• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Rumpon ( Fish Aggregating Device ) dan Kondisi Hydro-oseanografi di Area Fishing Ground

4.1.1 Rumpon atau Fish Aggregating Devices (FADs)

Rumpon telah digunakan untuk meningkatkan efektivitas hasil tangkapan

pada industri perikanan tangkap besar yang menggunakan alat tangkap purse seine dan long line, juga pada perikanan tangkap artisanal yang menggunakan alat tangkap handline. Di Samudera Atlantik dan Samudera Hindia hampir 75% hasil tangkapan Cakalang (Katsuwonus pelamis), 35% Madidihang (Thunnus albacores), dan 85% tuna Mata Besar (Thunnus obesus) ditangkap dengan menggunakan kapal purse seine pada rumpon. Ikan Cakalang yang tertangkap pada umumnya berukuran besar atau fase dewasa, namun untuk Madidihang dan Mata Besar berukuran kecil (< 100 cm fork length) atau fase juvenil (Hallier dan Gaertner 2008). Hasil tangkapan Madidihang di rumpon pada tahun 2010 telah mengalami peningkatan dan hampir 70% hasil tangkapan Madidihang dihasilkan oleh kapal purse seine yang diperoleh dari rumpon (Greenpeace 2010). Fenomena ini terjadi setelah diketahui bahwa spesies tuna tropis memiliki perilaku yang menyukai kepada benda pengampung di perairan. Madidihang berasosiasi dengan benda mengapung (Gooding and Magnuson 1967; Hunter and Mitchell 1967; Fonteneau 1993) dan benda bergerak lainnya pada saat beruaya, seperti kapal penangkap ikan (Fonteneau and Diouf 1994). Berdasarkan perilaku tuna tersebut nelayan membuat benda mengapung buatan yang selanjutnya disebut rumpon (Hallier dan Gaertner 2008) dan keberadaan rumpon memegang peranan penting dalam perikanan tangkap dunia (Dagorn et al. 2001). Pada perikanan tuna dengan

kapal tradisional telah digunakan untuk meningkatkan efisiensi hasil tangkapan nelayan tradisional di kepulauan Comoros (Cayre 2001).

Seperti halnya nelayan lainnya di dunia, pada saat ini nelayan kapal sekoci Sendang Biru telah menggunakan rumpon sebagai fishing ground. Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2011 pasal 19:(2), yang dimaksud dengan rumpon adalah alat bantu untuk mengumpulkan ikan dengan menggunakan berbagai bentuk dan jenis pemikat/atraktor dari benda padat yang berfungsi untuk memikat ikan agar berkumpul. Penggunaan rumpon ini di mulai pada tahun 2000-an setelah nelayan Sendang Biru memperoleh pengetahuan tentang manfaat rumpon dari nelayan Sulawesi Selatan pada tahun 1998-an. Nelayan dari Sulawesi Selatan pada saat terhanyut, secara kebetulan menemukan keberadaan rumpon di perairan teritorial Indonesia, tidak jauh dari PPP Pondokdadap. Rumpon ini, kemudian diketahui merupakan milik nelayan besar yang berasal dari Filipina. Pada saat terhanyut nelayan Sulawesi Selatan tersebut melakukan kegiatan pemancingan di rumpon dan dalam waktu sekitar 2-4 jam memancing memperoleh hasil sekitar 2 ton ikan tuna. Keberadaan rumpon Filipina tersebut, sesungguhnya sudah diketahui lama oleh nelayan Sendang Biru, karena pada saat melaut nelayan Sendang Biru sering kali bertemu dengan nelayan kapal besar yang berbendera Filipina. Namun manfaatnya baru diketahui setelah adanya transformasi pengetahuan dari nelayan sekoci Sulawesi Selatan yang membongkar-muat ikan hasil tangkapan di PPP Pondokdadap pada saat terhanyut tersebut. Pada mulanya keberadaan rumpon Filipina tersebut sering diputus oleh nelayan lokal Sendang Biru karena dianggap mengganggu nelayan lokal Sendang Biru yang pada umumnya menggunakan alat tangkap payang. Menurut hasil wawancara dengan nelayan, diperoleh tiga alasan terjadinya pemutusan rumpon tersebut: (1) nelayan tidak mengerti akan manfaat dari rumpon,(2) hasil tangkapan berkurang setelah kedatangan kapal besar dari Filipina, dan (3) alat tangkapnya sering tersangkut pada rumpon pada saat beroperasi.

Penggunaan rumpon oleh nelayan Sendang Biru, dianggap berperan penting sebagai alat bantu dalam penangkapan. Dari hasil wawancara dengan nelayan, seluruh responden mengerti manfaat dari rumpon, yaitu: (1) sebagai tempat

mencari makan, berteduh dan beristirahat ikan tuna sebagai ikan target utama, (2) diperoleh tingkat kepastian akan hasil tangkapan yang lebih tinggi, (3) hasil tangkapan besar (4) biaya operasioanal relatif rendah, akibat perubahan pola tangkapan dari hunting menjadi fishing (harvesting), dan (5) memperpanjang masa tangkapan, dari 6 bulan menjadi 8-10 bulan, bahkan ada yang melaut sampai 12 bulan. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 02 tahun 2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan yang mencantumkan rumpon sebagai salah satu alat bantu penangkapan ikan. Atas dasar manfaat tersebut, maka keberadaan rumpon di area tangkap semakin pesat perkembangannya.

Pengetahuan tentang pola migrasi ikan tuna dan fungsi rumpon sebagai shelter ikan tuna, digunakan sebagai acuan dalam penentuan penempatan lokasi rumpon. Nelayan memiliki keyakinan bahwa semakin jauh dari garis pantai, maka arusnya akan besar dan lautnya semakin dalam, sehingga karakteristik ini oleh nelayan diduga sebagai tempat migrasi ikan tuna, selain alasan lainnya. Penentuan peletakan posisi rumpon dilakukan secara intuisi dan pengalaman dari nahkoda, di samping pada mulanya menjauhkan posisi rumpon dari jangkauan kapal armada lainnya, seperti Sampan Pakisan, Jukung dan payangan yang dimiliki oleh nelayan lokal Sendang Biru yang dianggap mengganggu. Pada tahun 2010 jumlah rumpon yang dimiliki oleh Nelayan Sendang Biru sekitar 80 unit. Rumpon ini dijadikan fishing ground, khsusus untuk armada kapal jenis sekoci yang menggunakan alat tangkap pancing ulur (hand line). Posisi rumpon tersebut dipasang oleh nelayan sekoci dan tersebar di antara titik koordinat 110°-115° BT dan 9°-12° LS, yang dipasang pada kedalaman laut antara 3 000-6 000 m (Gambar 5), sehingga dikategorikan sebagai rumpon laut dalam yang permanen.

Rumpon dirancang dan dibuat secara berkelompok oleh pemilik kapal. Akan tetapi bagi yang memiliki kapal sekoci lebih dari 4-5 unit per orang, maka biaya pembuatan rumpon sepenuhnya ditanggung sendiri, sedangkan untuk yang memiliki kapal sekoci 1 sampai 3 unit/orang, biaya ditanggung secara bersama atas dasar kesepakatan. Adapun biaya untuk pembuatan satu unit rumpon pada tahun 2010 sekitar Rp 75 000 000.

Gambar 5 Sebaran rumpon nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru sebagai fishing ground.(Sumber: Base map ODV versi 3).

Pada mulanya rumpon dibuat dengan mencontoh rumpon yang dimiliki oleh nelayan dari Filipina, namun seiring dengan kedatangan nelayan sekoci dari Sinjai Sulawesi Selatan, desainnya berubah berdasarkan kepada pengetahuan yang dibawa dari Sulawesi Selatan. Modifikasi utama dilakukan pada penggunaan pelampung, yang semula menggunakan bahan yang terbuat dari besi/baja yang berbentuk kapsul, diganti dengan pelampung yang berbahan styrofoam. Bahan lain yang digunakan adalah rumbai daun kelapa dan tali serat, atraktor dari tali rapia, compact disk (CD) dan ban bekas, tali baja, dan tali serat yang berukuran besar dengan panjang 6 000 hingga 12 000 m. Sedangkan sebagai pemberat digunakan bahan dari semen (Gambar 6). Modifikasi ini dilakukan dengan tujuan penghematan biaya pembuatan, karena jangka waktu pakainya tidak menentu.

Pada saat ini keberadaan rumpon nelayan Sendang Biru seringkali hilang, menurut hasil wawancara hal tersebut terjadi akibat: (1) hanyut atau putus karena tidak pas peletakan posisi rumpon, dimana pemberat tidak berada di dasar laut akan tetapi jatuh di atas puncak gunung laut, sehingga pada saat ada arus, angin dan gelombang besar pelampung hanyut karena pemberat menggantung, (2) diputus oleh nelayan dari luar Kabupaten Malang terutama oleh nelayan dari Benoa, yang memasang long line. Posisi rumpon dianggap mengganggu, karena berada dalam alur penangkapan nelayan Benoa, sering kali long line milik nelayan Benoa tersangkut pada baling-baling kapal sekoci, (3) terputus oleh nelayan purse seine dari Pekalongan dan Muara Angke.

Gambar 6 Rumpon laut dalam (3 000-6 000 m) nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru.

Kondisi tersebut di atas menimbulkan permasalahan bagi nelayan sekoci Sendang Biru. Permasalahan ini dirasakan oleh nelayan Sendang Biru sejak tahun 2008, namun penyelesaian masalah baru dilakukan pada tanggal 24 Maret tahun 2009 yang dilakukan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Dinas Kelautan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Keputusan dari penyelesaian masalah tersebut, diantaranya: (1) pengecekan dan pembinaan kepada nelayan andon dari Jawa Tengah terhadap dokumen kapal penangkapan dan surat andon pada kapal yang melakukan andon ke Jawa Timur, dan sebaliknya, (2) melaksakan pengawasan di wilayah rawan konflik. Akan tetapi di lapangan kesepakatan ini belum dirasakan oleh nelayan Sendang Biru, penjarahan di rumpon tersebut terus berlangsung. Sedangkan dengan nelayan long line dari Benoa sampai saat ini belum dilakukan penyelesaian, karena nelayan Sendang Biru dengan kapal berbobot 10 GT, dianggap menyalahi aturan alur penangkapan, sebagaimana diatur Keputusan Menteri Pertanian Nomor 392 tahun 1999, tentang alur penangkapan dimana perairan ZEEI merupakan alur penangkapan kapal besar, bukan untuk kapal 10 GT. Permasalahan gangguan rumpon nelayan Sendang Biru tersebut tidak bisa diselesaikan berdasarkan koordinasi antara pemerintah provinsi, namun harus dilakukan di tingkat nasional, karena terjadi di wilayah ZEEI yang yuridiksinya berada dalam kewenangan nasional, sebagaimana di atur dalam UU No 32 tahun 2004. Secara yuridis keberadaan rumpon nelayan Sendang Biru di perairan ZEEI, masih belum jelas, izin

pemasangan rumpon baru diatur untuk perusahaan perikanan besar sebagaimana yang tercantum pada pasal 9 ayat 1 Keputusan Menteri Pertanian nomor 51/Kpts/IK.250/1/1997 pasal 12, yang diperbaharui oleh Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan dengan Nomor 30 tahun 2004. Pengaturan tentang perlindungan dan pengelolaan untuk rumpon yang dipasang oleh nelayan kecil belum diperhatikan, baru sebatas letak posisi dan persyaratan pemasangan. Kondisi tersebut membuat lemah secara hukum, sehingga pada saat ini rumpon nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru keberadaannya terancam.

Menurut Pitcher dan Preikshot (2001) penggunaan rumpon tersebut dianggap mengganggu kelestarian sumberdaya ikan tuna Madidihang dan Mata besar, karena menurut Hallier dan Gaertner (2008) pada umumnya yang tertangkap berukuran kecil (<100 cm fork length) atau fase juvenil, sementara kondisi stok ikan tersebut di Samudera Hindia dan Atlantik diestimasi sudah mendekati overexploited\ atau telah di atas MSY (maximum sustainable yield). Besarnya tangkapan fase juvenil tersebut dianggap mengancam populasi tuna di kedua perairan tersebut, sehingga penggunaan rumpon oleh perusahaan besar dilakukan moratorium oleh badan yang mengelola sumberdaya ikan tuna tersebut,

seperti IOTC di Samudera Hindia. Berdasarkan hasil moratorium tersebut,

kapal-kapal dengan alat tangkap besar dengan menggunakan purse seine pada rumpon dianggap tidak ramah lingkungan dan tidak selektif, karena selain hasil tangkapan utamanya ikan berukuran kecil juga banyak by-catch yang tertangkap, seperti ikan lumba-lumba, sebaliknya untuk kapal-kapal yang menggunakan alat tangkap handline penggunaan rumpon sangat membantu dan baik untuk digunakan, karena selain meningkatkan efisiensi penangkapan juga sangat selektif sehingga tidak berdampak negatif terhadap kelimpahan ikan tuna.

Berdasarkan kenyataan tersebut, keberhasilan nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru dalam hal pemanfaatan ikan Madidihang yang ada di perairan ZEEI samudera Hindia, khususnya di Selatan Jawa Timur, sangat ditentukan oleh keberadaan rumpon tersebut. Dengan demikian, adanya tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap rumpon tersebut oleh kapal sekoci, pada akhirnya akan menentukan tingkat keberlanjutan dari kegiatan perikanan tuna yang dilakukan oleh masyarakat. Agar tingkat keberlanjutan perikanan tangkap

tuna masyarakat Sendang Biru terjaga, maka keberadaan rumpon mutlak diperlukan namun perlu pengaturan lebih lanjut, terutama jarak antara rumpon, letak posisi, sehingga tidak mengganggu alur penangkapan atau pelayaran lainnya.

4.1.2 Kondisi Hidro-Oseanografi Perairan Fishing Ground