• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.7 Analisis Keberlanjutan Kegiatan Penangkapan Madidihang

4.7.1 Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi

Dalam penentuan penilaian status keberlanjutan dari dimensi ekologi, digunakan peubah atau atribut yang memiliki faktor sensitif ataupun intervensi terhadap aspek ekologis dari Madidihang di fishing ground. Peubah atau atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap kondisi ekologis ikan tuna dan habitatnya di perairan ZEEI, khususnya di fishing ground disusun atas dasar rujukan dari Rapfish dan Charles (2001). Skoring dalam penilaian dilakukan dengan kisaran adalah 0-5. Atribut yang digunakan dalam menentukan status keberlanjutan dari kegiatan perikanan tangkap tuna yang dilakukan oleh nelayan Sendang Biru adalah yang berkaitan dengan kondisi biologi stok sumberdaya Madidihang beserta kondisi lingkungan perairan

Samudera Hindia selatan Jawa Timur, khususnya di area rumpon sebagai fishing ground. Hasil skoring dari masing-masing atribut tersebut tersaji pada Tabel 27.

Tabel 27 Nilai dan skor setiap atribut pada dimensi ekologi

N0 Atribut Penilaian Skor

1 Status eksploitasi Overexploited 0

2 Trend biomassa (CPUE) Tidak terjadi penurunan Y= 4 714.3+496.13X 2

3 Rentang migrasi Yuridiksi international 0

4 Jumlah species Madidihang (36.1%), Cakalang 31.45%,

Matabesar 2.60% Marlin 19.57%,

Tompek 9.66%,Hiu (n.a)

2

5 Ikan Matang Gonad Rataan 57% 2

6 Perubahan ukuran ikan

dalam 8 tahun Tahun 2003: 1-2 kg (12%), 2-9 kg (75%),>10 kg 13%. Tahun 2010:1-2 kg (2%),2-9 kg (39%), > 10 kg (43%) 2 7 Pemahaman terhadap lingkungan

Responden 95% tidak mengerti 0

8 Konsentrasi klorofil-a 0.11 mg/l - 5.96 mg/l 1

9 By-catch Tidak ada 3

Dari Tabel 27 di atas dapat dilihat bahwa dari hasil penilaian untuk pembobotan dalam penentuan skor atribut, untuk atribut proporsi ikan matang gonad yang ditangkap, perubahan ukuran ikan dalam delapan tahun terakhir, by-catch dan spesies yang tertangkap berada dalam kategori baik, sehingga diberi nilai dengan skor maksimal, demikian pula untuk skoring CPUE dan konsentrasi klorofil-a. Sedangkan untuk atribut lain, seperti jarak migrasi, status dan pemahaman nelayan terhadap lingkungan berada dalam kategori buruk, sehingga mendapat nilai skor minimal.

Berdasarkan hasil dengan menggunakan Rapfish (MDS) terhadap ke sembilan atribut dimensi ekologi diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 78.78% dengan status sangat berkelanjutan (Gambar 38). Nilai keberlanjutan ini menunjukan bahwa apabila pemanfaatan Madidihang tetap dilakukan seperti pada saat tahun 2010 maka kegiatan penangkapan ikan tuna di perairan ZEEI oleh nelayan sekoci, dilihat dari aspek ekologi akan tetap berkelanjutan tanpa mengganggu kelestarian dari sumber daya ikan tuna tersebut. Namun demikian, agar pada masa akan datang tetap terjadi keberlanjutan, maka untuk atribut yang memiliki dampak negatif harus segera diperbaiki, sebaliknya untuk yang memberikan dampak positif harus dipertahankan dan ditingkatkan

seperti penangkapan ikan yang sudah matang gonad atau ikan besar yaitu ikan yang berukuran di atas 20 kg terus diupayakan sehingga ukuran ikan yang tertangkap semakin lama semakin besar.

Gambar 38 Indeks keberlanjutan dimensi ekologi kegiatan penangkapan ikan tuna di wilayah ZEEI selatan Jawa Timur.

Keuntungan lain yang diperoleh dengan meningkatkan perubahan ukuran tangkap dari yang berukuran kecil kepada yang berukuran besar adalah diperoleh nilai ekonomis tinggi, karena Madidihang lebih mahal harganya yang berukuran besar daripada yang berukuran kecil. Adanya peningkatan CPUE dan terjadinya perubahan ukuran hasil tangkapan Madidiahang ke arah yang lebih besar menunjukan bahwa secara ekologi kelimpahan dari stok Madidihang di perairan ZEEI Samudera Hindia, khususnya di Selatan Jawa Timur (WPP 573) menunjukkan status stok yang masih baik sebagaimana dinyatakan oleh Pitcher dan Preikshot (2001) dan Hoggarth (2006) yang menyatakan bahwa peningkatan CPUE dan tidak terjadinya perubahan ukuran ikan hasil tangkapan ke arah yang lebih besar menunjukkan kondisi perairan tersebut memiliki status stok undeveloped, sehingga apabila dilakukan penambahan upaya untuk mengekstraksi sumberdaya Madidihang tersebut masih berkelanjutan. Namun demikian, agar diperoleh indeks keberlanjutan yang semakin tinggi perlu diketahui atribut-atribut yang memiliki nilai sensitifitas tinggi yang dapat menurunkan dimensi ekologi secara keseluruhan.

Guna mengetahui atribut-atribut yang memiliki nilai sensitifitas tinggi tersebut, maka dilakukan analisis leverage.

Dari hasil analisis leverage, atribut yang paling sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekologi dari kegiatan penangkapan Madidihang oleh nelayan Sendang Biru adalah spesies ikan yang ikut tertangkap, seperti tersaji pada Gambar 39.

Gambar 39 Peran masing-masing atribut dimensi ekologi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS).

Munculnya atribut tersebut, karena dalam kegiatan perikanan tangkap yang dilakukan nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru di rumpon diperoleh spesies ikan lain seperti Cakalang, Bigeye tuna, Marlin, Tompek dengan proporsi masing-masing adalah 36.71%, 31.45%, 19.57%, 9.66% dan 2.6%. Atribut ini sulit untuk diinterfensi mengingat Madidihang di rumpon menurut Cayré (1991) berasosiasi dengan ikan Cakalang terutama untuk tuna pada fase juvenil, karena memiliki preferensi terhadap suhu perairan yang sama. Suhu preferensi untuk ikan Cakalang adalah berkisar antara 18-30oC, dan hidup di perairan yang sama di daerah tropis dan sub tropis, terutama pada lapisan campuran (Barkley et al. 1978). Demikian pula untuk jenis ikan tuna lainnya. Menurut Carey and Olson (1982), Madidihang selalu bersama terutama pada fase juvenile pada lapisan campuran. Sama halnya dengan Madidihang, ikan tuna Bigeye memiliki kebiasaan yang sama yaitu sering kali muncul ke lapisan campuran, walaupun sekitar 90% berada di lapisan dalam

(Graham dan Dickson 2001). Demikian pula dengan ikan Striped Marlin (Tetrapturus audax) (Brill et al. 1993).

Keberadaan spesies lain yang tertangkap, secara ekonomis diperlukan oleh nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru Kabupaten Malang. Spesies tersebut dapat mensubsitusi pada saat hasil tangkapan Madidihang menurun, terutama untuk ikan tuna Mata Besar, Marlin dan Cakalang. Secara aggregate keberadaan spesies lain yang tertangkap tersebut, dapat menjaga keberlanjutan dari kegiatan perikanan tuna yang di lakukan oleh nelayan Sendang Biru karena keuntungan armada kapal sekoci diperoleh dari nilai jual ikan tersebut. Dengan demikian, maka atribut ini berperan sebagai atribut pengungkit yang berdampak positif terhadap keberlanjutan dimensi ekologi, karena hasil sepesies yang tertangkap tersebut termasuk ikan tuna yang memiliki ekonomis penting sama dengan Madidihang. Hal ini sesuai dengan pendapat Pitcher dan Preikshot (2001) yang menyatakan bahwa dalam kegiatan penangkapan apabila diperoleh spesies kurang dari 10 jenis, maka masih dikategorikan baik atau berkelanjutan.

Terjadinya fluktuasi CPUE sebagai trend biomassa pada dimensi ekologi, ternyata tidak memberikan nilai sensitifitas yang tinggi terhadap keberlanjutan dimensi ekologi. Hal ini menguatkan kembali bahwa kelimpahan Madidihang di perairan ZEEI menunjukkan masih baik. Hal ini menguatkan kembali bahwa CPUE merupakan metode yang kurang baik untuk menggambarkan penilaian kelimpahan Madidihang (Bertrand et al. 2002). Hal ini terjadi karena nilai CPUE diperoleh dengan membandingkan volume hasil tangkapan dengan upaya (kg/trip). Perhitungan tersebut menjadi kurang baik digunakan untuk mengestimasi kelimpahan tuna, karena keberhasilan penangkapan tuna tidak hanya ditentukan oleh volume tangkapan, akan tetapi sangat ditentukan oleh kualitas dari ikan tuna tersebut. Ikan segar dan besar memiliki kualitas yang tinggi sehingga nilainya menjadi tinggi pula, sebaliknya untuk yang berukuran kecil. Terjadinya fluktuasi CPUE hasil tangkapan nelayan sekoci di Sendang Biru diakibatkan dua hal, yaitu:1) adanya perubahan pola tangkap dari nelayan dan 2) terjadi penjarahan ikan di rumpon oleh nelayan purse seine dari Pekalongan dan Muara Angke. Pola perubahan yang dimaksud adalah ikan

target diarahkan kepada yang berukuran besar. Pola perubahan tersebut dilakukan dengan cara merubah metode mancing dari metode tonda (trolling) yang menggunakan ukuran pancing kecil dan dilakukan di lapisan campuran, diganti dengan cara layang-layang untuk menangkap ikan >20 kg di atas permukaan lapisan campuran dan copping pada ke dalaman 100 m di lapian termoklin.

Adanya pola perubahan pola tangkap tersebut , maka dari tahun 2003 hingga 2010, terjadi perubahan ukuran, yaitu pada tahun 2003 hasil tangkapan di dominasi ikan tuna yang berukuran kecil 1-2 kg (12%), 2-9 kg (75%),>10 kg 13% pada tahun 2010 berubah, untuk yang berukuran 1-2 kg (2%), 2-9 kg (39%), > 10 kg (43%) dan 2). Efek lanjut dari perubahan tersebut, selain membawa keuntungan secara ekonomis juga memberikan andil besar dalam konsep pengelolaan Madidihang yang bertanggung jawab, karena sekitar 47% tuna yang tertangkap sudah matang gonad. Hal ini berarti tuna tersebut telah sempat bertelur dan beranak, sehingga kelestarian dari Madidihang akan selalu terjaga. Tidak adanya hasil tangkapan yang terbuang dan yang tidak dikehendaki (discard by catch) menunjukkan bahwa penagkapan yang dilakukan oleh nelayan sekoci telah baik, sehingga menunjang status keberlanjutan.

Skor atribut yang memiliki nilai yang tinggi menggambarkan bahwa kondisi ekologi di perairan ZEEI selatan Jawa Samudera Hindia berada dalam kondisi yang baik, sehingga kegiatan perikanan tangkap Madidihang yang dilakukan oleh nelayan sekoci dengan menggunakan alat bantu rumpon tidak merusak lingkungan, sebagai habitat dari ikan tuna tersebut. Dengan demikian, kelimpahan sumberdaya Madidihang selalu terjaga dan lestari. Kondisi tersebut membuktikan bahwa estimasi tentang status stok Madidihang di Samudera Hindia yang dinyatakan sudah overexploited (IOTC 2009) menjadi tidak berlaku untuk kondisi di WPP 573.

Kondisi tersebut diperkuat oleh hasil revisi mengenai perhitungan kembali tentang status stok Madidihang di Samudera Hindia yang dilakukan oleh IOTC pada bulan September tahun 2011. Hasil pengkajian ulang tentang model perhitungan stok pada tahun 2009 tersebut, ternyata setelah dilakukan

perhitungan ulang pada bulan September 2011 yang dilakukan oleh IOTC (2011) diperoleh hasil bahwa status stok Madidihang tersebut masih tidak overfished (B2009>BMSY) dan overfishing (F2009>FMSY). Hal ini ditunjukkan dengan hasil tangkapan Madidihang pada tahun 2010 di Samudera Hindia, yaitu sebesar 299.1 (ribu ton), rata-rata hasil tangkapan pada tahun 2006-2010: 326.6 (ribu ton), MSY: 357 (ribu ton), F2009>FMSY:0.84 (0.63-1.61). Hal ini berarti bahwa peluang pengembangan perikanan tangkap Madidihang tersebut masih besar. Dari hasil skenario pengelolaan yang direkomendasikan oleh IOTC (2011) diperoleh gambaran bahwa pada tahun 2013 dan 2020 kondisi status stok Madidihang, apabila upaya tangkap dilakukan sebesar: (1) 60% (165 600 t), maka untuk B2013 < BMSY dan F2013>FMSY = <1, (2) 80% (220 800 t), maka untuk B2013 < BMSY dan F2013>FMSY = <1, (3) 100% (276 000 t), maka untuk B2013 < BMSY = <1 dan F2013>FMSY = 58.3, (4) 120% (331 200 t), maka untuk B2013 < BMSY = <1 dan F2013>FMSY = 83.3 dan (5) 140% (386 400 t), maka untuk B2013 < BMSY = <1 dan F2013>FMSY = 100. Sedangkan pada tahun 2020 pada skenario yang sama adalah sebagai berikut: (1) B2020 < BMSY dan F2020 > FMSY = <1, (2) B2020 < BMSY = <1 dan F2020 > FMSY = 41.7, (3) B2020 < BMSY = 8.3 dan F2020 > FMSY = 83.3, (4) B2020 < BMSY = 41.7 dan F2020 > FMSY =100 dan (5) B2013 < BMSY = 91.7 dan F2013>FMSY = 100.

Berbeda dengan IOTC yang selalu hati-hati untuk mengeluarkan pernyataan tentang kondisi atau status stok Madidihang di Samudera Hindia, pemerintah Indonesia justru sebaliknya tanpa didasari data yang kuat dan upaya untuk mengklarifikasi hasil rekomendasi dari IOTC pada tahun 2009 yang menyatakan kondisi atau stok Madidihang yang sudah overexploited melalui Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dengan Keputusan Menteri Kelautan No 45 tahun 2011 tentang estimasi potensi sumberdaya ikan di wilayah pengelolaan, dinyatakan bahwa status stok Madidihang di Samudera Hindia, khususnya di WPP 573 sudah mengalami tangkap penuh (full-exploited). Estimasi tersebut selanjutnya apabila tidak dilakukan revisi dengan segera, maka akan merugikan perikanan tangkap Indonesia sendiri karena dengan status stok yang tangkap penuh akan melahirkan kebijakan yang merugikan nelayan tersebut, seperti pembatasan

alat tangkap, padahal penambahan alat tangkap masih terbuka lebar. Dengan demikian, apabila kebijakan tersebut diberlakukan maka akan menguntungkan kepentingan perikanan tangkap asing yang memanfaatkan Madidihang di Samudera Hindia.