• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pedang Raja Intan

Dalam dokumen V e rs i Indonesia (Halaman 146-149)

(sebuah ulasan tentang meditasi)

Kesulitan yang umum dihadapi oleh orang orang yang mulai bermeditasi adalah bahwa perasaannya dan pikirannya selalu berhilir mudik tak dapat terkontrol bagaikan ombak laut. Istilah 'ombak laut' sangat cocok untuk dipakai untuk mengungkapkan kesulitan yang dialami karena memang sulit bagi para umat awam untuk dapat tenang mencapai satu titik. Perasaannya tak hentinya berhilir mudik (berkelana) seperti seekor kuda liar yang meloncat loncat tak hentinya. Sewaktu dalam keadaan biasa, hal ini tidak terasakan. Tapi bila sudah mencoba untuk duduk tenang, maka akan mulai terasa. 'Ombak laut' didalam pikiran muncul bergelombang dan hilang silih berganti sehingga kita terayun-ayun dan bergerak gerak ke kiri dan kekanan. Sungguh perasaan itu sulit untuk dijinakkan.

Ada pula mereka yang mulai belajar bermeditasi merasakan segumpalan awan yang berlalu lalang. Awan itu bisa saja berwarna; sepotong sepotong beterbangan; ada kalanya turun naik dengan dahsyat. Ini adalah tanda dari perasaan yang berubah ubah. Hati kita belum tenang pada saat itu. Perasaan masih berputar putar didalam pikiran. Timbulnya 'laut' atau 'awan' ini menunjukkan kemampuan yang belum sempurna. 'Laut' atau 'awan' itu sebetulnya hanyalah khayalan belaka.

Pada waktu saya mulai duduk bersamadhi, hati sayapun juga sulit untuk dijinakkan terutama bila pada hari itu terlampau banyak mengalami urusan duniawi. Kadang kadang hal hal yang harus saya pikirkan itu terlalu banyak. Orang orang yang datang ingin mencari saya juga terlalu banyak. Didalam keadaan seperti ini, duduk bermeditasi menjadi sia sia belaka karena pikiran terus melantur dan perasaan terus berkelana tanpa disadari. Sungguh benar dikatakan bahwa duduk tenang itu tak semudah yang disangka orang. Bila anda tidak percaya, silahkan mencoba sendiri. Saya betul betul tidak berbohong.

Pada waktu mulai duduk tenang, perlu ada suatu ketekunan. Bukannya satu hari dilakukan lalu 10 hari beristirahat. Bila demikian, hasilnya sungguh tidak akan ada artinya. Bila ingin duduk bermeditasi, tenangkan hati. Bila dapat tenang, baru dilanjutkan. Setelah itu anda akan melihat 'laut' atau 'awan' yang saya ceritakan diatas. Setelah 'ombak laut' mulai tenang, akan terlihat seperti suatu lapangan yang biru. Bila sudah tenang, 'awan' tidak bergerak lagi. Pada tingkat ini sudah boleh dikatakan bahwa hati sudah mulai tenang. Tetapi bukan berarti ini sudah selesai.

Pernah ada seorang biksu mengajarkan saya untuk bermantra "Namo Cing Kang Wang Pu Sa" (Catatan: Terjemahan literal adalah 'Namo Bodhisatwa Raja Intan') sewaktu duduk bersamadhi karena mantra bisa membantu mengontrol diri. Bila hati sudah tenang, kegelisahan duniawi akan terhindarkan dan para Budha dan Bodhisatwa baru

bisa masuk kedalam hati nurani.

Sewaktu saya mengikuti saran biksu itu dan duduk bersamadhi sambil bermantra seperti yang diajarkan diatas, saya mulai melihat seorang raksasa yang memakai topi emas berbajukan perisai emas. Matanya seperti marah; mukanya merah padam. Rambut dan jenggotnya juga jelas terlihat. Tangannya memegang pedang berwarna biru. Dia berdiri di belakang saya. Terlihat awan awan hitam beterbangan. Raksasa itu memakai pedangnya menghalau awan awan hitam itu sehingga awan awan itu menjadi sirna. Sejak saat itu, bila saya duduk bersamadhi, sering saya melihat dewa tinggi besar itu berdiri dibelakang saya dengan pedang Raja Intan ditangannya.

Siapakah sebenarnya Bodhisatwa Raja Intan (Cing Kang Wang Pu Sa)? Beliau adalah seorang pelindung Budha Dharma. Juga beliau sebenarnya adalah perwujudan diri sendiri di alam 6 dimensi. Mungkin para pembaca menjadi tercengang mendengar ini. Perasaan itu sebetulnya tidak baik dan tidak jahat. Dengan mengucapkan mantra "Namo Cing Kang Wang Pu Sa", kita mengubah hati kita menjadi seorang dewa langit pelindung diri kita yang menumpas 'awan' atau 'ombak' perasaan. Persoalannya bukanlah apakah ia ada atau tidak, tetapi intinya adalah apakah kita ingin melatih batin. 'Bodhisatwa Raja Intan' ditempat lain dikenal sebagai malaikat pelindung atau utusan pengawas. Setiap orang mempunyai 1. Didalam Taoisme, disebut sebagai 'Dewa yang dikenal'. Didalam Budhisme, disebut sebagai 'Cing Kang Wang Pu Sa'. Beliau mempunyai sebilah pedang untuk menumpas hantu, pedang yang sangat tajam dan bersisi dua.

Saya pernah suatu kali duduk diatas gunung sambil melihat matahari terbit di ufuk timur. Sinar matahari itu merah terang benderang. Tiba tiba terlihat sinar keemasan. Kemudian muncullah Bodhisatwa Wei To (Wei To Pu Sa) terbang di langit memutari gunung satu kali. Dengan segera saya membungkuk memberi hormat. Beliau perlahan lahan terbang keatas dan sirna.

Dapat melihat Bodhisatwa Wei To dan Bodhisatwa Raja Intan membuat saya sangat bergembira. Saya bergegas turun dari gunung untuk menemui guru saya, Master Ching-chen. Pada saat itu, guru saya sedang menanam sayur sambil bernyanyi-nyanyi "Hilangkan apa yang kau lihat. Jangan mudah girang. Ikutilah perubahan perasaan itu apa adanya. Setelah timbul perasaan gembira, timbul kepusingan."

"Guru, saya baru saja melihat Wei To Pu Sa", dengan kencang saya berteriak kepada guru saya.

"Itu tidak heran." Jawab guruku tanpa menengok sedikitpun. "Guru, saya juga melihat Cing Kang Wang Pu Sa."

"Itupun tidak perlu heran."

"Mengapa tidak heran?" saya bertanya.

kita sudah tenang dan terang, bagaikan kaca, pasti berpantul. Tiada lagi halangan sehingga dapat melihat Cing Kang Wang Pu Sa. Namun dapt melihat Cing Kang Wang Pu Sa hanyalah suatu perubahan dari perasaan yang tak terbatas. Timbulnya perasaan kegembiraan itu menunjukkan penampilan ombak laut. Hilangkan apa yang kau lihat. Awasi saja perubahan perasaan itu apa adanya. Jangan mudah girang sebab setelah timbul perasaan gembira akan timbul kepusingan. Tetaplah berlatih. Tidak perlu merasa terlalu gembira dan puas. Ingatlah itu. Ingatlah itu." Demikianlah wejangan dari guruku itu.

Menyadari bahwa pikiran saya telah bergerak, saya merasa sangat malu sampai ingin menyembunyikan diri saja.

Dalam dokumen V e rs i Indonesia (Halaman 146-149)