• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daerah Sebaran dan Produksi dan Status Stok Madidihang di Samudera Hindia

DAFTAR LAMPIRAN

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Sumberdaya Perikanan Madidihang ( Thunnus albacares ) .1Klasifikasi dan Morfologi Madidihang (Thunnus albacares )

2.2.3 Daerah Sebaran dan Produksi dan Status Stok Madidihang di Samudera Hindia

Dalam konteks perdagangan, ikan tuna merupakan salah satu komoditas ikan komersial paling besar, khusus dan berperanan penting dalam perdagangan ikan dunia (Collette dan Nauen 1983). Sebagai genus Thunnus dan keluarga Scombridae, tuna ditemukan dan tersebar di samudera daerah beriklim tropis dan sub tropis di dunia (Lee et al. 1999). Pada tahun 2009 (ISSF 2009) produksi ikan tuna dunia telah mencapai 4 juta ton per tahun. Produksi ikan tuna tersebut bersumber dari Samudera Pasifik sekitar 68%, Samudera Hindia sekitar 22% dan sisanya 10% dari Samudera Atlantik dan Laut Mediterania. Adapun komposisi ikan tuna yang tertangkap meliputi Madidihang 24%, big eye 10%, Albacore 5% dan sisanya Sirip Biru sekitar 1%. Tingginya produksi ikan tuna tersebut dipicu oleh berkembangnya alat tangkap jaring purse seine, sebagai salah satu alat alternatif baru selain alat tangkap pancing (hook and line) yang telah digunakan sejak tahun 1940 hingga pertengahan tahun 60-an. Hal ini memicu tingkat eksploitasi yang tinggi, yang akhirnya akan menyebabkan terjadi penurunan sumberdaya (stok) dihampir semua perairan lautan di dunia (FAO 2009). Pada

tahun 2009, sebanyak 80 negara di dunia melakukan kegiatan penangkapan ikan tuna sehingga penangkapan ikan tuna telah menjadi industri perikanan yang prospektif dan berperan sebagai sumber devisa negara dan sekaligus penyedia lapangan kerja (ISSF 2009).

Penyebaran ikan tuna tersebut pada umumnya mengikuti penyebaran atau sirkulasi arus garis konvergensi diantara arus dingin dan arus panas yang merupakan daerah yang kaya akan organisme sebagai daerah fishing ground yang sangat baik untuk perikanan tuna. Sehingga dalam perikanan tuna pengetahuan tentang sirkulasi arus dan suhu sangat diperlukan, karena kepadatan populasi pada suatu perairan sangat berhubungan dengan arus dan suhu tersebut (Nakamura 1965).

Penyebaran tuna di perairan Samudra Hindia meliputi daerah tropis dan sub tropis, penyebaran tuna ini terus berlangsung secara teratur di Samudra Hindia di mulai dari Pantai Barat Australia, sebelah selatan Kepulauan Nusa Tenggara, sebelah selatan Pulau Jawa, sebelah Barat Sumatera, Laut Andaman, di luar pantai Bombay, di luar pantai Ceylon, sebelah Barat Hindia, Teluk Aden, Samudra Hindia yang berbatasan dengan Pantai Somalia, Pantai Timur dan selatan Afrika (Jones dan Silas 1963). Sebaran tuna di Samudera Hindia menurut (Lee et al. 1983) berdasarkan distribusi spatialnya yang dianalisis dari hasil tangkapan bulanan nelayan Taiwan yang menggunakan alat tangkap long line dari tahun 1967 hingga tahun 1996 diperoleh tiga spesies tuna yang dominan, yaitu tuna Mata Besar (Thunnus obesus), Madidihang (Thunnus albacores) dan tuna Albacore (Thunnus alalunga). Menurut Uktolseja et al. (1987), penyebaran tuna di perairan Indonesia meliputi Samudra Hindia (perairan barat Sumatera, selatan Jawa, Bali, Nusa Tenggara), Perairan Indonesia bagian Timur (Laut Sulawesi, Maluku, Arafuru, Banda, Flores dan Selat Makassar) dan Samudra Pasifik (perairan Utara Irian Jaya).

Madidihang merupakan spesies yang paling dominan ditangkap dari total produksi ikan tuna yang dihasilkan dari Samudera Hindia, Pada tahun 2009 produksi Madidihang yang dihasilkan adalah 281 000 ton, sementara Mata Besar dan Albacore, masing-masing 102 000 ton dan 40 500 ton. Produksi Madidihang

tersebut lebih rendah 11% dari hasil tangkapan pada tahun 2008 yaitu 311 910 ton. Apabila dibandingkan dengan produksi pada tahun 2004 (517 000 ton), produksi pada tahun 2009 tersebut mengalami penurunan sebesar 45%. Terjadinya penurunan tersebut diduga sebagai akibat meningkatnya permasalahan keamanan di perairan Somalia yaitu aktifitas bajak laut, yang berpengaruh terhadap kegiatan penangkapan ikan tuna. Hal ini ditunjukan dengan menurunnya kapasitas tangkap kapal-kapal tuna dari Eropa sebesar 25% dari tahun 2005-2008 dan mengalihkan area tangkapnya dari Samudera Hindia ke tempat lain. Dugaan ini diperkuat oleh perilaku yang sama dari kapal-kapal long line dari Jepang, Taiwan dan Korea secara bergantian kadang-kadang berpindah ke Samudera lain (ISSF, 2011).

Adanya indikasi penurunan produksi Madidihang di perairan Samudera Hindia tersebut, selanjutnya pada pertemuan ke 15 Indian Organization Tuna Commission (IOTC) di Colombo, Sri Langka yang dilaksanakan pada tanggal 18-22 Maret 2011 diantaranya menetapkan bahwa status stok Madidihang telah mengalami tangkap lebih (overexploited) atau mendekati tangkap lebih (close overexploited). Artinya hasil tangkapan mendekati atau melebihi dari tingkat MSY, yaitu 300 000 ton. Dengan demikian, maka untuk kepentingan pengelolaan maka direkomendasikan untuk pengendalian tekanan dari jumlah kapal yang beroperasi terutama kapal IUU fishing (Illegal Unreported and Un regulated), transhipment oleh kapal besar, pengendalian kapal purse seine dan dirumuskan kembali mengenai implementasi relosusi 10/01 yang direkomendasikan di Busan Korea pada bulan Maret 2010 tentang sistem kriteria pembagian alokasi quota Madidihang dan Mata Besar yang akan diimplentasikan pada tahun 2012 (IOTC, 2011).

Berdasarkan pengkajian stok pada tahun 2010 (revisi/update 2009) diperoleh gambaran bahwa rasio hasil tangkapan terhadap MSY (The ratio of Fcurrent/FMSY) Madidihang di Samudera Hindia adalah 0.99 berarti masih mendekati masa tangkap lebih (close overexploited) karena berada dalam kisaran 0.85-139. Dengan demikian, kondisi tersebut mengindikasikan bahwa overexploited akan terjadi baru pada beberapa tahun yang akan datang. Pada revisi tersebut diperoleh gambaran bahwa MSY Madidihang adalah 320 000 ton,

produksi tahun 2009 adalah 288 000 ton, rataan produksi dari tahun 2005-2009 adalah 371 000 ton, B/BMSY adalah 1.1 (rentang 0.93-1.25). Namun demikian, informasi tentang jumlah tangkapan pada MSY dan Total Allowable Catch (TAC) belum ada. Produksi tesebut diperoleh dari hasil tangkapan dengan gillnet sebesar 30%, purse seine pada rumpon 18% (by-cath: penyu dan hiu), long line 15% (by-catch: penyu, hiu dan burung), 12% dengan purse seine pada gerombolan ikan, dan 6% dengan menggunakan pole and line dengan by-cath yang belum diketahui (ISSF, 2011). Kondisi status stok Madidihang yang terjadi di Samudera Hindia tersebut nampaknya diacu oleh pemerintah Indonesia untuk menetapkan kondisi stok dan estimasi kelimpahan Madidihang yang ada di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Republik Indonesia yang dituangkan dalam surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2011. Hal ini terjadi mengingat Indonesia memiliki perairan ZEEI Samudera Hindia dengan WPP 572 (Samudera Hindia Barat Sumatera) dan 573 (Samudera Hindia Selatan Jawa). Kedua wilayah tersebut berada dalam wilayah pengelolaan perikanan tuna dunia dengan kode 71 (FA) 2007) yang tentunya tunduk pada peraturan yang dikeluarkan lembaga yang mengatur dalam pengelolaan tuna di Samudera Hindia, yaitu IOTC, karena Indonesia merupakan anggota dari organisasi tersebut. Berdasarkan surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 454 tahun 2011 yang tertuang dalam lampiran II Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor KEP.45/MEN/2011 dinyatakan bahwa status atau tingkat eksploitasi dari Madidihang tersebut telah mengalami tangkap penuh (Fully-exploited). Namun yang disayangkan bahwa kebijakan tersebut dikeluarkan tidak mengacu pada produksi Madidihang yang jelas. Estimasi Madidihang hanya diperoleh dari gambaran potensi ikan pelagis besar yang ada di WPP tersebut, seperti untuk WPP 572 adalah 164 800 ton dan 201 400 ton untuk WPP 573. Padahal menurut Nikijuluw (1986), musim penangkapan tuna di suatu perairan tidak sama dengan perairan yang lain. Hal ini ditunjukkan musim tangkap tuna di perairan Indonesia dapat dilakukan sepanjang tahun, walaupun hasil yang diperoleh berbeda dari musim ke musim dan bervariasi menurut lokasi penangkapan. Hal ini dikuatkan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Kasma

et al. (2008) yang melaporkan bahwa di Samudera Hindia tertangkap empat jenis ikan tuna yaitu Madidihang/Yellowfin tuna (Thunnus albacares), Mata Besar/Bigeye tuna (Thunnus obesus), Southtern Bluefin tuna (Thunnus macoyii), dan Albacore (Thunnus alalunga), dimana sekitar 73% total hasil tangkapan adalah jenis tuna mata besar. Tuna mata besar, albacore, dan yellowfin tertangkap hampir sepanjang tahun, sedangkan Southern Bluefin tuna tidak tertangkap pada saat musim timur (northwest monsoon). Hal ini menunjukan bahwa kondisi status Madidihang yang ada di WPP Indonesia akan berbeda dengan Samudera Hindia yang berada di negara lain, terutama di Samudera Hindia bagian Barat (Western Indian Ocean) yang telah mengalami penangkapan jenuh. 2.3. Kondisi Hydro-ocenografi Perairan Samudera Hindia Selatan Jawa 2.3.1 Produktivitas Primer

Di laut, khususnya laut terbuka, fitoplankton merupakan organisme autotrof utama yang menentukan produktivitas primer perairan. Produktivitas primer adalah jumlah bahan organik yang dihasilkan oleh organisme autotrof, yaitu organisme yang mampu menghasilkan bahan organik dari bahan anorganik dengan bantuan energi matahari. Produktivitas primer sering diestimasi sebagai jumlah karbon yang terdapat di dalam material hidup dan secara umum dinyatakan sebagai jumlah gram karbon yang dihasilkan dalam satu meter kuadrat kolom air per hari (g C/m2/hari) atau jumlah gram karbon yang dihasilkan dalam satu meter kubik per hari (g C/m3/hari) (Levinton 1982). Selain jumlah karbon yang dihasilkan, tinggi rendahnya produktivitas primer perairan dapat diketahui dengan melakukan pengukuran terhadap biomassa fitoplankton dan konsentrasi klorofil-a, dimana kedua metode ini dapat diukur secara langsung di lapangan (Valiela 1984). Produktivitas primer perairan sangat ditentukan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor utama yang mempengaruhi produktivitas primer di laut adalah cahaya, nutrien, dan suhu (Valiela 1984; Parsons et al. 1984; Cloern et al.1995; Tomascik et al. 1997). Selain ketiga faktor tersebut, tingginya laju grazing dan sinking (Lehman, 1991) serta jenis fitoplankton (Heyman and Lundgren 1988) juga berperan dalam mendukung produktivitas primer perairan.

Menurut Tubalawony (2007) di perairan selatan Jawa, konsentrasi klorofil-a bulanan rata- rata sekitar 0.2 mg m-3 sedangkan di selatan Bali-Sumbawa terjadi

peningkatan 75 konsentrasi (0.2–1.5 mg m-3) dengan daerah sebaran yang semakin meluas ke selatan. Pusat sebaran konsentrasi klorofil-a tertinggi berada di perairan selatan Bali. Selama musim timur, sebaran klorofil-a memperlihatkan peningkatan konsentrasi di sepanjang selatan Jawa – Sumbawa. Pada bulan Juni, di selatan Jawa. Hal ini dikuatkan oleh penelitian Kasma et al. (2008) yang melaporkan bahwa nilai klorofil pada daerah dengan titik koordinat 070 - 210 LS dan 1070 - 1210 BT adalah 0,06 mg/m3- 0,38 mg/m3. Koefisien relasi antara produktivitas primer dan ikan hasil tangkapan di daerah penelitian sangat kecil (r = 0.008), hal ini berarti bahwa jumlah ikan hasil tangkapan tidak dipengaruhi oleh nilai produktivitas primer perairan. Daerah penangkapan yang potensial untuk ikan tuna mata besar, Albakora, Madidihang, dan Southern Bluefin tuna di Samudera Hindia pada sekitar koordinat 110 – 160LS dan 1060 – 1210BT dengan rentang nilai produktivitas primer yang sama yaitu 73 mgC/m2day sampai 732 mgC/m2day.