• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai Syukur; mensyukuri segala nikmat yang diterima

C. Nilai - nilai Karakter Berbasis Al-Fatihah

3. Nilai Syukur; mensyukuri segala nikmat yang diterima

Kata syukur dalam kamus kontemporer Arab-Indonesia berasal dari bahasa Arab dengan kata dasar “syakara” yang artinya berterima kasih.

Bentuk masdar dari kalimat ini adalah “syukr, syukraan” yang artinya rasa terima kasih. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, syukur diartikan sebagai rasa terima kasih kepada Allah Ta‟ala dan untunglah (menyatakan perasaan lega, senang, dan sebagainya). Secara bahasa, syukur adalah pujian kepada yang telah berbuat baik atas apa yang dilakukan kepadanya. Kata syukur merupakan kebalikan dari kufur. Adapun hakikat syukur adalah menampakkan nikmat, sedangkan hakikat ke-kufur-an adalah menyembunyikannya. Menampakkan nikmat antara lain berarti mengguna-kannya pada tempat dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemberinya, juga menyebut-nyebut nikmat dan pemberinya dengan lidah (Rusdi 2017; Siti Arni Basir 1999).

Menurut istilah syarak, syukur merupakan pengakuan terhadap nikmat yang diberikan Allah Ta‟ala dengan disertai ketundukan kepada-Nya dan mempergunakan nikmat tersebut sesuai dengan kehendak Allah Ta‟ala.

Menurut sebagian ulama, syukur berasal dari kata “syakara” yang artinya membuka atau menampakkan. Jadi, hakikat syukur adalah menampakkan nikmat Allah Ta‟ala yang dikaruniakan padanya, baik dengan cara menyebut nikmat tersebut atau dengan cara mempergunakannya di jalan yang dikehendaki oleh Allah Ta‟ala. Ibn Abdullah, mendefinisikan syukur berarti

87 sesuatu yang diambil atau dapat juga diartikan pujian kepada manusia dengan cara yang baik. Secara substantif, syukur berarti rela dengan mudah menerima dan memanfaatkan nikmat yang didapatkan. Syukur dapat dimaknai untuk menggambarkan suatu nikmat dengan menampakkannya.

Adapun kebalikan dari syukur adalah kufur yaitu melupakan nikmat dengan menutupinya. Maka dalam konteks pemahaman ini, syukur dimaknai sebagai kepuasan atas nikmat yang didapatkan seorang untuk dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya demi kemaslahatan (Chris 2018; Lestari 2018; Ula 2016).

Menurut pandangan ulama modern, syukur memiliki makna yang bervariasi sebagaimana dinyatakan Ibn. Abdullah bahwa syukur itu memberikan balasan dengan yang lebih baik. Maka dalam konteks pemahaman ini, syukur tidak cukup hanya dengan merasakan suka atau kesenangan, namun memerlukan ekspresi melalui tindakan positif sebagai respons terhadap nikmat yang diterima. Karena itu, makna syukur menuntut adanya ekspresi ataupun aktualisasi yang bersifat positif dan responsif.

Karena itu, syukur menjadi bentuk ekspresi atas nikmat yang diterimanya dari Allah Ta‟ala. Sedangkan yang dimaksud kufur adalah sikap acuh atau menutupi rasa bersyukur atas nikmat yang diterima dari Allah Ta‟ala. Karena itu, syukur melibatkan sikap rela dalam menerima nikmat yang sudah diterima sebagai konsekuensi orang yang beriman (Hayat 2014; Rusdi 2017).

Dalam konteks ini, peneliti dapat menyimpulkan bahwa syukur sebagai sikap rela dengan nikmat Allah Ta‟ala, kemudian mengekspresikan dengan amal kebajikan ataupun kemanfaatan secara ikhlas dalam kehidupan.

Berdasarkan nilai-nilai dasar dalam Al-Qur‟an, Islam telah menjelaskan kaidah bersyukur secara detail dan operasional agar dapat dijadikan panduan bersyukur atas segala nikmat yang diterima dalam keseluruhan aspek kehidupan. Dalil Al-Qur‟an ataupun Al-Hadis cukup banyak mendeskripsikan kaidah bersyukur bahkan sampai pada rumusan indikatornya. Menurut konsep Barat, sikap syukur memiliki kontribusi besar dalam membentuk religiusitas. Secara jujur harus diterima bahwa religiusitas intrinstik berhubungan dengan perilaku bersyukur. Menurut analisis ilmiah,

88 dunia psikologi di Barat telah menemukan alat ukur syukur yang populer disebut “appreciation scale (AS).” Pada alat ukur tersebut telah dimasukkan aktivitas ritual ke dalam salah satu dimensi alat ukur. Ditemukannya alat ukur ini telah membuktikan bahwa dimensi vertikal amat dibutuhkan untuk mengenali variabel syukur dalam diri manusia. Karena itu, setiap individu yang memiliki pengalaman lebih banyak terlibat dalam beragam kegiatan keagamaan, ternyata memiliki kecenderungan lebih kuat untuk bersyukur.

Sebab, segala bentuk pengalaman keagamaan seorang akan mampu meningkatkan rasa syukur individu dengan memosisikan Allah Ta‟ala sebagai sumber pokok dalam segala manfaat yang diperoleh seseorang selama menjalani kehidupannya (Rusdi, 2017; Shuhari & Hamat, 2015).

Karena itu, perlu menumbuhkan perasaan syukur dengan memosisikan Allah Ta‟ala sebagai sumber pokok kehidupan, membutuhkan kesadaran dan pengalaman yang kompleks. Sebagaimana agama Islam telah memandu bagi setiap pemeluknya agar selalu bersyukur, baik secara vertikal ataupun horizontal, agar syukur dapat memberikan dampak nyata untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik dan lebih mulia (Hadianti and Krisnani 2015;

Hayat 2014). Sedangkan menurut pandangan psikologi Barat, syukur cenderung dimaknai sebagai proses horizontal, bahkan menurut pendapat beberapa ahli di Barat, syukur merupakan afeksi moral sosial terhadap sesama manusia di antara penerapannya dengan menyatakan terima kasih kepada orang lain yang telah rela hati membantu ataupun meringankan urusan.

Menurut kajian literatur Islam klasik, sebagaimana dikemukakan Imam Al-Ghazali, syukur terbentuk atas tiga unsur utama, yakni: a) ilmu, yaitu pengetahuan tentang nikmat dan pemberinya. Serta meyakini bahwa semua nikmat berasal dari Allah Ta‟ala dan yang lain hanya sebagai perantara sampainya nikmat. Sehingga hal tersebut akan menyebabkan sikap selalu memuji Allah Ta‟ala dan tidak akan muncul keinginan memuji yang lain.

Sedangkan gerak lidah dalam memuji-Nya hanya sebagai tanda keyakinan; b) hal (kondisi spiritual), yaitu karena pengetahuan dan keyakinan tadi melahirkan jiwa yang tenteram, membuatnya senantiasa senang dan

89 mencintai yang memberi nikmat dalam bentuk ketundukan, kepatuhan, dan mensyukuri nikmat tidak hanya menyenangi nikmat tersebut, tetapi juga mencintai yang memberikan nikmat tersebut yaitu Allah Ta‟ala; c) amal perbuatan, ini berkaitan dengan hati, lisan, dan anggota badan. Yaitu, hati yang berkeinginan melakukan kebaikan, lisan yang menampakkan rasa syukur dengan pujian kepada Allah Ta‟ala dan anggota badan dengan melaksanakan perintah Allah Ta‟ala serta menjauhi larangan-Nya (Nasution 2017; Shuhari and Hamat 2015).

Berdasarkan pemaparan tersebut, maka pemaknaan syukur dalam pembahasan ini berkaitan langsung dengan keberadaan Allah Ta‟ala sebagai pencipta dan pengatur kehidupan sebagai pihak yang memberikan segala sesuatu maupun kondisi hidup yang sedang dijalani oleh setiap manusia ataupun makhluk-makhluk-Nya. Konsekuensinya, setiap individu dituntut senantiasa memanfaatkan apa pun yang sudah diberikan Allah Ta‟ala dengan melakukan perilaku-perilaku yang bersifat positif ataupun bermanfaat sebagai perwujudan nilai-nilai syukur dalam kehidupan nyata. Penekanan pemaknaan syukur disandarkan atas kekuasaan Allah Ta‟ala yang telah memberikan nikmat dan karunia terhadap hamba-hamba-Nya. Sekaligus memberikan kesadaran seluruh hamba-hamba-Nya untuk selalu menggunakan nikmat yang telah diberikan Allah Ta‟ala dengan optimal untuk kebaikan ataupun kemaslahatan dalam kehidupan di dunia ataupun di akhirat kelak (Azis 2012;

Efendi 2011).