• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai Kasih; memberi manfaat kepada sesama manusia

C. Nilai - nilai Karakter Berbasis Al-Fatihah

1. Nilai Kasih; memberi manfaat kepada sesama manusia

Secara istilah, perilaku kasih (prososial) dimaknai sebagai perilaku sukarela untuk membantu atau meringankan urusan orang lain atau kelompok lain dalam mewujudkan keinginan yang diharapkan. Menurut Paul Henry Mussen, perilaku kasih (prososial) dilakukan secara sukarela tanpa adanya paksaan untuk memberikan konsekuensi positif terhadap orang lain dengan beragam alasan (Siti Anisah 2011; Zakaria, Noranizah, and Abdul Fatah 2012). Dalam perspektif Islam, perilaku kasih (prososial) telah diposisikan

71 sebagai perilaku mulia yang dapat dikategorikan sebagai sebaik-baik perilaku.

Karena itu, setiap Muslim dianjurkan selalu memberikan manfaat terhadap sesama manusia tanpa pandang bulu sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah SAW, “manusia yang baik akan selalu memberi manfaat bagi sesamanya”

(HR. Muslim).

Sesungguhnya perilaku kasih (prososial) merupakan perilaku utama untuk menolong orang lain tanpa adanya paksaan dari siapa pun dan tidak ada keharusan untuk memberikan imbalan secara langsung kepada orang yang melakukan tindakan menolong. Agama Islam menganjurkan kepada penganutnya agar mengedepankan sikap tolong-menolonglah dalam urusan kebaikan dan jangan tolong-menolong dalam urusan dosa. Adapun ruang lingkup perilaku kasih (prososial) mencakup keseluruhan tindakan yang menguntungkan atau membahagiakan orang lain seperti berbagi kasih dengan orang-orang yang kurang beruntung, menghibur atau menolong orang yang mengalami kesedihan, bekerja sama atau menolong seseorang untuk mewujudkan tujuan atau memberi pujian atas perbuatan baiknya.

Adapun tujuan perilaku kasih (prososial) yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan individu, menaikkan status sosial, menyesuaikan self-image, serta mengatur mood dan emosi. Perilaku kasih sebagai tindakan nyata untuk dapat menolong ataupun memberikan bantuan yang dimaksudkan untuk menguntungkan orang lain tanpa mengharap adanya imbalan yang dapat menguntungkan diri sendiri dan tanpa adanya unsur paksaan dari orang lain.

Para peneliti kepribadian mengemukakan tiga hal penting yang mendasari munculnya perilaku kasih, yaitu: pertama, adanya individual deferences dalam perilaku menolong yang dapat bertahan lama yang lebih banyak dilakukan oleh orang-orang yang dapat dipercaya; kedua, adanya bukti-bukti empiris sebagai network of traits, adanya hubungan orang-orang dekat yang meningkatkan kecenderungan untuk saling menolong, traits yang tinggi dalam hal emosi positif, empaty atau self-efficacy akan dapat memunculkan perhatian yang lebih baik yang dapat mendorong seorang untuk melakukan tindakan menolong orang lain; dan ketiga, kepribadian seseorang akan

72 memengaruhinya dalam merespons situasi tertentu, self-monitoring yang tinggi akan disesuaikan dengan harapan orang lain, sehingga akan muncul sebagai sikap “suka menolong”, sehingga akan selalu peka terhadap situasi dan kondisi yang mengharuskan seorang menolong orang lain (Matondang 2016; Rozak 2017).

Perilaku kasih sebagai tindakan individu untuk menolong orang lain sering kali tidak memberikan manfaat langsung kepada si penolong, perilaku ini memberikan manfaat bagi orang lain, bertentangan dengan kepentingan egoisme seseorang, dan berpotensi dapat memberikan hasil bagi orang lain.

Seorang tokoh kepribadian Branscombe (At-Thobari, et 2011; Soerjoatmodjo 2016) mendefinisikan perilaku kasih (prososial) sebagai tindakan sukarela yang dimaksudkan untuk membantu atau memberikan manfaat bagi orang lain atau kelompok individu. Perilaku kasih (prososial) juga diartikan sebagai kesukarelaan tindakan yang disengaja untuk memberikan hasil yang positif atau bermanfaat bagi penerima (the recipient), terlepas apakah tindakan tersebut memiliki nilai harga, tidak berdampak apa pun, atau malah menguntungkan bagi pemberi (the donor).

Para ahli kepribadian telah mengelompokkan beberapa faktor yang menyebabkan munculnya perilaku kasih (prososial) dalam kehidupan nyata, di antarany: pertama, the situation, situasi pergaulan yang terjadi akan memengaruhi seorang untuk menjadi lebih responsif terhadap keadaan orang lain yang membutuhkan pertolongan; kedua, temporary states of potensial helpers, kepekaan perasaan orang-orang yang berada dalam posisi tertentu untuk melihat orang lain yang membutuhkan pertolongan; ketiga, relationship to potential recipients of help, hubungan seorang dengan orang lain menjadi unsur penentu seorang untuk menolong orang lain; keempat, personality characteristics, karakteristik kepribadian akan menentukan seorang untuk memiliki perilaku kasih; dan kelima, psychological processes, pemahaman dan kemampuan ataupun pengalaman seorang dalam berperilaku, akan menentukan kualitas perilaku kasih yang dilakukan seorang (Matondang, 2016; Nasution, 2017).

73 Sedangkan aspek-aspek yang dapat menentukan munculnya perilaku kasih, menurut pendapat ahli kepribadian, mencakup beberapa unsur sebagai berikut: pertama, sharing, kesediaan berbagi perasaan dengan orang lain, baik dalam suasana suka ataupun duka; kedua, cooperating, kesediaan bekerja sama dengan orang lain untuk mencapai suatu tujuan; ketiga, helping, kesediaan untuk menolong orang lain yang sedang mengalami kesusahan dengan cara menawarkan bantuan atau melakukan sesuatu yang menunjang kelancaran kegiatan yang dilakukan; keempat, donating, kesediaan untuk memberikan sesuatu yang dimiliki dengan sukarela; dan kelima; honesty (tanggung jawab), kesediaan untuk tidak berbuat curang kepada orang lain (Nurul Wardani, 2015; Soerjoatmodjo, 2016).

Sebenarnya perilaku kasih muncul tidak dengan tiba-tiba. Perilaku kasih didasarkan pada motivasi tertentu menurut stimulan yang sesuai dengan momentumnya. Adapun motivasi perilaku kasih dengan orang lain di antaranya: 1) egoistic, motivasi perilaku kasih ini memberikan bantuan kepada orang lain, tetapi penolong memiliki tujuan utama untuk mendapatkan keuntungan pribadi; 2) atruisme, beberapa aksi prososial termotivasi hanya oleh keinginan menolong orang lain yang membutuhkan, ada kalanya menolong karena untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain (Batson, 2013); 3) kolektivisme, memiliki tujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraan kelompok atau kolektif, motivasi ini berkaitan dengan kerja sama antara intragrup dan intergrup dengan tujuan memaksimalkan keuntungan bersama bagi orang-orang yang terlibat; 4) prinsipisme, motivasi memiliki tujuan utama untuk menegakkan prinsip moral, motif ini konsisten dengan standar moral yang berlaku luas sehingga selain adanya motivasi memberikan manfaat bagi orang.

Namun secara umum, sebagian besar orang akan cenderung kurang menolong pada orang yang tidak peduli dengan masalah mereka sendiri. Hal ini berbeda jika orang yang tergeletak di jalanan mengenakan pakaian rapi seperti berjas dan berdasi. Orang melakukan atribusi dan menilai bahwa orang yang terlihat rapi ini mungkin saja korban kejahatan dan sedang tidak

74 sadarkan diri. Pada umumnya, seseorang cenderung akan menolong orang yang memiliki kemiripan dengan yang menolong baik dari pertimbangan umur, kewarganegaraan, atau faktor lain. Dalam hal menolong, empati sangat menentukan, di mana komponen emosional dari empati lebih berpengaruh daripada komponen kognitif (akurasi empati) dalam perilaku menolong.

Ucapan terima kasih juga dapat meningkatkan keinginan menolong. Sebuah penelitian eksperimen yang sudah dilakukan oleh para pakar psikologi (Nurul Wardani, 2015; Soerjoatmodjo, 2016) menemukan bahwa ucapan terima kasih dapat meningkatkan keinginan menolong saat individu merasa lebih bernilai secara sosial ataupun kultural.

Apabila merujuk pada pendapat Abdullah Nashih Ulwan, dalam menanamkan perilaku kasih kepada peserta didik, ada beberapa cara yang dapat ditempuh: pertama, memberikan keteladanan yang baik; kedua;

pembiasaan sesuatu yang baik agar menjadi terbiasa; ketiga, pemberian nasihat yang baik agar bisa dihayati; keempat, pemberian perhatian orang tua agar merasakan kehangatan; kelima, penghargaan dengan mengapresiasi capaian keberhasilan; dan keenam, memberikan hukuman yang dapat mendidik dan sekaligus dapat menyadarkan agar tidak mengulanginya kembali (Muhtadi 2017; Qomaruddin 2016).

2. Nilai Tanggung Jawab; konsiten melaksanakan tugas dan kewajiban