• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

1.5 Kerangka Pemikiran

Tuna merupakan ikan yang tergolong sebagai highly migratory dan transboundary species, sehingga secara umum terdistribusi dan tersebar luas di antara 3 lautan besar (Collette dan Nauen 1983). Oleh karena itu, dalam pengelolaannya menurut Adrianto (2004) harus diatur dalam konteks global, yang dilakukan secara bersama antar entitas administrasi sebuah daerah atau bahkan negara. Hal ini penting untuk dilakukan, mengingat kelestarian sumberdaya ikan tuna telah terancam, terlihat dari penurunan stok dihampir semua lautan besar termasuk di Samudera Hindia (Fonteneau 1995 1997; Hsu 1994 1998).

Khusus untuk pengaturan dan pengelolaan sumberdaya ikan tuna di Samudera Hindia agar pemanfaatannya dapat berkelanjutan, maka di atur melalui Agreement on the Concervation and Management of Straddling Fish Stock and Highly Migratory Fish Stock, yang sering disingkat United Nation Fisheries Agreement (UNFA) menegaskan bahwa Organisasi Pengelolaan Perikanan Regional (Regional Fisheries Management Organization, RFMO) adalah mekanisme dan alat utama dalam mengelola dan melindungi SHMF. Terdapat 2 aspek penting dari mandat yang diberikan kepada RFMO, yakni; bahwa pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya SHMF harus berdasarkan kesepakatan (agreement) dan konsultasi (consultation) pihak-pihak yang terkait. Apabila sudah ada RFMO untuk suatu wilayah perairan atau spesies ikan tertentu maka bagi negara yang berbatasan dengan perairan itu sekalipun, tidak diizinkan menangkap ikan kecuali negara itu adalah bagian dari RFMO atau sepakat untuk melakukan langkah-langkah manejemen konservasi yang telah ditetapkan oleh RFMO (Pasal 8:4 UNFA). Pasal 10 UNFA menetapkan 13 fungsi RFMO, diantaranya; adalah menetapkan dan mengimplementasikan tindakan manejemen konservasi, mengumpulkan dan menyebarkan data, serta menetapkan dan menjalankan mekanisme pemantauan, pengendalian, pengawasan, serta penegakan hukum.

Adapun otoritas yang dimiliki RFMO, yaitu: (1) Penentuan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (Total Allowable Catch, TAC), serta alokasi kuota bagi setiap anggota RFMO dan (2) Penetapan dan pemberlakuan langkah dan tindakan yang berkaitan dengan penggunaan alat tangkap, metode penangkapan, jumlah upaya tangkap, musim penangkapan, musim tidak menangkap, moratorium, serta pembatasan ukuran ikan yang di tangkap. Dari ke 10 RFMO yang ada dan yang berkaitan langsung dengan aktivitas nelayan Sendang Biru adalah IOTC (Indian Organization Tuna Commision) dan CCSBT (Commision for Conservation of Shoutern Blue Tuna) (Nikijuluw 2005).

Fishing ground nelayan Sendang Biru berada dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan 573 Samudera Hindia. Dalam konteks pengelolaan dan yuridiksi global

WPP 573 tersebut, diantaranya berada dalam kewenangan organisasi IOTC. Indonesia telah meratifikasi aturan dan masuk dalam keanggotaan IOTC tersebut pada tahun 2007. Keberadaan WPP 573 tersebut, dalam konteks pengelolaan global berdasarkan pembagian wilayah oleh FAO berada dalam wilayah 71. Saat ini negara yang tergabung dalam naungan IOTC tersebut berjumlah 27 negara. Dengan demikian, maka dalam pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut harus mengikuti aturan organisasi tersebut.

Menurut (Lee et al. 2003) berdasarkan hasil kajian dari data hasil tangkapan nelayan Taiwan antara tahun 1967 dan 1996 diperoleh gambaran bahwa di Samudera Hindia terdapat 3 jenis distribusi tuna yang besar, yaitu 62.4%-76.1% jenis Albacore, 52.6%-68.0% jenis Mata Besar dan 58.6-70.9% jenis Madidihang. Sedangkan khusus di WWP 573, menurut Merta et al. (2003), wilayah perairan yang membentang dari ujung Selat Sunda sampai ke Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur merupakan wilayah yang kaya akan sumber daya ikan, terutama ikan pelagis besar, khususnya sumber daya ikan tuna, sehingga nelayan tradisional Sendang Biru memanfaatkan potensi tuna yang ada sebagai fishing ground.

Konsekuensi logis dari kekayaan yang terdapat di WPP 573 tersebut, selain mendatangkan keuntungan, juga menimbulkan permasalahan bagi nelayan Sendang Biru. Permasalahan yang timbul adalah berkaitan dengan isu internasional (global) dan nasional (domestik). Isu internasional berkaitan dengan aturan CCRF dan RFMO, diantaranya IOTC, selain itu dihadapkan pula pada permasalahan IUU (Ilegal Fishing, Unreported, Unregulated), sedangkan isu domestik adalah berkaitan dengan konflik vertikal dan horizontal.

Selain dihadapkan kepada permasalahan yang berkaitan sebagai mana tersebut di atas, nelayan Sendang Biru juga dihadapkan kepada permasalahan klasik lainnya, yaitu mengenai teknologi, terutama yang berkaitan dengan armada tangkap dan alat tangkap yang digunakan. Pada umumnya berteknologi rendah, padahal wilayah operasinya (fishing ground) berada di ZEEI (WPP 573), dengan jarak 200 mil laut, dengan lama melaut berkisar 7-10 hari/trip. Armada tangkap tidak dilengkapi dengan alat pendingin (freezer), pengetahuan tentang

penanganan pascatangkap sangat rendah. Es digunakan sebagai bahan pengawet. Ukuran kapal berkisar antara 15-17 M, degan bobot rata-rata 10 GT, alat tangkap yang digunakan adalah pancing tonda dan handline. Konsekuensi logis dari rendahnya teknologi yang digunakan dan kurangnya skill dalam penanganan pasca tangkap, adalah mutu ikan yang dihasilkan menjadi sangat rendah.

Nelayan Sendang Biru menangkap ikan disekitar rumpon, sebagai alat bantu. Rumpon terpasang dikisaran kedalaman 3 000-6 000 m, sehingga biaya yang dikeluarkan relatif besar yaitu Rp 40 000 000-Rp 60 000 000 per unit. Permasalahan yang muncul adalah terjadinya penjarahan ikan di sekitar rumpon oleh kapal-kapal besar yang beroperasi di ZEEI, sehingga menimbulkan konflik. Dampak dari penjarahan rumpon tersebut adalah berkurangnya hasil tangkapan tuna dan cakalang, dimana pada saat nelayan Sendang Biru sampai di rumpon keberadaan ikan-ikan sudah tidak ada, bahkan tidak jarang rumponnya ikut hilang. Kondisi ini menambah kerugian bagi nelayan Sendang Biru, karena selain harus investasi rumpon baru, hasil tangkapan berkurang, disisi lain biaya operasi untuk pembelian solar, es dan perbekalan lainnya mencapai Rp 4 000 000-5 000 000 per trip (PPI 2007).

Secara ekologis dengan alat tangkap yang sederhana (hand line) ikan yang tertangkap adalah ikan yang berada di permukaan. Kedalaman pancing berkisar antara 50-100 m, bahkan dengan metode layang-layang, tamba dan chopping, umpan diletakan di permukaan. Metode ini mengakibatkan rendahnya hasil tangkapan. Hal ini terlihat dari ukuran ikan tuna yang tertangkap adalah yang berukuran kecil (baby tuna) yaitu berukuran 1-2 kg (5%) ukuran 2-9 kg (66%) dan sisanya berukuran 10 kg ke atas (PPI 2008). Padahal semakin besar ukuran ikan, maka harganya menjadi lebih mahal.

Disisi lain, keberadaan PPP Pondokdadap Sendang Biru, baik kapasitas, sanitasi dan manajemennya belum mendukung untuk aktivitas perikanan tuna, dimana untuk penanganannya membutuhkan kecepatan dan sanitasi yang tinggi. Selain kotor, juga tidak ada pemilahan (grading) untuk komoditas ikan yang baik

dan jelek mutunya, serta daya tampung yang rendah mengakibatkan terjadi kerusakan ikan pada saat pembongkaran, pengangkutan, penimbangan dan pelelangan. Penentuan harga tidak didasarkan kepada mutu ikan, tetapi atas dasar ukuran bobot ikan. Lelang diatur oleh KUD Mina Jaya, dilakukan secara terbuka, tetapi tidak diberlakukan harga pokoknya, sehingga nelayan sering kali merasa di permainkan oleh pedagang perantara. Keberadaan KUD Mina Jaya dan Kelompok nelayan terasa tidak berpihak kepada nelayan, seringkali dianggap tidak memiliki fungsi sebagaimana mestinya. Sehingga nelayan lebih mempercayakan pengelolaan hasil tangkap dan kebutuhan sembakonya kepada pengambek.

Berdasarkan permasalahan tersebut maka secara ekonomis seringkali nelayan merasa dirugikan. Pemilik kapal dan anak buah kapal (ABK) pendapatannya dari tahun ke tahun mengalami penurunan, sehingga secara sosial masih tergolong miskin. Pada tahun 2003 pendapatan rataan/bulan untuk ABK sekitar Rp 628 281/bulan, pada tahun 2004 sebesar Rp 1 052 033 tahun 2005 sebesar Rp 1 476 485 tahun 2006 mengalami penurunan seiring dengan kenaikan harga BBM dan kenaikan harga bahan pokok lainnya, yaitu menjadi Rp 693 002 dan pada tahun 2007 sebesar Rp 297 814 (PPI 2008), kondisi penurunan ini berbanding lurus dengan pemilik kapal. Disisi lain nilai investasi kapal dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang signifikan.

Sumberdaya Madidihang di ZEEI

Sosial Ekonomi Teknologi Kelembagaan Ekologi

Ekstraksi Potensi Bio-Fisik Potensi Ekonomi Preferensi Manfaat Masalah Benefit-Cost Aspek Biologi-Ekologi Aspek Hydro-Oeanografi

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan, agar pengelolaan sumberdaya perikanan di wilayah Pesisir Sendang Biru dan potensi sumberdaya ikan di perairan Selatan Jawa khususnya di perairan Selatan Malang dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien, dan berkelanjutan. Pilihan terbaik adalah merumuskan model berkelanjutan pengelolaan sumberdaya ikan tuna oleh nelayan sekoci, dengan memperhatikan aspek ekonomi produksi, ekologis, sosial dan kelembagaan. Agar sumberdaya ikan tuna tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal, maka dalam pemanfaatannya harus direncanakan bentuk pengelolaan yang disepakati oleh semua stakeholders. Dengan demikian model pengelolaan yang disepakati untuk dijadikan acuan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan tuna di perairan ZEEI Selatan Jawa yang dapat dimanfaatkan oleh nelayan Sendang Biru, haruslah memenuhi kepentingan stakeholders. Bagaimana model pengelolaan perikanan ikan tuna di wilayah Pesisir Sendang Biru yang sesuai agar bisa bermanfaat untuk semua stakeholder, sehingga memberikan kemakmuran kepada nelayan dan memberikan sumbangan terhadap penerimaan pendapatan daerah atau sumber devisa negara tanpa mengorbankan lingkungan, sosial setempat dan dapat berkelanjutan.

Kajian

Status Keberlanjutan

Desain Pengelolaan Perikanan Madidihang yang Berberlanjutan

1.6 Kebaruan (Novelty)

Penelitian ini menghasilkan kebaruan:

1. Pengetahuan baru tentang hubungan antara temperatur, klorofil-a di rumpon dengan kelimpahan (CPUE) Madidihang di perairan ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa Timur.

2. Pengetahuan baru tentang pengaruh sebaran suhu menegak terhadap kedalaman lapisan campuran (mixed layer), termoklin dan lapisan dalam (depth layer) perairan ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa Timur sebagai fishing ground serta keterkaitannya dengan kelimpahan Madidihang di rumpon.

3. Status keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya Madidihang (Thunnus albacares) di Perairan ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa Timur yang dimanfaatkan oleh nelayan sekoci Sendang Biru Kabupaten Malang.