• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI. A. Kajian Penelitian Terdahulu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORI. A. Kajian Penelitian Terdahulu"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

25 BAB II

KAJIAN TEORI

A. Kajian Penelitian Terdahulu

Melakukan penelitian harus diawali dengan penelusuran penelitian terdahulu, agar terjadi kesinambungan dalam pengembangan bidang keilmuan yang diteliti. Penelitian ini mengkaji bidang landasan filosofis penyelenggaraan pendidikan di madrasah. Untuk keperluan tersebut Usman Abu Bakar telah melakukan analisis tentang epistemologi pengelolaan pendidikan madrasah.

Menurutnya pendidikan madrasah lahir dari pendidikan pesantren yang hanya berfokus mempelajari ilmu-ilmu agama Islam sebagaimana yang telah dipraktikkan dalam pendidikan yang ada di Timur Tengah selama berabad-abad lamanya (Nurjanah, 2018; Bakar, 2013).

Sebagai bagian dalam menghadapi tantangan globalisasi yang amat masif, maka harus direspons dengan melakukan reformulasi sistem pendidikan nasional dari paradigma dikotomis menjadi paradigma integralistik. Untuk menjadikan pendidikan madrasah diakui bahkan dianggap sama menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam pendidikan nasional pada tataran praktis bukan normatif masih terkendala aspek politik, sosial budaya, ekonomi, dan birokrasi yang masih kental nuansa dikotomis (Nurjanah 2018; Nurwanto 2017). Sebagai solusi, diperlukan adanya upaya politik penyadaran kolektif bahwa pendidikan harus dikonseptualisasikan sebagai suatu usaha dan proses pemberdayaan yang perlu dilakukan oleh individu, keluarga, masyarakat, dan pemerintah secara keseluruhan (Abdullah, Fathillah, Hamid, & Ahmad, 2011; Fuad, 2017; Zainuddin, 2011).

Pendidikan sebagai investasi masa depan bangsa akan menjadi realitas dalam kebijakan dan praksis jika masyarakat, keluarga, dan pemerintah secara bersama memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pencarian solusi bagi semua persoalan dan tantangan pendidikan yang kita hadapi saat ini dan masa-masa yang akan datang (Anekasari 2015; Choiri 2016; Syafrawi 2018). Dalam konteks

(2)

26 pendidikan madrasah, sudah saatnya dapat dirumuskan kembali paradigma keilmuan yang melandasi seluruh sistem pendidikan dalam satu kesatuan ilmu yang mampu memenuhi tuntutan masyarakat dan zaman yang terus berkembang (Bakar 2013; Fatimah 2017; Malik, Hudaifah, and Dahlan 2017).

Memperjelas analisis tersebut, penelitian yang dilakukan Ida Nurjanah, memberikan gambaran lebih aktual bahwa pendidikan madrasah. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa madrasah merupakan pendidikan yang bersifat menyeluruh, penuh keseimbangan materi dan spiritual untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (Nurjanah 2018). Dewasa ini pendidikan madrasah cenderung mementingkan “al-ulum al-dun-ya” ataupun hanya menfokuskan kajian “al-ulum al-din” saja. Namun secara realitas, sering kali tujuan pendidikan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Terbukti, dalam proses pendidikan masih ada kekerasan terhadap anak, mengesampingkan potensi peserta didik, pendidikan terkonsentrasi pada urusan keduniawian saja, serta sistem pendidikan yang jauh dari fitrahnya. Dalam konteks ini, konsep humanisme religius menjadi pilihan dalam paradigma pendidikan madrasah.

Kunci humanisme religius terletak pada konsep pendidikan yang memanusiakan manusia. Konsep ini juga mengembangkan kemampuan yang dimiliki, baik intelektual maupun religius tanpa meninggalkan nilai-nilai agama yang mendasarinya. Pendidikan madrasah sebagai bentuk manifestasi dari cita- cita kehidupan islami untuk melestarikan, mengalihkan, menginternalisasi, mendesiminasi ataupun mentransformasikan nilai-nilai Islam ke pribadi generasi penerusnya. Dengan demikian, nilai-nilai kultural religius tetap berfungsi dan berkembang dalam masyarakat dari waktu ke waktu. Nilai-nilai agama merupakan segala usaha yang bertujuan membina hati nurani yang niscaya diarahkan agar peserta didik mempunyai kepekaan dan penghayatan yang mendalam atas nilai- nilai luhur dalam kehidupan.

Selanjutnya untuk lebih mengetahui bagaimana hakikat pendidikan madrasah, Ibnu Rusy memberikan analisis bahwa pendidikan sebagai proses transformasi pengetahuan yang berguna untuk mendewasakan manusia menjadi insan paripurna. Namun, pengetahuan yang dilepaskan dari nilai-nilai religius

(3)

27 malah membawa dampak buruk, di mana dimensi kemanusiaan diruntuhkan, proses transformasi melibatkan dua hal sekaligus, yaitu: pengetahuan dan nilai (Rusydi, 2012; Trinurmi, 2015; Yahdi, 2016). Adanya transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadi keniscayaan bagi negara-negara berkembang ternyata memunculkan problem dalam dunia pendidikan. Hal ini berkaitan dengan penyiapan sumber daya manusia yang diharapkan mampu mengakses perkembangan ilmu dan teknologi.

Apabila transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi dan penyiapan sumber daya manusia tidak diperhatikan, maka pengembangan ilmu pengetahuan akan menimbulkan problem kemanusiaan yang serius dan berkelanjutan (Mahfud 2018; Rochmat 2018; Yatazak 2018). Pendidikan merupakan aktivitas memancing potensi dan fitrah manusia. Mengingat fitrah dan potensi manusia itu kompleks, maka pendidikan yang baik tidak akan mereduksi kemanusiaan. Sebaliknya, pendidikan akan memaksimalkan seluruh potensi manusia itu sendiri. Karena itulah, pendidikan tidak seharusnya bersifat materialistik seutuhnya, melainkan juga harus disematkan nilai-nilai religius. Pendidikan yang bernuansa integratif, yakni pendidikan yang memadukan agama dan sains, merupakan satu-satunya model pendidikan yang memanusiakan manusia agar senantiasa selaras dengan fitrah (Bakar 2016; Priyanto et al. 2013; Saefulloh 2018).

Menurut analisis Bashori, Al-Qur‟an dan Al-Hadis sebagai sumber utama umat Islam telah memberikan penjelasan yang lugas tentang adanya ilmu pengetahuan (science) dan pemahaman agama secara baik. Secara fundamental, pendidikan beradab disebut sebagai pendidikan yang berupaya membangkitkan kembali spirit keilmuan Islam yang integratif dan interkonectif tanpa dikotomi dengan menginternalisasikan prinsip-prinsip wahyu dan etika Islam tentang pendidikan secara integral (Albantani and Faizi 2015; Ju‟subaidi 2016; Rohana Kamaruddin, Tajul Ariffin Noordin, and Kamisah Osman 2015). Ketiga entitas yaitu hadharah al-nash, hadharah al-falsafah, dan hadharah al-„ilm sebagai entitas yang tidak dapat berdiri sendiri. Relevansi pendidikan beradab dengan permasalahan pendidikan madrasah saat ini adalah pendidikan madrasah harus mampu menginternalisasikan sumber nilai-nilai Al-Qur‟an dan Al-Hadis dalam

(4)

28 melihat dan mencari solusi atas permasalahan kontemporer sebagai landasan penyelesaian pendidikan madrasah (Bashori 2017).

Menurut isu yang berkembang pada era kekinian, diperlukan paradigma pendidikan yang menjelaskan bagaimana semestinya pendidikan madrasah dilaksanakan secara visioner. Pendidikan yang visioner memiliki kejelasan konsep visi, konsep belajar, orientasi, sistem, dan metodologi pendidikan yang dilakukan menurut tuntunan wahyu dan nilai-nilai kenabian. Karena itu, perlu dikembangkan cara pandang dan paradigma berpikir dalam pendidikan yang menyeimbangkan dua sisi potensi manusia sesuai fitrahnya, yakni sebagai

„abdullah dan khalifatullah, yang selalu konsisten untuk tetap menyeimbangkan dua komunikasi timbal balik antara hablun minAllah Ta‟ala dan hablun minannas (Ahmad 2018; Bashori 2017).

Menurut analisis Lilis Patimah, munculnya periode baru yang sering disebut masa disrupsi yang menuntut sumber daya manusia memiliki kompetensi dan keterampilan baru yang kompeten (Aziz & Baru, 2011; Fahriana, 2018;

Fatimah, 2017). Lembaga pendidikan merupakan sarana untuk menyiapkan sumber daya insani yang punya kompetensi dan keterampilan. Karena itu, lembaga pendidikan madrasah harus menyesuaikan desain pembelajarannya agar mampu membekali peserta didik memenuhi standar kompetensi dan keterampilan yang dibutuhkan agar dapat survive pada abad 21. Dalam perspektif pembelajaran abad 21, ada empat hal penting yang harus dikembangkan, yaitu; critical thingking, creativity, communication, dan collaboration (Fatimah 2017).

Berdasarkan analisis diskriptif yang dilakukan menunjukkan bahwa;

pertama, kompetensi critical thingking dapat dicapai melalui pendekatan saintifik, kedua, kompetensi creativity dapat dicapai dengan cara mendesain pembelajaran sehingga dapat menghasilkan produk tertentu. Dalam menyiapkan peserta didik menjalani kehidupan yang multikompleks, diperlukan model pembelajaran kreatif yang mengharuskan pendidik mampu merangsang peserta didik dalam memunculkan kreativitas, baik dalam konteks kreatif dalam berpikir maupun konteks kreatif dalam melakukan sesuatu. Pendidikan madrasah di Indonesia merupakan subsistem pendidikan nasional. Secara khusus, penyelenggaraannya di

(5)

29 bawah Kementerian Agama harus dibenahi agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik untuk mendekatkan dengan Allah Ta‟ala dan masa depan yang cemerlang (Fatimah, 2017; S. Saud, 2013).

Penelitian Muhammad Syahrul Mubarok memberikan gambaran lebih operasional mengenai bagaimana menerapkan Al-Fatihah dalam kehidupan modern. Sebagaimana penafsiran At-Tanwir mengenai surah Al-Fatihah dapat dipahami bahwa tafsir ini memiliki karakteristik tafsir yang inklusif. Hal ini disebabkan At-Tanwir menggabungkan antara Al-Ma‟sur dan Ar-Ra‟yu.

Penafsiran surah Al-Fatihah yang ditawarkan pada tafsir At-Tanwir mengandung relevansi dengan realitas kehidupan aktual di zaman sekarang. Pandangan dan jalan hidup relevan untuk merespons dua hal yang terjadi saat ini, khususnya di Indonesia; pertama, kondisi sosial keagamaan yang erat kaitannya dengan fenomena takfiri dan kedua, kondisi sosial kemasyarakatan, di mana masyarakat mengalami kemunduran akibat arus globalisasi. Sebab itu, penafsirannya bersifat kontekstual dengan tuntutan perkembangan zaman. Tafsir ini memiliki kelebihan, yakni: menawarkan metode baru, dinamis, inklusif, dan relevan dengan kondisi kekinian. Sehingga, tafsir ini memberikan tawaran bagi generasi sekarang dalam memahami Al-Qur‟an, baik secara tekstual ataupun kontekstual sesuai kebutuhan beradaptasi dengan zaman (Ansyah 2017; Mubarok 2017).

Menurut analisis Fathor Rahman, surah Al-Fatihah sebagai kesimpulan Al- Qur‟an, apabila seseorang membaca Al-Fatihah kemudian dikaitkan dengan fenomana alam semesta, secara maknawi seseorang akan dapat menemukan Allah Ta‟ala. Melalui model pembacaan tersebut, maka akan dapat meneguhkan keyakinan seorang muslim dalam memahami kebenaran Al-Qur‟an dengan autentik (F. Rahman, 2016). Menurut pendapat Thanthawi Jauhari, Al-Fatihah yang memiliki tujuh ayat sebagai rangkaian utuh yang mendiskripsikan keseluruhan isi Al-Qur‟an.

Lebih lanjut, Thanthawi menjelaskan; Ayat pertama surah Al-Fatihah menjelaskan tata cara mengagungkan-Nya dengan teknik menggunakan asma Allah Ta‟ala, baik melalui perkataan ataupun perbuatan karena Allah Ta‟ala telah melimpahkan rahman dan rahim-Nya kepada alam semesta. Sedangkan pada ayat

(6)

30 kedua menjelaskan tentang kewajiban manusia untuk hanya memuji dan mengagungkan Allah Ta‟ala. Selanjutnya, pada ayat ketiga dan keempat, Allah Ta‟ala memberikan isyarat tentang sistem pendidikan yang sempurna, yaitu sistem pendidikan yang mengharuskan adanya kasih sayang dan hukuman untuk membina kualitas sumber daya insani. Adapun pada ayat kelima, Allah Ta‟ala menjelaskan betapa pentingnya penyerahan diri manusia kepada Allah Ta‟ala secara keseluruhan, dengan cara beribadah dengan tujuan mengharapkan rida Allah Ta‟ala serta hanya memohon pertolongan ke hadirat-Nya. Pada ayat keenam, Allah Ta‟ala menegaskan bahwa prioritas permohonan kepada Allah Ta‟ala meliputi permohonan untuk mendapatkan petunjuk ataupun bimbingan agar dapat istikamah dalam meniti jalan lurus dan jalan selamat dalam menjalani kehidupan di dunia ataupun di akhirat. Pada ayat ketujuh, Allah Ta‟ala memberikan gambaran tentang kondisi orang-orang yang telah meniti jalan lurus dan selamat akan selalu mendapatkan nikmat dan kemuliaan, sedangkan orang yang menyimpang dari jalan-Nya akan selalu dimurkai dan disesatkan oleh Allah Ta‟ala. Dalam menafsirkan surah Al-Fatihah, Thanthawi hanya menggunakan tiga sumber yaitu; penafsiran Al-Qur‟an dengan Al-Qur‟an, Penafsiran Al-Qur‟an dengan Al-Hadis, dan penafsiran Al-Qur‟an dengan ilmu pengetahuan modern (A. K. Muhammad & Shihab, 2018; F. Rahman, 2016; Zein et al, 2017).

Diah Fajar Utami memberikan gambaran yang lebih lengkap dan fungsional dalam hasil penelitiannya, sehingga dapat memandu umat Islam dalam memahami nilai-nilai Al-Fatihah. Sebagaimana tertuang dalam buku Samudra Al- Fatihah, terdapat nilai-nilai tauhid yaitu nilai-nilai ilahiah yang meliputi: iman, Islam, ihsan, takwa, tawakal, syukur, sabar, dan ikhlas. Nilai illahiah tersebut relevan dengan praktik pendidikan tauhid masa kini. Nilai-nilai pendidikan tauhid dalam Samudra Al-Fatihah mencakup nilai iman dan sikap ihsan, takwa, tawakal, syukur, sabar, dan ikhlas. Dengan demikian, akan membentuk pribadi seseorang yang berkarakter insan saleh. Selain itu, pembelajaran juga dapat dilakukan secara kontinu dan berulang-ulang sebagai penguatan pemahaman peserta didik agar lebih terintegral (Utami 2017).

(7)

31 Menurut hasil penelitian Nihayati, surah Al-Fatihah memiliki kandungan makna yang dapat memandu kehidupan setiap orang. Hal ini didasaran atas penjelasan bahwa Allah Ta‟ala Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang ditandai dengan banyaknya nikmat yang telah diberikan kepada umat manusia.

Karena itu, manusia yang mampu mensyukuri apa yang telah diberikan oleh Allah Ta‟ala adalah orang-orang yang beriman kepada Allah Ta‟ala. Orang-orang yang tidak mau dan tidak mampu mensyukuri nikmat-nikmat Allah Ta‟ala merupakan orang-orang kafir. Bagi manusia yang berada dalam posisi di antara keduanya menunjukkan bahwa orang tersebut adalah orang munafik (Nihayati, 2017).

Al-Fatihah mengajarkan bahwa setiap orang berupaya menjadi hamba yang bersyukur akan mendapat nikmat Allah Ta‟ala. Salah satu caranya adalah dengan melaksanakan ibadah secara disiplin. Menjaga kedisiplinan dalam beribadah agar mampu meningkatkan derajat manusia dihadapan Allah Ta‟ala Al- Fatihah telah mengisyaratkan pada manusia untuk bersikap amanah agar tidak menjadi manusia munafik dan berkhianat. Selain itu, sebagai sosok manusia yang berkualitas, harus selalu berusaha untuk tidak menjadi manusia yang dimurkai Allah Ta‟ala. Sebagaimana perumpamaan dalam Al-Qur‟an: “Akar yang kuat akan menjadikan sebuah pohon yang kokoh; batang yang baik akan menjadikan sebuah pohon mampu menghasilkan buah berkualitas yang bermanfaat bagi keberlangsungan kehidupan manusia” (Nihayati, 2017; Utami, 2017).

Penelitian Achyar Zein memberikan penegasan bahwa, dalam surah Al- Fatihah terdapat nilai-nilai pendidikan yang dapat dijadikan landasan untuk mengelola ataupun mengembangkan pendidikan madrasah secara meyeluruh (Zein et al. 2017). Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam Surah al-Fatihah yaitu: pertama, nilai pendidikan keimanan yang meliputi keimanan kepada Allah Ta‟ala melalui keesaan-Nya, keimanan kepada Allah Ta‟ala melalui keesaan perbuatan-Nya, keimanan kepada Allah Ta‟ala melalui nama dan sifat-Nya, dan keimanan terhadap hari akhir (pembalasan); kedua, nilai pendidikan ibadah yaitu setiap aktivitas kebaikan yang dilakukan dengan tujuan karena Allah Ta‟ala serta berserah diri kepada Allah Ta‟ala dalam menjalankan aktivitas yang tidak dapat diselesaikan; ketiga, nilai pendidikan syariat yang dalam arti luas meliputi agama

(8)

32 dengan segenap hukum yang terkandung di dalamnya; keempat, nilai pendidikan kisah yang meliputi kisah orang-orang yang mendapat nikmat, kisah orang-orang yang mendapat kemurkaan, dan kisah orang yang memiliki relevansi dengan nilai- nilai pendidikan madrasah yang mementingkan terjaganya akhlakul karimah.

Nilai-nilai Al-Fatihah diharapkan menjadi muatan karakter untuk menjaga dan mengembangkan karakter yang unggul dan bermartabat. Sebab, karakter yang unggul ini akan memosisikan setiap orang untuk selalu siap menjalani masa depan yang gemilang sesuai dengan harapan untuk hidup sukses dan bahagia (Abdul Rouf, Mohd Yakub, and Yusoff 2013; Zein et al. 2017).

Kaitannya dengan nilai akhlak dalam dunia pendidikan, Rodiyatul Ula, dengan jelas menyatakan bahwa: Al-Qur‟an merupakan sumber ilmu pengetahuan yang di dalamnya menjelaskan berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan akhlak (Ula 2016). Terdapat dua nilai akhlak dalam surah Al-Fatihah yakni nilai rabbaniyah dan nilai insaniyah. Nilai rabbaniyah ditemukan dalam Al-Fatihah, di antaranya adalah nilai tauhid, iman, ihsan, syukur, tawakal, ikhlas, istikamah, takwa, dan zikir. Sedangkan nilai insaniyah di antaranya: ukhuwah islamiyah, kasih sayang, jujur, adil, amar makruf nahi munkar, peduli, pemaaf, dan kerja keras. Materi yang terdapat dalam surah Al-Fatihah adalah cinta kepada Allah Ta‟ala, cinta kepada sesama, tata cara ibadah, sifat-sifat Allah Ta‟ala, dan sifat baik dan buruk. Sedangkan metode yang ditemukan pada Al-Fatihah adalah metode penanaman akhlak dengan teknik pengulangan, penanaman akhlak dengan reward and punishment, penanaman akhlak dengan lemah lembut serta kasih sayang, dan penanaman akhlak dengan kisah (Ula 2016; Zein et al. 2017).

Menurut penelitian Jaitun Kamakaula, tauhid uluhiyah sebagai sikap mengesakan segala bentuk peribadatan kepada Allah Ta‟ala dengan cara berdoa, meminta, bertawakal, takut, dan berharap kepada-Nya, maka hanya Allah Ta‟ala yang berhak disembah (Kaula and Islam 2015). Fenomena yang terjadi pada zaman sekarang, sebagian besar masyarakat di daerah tertentu masih banyak yang melakukan suatu yang dilarang oleh Allah Ta‟ala (Mamat & Rashid, 2013; F.

Rahman, 2016). Menurut para mufasir tentang surah Al-Fatihah ayat 5: 1) “Hanya kepada Engkaulah kami beribadah,” artinya seorang hamba tidak melakukan

(9)

33 aktivitas beribadah, kecuali hanya fokus mendekatkan diri sekaligus sebagai bukti berserah diri hanya kepada Allah Ta‟ala; 2) Allah Ta‟ala melandasi permulaan kalam-Nya dengan menunjukkan kearifan seperti berzikir, berpikir, merenungkan nama-nama-Nya, memperhatikan nikmat-nikmat-Nya, serta mencari bukti dari segala ciptaan-Nya atas keagungan dan kekuasaan-Nya. Sedangkan esensi surah Al-Fatihah ayat 5: 1) Manusia hendaknya mengesakan Allah Ta‟ala dalam beribadah. Bahwa hanya kepada Allah Ta‟ala semata ia beribadah, tidak pada selain-Nya; 2) Manusia hendaknya memohon pertolongan hanya kepada Allah Ta‟ala dengan dasar tauhid yang sesuai dengan syariat Islam; 3) Tauhid uluhiyah, dapat mengajarkan manusia menjadi orang beriman dan bertakwa kepada Allah Ta‟ala. Pendapat para ahli pendidikan tentang proses pendidikan tauhid uluhiyah dapat memberikan bimbingan yang berproses dan bertahap kepada peserta didik, sebagai pendewasaan anak-anak agar mempunyai kualitas keyakinan tauhid yang kuat terhadap Allah Ta‟ala (Kaula and Islam 2015; Wulandari 2015).

Sebagai usaha dalam membangun paradigma pendidikan madrasah, Inayatul Ulya dalam penelitiannya menjelaskan bahwa pengembangan ilmu pengetahuan terjadi karena adanya pengembangan teori-teori yang sudah ada yang dilakukan secara komprehensif. Ilmu pengetahuan selama ini diposisikan sebagai sesuatu yang bebas nilai, harus independen, dan empiris. Pandangan ini kemudian ditolak Thomas Kuhn yang memahami ilmu pengetahuan tidak bisa terlepas dari

“paradigma”. Suatu paradigma berisi suatu pandangan yang dapat dipengaruhi oleh latar belakang ideologi, relasi kuasa (otoritas), dan fanatisme mendasar tentang apa yang menjadi inti persoalan suatu ilmu. Sehingga, tidak ada satu ilmu pengetahuan pun yang hanya bisa dijelaskan dengan satu teori yang dianggap lebih kuat, terlebih lagi hanya diperoleh melalui pembuktian empiris (Ahmad 2018; Inayatul Ulya 2015).

Dengan konsep revolusi ilmiahnya, Thomas Kuhn memiliki karakteristik pemikiran. Bagi Thomas Kuhn, sejarah ilmu pengetahuan merupakan starting point dalam mengkaji permasalahan fundamental dalam epistemologi keilmuan karena sains pada dasarnya selalu ditandai dengan kuatnya paradigma serta revolusi ilmiah setelahnya. Pemikiran Thomas Kuhn dapat dikontekstualisasikan

(10)

34 dengan pengembangan keilmuan Islam dengan tujuan membangun keterbukaan pemikiran keislaman terhadap anomali dan krisis serta munculnya revolusi dalam ilmu keislaman sehingga memotivasi munculnya paradigma baru di ranah keilmuan Islam (Bashori 2017; Inayatul Ulya 2015; Nurkhalis 2013).

Sebagai rangkaian ikhtiar untuk membangun paradigma pengelolaan pendidikan madrasah, dalam penelitiannya Abdul Halik memberikan analisis bahwa berkembangnya potensi manusia melalui pendidikan berimplikasi pada meningkatnya martabat kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan yang berkualitas mendorong kemajuan pada kehidupan berbangsa dan bernegara (Halik 2016). Pendidikan madrasah diawali dengan penguatan kepribadian agar dapat melaksanakan tugasnya sebagai makhluk individu dan selanjutnya dikembangkan potensi yang dapat menunjang tugas-tugasnya sebagai makhluk sosial.

Pendidikan madrasah sebagai konsep pendidikan holistik yang mengakomodasi seluruh pandangan dunia yang “diikat” dalam nalar tauhid Islam dan menekankan dalam beraktivitas senantiasa berdimensi transenden secara konsisten dan menumbuhkan kreativitas dalam mewujudkan misi khalifah sebagai tugas utama menjadikan Islam sebagai agama rahmatan li al-„alamīn. Pendidikan madrasah perlu melakukan transformasi kehidupan manusia menuju tatanan sosial yang berkeadaban berdasarkan Al-Qur‟an dan As-Sunnah. Eksistensi pendidikan madrasah di tengah masyarakat memberikan “warna” baru bagi konstruksi tatanan nilai dan sosial (Bashori 2017; Halik 2016). Orientasi pendidikan pada akhirat menekankan pada internalisasi ilmu-ilmu keagamaan pada peserta didik.

Pendekatannya bersifat keagamaan yang normatif, doktriner, dan absolut.

Generasi diarahkan menjadi pelaku yang loyal, visioner, berdedikasi, kreatif, berorientasi pada kemajuan, selektif terhadap doktrin ritual keagamaan, dan berpikir global, serta bertindak local secara bijaksana.

Muhammad Yahdi dalam penelitiannya memberikan kesimpulan bahwa pendidikan sebagai proses seseorang mengembangkan kemampuan sikap dan tingkah laku di masyarakat. Pendidikan juga merupakan proses sosial yang terjadi pada orang yang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah) sehingga mereka dapat

(11)

35 memperoleh pengembangan kemampuan sosial dan individu yang optimal. Dalam konteks pendidikan madrasah, pembelajaran tidak hanya berfokus pada aspek intelektual seperti yang dikemukakan penulis di atas. Akan tetapi, ada aspek lain yang dijadikan pilar pendidikan, yaitu spiritual. Pilar spiritual yaitu manusia dapat terdidik untuk menghayati dirinya sebagai makhluk Allah Ta‟ala yang kehadirannya adalah untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah Ta‟ala dengan standart kualitas yang telah ditetapkan (Ahmad 2018; Yahdi 2016).

Pendidikan madrasah harus memperhatikan aspek kejiwaan berupa meyakini, memahami, dan memperjuangkan nilai-nilai atau ajaran Islam atau aspek spirit (ruh) Islam yang melekat dalam setiap aktivitas pendidikan.

Pendidikan madrasah harus memperhatikan aspek bermasyarakat, hidup bertetangga, bermasyarakat, bernegara, dan dalam kaitannya dengan tata krama sosial seperti bermusyawarah dan sebagainya. Semua bisa ditemukan dalam ajaran Islam. Pendidikan madrasah selalu mengenalkan manusia akan perannya di antara sesama makhluk dan tanggung jawab pribadinya dalam hidup. Karena itu, paradigma pendidikan madrasah harus mengarahkan proses pembelajaran yang berbasis pengembangan potensi dan orientasi peran yang bermutu bagi peserta didik dalam menjalani kehidupan di masa depan (Rohana Kamaruddin, Tajul Ariffin Noordin, and Kamisah Osman 2005; Yahdi 2016).

Hasil penelitian Sitti Trinurmi lebih menguatkan analisis model pengelolaan pendidikan madrasah, menurutnya, pendidikan madrasah memiliki tugas membimbing dan mengarahkan perkembangan peserta didik dari tahap ke tahap sampai pada titik optimal. Sementara tujuan pendidikan adalah mewujudkan manusia yang baik (al-insan al-shalih) yang sudah pasti bersifat universal dan diterima semua orang ataupun semua aliran tanpa mempersoalkan asalnya (Fatimah 2017; Trinurmi 2015). Imam Al-Gazali mengemukakan dua tujuan pokok pendidikan Islam yaitu: (1) untuk mencapai kesempurnaan manusia dalam mendekatkan diri kepada Allah Ta‟ala; dan (2) sekaligus untuk mencapai kesempurnaan hidup manusia dalam menjalani hidup dan penghidupannya guna mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat secara berkualitas (Halik 2016;

Trinurmi 2015; Yahdi 2016).

(12)

36 Al-Ghozali melukiskan tujuan pendidikan yakni memberikan petunjuk akhlak dan pembersihan jiwa dengan maksud di balik itu membentuk individu- individu yang tertandai dengan sifat-sifat utama dan takwa. Dengan ini pula, keutamaan akan merata dalam masyarakat. Selain itu, sebenarnya konsep dasar filosofis pendidikan madrasah lebih mendalam dan menyangkut persoalan hidup multi dimensional, yaitu pendidikan yang tidak terpisahkan dari tugas kekhalifahan manusia (Anekasari 2015; Novayani 2017). Hakikat dan tujuan pendidikan madrasah adalah mendidik individu yang saleh dengan memperhatikan perkembangan rohaniah, emosional, sosial, intelektual dan fisik, mendidik anggota kelompok sosial yang saleh secara berkesinambungan, baik dalam keluarga ataupun dalam kelompok masyarakat muslim (Halik 2016;

Rohana Kamaruddin et al. 2005; Trinurmi 2015).

Dimaksudkan untuk memberikan gambaran posisi pendidikan madrasah dengan perspektif kritis, Hikma H. Amidong melihat adanya fenomena aktual bahwa pada dewasa ini pendidikan madrasah berada pada posisi determinisme, historik, dan realism. Di sisi lain, mereka menghadapi kenyataan bahwa pendidikan madrasah tidak berdaya jika dihadapkan pada realitas masyarakat industri dan teknologi modern (Amidong and Insani 2015; Nurjanah 2018).

Selama ini telah banyak pemikiran dan kebijakan dalam rangka meningkatkan kualitas Islam. Jika pendidikan madrasah berhasil menyatukan “paradigma sekuler dengan paradigma spiritual dalam Islam”, selanjutnya harus diupayakan pula agar pendidikan madrasah bisa membawa masyarakat Islam ke dalam pemikiran dan perilaku yang humanis dan universal sebagai jawaban atas tuntutan kehidupan yang aktual (Choiri 2016; Sudarsana et al. 2018).

Mengantisipasi masa depan sebagai keharusan, pendidikan madrasah perlu hadir untuk membantu mengembangkan potensi individu dalam suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan dan menggairahkan, demoktaris, serta humanis melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Model pendidikan holistik menggunakan tiga metode, yaitu, knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good mudah diajarkan karena pengetahuan bersifat kognitif saja. feeling loving the good yakni bagaimana

(13)

37 merasakan dan mencintai kebajikan menjadi energi yang bekerja, membuat orang mau selalu berbuat kebaikan yang menjamin kebahagiaan (Amidong and Insani 2015; Anekasari 2015; Nurjanah 2018).

Untuk mengetahui nilai substantif dalam pengelolaan pendidikan madrasah, Nawawi Efendi memberikan analisis bahwa tauhid merupakan esensi ibadah dalam Islam, sebagai ruh yang memberikan nilai-nilai mulia pada segala aspek kehidupan, termasuk pendidikan madrasah (Efendi 2011). Ruh tauhid akan menuntun pendidikan madrasah agar tetap berada pada nilai-nilai dasar agama Islam (ashalatu al-diin), sehingga pendidikan madrasah tidak terbawa arus negatif globalisasi pada era digital (Baharudin 2010; Fuad 2017; Muslih 2011).

Setiap Muslim perlu mengetahui nilai-nilai tauhid dalam surat Al-Fatihah sekaligus sebagai upaya mengaktualisasikan pada pendidikan madrasah. Hal ini perlu ditekankan agar pendidikan madrasah tidak “kering” dari nilai-nilai tauhid sehingga semua pihak yang berkiprah di dalamnya menjadikan usaha pendidikan madrasah itu sebagai ibadah kepada Allah Ta‟ala. Nilai-nilai tauhid diyakini akan menyelamatkan pendidikan madrasah dari proyek liberalisasi pendidikan madrasah yang akhir-akhir ini digembar-gemborkan. Nilai-nilai tauhid harus direfleksikan dan diaktualisasikan pada pendidikan madrasah secara menyeluruh.

Surat Al-Fatihah sarat akan nilai-nilai tauhid yang tentunya bisa menjadi ruh bagi penglolaan pendidikan madrasah (Efendi 2011; Ula 2016; Zein et al. 2017).

Berdasarkan analisis hasil penelitian Sri Minarti dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan berbasis nilai-nilai Al-Fatihah menjadi solusi alternatif dalam mengatasi beragam problem kehidupan di era modern. Sebab, nilai-nalai Al- Fatihah dapat dijadikan sebagai strategi manajemen diri. Adapun prinsip dasar nilai-nilai Al-Fathihah sebagai manajemen diri Islami dapat dipaparkan sebagai berikut: (1) niat (tujuan); (2) menerima diri apa adanya dengan objektif; (3) kasih sayang ataupun pertolongan dari Allah Ta‟ala; (4) membayangkan hari pembalasan; (5) merasa lemah di hadapan Allah Ta‟ala, merasa kuat di hadapan manusia (kekuatan diri); (6) Islam sebagai petunju;k dan (7) Mengambil pelajaran dari orang yang mendapat nikmat (petunjuk) dan orang yang tersesat dari jalan lurus yang selamat (kafir) (Minarti 2015).

(14)

38 Karakter yang ditimbulkan karena adanya konsepsi kepemimpinan berbasis nilai-nilai Al-Fatihah pada ayat satu sampai tujuh atau disebut dengan strategi manajemen diri karakter adalah: (1) ikhlas, untuk menjalankan semua aktivitas; (2) syukur, atas segala karunia yang diterimanya; (3) berbagi dengan selalu memberikan yang terbaik kepada orang lain, tidak kikir, dan pelit; (4) rendah hati, ditunjukkan dengan sikap yang santun, kasih sayang, menghargai orang lain, tidak memamerkan harta, dan tidak meremehkan orang lain; (5) disiplin diri, ditunjukkan dengan sikap tepat waktu dalam menjalankan profesi dan menepati janji sebagai wujud rasa tanggung jawab; (6) jujur, sebagai pribadi yang selalu menjaga keyakinan, pikiran, perkataan dan perbuatan sebagai satu kesatuan yang tercermin dalam integritas diri; dan (7) mempunyai orientasi ke depan, cita-cita untuk lebih baik lagi dalam menjalankan kehidupan ini. Sebab, orientasi bukan hanya pada dunia, melainkan juga akhirat. Adanya suatu usaha untuk belajar mengambil hikmah dari suatu peristiwa, baik yang menyenangkan maupun menyakitkan, sehingga mampu memanfaatkan waktu sebaik-baiknya karena sebenarnya hidup itu sebagai proses belajar meraih masa depan.

Implementasi strategi manajemen diri islami dalam mengembangkan karakter yaitu dengan memaknai nilai-nilai Al-Fatihah secara utuh dan mendalam untuk memahami maknanya guna mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari (Azis 2012; Irvan 2014; Minarti 2015).

Karakter utama berbasis nilai-nilai Al-Fatihah diyakini memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif untuk menghadapi dinamika kehidupan di zaman sekarang. Nilai-nilai Al-Fatihah diharapkan menjadi inspirasi, sekaligus sebagai metode baru bagi setiap muslim untuk melakukan pembacaan ulang dan pemaknaan yang aktual dari Al-Fatihah, sehingga dapat memberikan nuansa baru yang original dan murni untuk memaknai Al-Fatihah secara aktual dalam totalitas kehidupan muslim. Pada tingkatan inilah sebenarnya Al-Fatihah benar-benar diposisikan sebagai guidance untuk pedoman hidup sukses menjalani kehidupan di dunia dan akhirat. Pemahaman dan sikap yang benar terhadap substansi ajaran Al-Fatihah memosisikan seorang muslim pada jalan lurus yang menjamin keselamatan dan kesuksesan menjalani kehidupan. Apabila sukses itu menjadi

(15)

39 bagian penting dalam memaknai Al-Fatihah, maka pada praktiknya sukses itu menuntut untuk memahami secara benar bagaimana makna kesuksesan terhadap perbaikan diri untuk menjalani kehidupan yang lebih baik dan bahagia.

Penelitian yang dilakukan ini menggunakan paradigma konstruktivisme dengan pendekatan kualitatif jenis study kasus. Penelitian ini diharapkan dapat mengungkap rumusan nilai-nilai Al-Fatihah yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan madrasah, serta menggali makna nilai-nilai Al-Fatihah dalam dunia pendidikan. Persamaannya dengan penelitian “Aktualisasi nilai-nilai Al-Fatihah Sebagai Best Practice Pendidikan di Madrasah Aliyah Negeri 1 Bojonegoro”, adalah sama-sama mengkaji Al-Fatihah dalam mengambil makna konseptual yang dapat diimplementasikan secara fungsional. Sedangkan dalam penelitian ini terfokus pada “Aktualisasi nilai-nilai Al-Fatihah sebagai Best Practice Pendidikan”.

Berdasarkan hasil penelusuran literasi yang dilakukan peneliti, baik melalui akses internet ataupun koleksi perpustakaan konvensional, penulis belum menemukan penelitian yang secara khusus berkaitan dengan focus penelitian:

“Aktualisasi nilai-nilai Al-Fatihah sebagai best practice pendidikan, Studi kasus di Madrasah Aliyah Negeri 1 Bojonegoro”. Penelitian yang dilakukan ini akan mengkaji fokus permasalahan berbeda dengan penelitian sebelumnya. Perbedaan tersebut terletak pada posisi penelitian ini yang akan menjadi bahan masukan konseptual yang benar-benar baru sehingga dapat menambah khazanah keilmuan bidang filsafat pendidikan dalam wacana pendidikan madrasah di Indonesia.

Al-Fatihah memiliki nilai-nilai universal yang dapat dijadikan panduan setiap mukmin dalam menjalani kehidupan nyata. Karena itu nilai-nilai Al-Fatihah perlu digali dan dikembangkan secara konsisten dan berkelanjutan. Nilai-nilai Al- Fatihah sebagaimana dimaksud dalam penelitian ini meliputi nilai-nilai utama yang bermanfaat untuk memandu pembentukan karakter insan saleh, yaitu: kasih, tanggung jawab, syukur, disiplin dan pembelajar. Adapun gambaran lebih jelas dan rinci bagaimana posisi penelitian dengan fokus penelitian ini sebagaimana peta konsep kajian pustaka tentang nilai-nilai Al-Fatihah sebagai best practice pendidikan madrasah dapat dilihat pada bagan sebagai berikut:

(16)

40 B. Kandungan Makna Surah Al-Fatihah

1. Gambaran Umum Surah Al-Fatihah

Sebagaimana sudah populer di kalangan masyarakat muslim, surah Al-Fatihah dikenal sebagai “Mahkota Tuntunan Ilahi”, atau sebagai “Umm Al-Qur‟an”, juga populer disebut sebagai “Induk Al-Qur‟an ”. Berdasarkan pendapat ulama tafsir, surah Al-Fatihah memiliki beragam nama yang disematkan, bahkan tidak kurang dari dua puluh nama. Namun dari keseluruhan nama tersebut, hanya empat nama yang diperkenalkan oleh Rasulullah SAW. Yaitu, Al-Fatihah, Umm Al-Kitab, Umm Al-Qur‟an, dan Al-Sab‟u Al-Matsani (Quthb 2004; Shihab 2002).

Pemaknaan Nilai Al-Fatihah

Penerapan Nilai Al-Fatihah

Self Managemen Al-Fatihah Sri Minarti, 2014

Al-Fatihah Dalam Tafsir at-Tanwir Syahrul Mubarok, 2017

Makna Al-Fatihah Reflektif Intuitif Very Yulianto, 2015

Nilai Tauhid Buku Samudra Al-Fatihah Diah Fajar Utami, 2016 Mandzab Shobuni

Tafsir Al-Fatihah, Ismail Yusuf, 2017

Tafsir Sufistik Surah Al-Fatihah M. Iskandar, 2015

Nilai-Nilai Al-Fatihah Sebagai Best Practice

Pendidikan 2021

Terapi Dzikir Al-Fatihah Bagi Pecandu Narkoba

Mudzkiyah dkk, 2013 Rumusan

Nilai Al-Fatihah

NILAI-NILAI AL-FATIHAH SEBAGAI BEST PRACTICE

Gambar: 2.1 Pemetaan Penelitian Terdahulu

Al-Fatihah Memandu Kehidupan Selamat Diah Fajar Utami 2016

Nilai Amanah

& Nilai disiplin Nihayati, 2017

Nilai-Nilai Utama Bagi Insan Saleh Nawawi Efendi, 2016 Membimbing Manusia

Berkarakter Mulia Siti Trinurmi, 2015 Kualitas Pendidikan Pada Era Sekarang Abdul Halik, 2016

(17)

41 Surah Al-Fatihah juga dikenal sebagai “Fatihatu Al-Kitab”, yang bermakna Pembukaan Kitab. Sebab, kitab Al-Qur‟an dimulai dan dibuka dengan surah Al-Fatihah. Kata fatih yang merupakan akar nama dalam surah ini berarti “menyingkirkan sesuatu yang terdapat pada suatu tempat yang akan dimasuki”. Diberikan nama Al-Fatihah karena surah ini terletak pada awal Al-Qur‟an dan biasanya yang pertama memasuki adalah yang membukanya, maka kata Al-Fatihah di sini diartikan sebagal awal dari Al- Qur‟an. Surah ini awal dari segi penempatannya pada susunan Al-Qur‟an bukan awal dari surah Al-Qur‟an yang turun (Munawar, 2013; Hayat, 2014).

Menurut pendapat Syekh Al-Maragi, surah Al-Fatihah dinamai “Umm Al-Kitab”, atau “Ummu Al- Qur‟an” karena isi surah Al-Fatihah meliputi tujuan pokok Al-Qur‟an, antara lain berisi pujian, ibadah dengan melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya, menjelaskan janji-janji dan ancaman ataupun balasan-Nya (Azis 2012; Efendi 2011). Kata “Ummu” dari segi bahasa berarti induk. Surah Al-Fatihah dinamai induk Al-Qur‟an karena berada di awal Al-Qur‟an sehingga keberadaannya bagaikan awal dan sumber dari segala isi dalam Al-Qur‟an.

Adapun Al-Fatihah dinamai “Al-Sab‟u Al-Matsani” karena surah tersebut terdiri atas tujuh ayat, sedangkan kata matsani merupakan bentuk jamak dari kata mutsanna yang secara harfiah berarti “dua-dua” kerena surah ini dibaca dua kali setiap rakaat (Al-Maraghi 1985; Muttaqin 2017).

Surah Al-Fatihah memiliki nama yang beragam. Menurut riwayat, disebutkan bahwa surah Al-Fatihah diturunkan di Makkah, yaitu pada saat awal disyariatkannya ibadah salat. Surah Al-Fatihah merupakan surat pertama yang diturunkan tujuh ayat secara lengkap. Sebagaimana menurut pendapat Ibnu Abbas, surah Al-Fatihah diturunkan di Makah, jadi surah Al-Fatihah masuk dalam kelompok surat Makiyah (Al-Maraghi 1985; Mubarok 2017).

Menurut peneliti, sampai sekarang belum ditemukan penelitian yang menjelaskan mengapa surah Al-Fatihah menjadi surah yang sangat populer di kalangan masyarakat.

(18)

42 Sebagai bahan pertimbangan, dapat dikemukakan beberapa analisis tentang kepopuleran surah Al-Fatihah dilingkungan masyarakat, di antaranya:

pertama, karena surah Al-Fatihah berada dalam urutan pertama pada Al- Qur‟an sehingga amat mudah keberadaannya ditemukan; kedua, surah Al- Fatihah menjadi bacaan wajib yang harus dibaca dalam setiap melaksanakan ibadah salat; ketiga, surah Al-Fatihah mengandung pokok-pokok ajaran Al- Qur‟an yang harus dijadikan pedoman oleh setiap muslim; keempat, surah Al-Fatihah sering kali digunakan sebagai bacaan doa yang dipanjatkan dalam keadaan sulit ataupun lapang; dan kelima, isi kandungan surah Al-Fatihah amat mudah dan praktis untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai contoh pada saat seorang mendapatkan nikmat, diucapkanlah al- ḥamdu lillāhi rabbil-'ālamīn.

Beragam model penerapan Al-Fatihah dalam kehidupan masyarakat tidak lagi mengherankan banyak orang. Sebab, pada surah Al-Fatihah terdapat nilai-nilai universal yang dapat memandu kehidupan manusia menuju sukses dan surah Al-Fatihah memiliki nilai manfaat bagi siapa pun yang mengamalkannya. Surah Al-Fatihah merupakan surah pembuka dalam Al-Qur‟an yang didalamnya memiliki beragam makna. Hal ini juga menunjukkan tentang peran, fungsi, hikmah, dan keistimewaan Al-Fatihah.

Sebagian besar kaum muslimin lebih mengedepankan keyakinannya dalam mengamalkan surah Al-Fatihah dalam kehidupannya, sedangkan pemahaman terhadap makna nilai-nilai Al-Fatihah tidak menjadi prioritas utama.

Akibatnya, banyak kaum muslimin yang mengabaikan makna nilai-nilai Al- Fatihah sebagai panduan menjalani kehidupan yang sukses, bahagia, dan mulia (Iqbal 2010; Iqbal, Mustapha, and Yusoff 2013).

2. Makna Ayat-Ayat Surah Al-Fatihah

Pada masa Rasulullah masih hidup tidak banyak perbedaan dalam memahami surah Al-Fatihah. Perbedaan pendapat mengenai jumlah ayat dalam surah Al-Fatihah mulai muncul berkenaan seputar lafaz bismillāhir-

(19)

43 raḥmānir-raḥīm, termasuk bagian dari surah Al-Fatihah atau tidak. Namun perbedaan itu termasuk masalah khilafiah yang masing-masing memiliki argumen yang sama-sama kuat. Karena itu, perlu mengedepankan sikap toleransi bersamaan dengan cara mempersilakan kepada umat untuk mengikuti pendapat mana yang dirasakan paling cocok dan memenuhi selera untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan (M. Nur Wahyudi 2015; Mubarok 2017; Wulandari 2015).

Melalui pola toleransi bersama, perbedaan pendapat terkait dengan ayat dalam surah Al-Fatihah tidak akan menimbulkan konflik, tapi malah akan mendatangkan rahmat. Sebab, tiap kelompok akan dapat memahami dan menghargai pilihan yang sama-sama sahih dan memiliki argumen yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, setiap orang memiliki kebebasan untuk mengambil pendapat mana yang paling sesuai untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan. Berikut penulis padukan makna ayat demi ayat dalam surah Al-Fatihah dalam narasi singkat sebagaimana telah dikemukakan Sayyid Quthb dalam tafsir Fi Dhilalil-Qur‟an, dan M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah (Quthb 2004; Shihab 2002).

a) Ayat Pertama:”bismillāhi al-raḥmāni al-raḥīm”, Dengan Menyebut Nama Allah Ta‟ala Yang Maha Pemurah Lagi Maha Penyayang.

Lafaz bismi dalam ayat di atas berasal dari lafaz “al-Ismu” yang berarti menunjukkan sesuatu zat atau bisa menunjukkan sesuatu yang bersifat maknawi seperti ilmu, adab, dan lainnya. Allah Ta‟ala telah memerintahkan kepada umat manusia agar selalu menyebut asma-Nya serta mensucikan-Nya sebagaimana dalam firman Allah Ta‟ala berikut:

“Maka apabila kamu telah menyelesaikan salat (mu), ingatlah Allah Ta‟ala di waktu berdiri, di waktu duduk, dan di waktu berbaring.

Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah salat itu (sebagaimana biasa)” (Mubarok 2015; Quthb 2004; Shihab 2002). “Salat itu fardu yang ditentukan waktunya atas orang beriman” (Q.S. an-Nisa [4]:103). “Anjuran untuk menyebut nama Allah Ta‟alamu dan dengan

(20)

44 penuh ketekunan” (Q.S.al-Muzamil [73]:8). “Sebutlah nama Allah Ta‟ala pada pagi dan petang” (Q.S.al-Insan[76]:25).

Kalimat basmalah bermakna “Aku memulai bacaanku ini seraya memohon berkah dengan menyebut seluruh nama Allah Ta‟ala.” Idiom

“nama Allah Ta‟ala” berarti mencakup semua nama di dalam Asmaul Husna. Seorang hamba harus memohon pertolongan kepada tuhannya.

Dalam permohonannya itu, ia bisa menggunakan salah satu nama Allah Ta‟ala yang sesuai dengan permohonannya. Permohonan pertolongan yang paling agung adalah dalam rangka ibadah kepada Allah Ta‟ala. Dan yang paling utama lagi adalah dalam rangka membaca kalam-Nya, memahami makna kalam-Nya, dan meminta petunjuk-Nya melalui kalam-Nya. Allah Ta‟ala adalah dzat yang harus disembah. Hanya Allah Ta‟ala yang berhak atas cinta, rasa takut, pengharapan, dan segala bentuk penyembahan. Hal itu karena Allah Ta‟ala memiliki semua sifat kesempurnaan, sehingga membuat seluruh makhluk semestinya hanya beribadah dan menyembah mengharapkan rida-Nya (Quthb 2004; Shihab 2002; Utsmmaini 2013).

Tafsir ayat pertama ini dimulai dengan huruf ba (dibaca bi) yang berarti dengan yang mengandung arti “memulai”. Sehingga “bismillah”

berarti “saya atau kami memulai dengan nama Allah Ta‟ala”. Dengan demikian, kalimat tersebut menjadi semacam doa atau pernyataan dari pengucap. Apabila seseorang memulai pekaerjaan dengan nama Allah Ta‟ala atau atas namaNya, maka pekerjaan itu akan menjadi baik, atau paling tidak, pengucapnya terhindar dari godaan nafsu, dorongan ambisi atau kepentingan pribadi, sehingga apa yang dilakukan tidak akan mengakibatkan kerugian bagi orang lain

Ayat tersebut dipahami bahwa dalam menyebut nama Allah Ta‟ala diharuskan melibatkan hati dan lisan dalam rangka mengingat kebesaran dan keagungan Allah Ta‟ala yang telah diberikan kepada hamba-hamba-Nya. Menyebut nama Allah Ta‟ala secara lisan berarti

“Al-Asma‟ Al-Husna”, sekaligus memuji dan menyatakan rasa syukur ke

(21)

45 hadirat Allah Ta‟ala yang juga berarti memohon pertolongan kepada Allah Ta‟ala agar diberikan kekuatan lahir batin untuk melaksanakan perbuatan sesuai ketentuan hukum-hukum-Nya. Sebab, untuk dapat melaksanakan amalan atau perbuatan sesuai dengan ketentuan hukum- Nya, harus dimulai dengan nama Allah Ta‟ala (Muhyidin 2008;

Utsmmaini 2013).

Sebagai makhluk ciptaan Allah Ta‟ala, manusia sudah semestinya senantiasa mengolah hatinya agar menjadi manusia yang memiliki hati mulia, yakni selalu ikhlas dalam beribadah hanya untuk Allah Ta‟ala semata dan senantiasa bertaubat kepada Allah Ta‟ala dengan taubatan nashuha atas kesalahan yang dilakukan. Sebab, setiap manusia mempunyai dosa, selalu berbuat amar makruf nahi munkar, bersikap zuhud, sabar, dan senantiasa bersyukur atas nikmat Allah Ta‟ala, selalu bersikap khauf dan raja‟, rida atas segala ketentuan Allah Ta‟ala, juga senantiasa cinta kepada Allah Ta‟ala dengan kualitas melebihi cintanya kepada apa pun atau siapa pun (Thabathaaba‟i 1991).

Selanjutnya, kalimat bismillāh ini dinamakan “al-Ismul-‟azham”

oleh Rasulullah SAW, yaitu nama yang teragung dari Allah Ta‟ala, karena di dalam kalimat bismillāhi al-raḥmāni al-raḥīm terdapat tiga nama besar, yaitu: Allah Ta‟ala, al-raḥmān, dan al-rahiim. Pada lafaz

“al-rahman al-rahīm” juga terdapat makna pendidikan karakter dengan mengolah karsa. Lafaz “al-rahman al-rahīm” juga tedapat pada ayat ketiga sebagai bentuk penegasan akan adanya sifat rahman rahīm Allah Ta‟ala, mengolah karsa dapat diartikan sebagai mengondisikan keadaan yang bisa dirasakan, atau seolah-olah merasakan apa yang dialami ini suatu kenikmatan bukan suatu kesengsaraan ataupun hukuman. Lafaz

“al-Rahman al-rahīm” memiliki makna sebagai suatu gejolak jiwa yang penuh dengan perasaan kasih sayang terhadap sesamanya. Kemudian, kata ini dilekatkan pada Allah Ta‟ala yang memiliki sifat Rahman dan rahīm. Lafaz Rahman memiliki makna kepada zat yang menunjukkan bukti-bukti ramah berupa pemberian kenikmatan ataupun kebajikan.

(22)

46 Sedangkan lafaz rahīm menunjukkan sumber rahmat yang melekat pada Allah Ta‟ala. Dengan demikin, urutan penuturan kara rahīm setelah kata rahman merupakan bukti bahwa Allah Ta‟ala selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada seluruh hamba-Nya secara berkesinambungan untuk selama-lamanya (At-Thobari, et 2011; Utsmmaini 2013).

Menurut Sayyidah Hanan Fathi (Mohd. Aderi Che Noh and Rohani Ahmad Tarmizi 2009; Utsmmaini 2013), dalam setiap ayat apabila terdapat kedua kata tersebut, baik pada kata “al-raḥmān atau al- raḥīm” akan merujuk pada peristiwa, kondisi, atau situasi khusus yang berasal dari rahmat Allah Ta‟ala. Kata “al-raḥmān dan al-raḥīm” dalam surah Al-Fatihah terletak pada ayat pertama dan ketiga. Namun, keduanya memiliki pengertian berbeda. Jika pada ayat pertama menunjukkan pengertian meminta pertolongan kepada Allah Ta‟ala sebelum memulai pekerjaan agar pekerjaan yang kita lakukan dimudahkan oleh-Nya. Sedangkan pada ayat ketiga lebih mengarah pada penjelasan ayat kedua “al-ḥamdu lillāhi rabbi al-'ālamīn,” yaitu memuji Allah Ta‟ala dengan mewujudkan kedua sifat al-raḥmān dan al-raḥīm dalam kehidupan.

Karena itu apabila seseorang memulai suatu pekerjaan dengan nama Allah Ta‟ala, maka pekerjaan tersebut akan menjadi baik, atau paling tidak, pengucapnya akan terhindar dari godaan nafsu, dorongan ambisi atau kepentingan pribadi. Sehingga apa yang dilakukannya tidak akan mengakibatkan kerugian bagi orang lain, bahkan akan membawa manfaat bagi diri pengucapnya, masyarakat, lingkungan, serta kemanusiaan seluruhnya.

Ada juga yang mengaitkan kata bi, dengan memunculkan dalam benaknya “kekuasaan”. Pengucap “Basmalah” seakan-akan berkata:

“Dengan kekuasaan Allah Ta‟ala dan pertolongan-Nya, pekerjaan yang saya lakukan ini dapat terlaksana”. Pengucapnya ketika itu (seharusnya) sadar bahwa tanpa kekuasaan Allah Ta‟ala dan pertolongan-Nya apa yang sedang dikerjakannya itu tidak akan berhasil. Dengan demikian, ia

(23)

47 menyadari kelemahan dan keterbatasan dirinya tetapi pada saat yang sama pula (setelah menghayati arti basmalah ini), ia memiliki kekuatan dan rasa pecaya diri karena ketika itu dia telah menyandarkan dirinya kepada Allah Ta‟ala dan memohon bantuan Yang Maha Kuasa.

Kesimpulannya, setiap hal yang diharapkan mendapat keberkahan Allah Ta‟ala atau dimaksudkan demi karena Allah Ta‟ala, maka disisipkan kata isim. Sedang apabila dimaksudkan demi permohonan kemudahan dan bantuan Allah Ta‟ala, maka kata yang digunakan adalah dengan langsung menyebut Allah Ta‟ala atau Tuhan tanpa menyisipkan kata isim. Dalam hadist Nabi SAW pun demikian itu halnya.

Sebagaimana dalam salah satu doa beliau: “Ya Allah Ta‟ala, dengan Engkau kami memasuki waktu pagi dan petang, yakni dengan kekuasaan dan iradat-Mu kami memasukinya”.

Berdasarkan makna ayat tersebut, pada konteks penelitian ayat

“bismillāhi al-raḥmāni al-raḥīm” di dalamnya mengandung nilai-nilai kasih yang bersifat universal, yaitu: kasih dari Sang Pencipta kepada semua makhluk-makhluk-Nya, khususnya kasih Tuhan kepada manusia sebagai hamba ataupun khalifah al-rabb. Ayat tersebut juga mengandung niai-nilai kasih yang bersifat khusus yaitu: kasih dari manusia terhadap sesama manusia ataupun dengan makhluk-makhluk yang lainnya.

b) Ayat Kedua: “al-ḥamdu lillāhi rabbi al-'ālamīn”, Segala Puji Kepunyaan Allah Ta‟ala, Tuhan Seluruh Alam”.

Lafaz “al-ḥamdu lillāhi rabbi al-'ālamīn”, hamdan” artinya pujian, sanjungan, pada pangkalnya diletakkan al atau alif-lam sehingga menjadilah bacaan “al-hamdu”. Dengan sebutan alhamdu, berarti bahwa segala macam pujian; baik puji besar ataupun kecil, ucapan terima kasih kepada jasa seseorang; kepada siapa pun kita memberikan puji, pada hakikatnya tidaklah seorang juga yang berhak menerima pujian itu melainkan Allah Ta‟ala. Menurut Ibn Katsir, maksud lafaz al-hamdu dari segi bahasa adalah pujian atau sanjungan terhadap perbuatan baik yang

(24)

48 dilakukan oleh seseorang melalui usahanya, apakah semula mengharap pujian atau tidak (Al-Maraghi 1985; Quthb 2004; Shihab 2002).

Selanjutnya, kata al-hamdu menjadi pangkal kalimat pernyataan syukur sebagaimana Allah Ta‟ala tidak bersyukur kepada seorang hamba yang tidak memuji-Nya. Hal yang demikian didasarkan pada alasan karena menyatakan kenikmatan dengan lisan dan pujian terhadap orang yang melakukannya menyebabkan seorang menjadi terkenal di kalangan sesama manusia dan menyebabkan pemiliknya memiliki perasaan yang menyenangkan. Adapun bersyukur dengan hati termasuk perbuatan yang tidak tampak dan sedikit sekali orang yang mengetahuinya. Demikian juga bersyukur dengan perbuatan tidak dapat tampak jelas di kalangan manusia. Karena itu, bersyukur itu harus dilakukan dengan hati. Di sinilah terdapat makna olah hati di mana manusia dituntut agar hatinya senantiasa bersyukur kepada-Nya (Faozan 2007; Wulandari 2015).

Pada ayat ini ada kalimat rabb al-„Alamin, yang disebut dangan tauhid Rububiyah. Kata Rabb terbetuk dari kata Rububiyah. Jadi kata Rabb digunakan dengan penggunaan yang hakiki dan juga digunakan untuk yang lain secara majasi atau idhafi, dan tidak untuk yang lain. Dari beberapa arti kata rabb tersebut dibentuk kata Rububiyah, yang berarti: mencipta, memberi rezeki, memiliki, menguasai, mengatur, memperbaiki, dan mendidik. Dan karena Allah Ta‟ala adalah Rabb yang haq bagi semesta alam, maka Dia sajalah yang khusus dengan ketuhanan tanpa yang lain, wajib mengesakan-Nya dalam ketuhanan, dan tidak menerima adanya sekutu bagi-Nya dalam ketuhanan, yaitu sifat ketuhanan tidak mungkin ada pada yang lain dari makhluk-Nya. Dari sini dapat dipahami bahwa tauhid Rububiyah adalah meniadakan sekutu bagi Allah Ta‟ala dalam sifat ketuhanan yang haq yaitu menciptakan, memberi rezeki, menguasai dan mengatur, yang dari kelazimannya adalah menghidupkan dan mematikan, memberi dan mencegah, memberi bahaya dan manfaat, serta memuliakan dan menghinakan (Al- Maraghi 1985; Shihab 2002).

(25)

49 Selanjutnya, lafaz “Rabb” memiliki arti sebagai pemilik yang selalu membimbing untuk memengaruhi orang yang dididiknya dengan selalu memperhatikan keadaan yang terjadi pada orang tersebut. Adapun pendidikan Allah Ta‟ala terhadap manusia dapat dikelompokkan menjadi dua hal, yaitu: pertama, pendidikan dan pembimbingan atau pemeliharaan pertumbuhan fisik manusia yang tampak pada pertumbuhan jasadiyah sehingga akan dapat mengantarkan menusia mencapai kedewasaan secara fisik; kedua, pendidikan yang mengembangkan potensi kecerdasan atau kejiwaan manusia yang dapat mengembangkan jati diri dan martabat kemanusiaan sehingga akan dapat mengantarkan manusia uuntuk mencapai kematangan diri ataupun kesempurnaan akal dan kepribadiannya (Berutu 2013; Shihab 2002).

Kemudian dengan lafaz Al-Alamīn yang memiliki bentuk tunggal alam, mencakup seluruh alam yang tampak ataupun kasatmata. Kata Al- Alamīn tidak lazim digunakan kecuali pada penyebutan kelompok yang dapat dibedakan jenis dan sifat-sifatnya yang dekat dengan karakteristik makhluk yang berakal meskipun tidak termasuk dalam kelompok manusia. Adapun yang masuk dalam kelompok ini adalah Al-Insan (manusia), atau Al-Hayawan (binatang), dan Al-Nabat (tumbuhan).

Sedangkan yang tidak dapat dimasukkan dalam kelommpok ini adalah Al-Hajar (batu) dan Al-Turab (tanah). Pengertian ini didasarkan pada adanya kata Rabb yang mendahului kata ”alam” yang berarti mendidik, membina, mengarahkan, dan mengembangkan sehingga mengharuskan adanya unsur kehidupan seperti makan, minum, ataupun berkembang biak. Sementara batu ataupun tanah tidak memiliki unsur-unsur kehidupan (Haidir 2003; Rojab 2018).

Selanjutnya, lafaz “rabb al-'ālamīn” pada ayat tersebut secara tidak langsung menerangkan bahwa manusia yang telah dibekali akal diperintahkan untuk senantiasa memikirkan tentang alam semesta ini.

Manusia harus senantiasa mengolah pikirnya sehingga mampu mengungkap kebesaran Allah Ta‟ala. Semakin mampu mengolah

(26)

50 pikirannya, maka akan tertunduk kagum terhadap kebesaran Allah Ta‟ala dengan segala ciptaan-Nya yang harmoni dan indah (Haidir 2003;

Thabathaaba‟i 1991).

Ayat ini merupakan pujian kepada Allah Ta‟ala karena Dia memiliki semua sifat kesempurnaan dan karena telah memberikan berbagai kenikmatan, baik lahir maupun batin; serta baik bersifat keagamaan maupun keduniawian. Di dalam ayat itu pula, terkandung perintah Allah Ta‟ala kepada para hamba untuk memuji-Nya. Karena hanya Dialah satu-satunya yang berhak atas pujian. Dialah yang menciptakan seluruh makhluk di alam semesta. Dialah yang mengurus segala persoalan makhluk. Dialah yang memelihara semua makhluk dengan berbagai kenikmatan yang Dia berikan. Kepada makhluk tertentu yang terpilih, Dia berikan kenikmatan berupa iman dan amal salih.

Berdasarkan makna ayat tersebut, maka pada kontek penelitian ini ayat “al-ḥamdu lillāhi rabb al-'ālamīn” didalamnya mengandung nilai- nilai syukur yang bersifat universal, yaitu: syukur manusia terhadap Allah Ta‟ala atas semua nikmat yang diterima selama menjalani kehidupan di dunia, khususnya nikmat hidup, nikmat iman, nikmat berakal dan nikmat-nikmat lainya, sebagai bekal untuk mengemban misi manusia sebagai hamba ataupun khalifah al-rabb. Ayat tersebut juga mengandung nilai-nilai syukur yang bersifat khusus yaitu syukur dari manusia atas segala kebaikan manusia ataupun dengan makhluk-mahkluk yang lain sebagai usaha untuk menciptakan kehidupan yang harmonis.

c) Ayat ketiga; “al-raḥmān al-raḥīm”, Yang Maha Pemurah Lagi Maha Penyayang.

Ayat ini menyempurnakan maksud dari ayat yang sebelumnya. Jika Allah Ta‟ala sebagai Rabb, pemelihara, dan pendidik bagi seluruh alam.

Maksud dan isi pendidikan itu tidak lain melainkan karena kasih sayang-Nya semata dan karena murah-Nya belaka. Dalam memberikan pemeliharaan dan

(27)

51 pendidikan itu tidak menuntut keuntungan bagi diri-Nya sendiri. Bukan sebagai perintah mengadakan suatu pendidikan “kader” dan latihan pegawai, tetapi karena mengharapkan bahwa jika suatu ketika orang-orang yang dididik itu telah lepas dari pendidikan, akan dapat dipergunakan menjadi pegawai yang baik (Shihab 2002; Utsmmaini 2013).

Pemeliharaan yang Dia berikan adalah pertama karena Ar-Rahman maknanya adalah sifat Allah Ta‟ala. Yang rahman itu telah membekas dan berjalan ke atas hamba-Nya. Bertambah tinggi kecerdasan hamba itu, bertambah terasa olehnya betapa rahman Allah Ta‟ala terhadap dirinya, dan sifat Ar-Rahim adalah sifat yang tetap pada Allah Ta‟ala. Maka Ar-Rahman adalah setelah sifat itu terpaksa pada hamba, dan Ar-Rahim adalah pada keadaannya yang tetap dan tidak pernah padam-padamnya pada Tuhan. Dan keduanya itu adalah sama mengandung akan sumber kata yaitu Rahmat.

Makna “al-raḥmān al-raḥīm” sebagaimana telah dijelaskan dalam ayat pertama bahwa kata “al-raḥmān” dan “al-raḥīm” dalam surah Al- Fatihah terletak pada ayat pertama dan ketiga. Namun, keduanya memiliki pengertian berbeda. Jika pada ayat pertama menunjukkan pengertian meminta pertolongan kepada Allah Ta‟ala sebelum memulai pekerjaan agar pekerjaan yang kita lakukan dimudahkan oleh-Nya, pada ayat ketiga lebih mengarah pada penjelasan ayat kedua “al-ḥamdu lillāhi rabb al-'ālamīn”, yaitu memuji Allah Ta‟ala dengan mewujudkan kedua sifat-Nya: “al-raḥmān” dan “al-raḥīm” dalam kehidupan. Diulangnya dua kata ini dimaksudkan untuk menegaskan betapa pentingnya nama sifat ini yang menjadi inti uraian tentang Allah Ta‟ala dalam surah Al- Fatihah (Quthb 2004; Shihab 2002).

Semua surah (kecuali surah 9) dimulai dengan “bismillāhi al- raḥmān al-raḥīm”, tetapi dalam surah Al-Fatihah deskripsi tersebut bahkan disatukan dengan surah itu sendiri. Penempatan “kasih sayang”

pada bagian tengah membuatnya meluas sehingga mencakup Allah Ta‟ala dan kekuasaan-Nya atas hari pembalasan. Pada dasarnya, sifat kasih sayang (ar-raḥmān) adalah fitrah yang dianugerahkan pada seluruh

(28)

52 makhluk, khususnya pada manusia. Mulai dari kasih sayang orang tua kepada anaknya dan sebaliknya, kecintaan anak pada orang tuanya, dan lain sebagainya. Islam menghendaki agar sifat kasih sayang dan sifat belas kasih dikembangkan secara wajar. Baik kasih sayang dari dalam keluarga sampai kasih sayang yang lebih luas dalam bentuk kamanusiaan, lebih luas lagi sampai kasih sayang yang diberikan kepada binatang sekalipun (Faozan 2007; Rojab 2018).

Terdapat banyak ulama yang membedakan antara makna ar- Rahman dan ar-Rahim. Sifat ar-Rahman merupakan sifat kasih sayang Allah Ta‟ala yang memberikan kenikmatan kepada seluruh makhluk- Nya. Sedangkan sifat al-Rahim adalah sifat kasih sayang-Nya yang memberikan kenikmatan secara khusus untuk orang-orang mukmin saja.

Sebagian ulama lain menyatakan bahwa sifat ar-Rahman merupakan sifat kasih sayang Allah Ta‟ala yang memberikan kenikmatan yang bersifat umum. Sedangkan sifat al-Rahim merupakan sifat kasih Allah Ta‟ala yang memberikan kenikmatan yang bersifat khusus.

Menurut Syekh Thanthawi Jauhari, kata al-Rahman merupakan sifat kasih sayang Allah Ta‟ala yang berkaitan dengan Dzat-Nya. Allah Ta‟ala merupakan sumber kasih sayang dan kebaikan. Sedangkan kata ar-Rahim adalah sifat kasih sayang Allah Ta‟ala yang berkaitan dengan perbuatan, yaitu bagaimana sampainya kasih sayang dan kebaikan Allah Ta‟ala kepada para hamba-Nya yang diberi kenikmatan.

Ayat ketiga ini tidak dapat dianggap sebagai pengulangan sebagian ayat pertama (Basmalah). Kalimat ar-Raḥmân dan ar-Raḥîm pada ayat ketiga ini bertujuan untuk menjelaskan bahwa pendidikan dan pemeliharaan Allah Ta‟ala sebagaimana disebutkan pada ayat kedua, sama sekali bukan untuk kepentingan Allah Ta‟ala melainkan semata-mata karena rahmat dan kasih sayang Tuhan yang dicurahkan kepada makhluk-makhluk-Nya (Farhan 2015; Rahman 2016).

Rahmat selalu menghendaki kebaikan bagi orang yang menerimanya. Pada ayat dua diatas Allah Ta‟ala menerangkan bahwa Dia

(29)

53 adalah Tuhan semesta alam. Maka untuk mengingatkan hamba kepada nikmat dan karunia berganda-ganda yang telah dilimpahkan-Nya, serta sifat dan cinta kasih sayang yang abadi pada diri-Nya, diulang-Nya kata

“Ar-Rahmanir Rahim” sekali lagi. Dengan demikian, akan dapat menghilangkan gambaran keganasan dan kezaliman misalnya sebagaimana tergambar pada raja-raja yang bersifat sewenang-wenang.

Allah Ta‟ala mengingatkan dalam ayat ini bahwa sifat ketuhanan Allah Ta‟ala terhadap hambanya bukanlah sifat keganasan dan kezaliman, melainkan berdasarkan cinta dan kasih sayang. Dengan demikian manusia akan mencintai dan menyembah Allah Ta‟ala dengan hati yang aman dan tenteram, bebas dari rasa takut dan gelisah. Justru dia akan mengambil pelajaran dari sifat-sifat Tuhan. Dia akan mendasarkan pergaulan dan tingkah laku terhadap manusia sesamanya ataupun terhadap orang yang berada di bawah pimpinannya, atau bahkan terhadap binatang yang tak pandai berbicara sekalipun atas sifat cinta dan kasih sayang itu (Berutu 2013; Shihab 2002).

Jalan yang demikian menjadikan manusia akan mendapat rahmat dan karunia dari Tuhannya. Apabila diperinci, ruang lingkup al-raḥmān ini dapat diutarakan dalam beberapa tingkatan, yaitu: a) kasih sayang dalam lingkungan keluarga; b) kasih sayang dalam lingkungan tetangga atau kampung; c) kasih sayang dalam lingkungan bangsa, dan d) kasih sayang dalam lingkungan keagamaan. Manakala sifat al-raḥmān ini terhujam dalam diri pribadi seseorang, maka akan dapat menimbulkan berbagai sikap akhlak al-mahmudah lainnya, antara lain: sikap pemurah, rendah hati, suka mengulurkan tangan kepada orang lain yang membutuhkan, sikap tolong-menolong, senang menolong orang lain, baik dalam bentuk material maupun dalam bentuk tenaga morel, dan sikap pemaaf yang timbul karena sadar bahwa manusia bersifat dhaif atau lemah yang tidak lepas dari kesalahan atau kekhilafan yang lazim dilakukan bagi setiap manusia (Rahman 2016; Shihab 2002).

(30)

54 Berdasarkan makna ayat tersebut, konteks penelitian pada ayat

“al-raḥmān al-raḥīm” terkandung nilai-nilai kasih yang bersifat universal, yaitu: kasih dari Sang Pencipta kepada semua makhluk- makhluk-Nya, khususnya kasih Tuhan kepada manusia sebagai hamba ataupun khalifah al-rābb. Ayat tersebut juga mengandung nilai-nilai kasih yang bersifat khusus yaitu: kasih dari manusia terhadap sesama manusia lainya ataupun kasih manusia terhadap makhluk-mahkluk lainnya yang berada di sekelilingnya.

d) Ayat keempat; “māliki yaumi ad-dīn”, Yang Menguasai Hari Pembalasan.

Apabila membaca Al-Fatihah telah sampai pada ayat ini, timbullah pertanyaan pada diri sendiri, jika tadi seluruh jiwa telah diliputi rasa rahmat, pancaran rahman dan rahim-Nya, maka hal tersebut harus dibatasi dengan keinsafan, bahwa betapa pun rahman dan rahim-Nya. Namun Allah Ta‟ala juga Maha Adil. Rahman dan rahim tidaklah lengkap kalau tidak disempurnakan dengan adil. Beberapa diantara manusia yang karena sangat mendalam rasa rahmat dalam dirinya dan meresap ke dalam jiwanya, kasih sayang yang balas berbalas, memberi dan menerima dengan Tuhan, lalu dia beribadat kepada Tuhan dengan baik. Tetapi ada juga manusia yang tidak menghargai dan tidak memperdulikan Rahman dan Rahim Tuhan. Jiwanya diselimuti oleh rasa benci, dengki, dan khianat. Tidak ada rasa syukur, tidak ada terima kasih, dan lebih banyak berbuat keburukan daripada kebaikan.

Sampai dia mati dalam keadaan tetap demikian, sudah tentu ini pasti akan rnendapat pembalasan (Shihab 2002; Thabathaaba‟i 1991).

Maka apabila Ar-Rahman dan Ar-Rahim telah disambungkan dengan māliki yaumi ad-dīn, barulah seimbang pengabdian dan pemujaan kita kepada Allah Ta‟ala. Hidup tidak berhenti di dunia saja, akan ada hari kemudian yaitu hari pembalasan, hari agama yang sebenarnya. Kita memuji Allah Ta‟ala, pemelihara seluruh alam dan pendidiknya, kita memuji-Nya

(31)

55 karena rahman dan rahim-Nya dan kita pun memuji-Nya karena buruk dan baik yang kita kerjakan di dunia ini tidak terbuang percuma, akan tetapi akan diperhitungkan dan dibalas dengan adil di akhirat kelak. Sifat ketuhanan tidak dapat dilepaskan dari kepemilikan dan kekuasaan. Karena itu kepemilikan dan kekuasaan yang dimaksud perlu ditegaskan. Maka yaumid-dīn merupakan penegasan dari kepemilikan dan kekuasaan Allah Ta‟ala. Keyakinan tentang adanya hari pembalasan memberi arti bagi hidup ini. Tanpa keyakinan itu, semua akan diukur disini dan sekarang yakni di dunia. Padahal banyak nilai-nilai yang tidak bisa diukur di dunia saat ini juga. Adanya hari pembalasan juga memberikan ketenangan terhadap manusia, sebab Allah Ta‟ala sebagai pemilik dan penguasa akan membalaskan setiap perbuatan (Al-Maraghi 1985; Shihab 2002).

Māliki yaumi ad-dīn artinya yang memiliki hari pembalasan. Dalam banyak ayat Al-Qur‟an dan Hadist, Allah Ta‟ala dan Rasul-Nya menegaskan bahwa kehidupan di dunia ini adalah kehidupan yang amat kecil artinya dan amat terbatas waktunya. Kehidupan di dunia ini ibarat setetes air, sedangkan kehidupan akhirat adalah ibarat samudra yang luas. Hal tersebut menjelaskan bahwa hal yang paling menakjubkan pada manusia bukanlah jasmani atau tubuhnya, melainkan rohaninya.

Namun segala sesuatu yang gaib yang diciptakan oleh Allah Ta‟ala hanya Allah Ta‟ala sajalah yang mengetahuinya. “Mereka bertanya kepada engkau tentang Roh. Katakanlah: Roh itu adalah rahasia Tuhanku. Dan tidaklah diberikan ilmu pengetahuan kepadamu kecuali sedikit saja.” (QS. Al-Isra : 85). Tetapi kita sebagai orang yang beriman, harus percaya bahwa ada kehidupan sesudah mati, kehidupan kekal dan abadi roh manusia di alam barzakh dan alam akhirat. Ayat ini memuat pesan agar manusia menghindarkan diri dari sesal kemudian yang tak berguna (Al-Maraghi 1985; Muhyidin 2008; Shihab 2002).

Melalui ayat ini Allah Ta‟ala mengajarkan kepada hamba-Nya agar senantiasa meyakini adanya hari pembalasan, dimana setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia kan dipertanggung jawabkan kelak pada hari pembalasan.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Widayanti dan Nurlis dalam Nurlaela (2013:92) mengemukakan bahwa hal-hal yang mencakup wajib pajak mengetahui dan memahami peraturan perpajakan adalah

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 27 ayat (2) menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi

Dengan kontribusi warga ini, diyakini bahwa dalam waktu dekat mereka biasanya akan menyusun kerangka wilayah lokal untuk pemeriksaan ke dalam dan untuk jangka panjang

Hal tersebut sama dengan fokus penelitian pada tulisan ini yakni sama dalam penilaian karakter religius, namun perbedaan mendasar adalah, jika pada penelitian Maulida

Peneliti menemukan penelitian terdahulu dengan teks yang sama hasil pene- litian dari Dydy Junaedi Tahun 2014 dengan judul “Pembelajaran Memproduksi Teks Prosedur

Dalam bahasa Arab, kata al-manhaj digunakan untuk mewakili arti kurikulum yang berarti jalan yang terang yang dilalui oleh pendidik bersama anak didiknya untuk

Eldy (2011), dalam penelitianya tentang analisis rasio likuiditas, solvabilitas dan profitabilitas terhadap kinerja keuangan koperasi karyawan ( KOPKAR ) ruwajurai PTPN

Oleh karena itu, bila pengumpulan zakat dapat dioptimalkan dan pengelolaan serta pendayagunaannya dilakukan dengan managemen yang baik dan profesional, maka zakat dapat dijadikan sumber