• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mangkok Ajaib

Dalam dokumen V e rs i Indonesia (Halaman 65-68)

Master Ching-chen adalah guruku yang mengajarku secara langsung dan pribadi. Meskipun kami hanya bersama sama selama 2 tahun, wajah dan suara beliau tertanam dalam dihatiku. Beliau memberitahu bahwa ia belajar di gunung Ching-cheng dipropinsi Sichaun di Cina daratan. Ia belajar sangat banyak dari kuil disana. Setiap kali ia terpikir untuk mengajar seorang murid, ia kuatir ia mengajar orang yang salah; karena itu, ia tidak menerima murid. Aku pergi mengunjungi Master Ching-chen atas bimbingan Guru Roh, Yang Mulia San San Chiu Hou. Bila bukan karena beliau, Master Ching-cheng tidak mungkin mau menerimaku sebagai murid.

Master Ching-chen adalah seorang yang sangat berhati hati. Ia hampir tidak pernah meninggalkan gunung tempatnya tinggal. Secara penampilan, ia seperti seorang petani jujur. Perbedaannya hanyalah bahwa didalam rumah bilik tempatnya tinggal -- ia mempunyai altar yang memajang gambar Trimurti dari Taoisme (Kesucian Kumala, Kesucian Besar, dan Kesucian Agung).

Ia telah tinggal di gunung Lien-tou selama lebih dari 20 tahun, tapi tidak ada yang sadar bahwa beliau sesungguhnya adalah seorang master dengan pengetahuan dan tingkat rohani yang sangat tinggi. Aku belajar dari beliau setiap hari minggu selama 2 tahun sebelum ia wafat. Sebelum kematiannya beliau berkata, "Setelah aku pergi, engkau akan sendirian. Jalanan didepan akan sulit berliku liku. Engkau akan mengalami banyak penderitaan. Bila aku tidak menerimamu sebagai murid, engkau sebetulnya dapat hidup dengan lebih tenang. Tetapi, karena engkau telah menjadi muridku, engkau akan mengalami ujian dan tantangan. Dapatkah kau bertahan?"

"Ya, saya dapat." Jawabku.

"Didunia ini, salah satu hal yang paling sulit adalah menyadarkan manusia. Setelah kematianku ingatlah selalu bahwa selama engkau menuruti hati nuranimu dan pikiran yang bajik -- maka pelindung di langit akan menolongmu. Janganlah kau hiraukan hal hal yang sepele lainnya."

Beliau mengulang wejangannya ini berkali kali sebelum kematiannya. Aku tidak pernah dapat melupakan wejangannya ini.

Aku ingat pada suatu hari minggu ketika aku mengunjungi ke gunung Lien-tou. Seorang teman bernama Shang telah mengundangku kerumahnya untuk beramah tamah. Aku belum pernah mengunjunginya sebelumnya.

Pada hari itu ketika Master Ching-chen menaruh satu tangannya diatas kepalaku -- ia berkata dengan lembut, "Pikiranmu tidak disini. Apakah ada sesuatu dibenakmu?"

"Guru, secara jujur," jawabku, "hari ini seorang teman akrabku mengundangku kerumahnya. Ia telah mengundangku banyak kali sebelumnya. Setiap minggu aku datang kesini dan menolak undangannya. Hari ini ia mengundangku lagi. Aku merasa terbeban untuk mengunjunginya."

"Hmmm, kalau begitu, kau pulanglah agak lebih pagi hari ini?"

Master Ching-chen kemudian masuk kedalam rumahnya. Tidak lama kemudian ia keluar lagi dengan sebuah mangkok terbuat dari porselin yang sangat halus buatannya. Pinggiran mangkok itu diukir dengan gambar dua kelinci. Mangkok itu setengah penuh dengan air.

"Lian-sheng, " kata guru, "mangkok ini merupakan sebuah pusaka dari Kuil di gunung Ching-cheng. Nama mangkok ini adalah Mangkok Bayangan Air Kelinci Kumala."

Aku memandang guruku dengan wajah bertanya tanya. Aku tidak tahu kegunaan dari mangkok itu.

"Lian-sheng, siapa nama temanmu itu dan dimana ia tinggal?"

"Namanya Sang Tsu-chiang dan ia menetap di jalan Chang-nan di kota Nan-tou."

Guruku mengambil kuas dan menulis sesuatu di kertas kuning. Kemudian ia membakar kertas kuning itu sampai menjadi abu dan menyebarkannya kedalam mangkok.

Guruku memandang kedalam mangkok itu selama kira kira 5 menit. "Lian-sheng, temanmu itu sedang tidur siang di rumahnya sekarang. Orangnya tinggi gegap. Di alis kirinya terdapat tanda tahi lalat. Dagunya runcing. Wajahnya menunjukkan ia mudah sekali mendapat kecelakaan atau bahaya. Ia harus belajar untuk lebih lemah lembut, kalau tidak ia bisa cepat mati. Keluarganya cukup kaya raya. Mari, lihatlah sendiri." Aku mendekati dan memandang kedalam mangkok. Aku hanya melihat abu bekas kertas kuning itu mengambang diatas air, itu saja.

"Pejamkan matamu terlebih dahulu," kata guru. "Putarlah biji matamu searah jarum jam sebanyak 21 kali kemudian berlawanan dengan jarum jam sebanyak 21 kali pula, kemudian cobalah lihat lagi."

Aku menuruti saran beliau. Ketika aku membuka mataku lagi, ajaib sekali terlihat sebuah lingkaran sinar berwarna putih didalam mangkok. Pada mulanya terlihat berkabut tapi kemudian kabutnya menghilang. Perlahan lahan aku melihat sebuah ruang tidur dengan seseorang yang sedang tidur disana. Aku memandang lebih seksama. Ternyata ia adalah temanku, Shang Tsu-chiang.

Melihatnya didalam mangkok aku berteriak memanggilnya,"Hei! Shang Tsu-chiang!" Aku melihatnya terbanguna. Ia melihat sekeliling mencari siapa yang memanggil. Karena tidak melihat siapapun, ia berbaring kembali untuk melanjutkan tidurnya.

"Mangkok ini sangat ajaib. Ia dapat memancarkan gambar bayangan dan juga suara, tetapi hanya mereka yang mempunyai mata yang terlatih yang dapat melihatnya. Untuk orang biasa, mangkok ini hanyalah mangkok biasa saja. Tapi untuk mereka yang mempunyai mata batin, mangkok ini berguna, karena segala sesuatu di dunia dapat muncul tergambar didalam mangkok ini. Di masa yang akan datang aku akan memberikan mangkok ini kepadamu."

"Guru! Terima kasih!"

"Pergilah kau sekarang mengunjungi temanmu itu."

Ketika aku tiba di rumah temanku, jam menunjukkan pukul 4 siang hari. Seorang pembantu tua membukakan pintu. "Shang Tsu-chang sudah bangun dan sedang pergi dengan sepeda motornya," katanya.

Ketika aku bermaksud pergi, aku mendengar sebuah suara dari langit berkata, "Tunggu selama 2 menit lagi. Temanmu sedang kembali kerumah."

Pada saat itu aku menjadi sadar bahwa gambar diriku pastilah muncul di mangkok guruku itu. Beliau sedang mengamatiku. Aku berkata kepada pembantu tua itu, "Ia akan kembali dalam 2 menit."

Pembantu itu heran dan tidak mengerti. Tapi setelah dua menit ternyata benar temanku kembali. Ia melambaikan tangan dari kejauhan dan berkata dengan tergesa gesa, "Lu! Aku tahu kau pasti datang hari ini! Ketika aku sedang tidur aku mendengar suaramu memanggil namaku! Ketika aku naik sepeda motorku keluar, ada sebuah suara dari langit menyuruhku kembali ke rumah! Sungguh aneh kejadian kejadian pada hari ini! Senang melihatmu datang. Mari masuk. Ayo, masuk!"

Ketika aku berada di ruang tamu temanku itu, aku memberitahukan bagaimana bentuk ruang tidurnya kepadanya. Ia memandangku dengan terpesona. "Benar! Kamar tidurku memang seperti yang kau bayangkan itu!"

Kemudian aku memberitahukannya, "Didalam dunia ini ada sebuah mangkok bernama Mangkok Bayangan Air Kelinci berkumala. Mangkok ini dapat memancarkan gambar dan suara."

Tapi ia hanya menggelengkan kepala dan berkata "Tidak. Tidak. Aku tidak percaya. Engkau sedang bercanda."

Master Ching-chen tidak memberitahuku, ketika ia wafat, dimana ia menyembunyikan mangkok itu dan aku tidak pernah menemukannya. Temanku, seperti diramalkan Master Ching-chen, meninggal dalam suatu kecelakaan lalulintas.

24. Alam yang hening; Seorang gadis yang

Dalam dokumen V e rs i Indonesia (Halaman 65-68)