kebohongan besar yang merupakan karakter tercela yang harus dihindari setiap Muslim.

Adapun ciri-ciri orang yang memiliki sikap tanggung jawab sebagai berikut: pertama, jika bertekad (berniat) melakukan sesuatu, tekadnya adalah kebenaran dan kemaslahatan yang harus diwujudkan; kedua, jika berkata tidak berbohong (benar apa adanya); dan ketiga, ada kesamaan antara yang dikatakan hatinya dengan apa yang dilakukannya. Penanaman nilai tanggung jawab dapat dilakukan melalui pembentukan budaya sekolah berbasis pendidikan karakter. Sehingga nilai tanggung jawab akan membingkai keseluruhan aktivitas yang dilakukan peserta didik (Anekasari, 2015; Arif., 2015; Hanani, 2014), di antaranya melalui:

1. keteladanan, merupakan kegiatan dalam bentuk perilaku sehari-hari yang tidak diprogramkan karena dilakukan tanpa mengenal batasan ruang dan waktu. Keteladanan ini merupakan sikap guru, tenaga kependidikan, dan peserta didik dalam memberikan contoh melalui tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi panutan bagi peserta didik lain. Contoh pada karakter tanggung jawab: guru memberikan penilaian secara objektif atas tugas yang sudah dikerjakan, pendidik menepati janji pada peserta didik dalam segala situasi dan keadaan.

2. kegiatan spontan yaitu kegiatan tidak terjadwal dalam kejadian khusus yang meliputi pembentukan perilaku memberi senyum, salam, sapa, membuang sampah pada tempatnya, budaya antrian, mengatasi silang pendapat (pertengkaran), saling mengingatkan ketika melihat pelanggaran tata tertib sekolah, kunjungan rumah, kesetiakawanan sosial, dan anjangsana. Contoh pada karakter tanggung jawab: memperingatkan siswa yang menyontek saat ujian, memperingatkan siswa yang mencontoh pekerjaan rumah temannya.

3. kegiatan rutin merupakan salah satu kegiatan pendidikan karakter yang terintegrasi dengan kegiatan sehari-hari di sekolah seperti upacara bendera, senam, doa bersama, ketertiban, dan pemeliharaan kebersihan (Jumat Bersih). Contoh pada karakter tanggung jawab: menyediakan tempat

83 temuan barang hilang, transparansi laporan keuangan sekolah, menyediakan kotak saran dan pengaduan, larangan menyontek saat ujian.

4. pengondisian merupakan usaha penciptaan kondisi yang mendukung pelaksanaan pendidikan karakter. Misalnya, kondisi toilet yang bersih, tempat sampah, halaman yang hijau dengan pepohonan, poster kata-kata bijak yang dipajang di lorong sekolah ataupun di dalam kelas, serta berbagai kalimat inspiratif untuk menjaga kesehatan diri.

Pepatah menyatakan, “tanggung jawab sebagai cermin prestasi”, maka menanamkan sikap tanggung jawab pada setiap peserta didik mutlak diperlukan, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, maupun dalam lingkungan kehidupan berbangsa ataupun bernegara. Sebab, apabila suatu keluarga, lembaga, organisasi, ataupun negara dihiasi perilaku tanggung jawab, kehidupan akan aman, tenteram, adil, dan akhirnya tercipta kehidupan yang sejahtera bahagia untuk semuanya. Apabila perilaku tanggung jawab ditegakkan dengan baik dalam kehidupan, maka sikap amanah dapat ditegakkan, baik amanah dari Allah Ta‟ala ataupun amanah dari sesama manusia. Tanggung jawab juga dapat menghindari prasangka buruk, baik sebagai bagian dari kehidupan keluarga, lembaga sosial, organisasi, maupun sebagai bagian kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, perlu diusahakan berbagai cara untuk dapat menanamkan sikap tanggung jawab, baik oleh keluarga, masyarakat, ataupun pemerintah secara konsiten (Nurul Wardani 2015; Salamet Haryadi 2012; Ula 2016).

Tanggung jawab yang telah ditanamkan sejak dini diharapkan berpengaruh pada kehidupan peserta didik. Ketika dewasa, peserta didik diharapkan tetap menjunjung tinggi tanggung jawab sehingga terhindar dari tindakan korupsi. Telah diketahui bersama bahwa Indonesia telah lama dilanda krisis moral sehingga „berhkianat‟ menjadi hal yang biasa. Akibatnya, Indonesia masuk dalam kategori darurat korupsi. Dari dulu hingga sekarang, korupsi telah menjadi musuh terbesar dalam kehidupan di Indonesia, terutama dalam pengelolaan pemerintahan di Indonesia. Menurut Kemendiknas, pembentukan sikap tanggung jawab di sekolah ditunjukan dengan beberapa

84 indikator, yaitu: (1) tidak meniru jawaban teman (menyontek); (2) mengatakan sesungguhnya sesuatu yang telah terjadi atau sesuatu yang dialamīnya dengan apa adanya; (3) mau bercerita tentang kesulitan dan mau menerima pendapat temannya; (4) mau menyatakan ketidaknyamanan suasana belajar di kelas; (5) menjawab pertanyaan guru tentang sesuatu berdasarkan apa yang diketahui (Ari Setyorini 2011; Aziz and Baru 2011;

Baharudin 2016).

Metode yang digunakan dalam proses implementasi pendidikan karakter memegang peranan penting. Sebab, dalam menjalankan tugas pokoknya, pendidik tidak hanya mengajar materi yang ada. Pendidik juga dituntut mampu mengembangkan nilai sikap, pengetahuan, kecerdasan, dan kecakapan peserta didik. Sebab, nilai-nilai luhur yang menjadi karakter dapat diimplementasikan sejak usia dini. Dalam mengimplementasikan karakter tanggung jawab, diperlukan bentuk kerja sama antar komponen yang ada di sekolah, sehingga proses implementasi pendidikan karakter, terutama nilai tanggung jawab dapat diterapkan dengan baik (Bariyah 2013; Heryati and Rusdiana 2018; Wahid 2006).

Komponen-komponen sekolah tersebut antara lain, kepala sekolah serta pendidik yang merupakan teladan dalam proses implementasi nilai karakter tanggung jawab. Pendidik harus mencerminkan perilaku yang sarat akan nilai-nilai karakter tanggung jawab dalam dirinya. Dalam hal ini, sosok pendidik harus selalu berusaha untuk menepati janji, membiasakan peserta didik untuk meminta izin ketika meminjam alat tulis kepada teman-temannya, dan selalu mengucapkan terima kasih setelah mengembalikan kepada temannya. Kemudian, sosok pendidik harus senantiasa menghindari perilaku yang salah dan menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. Implementasi karakter tanggung jawab membutuhkan sosok keteladanan dari seorang pendidik.

Sebagai seorang pendidik, harus senantiasa menyemaikan budaya tanggung jawab. Sebab, tanggung jawab merupakan sikap yang tulus dalam melaksanakan sesuatu yang diamanatkan, baik berupa harta maupun tugas

85 yang penting untuk kemaslahatan. Seorang yang melaksanakan amanah dengan baik disebut orang yang tepercaya dan bertangungjawab. Sikapnya tegas, tetap tegak dalam prinsip mengamankan amanah yang dipercayakan kepadanya, aman, dan terjamīn dari segala bentuk gangguan, baik gangguan yang datang dari dirinya sendiri maupun dari orang lain. Sifat tanggung jawab dan tepercaya merupakan hal yang sangat penting dalam segala aspek kehidupan seperti dalam kehidupan rumah tangga, perusahaan, perniagaan, politik, birokrasi, dan hidup bermasyarakat (Muadz 2013; Nasution 2017;

Wulandari 2015). Sifat-sifat dan akhlak yang sangat terpuji merupakan contoh yang diberikan Nabi Muhammad saw. dalam berjuang serta membangun masyarakat Islam. Sikap tanggung jawab sebagai sikap yang menonjol sejak masa kecil sampai akhir hayatnya, sehingga Rasulullah mendapat gelar Al-Amīn.

Pembudayaan tanggung jawab melalui dunia pendidikan dianggap sudah sangat tepat karena ilmu pengetahuan dan keterampilan manusia tidak dapat berubah dengan sendirinya, melainkan melalui proses pendidikan.

Tanggung jawab mempunyai makna nilai moral yaitu suatu pandangan batin yang bersifat mendarah daging. Dia merasakan bahwa hanya dengan bekerja benar, kreativitas akan tumbuh, etos kerja akan meningkat, disiplin dan kompetitif dalam segala pekerjaan. Tanggung jawab bukan sekadar kepribadian atau sikap, melainkan sebagai martabat, harga diri, jati diri seseorang, dan motor penggerak kreativitas. Dalam jiwa seseorang yang bertanggung jawab terdapat komponen nilai rohani yang membetulkan berbagai sikap yang berpihak pada kebenaran dan budi pekerti yang terpuji (At-Thobari, et 2011; Muadz 2013; Muhammad and Shihab 2018).

Apabila ada seseorang secara istiqamah dapat membenamkan dirinya dengan sikap tanggung jawab, maka orang tersebut akan merasa bangga menjadi hamba Allah Ta‟ala, merasa merdeka kerena dapat menunaikan

Apabila ada seseorang secara istiqamah dapat membenamkan dirinya dengan sikap tanggung jawab, maka orang tersebut akan merasa bangga menjadi hamba Allah Ta‟ala, merasa merdeka kerena dapat menunaikan