DAFTAR LAMPIRAN
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.3.3 Alat Tangkap ( Fishing Gear ) yang Digunakan
Menurut Miyake et al. (2010) peningkatan produksi tuna dunia dipicu oleh peningkatan kapasitas kapal dan perubahan teknologi alat tangkap yang digunakan setelah tuna menjadi komoditas pangan yang memiliki nilai komersial tinggi. Peningkatan efektivitas dan efisiensi kapal dalam produksi ikan tuna, merupakan dasar pesatnya perkembangan alat tangkap purse seine dalam industri kapal tuna. Alat tangkap yang dominan dalam industri tuna adalah purse seine dan long line. Produksi hasil tangkapan purse seine pada total tangkapan tuna dunia, terus mengalami peningkatan yakni 300 000 ton pada tahun 1970 menjadi 2.8 juta ton pada tahun 2006.
Menurut Joseph (2003), penggunaan purse seine ini meningkat pesat, karena dapat diset secara vertikal sampai kedalaman 150 m dengan panjang net sampai 1 500 m dan dapat menangkap gerombolan tuna sekaligus. Produksi kapal purse seine dalam satu kali trip bisa mencapai 4 000 ton ikan tuna beku. Namun demikian, penggunaannya pada saat ini dipermasalahkan (ISSF 2011), terutama di rumpon karena dianggap alat tangkap yang tidak selektif dan tidak ramah lingkungan terutama akibat ikut tertangkapnya tuna kecil dan bycath lainnya seperti burung, penyu, dan hiu yang berasosiasi di rumpon. Target utama dari purse seine ini adalah Madidihang dan Cakalang, hampir 60% tangkapan tuna Sirip dunia berasal dari tangkapan purse seine di rumpon.
Long line pada mulanya sangat dominan namun pada dekade 70-an menurun hingga hanya tinggal 15% dari produksi tuna dunia pada tahun 2005. Namun untuk usaha skala kecil terus berkembang terutama untuk negara-negara berkembang. Long line ini dapat di set sampai 100 km dengan 3000 buah cabang mata pancing pada kedalaman 100 sampai 150 meter, sehingga target utamanya adalah tuna besar yang berada lapisan bawah termoklin yang memiliki suhu lebih dingin.
Kegiatan penangkapan ikan tuna di Samudera Hindia yang dilakukan oleh industri perikanan tuna di mulai pada tahun 1973 dengan armada kapal longline, purse seine dan pole-and-line yang dimiliki oleh negara Prancis, Rusia, Jepang dan Taiwan (IOTC 1998). Negara yang berperan utama dalam pengembangan kapal tuna longline di Samudera Hindia adalah Taiwan, Jepang,
Indonesia, Korea, China, dan Thailand dengan kontribusi produksi lebih dari 83% dari total produksi dari hasil tangkapan longline (IOTC 2008). Tuna hasil tangkapan dari kapal longline ini kontribusinya mencapai 16% dari produksi tuna di Samudera Hindia yaitu 1.67 juta ton pada tahun 2006. Menurut Nootmorn et al. (2010) hasil tangkapan tertinggi di peroleh di perairan Somalia dan Seychelles (1.3 ikan/100 hooks), diikuti di perairan Samudera Hindia Barat Sumatera (1.2 ikan/100 hooks) dan Samudera Hindia Selatan Jawa dengan hook rate 1.0 ikan/100 hooks) dengan spesies dominan terrtangkap adalah bigeye tuna, yellowfin tuna, albacore tuna dan swordfish.
Sama halnya dengan nelayan dari negara lain, nelayan Sendang Biru melakukan kegiatan perikanan tangkap tuna di perairan Samudera Hindia, khususnya di Selatan Jawa Timur. Namun yang membedakan adalah alat tangkap yang digunakan masih bersifat tradisional, yaitu pancing ulur (hand line). Hasil tangkapan armada hand line Sendang Biru didominasi oleh spesies Madidihang, yang diikuti oleh Cakalang, Bigeye tuna, Marlin, dan Tompek dengan proporsi masing-masing adalah 36.71%, 31.45%, 19.57%, 9.66% dan 2.6%. Alat tangkap yang digunakan adalah pancing ulur (handline), sedangkan metode yang digunakan adalah: 1) copping, 2) tonda, 3) layang-layang dan 4) tomba. Mengenai cara dan waktu menangkap, kedalaman mata pancing, serta umpan yang digunakan untuk masing-masng metode tersebut disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16 Fishing gear dan metode yang di gunakan nelayan sekoci
Perihal Tonda Copping Layangan Tomba
Penangkapan Permukaan 30-100 m Permukaan 40-50 m
Cara Ditarik perahu Tarik ulur Perahu jalan Pasif
Waktu Pagi&sore Siang hari Seharian Siang hari
Umpan Benang mas, bulu
kain
Sendok, Compact Disk
Ikan sintetis Umpan
hidup Ukuran Mata
Pancing
No 7 No 8,9 No 3 No 2
Ukuran Senar (liner) No 50 (0.75 mm), No
60 (0.80 mm) dan No 70 (0.90 mm) No 40 (0.65 mm) No 50 (0.70 mm) No 5000 No 6000 No 4000 No 5000
Hasil Tangkapan Tuna ukuran 1-2 dan
2-9 kg sebanyak 50% Cakalang ukuran 1-2 kg (100%) Tuna ukuran 1-2, dan 2-9 (50%), 10-20 kg (100%) >20 kg (50%) Tuna besar (>20 kg) sebanyak 30% Tuna besar (>20 kg) sebanyak 20%
Metode pemancingan yang pertama kali digunakan oleh nelayan sekoci sesaat sampai di lokasi rumpon adalah metode layang-layang. Dalam metode layang-layang ini digunakan liner yang berukuran besar (no 5 000 atau 6 000) dengan mata pancing berukuran besar (No. 3). Umpan yang digunakan adalah ikan sintesis yang terbuat dari karet atau kayu, biasanya berbentuk ikan dan cumi-cumi. Metode ini sesungguhnya adalah hampir sama dengan trolling, namun posisi umpan diletakan di permukaan air. Ikan target utama adalah ikan tuna berukuran di atas 20 Kg. Hasil tangkapan tuna besar dari metode layang-layang sebesar 50% dari total tangkapan/trip. Layang-layang-layang digunakan sebagai pelampung, mata pancing dan umpan berada di permukaan air. Pada saat menerbangkan layang-layang, perahu tersebut dalam keadaan berjalan di sekitar rumpon. Pancing, umpan dan line yang digunakan pada metode pancing layang-layang tersebut dapat dilihat pada Gambar 28.
Gambar 28 Alat tangkap yang digunakan dalam metode layang-layang.
Apabila metode layang-layang tersebut tidak berhasil, maka berikutnya digunakan metode copping, metode ini merupakan metode tarik ulur (hand line). Umpan yang digunakan terbuat dari sendok atau compact disk bekas yang dibuat menyerupai ikan-ikanan (Gambar 29). Metode copping menggunakan batu sebagai pemberat, sehingga umpan bisa masuk sampai kedalaman antara 50-100 m. Ikan target adalah ikan tuna berukuran antara 10-20 kg dan di atas 10-20 kg. Dari hasil justifikasi pada nelayan diperoleh hasil bahwa tuna yang diperoleh untuk ukuran antara 10-20 kg (100%), 30% berukuran di atas 20 kg dan 50% untuk ukuran tuna kecil 1-2 kg dan ikan cakalang ukuran 2-6 kg hampir 50% dari total tangkapan.
Gambar 29 Alat Tangkap Metode Copping
Selain digunakan metode yang bersifat aktif, juga digunakan kegiatan penangkapan dengan metode yang bersifat pasif, yaitu metode tomba yang dilakukan pada siang hari. Metode ini bersifat pasif karena alat pancing di lepas begitu saja, pergerakan umpan diperoleh dari umpan hidup, biasanya ikan lemuru, kembung atau cumi-cumi (Gambar 30).
Gambar 30 Alat pancing metode tomba.
Kedalaman pancing dari metode ini, mencapai 40-50 m. Adapun mata pancing yang digunakan adalah No 2 (ukuran paling besar). Sebagai tanda umpan di makan oleh ikan target, biasanya digunakan pelampung yang berasal dari jeriken air, jerinken ini dalam bahasa Sinjai dinamakan tomba, sehingga metode ini dikenal juga dengan istilah pancing tomba. Ikan target adalah tuna besar (>20 kg). Hasil tangkapan ikan tuna besar yang diperoleh melalui metode ini adalah sekitar 20% dari total tangkapan/trip.
Apabila ke tiga metode tersebut tidak berhasil, maka metode yang digunakan adalah metode tonda, yaitu pancing ditarik oleh perahu yang bergerak berkeliling di sekitar rumpon. Umpan yang digunakan adalah benang
mas dan bulu kain sutera, dengan mata pancing berukuran nomor 7 seperti yang tersaji pada Gambar 31. Metode ini sangat dihindari apabila tidak terpaksa, karena ikan tuna yang tertangkap pada umumnya tuna ukuran kecil, yaitu tuna berukuran 1-2 dan 2-9 kg sebesar 50% dari total hasil tangkapan. Berdasarkan cara operasi metode pancing yang digunakan maka alat tangkap yang digunakan oleh nelayan Sekoci bersifat tidak merusak atau ramah lingkungan dan selektif untuk ukuran tuna besar. Produksi total Madidihang yang di peroleh dengan metode pancing copping, tonda, layang-layang dan tomba masing-masing adalah 53%, 28%, 14% dan 5%.
Gambar 31 Alat pancing metode tonda.
Metode yang paling efektif diantara ke empat metode adalah metode copping, karena umpan masuk ke perairan sampai kedalaman 30-100 m yang merupakan habitat yang disukai ikan-ikan tuna besar. Menurut Cayré (1991) pada siang hari tuna besar di rumpon memiliki gerakan vertikal akan bergerak sampai pada kedalaman antara 70-110 m dari lapisan bawah termoklin, jarang sekali sampai ke permukaan (0-10 m). Penggunaan alat tangkap pancing tersebut pada umumnya merupakan alat tangkap yang selektif, terutama untuk metode copping, layang-layang dan tomba, karena sebagian besar ikan yang ditangkap adalah tuna yang berukuran besar (>20 kg), sehingga di harapkan sudah matang gonad semua. Sesungguhnya dari ke empat metode tersebut, apabila ditinjau dari sisi ekologi metode layang-layang yang paling ramah lingkungan dan selektif, karena hasil tangkapan Madidihang yang diperoleh adalah berukuran besar, yaitu di atas 20 kg. Namun tanpa alasan yang jelas metode pancing layang-layang tersebut dilarang penggunaannya apabila
dioperasikan oleh kapal di atas 5 GT di perairan ZEEI (jalur penangkapan III) sebagai mana tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor PER.02/MEN/2011 pasal 30 ayat 11 yang diperjelas dalam lampiran Nomor 9.5.1. Oleh karena hasil tangkapan pancing layang-layang pada hasil analisis memiliki nilai selektifitas yang tinggi dan ramah lingkungan, maka peraturan tersebut perlu ditinjau ulang kembali.
Penggunaan alat pancing tersebut merupakan alat tangkap yang pasif, selektif dan tidak berdampak negatif terhadap lingkungan sehingga memiliki nilai yang baik sebagai indikator dalam menilai indeks keberlanjutan. Menurut Pitcher dan Preikshot (2001), dalam menilai keberlanjutan penangkapan ikan, akan diperoleh nilai baik apabila alat tangkap yang digunakan memiliki nilai selektif yang yang tinggi dan tidak berdampak terhadap lingkungan sehingga diberi skala 2. Dengan demikian, secara ekologi maka penggunaan alat tangkap yang digunakan oleh nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru Kabupaten Malang adalah baik, sehingga penggunaan pada akan datang perlu dipertahankan.
4.3.4 Peralatan dan Metode Penanganan di Kapal, Kualitas Hasil