• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.6 Aspek Kelembagaan Perikanan Madidihang .1 Ketersediaan Aturan

Food and Agriculture Organization (FAO) memasukkan wilayah perairan Samudera Hindia selatan Jawa ke dalam wilayah pengelolaan perikanan sub-area 57 (northern). Pengelolaan sumberdaya ikan pelagis besar di wilayah ini dilakukan dengan mengacu pada berbagai kesepakatan internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia diantaranya United Nation Conventions on the Law of the Sea (UNCLOS) yang diratifikasi dengan Undang-undang No 17 tahun 1985. Selanjutnya FAO menetapkan

standar acuan bagi pengelolaan perikanan secara bertanggungjawab pada tahun 1995 melalui penerapan Code of Conduct for Responsible Fisheries. Selain itu, Indonesia meratifikasi aturan dan menjadi anggota regional marine fisheries organization (RMFO) untuk pengelolaan tuna di Samudera Hindia yaitu Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) pada 9 Juli tahun 2007.

Pengelolaan sumberdaya hayati di zona ekonomi eksklusif Indonesia diatur dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1983 dan Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 1984, yang dilengkapi dengan berbagai aturan dalam rangka pengelolaan sektor perikanan diantaranya PP nomor 141 tahun 2000 tentang Usaha Perikanan, Kepmen Kelautan dan Perikanan nomor 47 tahun 2001 tentang Format Perizinan Usaha Penangkapan Ikan, Kepmen Perindustrian dan Perdagangan nomor 213/MPP/Kep/7/2001 tentang Penetapan Harga Patokan Ikan untuk Pungutan Hasil Perikanan, dan Kepmen Keuangan nomor 654/KMK.06/2001 tentang Tatacara Pengenaan dan Penyetoran Pungutan Perikanan.

Selanjutnya Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia mengeluarkan Permen nomor: PER.16/MEN/2006 tentang Pelabuhan Perikanan, Permen nomor PER.01/MEN/2009 tanggal 21 Januari 2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia yang menetapkan perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa hingga sebelah selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian barat sebagai WPP-RI 573, Permen Kelautan dan Perikanan nomor PER.02/MEN/2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan, dan Kepmen nomor KEP.45/MEN/2011 tanggal 3 Agustus 2011 tentang Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Di tingkat provinsi, pemerintah Jawa Timur mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur nomor 188/14/SK/014/2000 tentang Pembentukan Tim Pembina Penyelenggaraan Pelelangan Ikan di Jawa Timur. Namun demikian, Pemerintah Kabupaten Malang hingga saat ini belum mengeluarkan peraturan daerah untuk mengatur pengelolaan sub sektor perikanan di wilayahnya. Sementara itu di tingkat lokal terdapat kesepakatan kelompok nelayan sekoci

yang berisi aturan bahwa (1) nelayan lokal diberi kesempatan belajar teknik memancing ke nelayan sekoci, (2) nelayan lokal boleh memanfaatkan rumpon nelayan sekoci selama belum memiliki rumpon sendiri, dan (3) nelayan sekoci menyetor 2% hasil penjualan kepada kelompok nelayan.

4.6.2 Lembaga Pelaksana

Koordinasi pengelolaan sumberdaya ikan di wilayah perairan selatan pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara dilakukan oleh Forum Koordinasi Pengelolaan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan (FKPPS) wilayah IX yang beranggotakan Dinas Kelautan dan Perikanan provinsi dari pulau yang disebut sebelumnya. Forum ini bertugas mempercepat arus data dan informasi pemanfaatan sumberdaya ikan, mengidentifikasi dan merumuskan pemecahan masalah yang ada, serta menyusun dan menyepakati kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan dan pengalokasiannya di wilayah masing-masing.

Pengelolaan kegiatan perikanan dikelola langsung oleh Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Malang yang dibentuk berdasarkan Perda nomor 4 tahun 2004 dan Surat Keputusan Bupati Malang no 95 tahun 2004 dengan visi terwujudnya masyarakat yang sehat dan sejahtera melalui pembangunan peternakan, kelautan dan perikanan yang berkelanjutan, berdaya saing, berwawasan agribisnis dan berbasis sumberdaya lokal. Namun demikian keberadaan dari dinas ini belum dirasakan perannya dalam pengelolaan sumberdaya ikan pelagis besar oleh nelayan di PPP Pondokdadap. Peranan POLRI/AIRUD untuk menangkap dan menyelidiki pelanggaran terkait kegiatan penangkapan ikan illegal di perairan selatan Jawa Timur juga belum dirasakan oleh nelayan.

Pengelolaan kegiatan penangkapan oleh berbagai jenis armada tangkap secara langsung dilakukan oleh Badan Pengelola Pelabuhan Perikanan Pantai Pondokdadap dengan jumlah 11 orang yang umumnya memiliki kualifikasi pendidikan rendah yaitu Sekolah Dasar hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan karyawan berkualifikasi sarjana hanya 1 orang.

4.6.3 Pelabuhan Perikanan

Pelabuhan perikanan Pondokdadap dikategorikan sebagai Pelabuhan Perikanan Pantai yang diharapkan dapat mendorong pertumbuhan sub sektor perikanan Kabupaten Malang bagian selatan. Pelabuhan ini terletak di Dusun Sendang Biru Desa Tambakrejo yang terlindungi oleh Pulau Sempu sehingga aman dari hempasan gelombang sepanjang tahun. Keberadaan pulau Sempu membentuk selat sepanjang 4 km dengan lebar 600-1 500 m dengan kedalaman perairan 18-50 m sehingga menjadi tempat yang cukup ideal untuk mendaratkan hasil tangkapan ikan.

Keberadaan pelabuhan sangat menentukan keberhasilan dan pengembangan sektor perikanan di suatu wilayah. Berdasarkan Permen Kelautan dan Perikanan nomor PER.16/MEN/2006 pelabuhan perikanan dapat dibagi menjadi menjadi 4 (empat) kategori berdasarkan kapasitas dan kemampuannya menangani aktifitas kapal ikan yang masuk dan keluar serta berdasarkan pertimbangan letak dan posisinya, yaitu Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS), Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP), dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI).

Lokasi PPP Pondokdadap cukup mudah diakses melalui jalan hotmix dari kota Malang (70 km) dan Surabaya (157 km) dan berhadapan dengan Samudera Hindia yang memiliki potensi ikan pelagis besar yang tinggi, dan merupakan salah satu sentra pendaratan ikan pelagis besar dari jenis tuna yang cukup besar dengan total tonase pendaratan perahu tangkap melebihi 300 GT per hari dan rataan produksi > 30 ton/hari. Pelabuhan ini dilengkapi dengan sebuah solar paket dealer nelayan (SPDN) nomor 59.651.01 yang memasok solar bagi nelayan dengan harga bersubsidi dan dikelola oleh Koperasi Unit Desa Mina Jaya. Daftar fasilitas pelabuhan disajikan pada Lampiran 6.

Jenis ikan pelagis besar yang didaratkan umumnya adalah Tuna yaitu Madidihang, Mata Besar dan Cakalang yang merupakan komoditas ekspor bernilai tinggi. Namun demikian, minimnya fasilitas pembinaan mutu hasil perikanan, menyebabkan pelayanan pelabuhan yang tidak memadai sehingga menurunkan kualitas ikan yang didaratkan. Penurunan kualitas tersebut selanjutnya menurunkan harga jual ikan tangkapan dan mengurangi tingkat pendapatan nelayan.

Kondisi sarana dan prasarana PPP Pondokdadap, sama halnya dengan kondisi pelabuhan perikanan lainnya di Indonesia. Pembangunan sarana dan prasarana tidak disesuaikan dengan produksi ikan yang dominan didaratkan yaitu ikan tuna yang membutuhkan penanganan cepat dan higienis. Kerusakan ikan tuna selain dimulai di kapal, terjadi pada saat bongkar muat, pengangkutan tuna dari dalam box ditarik begitu saja, dilakukan secara manual. Kemudian di angkut dengan pikulan, dan untuk tuna kecil diangkut dengan keranjang bambu yang mudah menggores ikan. Pada saat pelelangan ikan tuna diletakan dilantai yang kotor, permukaannya kasar dan pada saat penimbangan sering kali ikan di seret. Akibatnya ikan menjadi rusak dan terkontaminasi bakteri.

Berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka sering kali Madidihang dari Sendang Biru tidak bisa masuk pasar Benoa Bali. Pedagang Sendang Biru pada umumnya menyiasatinya dengan pengiriman malam hari, sehingga masuk Bali pada waktu subuh agar plat nomor truk pengangkut dari Malang tidak diketahui oleh petugas di Bali. Namun demikian, dengan diterapkannya cath certificate, Madidihang dari Sendang Biru kesulitan untuk masuk ke Benoa Bali. Apabila kondisi pelabuhan PPP Pondokdadap tidak segera di benahi baik sarana dan prasarana maupun manajemennya, niscaya kegiatan perikanan tuna rakyat Sendang Biru akan terganggu keberlanjutannya, sebagai penghasil ikan tuna tujuan ekspor.

4.6.4 KUD Mina Jaya dan Lembaga Keuangan Mikro

KUD Mina Jaya didirikan dengan Badan Hukum No. 5447/BH/II.1983, tanggal 25 April 1983 yang berkedudukan di Sendang Biru Desa Tambakrejo, dengan jumlah anggota 1 588 orang dari 11 desa dan satu pedukuhan di Kecamatan Sumbermanjing Wetan. Jumlah anggota KUD ini terdiri dari 382 anggota masyarakat yang memiliki usaha atau pekerjaan nelayan, 774 petani, 201 pengusaha, 174 pengurus PKK, 8 pegawai dan 15 pengrajin. KUD Mina Jaya dikelola oleh tiga orang pengurus yang bertindak sebagai ketua, sekretaris dan bendahara, dengan petugas kantor 3 orang, petugas TPI 12 orang, petugas PAM 3 orang, serta ditambah 1 orang manajer yang berstatus tenaga kontrak.

KUD Mina Jaya merupakan penyelenggara pelelangan ikan, penyedia perbekalan melaut, dan pengelola SPDN di PPP Pondokdadap. Selain KUD terdapat pula Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina

(LEPPM3) yang merupakan lembaga penyedia dana bergulir bagi nelayan melalui kelompok nelayan. Kedua lembaga ini belum berfungsi dengan baik khususnya dalam penyediaan permodalan bagi anggotanya sehingga usaha penangkapan sebagian besar dibiayai oleh pengambek. Pengambek untuk nelayan sekoci di PPP Pondokdadap berperan menyediakan biaya operasional sekoci dan mengelola hasil tangkapan, dimana seorang pengambek bisa mengelola 5 hingga 60 perahu tergantung pada kekuatan permodalan yang dimilikinya.

4.6.5 Kelompok Nelayan dan Pelibatan Nelayan

Kelompok nelayan di Desa Tambakrejo adalah Kelompok Nelayan Rukun Jaya yang anggotanya terbagi atas sub kelompok sekoci, payang dan jukung. Khusus untuk sub kelompok sekoci terdaftar 340 buah perahu yang dibedakan atas perahu yang dioperasikan oleh nelayan domisili setempat 220 buah dan perahu yang dioperasikan oleh nelayan andon 130 buah, dengan jumlah anggota yang aktif pada tahun 2010 sebanyak 303 buah sekoci. Pelibatan nelayan dalam penyusunan kebijakan hampir tidak pernah dilakukan. Dari 65 responden hanya 1.6% yang pernah mengikuti pertemuan di tingkat kabupaten dalam rangka penyusunan kebijakan perikanan tangkap di Kabupaten Malang.

4.6.6 Illegal fishing dan Penegakan Aturan

Samudera Hindia Selatan Jawa Timur merupakan wilayah penangkapan ikan pelagis besar yang potensil sehingga menjadi sasaran praktek illegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing oleh nelayan asing. Keterbatasan personil pengawas dan minimnya sarana prasarana pengawasan merupakan kendala utama bagi penegakan aturan dan hukum dalam pengelolaan sumberdaya hayati di wilayah perairan Indonesia khususnya di ZEEI. Informasi dari nelayan sekoci mengungkapkan bahwa kapal ikan asing yang beroperasi di wilayah penangkapan mereka sangat sering dijumpai dengan frekuensi kejadian tinggi yaitu ditemui hampir setiap bulan. Selain pencurian ikan di laut, yang termasuk kategori illegal fishing menurut Charles (2001) adalah perbuatan atau tindakan nelayan yang menjual ikan hasil tangkapannya

di tengah laut (transshipment) atau melakukan peanangkapan ikan dengan menggunakan bahan-bahan yang merusak lingkungan. Berdasrkan pertimbangan tersebut, nelayan Sendang Biru tidak terindikasi melakukan transshipment di tengah laut atau menjual ikan haasil tangkapnnya ke daerah lain.

4.6.7 Kepemilikan Usaha dan Pembatasan Masuk

Dari hasil pendapatan total dari setiap kapal, sekitar 85.78% ditransfer keluar dari Sendang Biru, yaitu untuk ABK sebanyak 4 orang, nahkoda dan pemilik kapal yang semuanya berasal dari Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan. Dengan demikian proporsi dari pendapatan yang tertinggal di Sendang Biru sebesar 14.217% (Tabel 26).

Tabel 26 Persentase jumlah pendapatan yang tertransfer dan yang tertinggal

Bagian Keuntungan Pemilik Kapal (%) Nahkoda (%) ABK (%)

Tertransfer 45.99 23.56 16.21

Tertinggal 5.11 2.62 6.49

Sumber: Hasil analisis dari data primer.