• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alam yang hening; Seorang gadis yang tersesat

Dalam dokumen V e rs i Indonesia (Halaman 68-71)

Sebagai saudara kembar dari alam dimana kita hidup dimana ada keberadaan suara -- ada alam kehidupan lain yang aku sebut ALAM YANG HENING.

Ketika kita sedang duduk di pinggir pantai, kita mendengar suara ombak ombak menghantam tepi laut. Tapi dibalik suara ombak yang bergelora itu terdapat KEHENINGAN. Kebanyakan orang tidak menyadari adanya keheningan tersebut. Mereka tidak percaya akan keberadaannya.

Meskipun itu merupakan dunia yang hening, dunia itu benar benar ada. Seperti halnya ada pagi dan malam, dunia yang lain itu benar benar ada! Ada dunia yang bersifat materi/wujud dan ada dunia roh. Peradaban secara materi maju dengan cepatnya; pada saat yang sama ada perubahan yang sangat besar pula di ALAM HENING.

Ketika aku sedang bermeditasi didalam keheningan, semua kesulitan hilang sirna. Hal hidup dan mati hanya terlihat sebagai ilusi belaka. Tidak ada perasaan kesepian. Sejarah menjadi pendek, dan ada kebijaksanaan dimana mana. Aku merasa aku dapat menggapaikan tanganku menyentuh bintang bintang.

Suatu waktu aku terbang ke ruang angkasa. Aku membiarkan diriku mengambang keatas melewati awan awan pergi menuju kesuatu dunia lain. Makhluk makhluk luar angkasa disana mengucapkan selamat datang kepadaku. Bunga bunga bermekaran dimana mana. Tubuh tubuh orang yang kulihat sangatlah wangi semerbak. Warna warna juga berbeda; semuanya sangatlah indah dan terang bercahaya.

"Dimanakah aku?" aku bertanya kepada seorang makhluk luar angkasa itu. "Ini disebut ALAM YANG HENING," jawabnya.

"Apakah aku mengenal seseorang disini?"

Ternyata kemudian memang aku bertemu dengan orang yang kukenal. Wujudnya telah berubah, tapi hatinya masih mengenal diriku.

"Paman Tzu-chih! Anda disini!"

"Lien-sheng! Engkau datang kesini juga!" "Tidak. Tidak. Aku masih harus kembali." "Kalau begitu cepatlah kembali."

"Bukan itu maksudku, paman Tzu-chih. Aku masih hidup di dunia manusia."

"Oh, begitu. Aku mengerti sekarang. Engkau rupanya dapat keluar dari badan kasarmu."

"Apakah ada orang lain yang kukenal yang datang kesini?"

"Ya, ada beberapa. Tapi tidak banyak orang yang dapat meninggalkan tubuh kasarnya di dunia. Sebagian datang kesini didalam mimpi mereka, tapi kesadaran mereka tidak jernih dan wujud mereka juga tidak jelas; seperti uang yang keluar di teko saja. Mereka yang mimpi ke alam ini tidak tinggal disini lama. Kadang kadang aku suka mengingatkan mereka tentang sesuatu, tetapi ketika mereka bangun dari mimpi mereka -- mereka tidak dapat mengingatnya."

"Apakah engkau merindukan dunia manusia?"

"Tidak. Begitu kembali ke dunia manusia, sulit untuk kembali kesini."

Ketika paman Tzu-chih masih berada di dunia manusia, ia adalah seorang tukang sampah. Namanya itu (Tze-chih) berarti kertas. Ia adalah seorang yang menekuni ajaran Budhisme. Sehari harinya ia bekerja dengan sampah. Hatinya sangatlah murni. Setiap kali ia melihat kertas kertas dari tumpukan sampah, ia akan mengumpulkan semua yang ada tulisannya dan membakarnya. Ia sadar bahwa pengetahuan, yang diwakili dengan kata kata tertulis, datang dari orang orang suci. Membakar adalah suatu cara untuk menjaga kemurnian pengetahuan itu. Ia menasihati orang untuk menghormati kertas kertas yang bertuliskan kata kata. Pernah suatu hari ia menemukan sejumlah uang yang terhilang. Ia membawanya kekantor polisi dan menolak menerima hadiah dari pemilik aslinya. Ia sering beramal secara sembunyi sembunyi tidak diketahui bahwa ia yang menyumbang. Ia menyebut nama Budha tak henti hentinya. Ketika ia wafat ia tidak mempunyai sepeserpun.

Tanpa disadari orang, ia banyak membantu menyadarkan banyak orang. Aku pernah bertemu dengannya tiga kali ketika ia masih hidup didunia manusia. Kami mengobrol dengan akrab. Sebelum ia wafat ia mengingatkanku untuk memperhatikan seorang "murid-murid"nya sehingga mereka dapat kembali ke ALAM HENING.

Aku tidak menyangkan dapat bertemu kembali dengan beliau.

"Ying-chen (seorang dari murid paman Tzu-chih) telah meninggalkan jalan kerohanian. Aku menyesal melihat hal ini terjadi," kata paman Tzu-chih.

"Oh! Anak perempuan kecil yang masih murni dan polos itu?"

"Ya. Aku sering mengamatinya. Ia telah kehilangan kemurnian dan kepolosan jiwanya." "Aku akan mencarinya untuk melihat apakah aku dapat membantunya," kataku.

"Ya, harap tolong dia."

Di malam berikutnya aku mendatangi Pai-li night club dan berdiri didepan pintu masuk. Aku sendirian dan dengan hening mengamati lampu neon night club itu yang berkelap kelip. Sebuah mobil mewah berhenti didepan club itu. Dari dalam mobil keluarlah seorang wanita yang gaun putih yang panjang. Ia mengisap rokok. Seorang pria menggandengnya dipinggang dan membimbingnya masuk kedalam club itu.

Aku mendengar seseorang mengumumkan dengan suara keras,"Nona Lu-Lu telah tiba."

"Ya. Nona Ying-chen telah berubah," kataku. "Ia tidak lagi menjual karcis karcis di jalanan. Bajunya dulu sangat sederhana."

Wanita ini terlihat seperti seorang wanita tuna susila. "Ying-chen," aku memanggilnya.

Ia menoleh dan kelihatan tidak mengenalku. Aku jadi kuatir salah mengenali orang. Ia memakai bulu mata palsu. Penampilannya sungguh sudah sangat berubah.

"Aku adalah Lu Sheng-yen, teman dari paman Tzu-chih."

"Lu Sheng-yen! Oh, engkau yang terkenal dapat meramal itu! Bagus, bagus. Ayo ramalkan tentang diriku! Kapan aku bisa kaya dan mengumpulkan banyak uang!"

"Engkau tidak mengenalku?"

"Tentu aku mengenalmu! Engkau adalah teman dari paman Tzu-chih. Engkau adalah seorang pengarang buku buku kerohanian yang terkenal. Rupanya engkau juga datang kesini sama saja dengan semua laki laki lain. Dasar laki laki."

"Aku! Oh, tidak. Jangan salah paham."

"Kau tidak perlu menyangkal. Hidup memang begini. Engkau tidak perlu berpura pura menjadi orang suci. Biarlah aku membatalkan dua janji pertemuanku malam ini? Aku ingin engkau meramal untukku."

"Ying-chen ..."

"Hsst. Jangan panggil aku Ying-chen. Namaku Lu-Lu sekarang."

Musik mulai melagukan lagu blues. Lampu lampu diremangkan. Lu-Lu datang menghampiriku seperti sebuah bayangan putih. Aku dapat mencium wangi parfum dan kosmetiknya. Dengan segera aku pergi.

Didalam perjalanan pulang aku memikirkan tentang kesulitan kesulitan yang timbul sebagai akibat kemelekatan manusia di dunia fisik ini.

Dalam dokumen V e rs i Indonesia (Halaman 68-71)