• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alternatif Penyelesaian Atas Hambatan Eksekusi Jaminan Fidusia

DALAM KEPAILITAN

C. Alternatif Penyelesaian Atas Hambatan Eksekusi Jaminan Fidusia

Apabila ditelaah pengaturan tentang eksekusi jaminan fidusia berdasarkan UUJF, maka sesuai dengan konsiderans butir c, pembuat undang-undang ingin memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan. Yang menjadi pertanyaan adalah siapa pihak yang berkepentingan dalam hal ini yang harus dilindungi oleh UUJF ?. Sesuai dengan azas hukum jaminan, perlindungan hukum itu harus bersifat seimbang bagi semua pihak yang berkepentingan, yaitu : kreditur, debitur, pemberi jaminan dan pihak ketiga. Akan tetapi apabila mencermati ketentuan Pasal 22 UUJF, terlihat bahwa adanya keberpihakan pembentuk undang-undang kepada kepentingan kreditur karena selama ini dalam praktik kepentingan hukumnya kurang terlindungi sejak lembaga fidusia ini diperkenalkan dalam sistem hukum kita sampai lahirnya UUJF.

Kecenderungan pembentuk undang-undang untuk lebih mengutamakan kepentingan kreditur ini dalam pelaksanaan eksekusi fidusia apabila debitur melakukan cidera janji terlihat dari adanya ketentuan-ketentuan sebagai berikut :160

157

Sunarmi, Hukum Kepailitan, Op.,Cit., hal. 117. 158 Ibid.

159

Hasil wawancara dengan Amri Marjunin, Ketua Balai Harta Peninggalan Medan (BHP Medan). Op. Cit.

160

Ny. Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, (Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia), hal. 341-347.

1. Pencantuman title eksekutorial dalam sertifikat jaminan fidusia yang berarti sertifikat fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial atau disamakan dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap (final and binding) bagi para pihak untuk dilaksanakan ;

2. Secara khusus UUJF ingin melembagakan parate eksekusi yang diberikan kepada penerima fidusia sebagai kreditur ;

3. Memberikan hak kepada penerima fidusia untuk menguasai objek jaminan fidusia apabila pemberi fidusia tidak bersedia menyerahkan secara sukarela barang jaminan yang dikuasainya atau dikenal dengan Right to Repossess (vide Pasal 30 dan penjelasan Pasal 30 UU Fidusia) dan apabila perlu dalam pelaksanaan Right to Repossess ini, penerima fidusia dapat meminta bantuan dari instansi-instansi yang berwenang seperti polisi dan pihak pengadilan tetapi tidak dengan menggunakan biro jasa penagih hutang (debt collector) yang sering menggunakan cara-cara illegal.

Selanjutnya mencermati isi pengaturan mengenai eksekusi fidusia dapat disimpulkan bahwa ketentuan eksekusi fidusia tersebut me-”Receptie” ketentuan-ketentuan eksekusi Hak Tanggungan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT). Hanya di dalam UUHT dijelaskan secara tegas bahwa eksekusi Hak Tanggungan berdasarkan kekuatan eksekutorial dari sertifikat hak tanggungan menggunakan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 224 Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB/HIR) dan Pasal 258 Reglemen Acara Hukum untuk daerah luar Jawa dan Madura (RGB).

Menurut UUHT, pemegang hak tanggungan dapat melaksanakan parate eksekusi tanpa fiat eksekusi pengadilan (vide Pasal 6 UUHT) dan eksekusi dengan fiat eksekusi pengadilan (vide pasal 14 jo Pasal 20 jo penjelasan Pasal 26 UUHT). Namun dalam praktiknya pelaksanaan Pasal 6 UUHT tetap memerlukan fiat eksekusi dari Pengadilan Negeri karena hal-hal sebagai berikut :161

161 Ibid..

a. Melindungi pemegang hak tanggungan dari gugatan-gugatan debitur dan/atau pemberi hak tanggungan dengan alasan pemegang hak tanggungan telah melakukan perbuatan melanggar hukum (vide Pasal 1365 KUHPerdata) atau juga dituntut pidana melakukan tindakan yang tidak menyenangkan atau memasuki pekarangan debitur secara tidak sah ; b. Untuk menjaga kewibawaan peradilan sebagai pelaksana eksekusi perdata karena parate

eksekusi tersebut dianggap ”menggerogoti” kewenangan Ketua Pengadilan Negeri. Hal mana dapat tercermin pada lelang yang sudah terlaksana tidak menggunakan fiat eksekusi pengadilan, permohonan eksekusi pengosongan barang jaminan sebagai tindak lanjut dari lelang tersebut ditolak oleh Ketua Pengadilan Negeri dengan alasan bahwa lelang dilaksanakan tanpa fiat eksekusi, jadi pemenang lelang harus mengajukan gugatan ulang sampai didapatnya putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti.

Adanya keraguan kantor lelang dan kreditur melaksanakan eksekusi didasarkan pula pada adanya Keputusan Mahkamah Agung RI tanggal 30 Januari 1986 Nomor 3210k/Pdt/84 yang membatalkan putusan Pengadilan Tinggi dan menyatakan penjualan lelang berdasarkan parate eksekusi yang telah dilakukan tanpa melalui Ketua Pengadilan Negeri adalah perbuatan melanggar hukum dan lelang yang bersangkutan adalah batal.

Selanjutnya penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia secara di bawah tangan berdasarkan kesepakatan antara pemberi dan penerima fidusia, penjualan mana dilakukan dalam waktu 1 (satu) bulan setelah pemberitahuan tertulis oleh pemberi dan penerima fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sekurang-kurangnya dalam 2 (dua) surat kabar harian yang beredar di daerah yang bersangkutan. Pengaturan yang sudah cukup baik dengan berdasarkan kesepakatan penerima dan pemberi fidusia untuk menjual barang fidusia tersebut dapat terhambat dengan tidak jelasnya pengaturan pihak yang berkepentingan apakah mereka dengan telah mengetahui adanya rencana pelaksanaan penjualan dapat melakukan keberatan (gugatan, verzet dan lain sebagainya).

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia, pemberi fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia kepada penerima fidusia. Dalam hal pemberi fidusia menolak untuk menyerahkan benda yang menjadi objek

jaminan fidusia, maka penerima fidusia berhak untuk mengambil benda yang menjadi objek jaminan fidusia dan apabila perlu dapat meminta bantuan pihak yang berwenang, tetapi tidak dijelaskan siapa pihak yang berwenang, apakah Pengadilan, Polisi, Satpam Bank atau Kantor Lelang.

Pada umumnya apabila kredit sudah macet, maka kerjasama antara debitur dengan bank sangat sukar dilakukan. Dengan demikian seyogianya kewajiban tersebut harus diikuti dengan sanksi sehingga dapat diharapkan debitur akan menyerahkan barang jaminan secara sukarela kepada bank.

Apabila tidak ada sanksi terhadap debitur, kemungkinan besar bank harus dengan secara paksa mengambil barang jaminan tersebut dari kekuasaan debitur. Untuk itu, pengertian bank yang berwenang untuk diminta bantuannya oleh penerima fidusia agar dapat diterapkan secara lebih luwes tidak terbatas pada pihak polisi atau Pengadilan Negeri melalui pasal 200 (II) RIB, sehingga pejabat Kantor Lelang Negara dimungkinkan diminta bantuannya untuk mengambil barang fidusia karena proses ini berkaitan dengan pelaksanaaan eksekusi jaminan fidusia oleh Kantor Lelang Negara.

Untuk menunjang pelaksanaan Right to Repossess ini perlu kiranya adanya sosialisasi dan kerjasama pihak kepolisian dan pihak pengadilan sedemikian rupa sehingga untuk maksud Right to Repossess ini tidak mengharuskan penerima fidusia untuk menggugat lebih dahulu.

BAB V