• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kisah Wanita Berjubah Hijau

Dalam dokumen V e rs i Indonesia (Halaman 152-154)

Wanita berjubah hijau (Catatan: Baca kisah "Awal pengalaman yang unik dan gaib" di awal buku ini) kupanggil "Ci-O" karena beliau tidak pernah memberitahu siapa nama aslinya kepadaku. Beliau berasal dari dusun FuLi di kabupaten Hua Lien. Ayahnya adalah seorang mantri kesehatan di sebuah balai pengobatan di dusun Fu Li. Ayahnya adalah seorang yang jujur dan polos, namun ia tidak percaya tentang adanya dunia roh. Ci-O tidak mendapat pendidikan yang baik. Namun diantara saudara saudaranya -- hanya dia seorang yang mempunyai mata batin.

Keluarga Ci-O bukanlah tergolong kaya secara materi. Dusun FuLi tempat mereka menetap berada di daerah pegunungan. Sebagai putri sulung, Ci-O setiap hari harus memikul air yang diambil dari sungai kecil di lembah, disamping harus mencuci pakaian dan berbagai pekerjaan rumah tangga lainnya.

Di dusun Fu Li terdapat sebuah kuil yang disebut kuil Cheng Huang. Kedua dewa yang arcanya terdapat di kuil tersebut adalah teman baik Ci-O dan sering bergurau dengannya. Di sepanjang jalan yang dilalui Ci-O sewaktu memikul air, seringkali mereka bertiga bercanda ria dengan gembiranya. Ci-O bercerita, "Kedua dewa itu suka nakal. Kadangkala mereka dengan sengaja menumpahkan air yang kupikul."

"Jadi Ci-O sudah dapat melihat roh sejak masih kecil?" tanya saya.

"Aku dapat melihat hantu dan dewa sejak aku bisa berpikir. Tetapi bila aku memberitahukan kepada ibu, beliau hanya tertawa saja. Bila aku memberitahukan kepada ayah, beliau menganggap aku sedang mengkhayal dan tak bisa dipercaya. Bahkan setelah beberapa lama aku mulai dianggap terganggu syarafnya. Jika aku berkata telah melihat sesuatu di alam roh, beliau pasti marah dan menganggap penyakit syarafku telah kambuh lagi."

Bila roh saya sendiri tidak "bangun" sehingga saya sendiri dapat melihat hantu dan dewa, sayapun tidak akan percaya tentang kisah yang diceritakan Ci-O ini, meskipun ceritanya ini sungguh menarik dan hidup. Saya akan menganggap cerita itu hanya sebuah karangan yang dibuat buat saja. Karena itu orang tua Ci-O tidak dapat terlalu disalahkan bila tidak mempercayai cerita cerita dari putri mereka itu. Memang di dunia ini tidak banyak orang yang dapat melihat roh.

Setelah Ci-O menjadi dewasa, beliau menjadi murid dari Sang Maha Dewi Yao Ce Cing Mu. Sang Maha Dewi sangat sayang kepada Ci-O. Beliau pernah diajak pergi mengunjungi beberapa alam roh. Beliau juga diajari Sang Maha Dewi beberapa ilmu untuk berkomunikasi dengan dunia roh.

Pada suatu hari, karena ayah Ci-O sudah sangat lanjut usia, ayah Ci-O menjadi jatuh sakit. Penyakitnya kian hari kian parah. Kadangkala di tengah malam ia mengigau

sehingga membuat orang yang merawatnya agak ketakutan. Ci-O bertekad merawat ayahnya setiap malam. Pada suatu tengah malam, angin berhembus dengan sangat kencangnya menerpa daun jendela sampai berbunyi "krek, krek". Waktu menunjukkan kira kira pukul 11 malam. Tiba tiba terdengar suara langkah kaki banyak orang tiba di luar pintu. Ci-O sedikitpun tidak takut. Ia membuka pintu. Terlihat banyak orang berkerumun. Ada pria dan wanita, tua dan muda. Ci-O bertanya, "Siapakah kalian?" Diantaranya ada yang sudah lanjut usia berkata, "Anda kah yang bernama Ci-O? Aku adalah paman A Phing, tetanggamu yang baru meninggal tahun lalu. Kini ajal ayahmu sudah tiba, maka kami datang menjemputnya."

"Tidak bisa. Siapapun tidak boleh membawanya. Saya tidak mengijinkan kalian masuk." Dengan merentangkan kedua tangannya, Ci-O merintangi para arwah itu. Dengan demikian ayahnya masih dapat bertahan hidup selama 3 hari lagi. Pada malam ketiga, seorang dewa berpakaian jendral perang dari kuil Chen Huang datang mengetuk pintu. Ia berkata, "Ayahmu seharusnya pada tiga hari yang lalu sudah dibawa pergi oleh para arwah, tetapi karena engkau menghalanginya, maka sampai tertunda tiga hari. Mereka tidak dapat mempertanggung-jawabkannya kepada dewa jaksa. Aku diperintah oleh dewa jaksa untuk mengambil ayahmu. Engkau tidak boleh menghalanginya lagi." Namun karena Ci-O sangat sayang kepada ayahnya, maka Ci-O mengeluarkan sebuah hu yang diberikan oleh Yao Ce Cing Mu. Dalam sekejab mata terpancarlah sinar suci kemilau menerangi seluruh penjuru sehingga dewa itu tidak dapat melangkah maju. Ia terpaksa pulang untuk melaporkan kegagalannya. Ci-O agak gegabah mengejarnya sampai ke kuil Cheng Huang. Ia bahkan berdebat dengan dua dewa kawannya bermain sejak kecil. Lebih dari itu, ia memukul pantat setiap dewa yang berada disitu sehingga membuat dewa jaksa menjadi gusar, murung, namun tidak dapat berbuat apa apa. Pada saat itu dari udara datanglah harum dupa menyebar ke seluruh penjuru. Ternyata Sang Dewi Yao Ce Cing Mu datang berkunjung. Dewa Jaksa keluar menyambutnya. Sang Dewi bersabda, "Ci-O, anakku, rasa baktimu sungguh mengharukan, tetapi dewa jaksa hanya melaksanakan tugas saja. Ajal ayahmu memang telah tiba. Ia akan pergi ke alam roh. Cepatlah engkau membuat jubah hijau sebagai lambang pengikutku. Pakaikan jubah hijau itu kepada ayahmu. Bila ia telah mengenakannya, dengan sendirinya ia menjadi tanggunganku sehingga ia tak akan terjerumus ke alam yang sengsara."

Ci-O terpaksa menurut setelah mendengar sabda Sang Dewi. Ketika ia memakaikan jubah hijau pada ayahnya, tampaklah dari langit terjulur sebuah perahu; dinaikkanlah ayahnya kedalam perahu sebelum perahu itu berangkat pergi lagi.

Kisah ini diceritakan sendiri oleh wanita berjubah hijau itu kepadaku. Dari kisah ini kita dapat memahami bahwa kehidupan dan kematian itu sudah ditakdirkan. Nasib tersembunyi didalam hidup dan mati. Hidup dan mati juga termasuk didalam nasib.

Dalam dokumen V e rs i Indonesia (Halaman 152-154)