PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBJEK JAMINAN FIDUSIA DALAM KEPAILITAN
C. Pelaksanaan Eksekusi Harta Pailit dan Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Pemegang Hak Jaminan Fidusia
Salah satu karakter perjanjian jaminan kebendaan adalah hak preferen, sedangkan jaminan fidusia adalah salah satu hak jaminan kebendaan. Maka hak preferen merupakan sifat yang melekat pada jaminan fidusia. Hak preferen bukanlah hak kebendaan melainkan hak
123
Pasal 113 ayat (1) huruf a menyatakan paling lambat 14 (empat belas) hari setelah putusan pernyataan pailit diucapkan, Hakim Pengawas harus menetapkan batas akhir pengajuan tagihan.
124
Pasal 133 UUK dan PKPU menyatakan piutang yang dimasukkan pada kurator setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) dengan syarat dimasukkan paling lambat 2 (dua) hari sebelum hari diadakannya rapat pencocokan piutang, wajib dicocokkan apabila ada permintaan yang diajukan dalam rapat dan tidak ada keberatan, baik yang diajukan oleh kurator maupun oleh salah seorang kreditur yang hadir dalam rapat.
terhadap benda, dan hak tersebut tidak timbul karena undang – undang , tetapi diperjanjikan. Dalam UUJF hak preferen itu disamakan
artinya dengan memberikan hak yang didahulukan. Hak preferen adalah hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Hak preferen lahir pada saat pendaftaran jaminan fidusia. Jadi selama jaminan fidusia tidak didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia, kreditur penerima fidusia tidak memiliki hak preferen melainkan hak konkuren. Hak didahulukan dari penerima fidusia ini tidak hapus karena kepailitan dan atau likuidasi pemberi fidusia.
Hak preferen dari kreditur pemegang hak jaminan fidusia ini dalam hukum kepailitan diakui, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 55 UUK dan PKPU yang menyatakan bahwa setiap kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya dapat mengeksekusi hak nya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. UU Kepalilitan mengakui adanya hak preferen dari kreditur pemegang hak jaminan fidusia, tetapi walaupun undang-undang kepailitan mengakui hak dari kreditur pemegang hak jaminan fidusia ini pada Pasal 56 UUK dan PKPU, hak kreditur dan pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan debitur pailit atau kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.
Penangguhan hak eksekusi yang terdapat pada Pasal 56 ini bertentangan dengan Pasal 55 UUK dan PKPU, karena pada Pasal 55 kreditur tersebut ber hak mengeksekusi benda jaminannya dan undang-undang tersebut menggunakan kata-kata seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Ini dapat menimbulkan pengertian bahwa walaupun terjadi kepailitan kepada debitur, kreditur separatis yang mempunyai hak preferen yang memegang hak jaminan fidusia dapat atau diperbolehkan mengeksekusi secara langsung benda jaminannya. Ketentuan Pasal 56 ini juga bertentangan dengan asas dalam UUJF yang dalam Pasal 27 ayat (3) UUJF menyatakan bahwa hak yang didahulukan dari penerima fidusia tidak hapus karena kepailitan dan atau likuidasi pemberi fidusia. Pelaksanaan eksekusi adalah kewenangan dari pada Ketua Pengadilan Negeri, karena itu eksekusi terhadap objek jaminan fidusia tidak harus disertai dengan penundaan dan penangguhan eksekusi sebagaimana tersebut dalam Pasal 56 angka 1 UUK dan PKPU. Berarti bahwa adanya
putusan pernyataan pailit terhadap debitur pemberi hak jaminan fidusia tidak mengakibatkan ditangguhkannya kewenangan kreditur pemegang hak jaminan fidusia tersebut untuk melakukan eksekusi terhadap objek jaminan fidusia dengan penetapan Hakim. Di satu pihak ketentuan Pasal 56 ayat (1) UUK dan PKPU dapat dikategorikan hak separatis dari kreditur preferen, tetapi dipihak lain ketentuan tersebut justru mengingkari hak separatis tersebut karena menentukan bahwa barang yang dibebani dengan hak jaminan fidusia merupakan harta pailit.
Makna yang terkandung dalam ketentuan Pasal 56 ayat (3) UUK dan PKPU adalah bahwa undang-undang kepailitan tidak memisahkan benda-benda yang dibebani hak jaminan sebagai benda-benda yang bukan merupakan harta pailit, dan juga Pasal 1 ayat (1) UUK dan PKPU dinyatakan bahwa kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas. Sedangkan asas didalam hukum jaminan bahwa benda jaminan fidusia berada diluar boedel pailit. Sikap ini menunjukkan bahwa UU Kepailitan yang tidak menempatkan harta debitur yang telah dibebani dengan hak jaminan fidusia diluar harta pailit merupakan sikap yang meruntuhkan sendi- sendi sistem hukum jaminan, tidak menghormati hak separatis dari kreditur pemegang hak jaminan fidusia dan juga tidak menghormati lembaga jaminan.
Penjelasan Pasal 56 UUK dan PKPU menyatakan bahwa maksud dari diadakannya penangguhan selama 90 (sembilan puluh) hari tersebut adalah untuk mencapai suatu perdamaian, mengoptimalkan harta pailit, mengoptimalkan tugas dari kurator. Penangguhan juga berfungsi untuk memperlancar jalannya administrasi kepailitan sehingga perlu dilakukan keadaan diam secara otomatis oleh karena para kreditur akan menerima pembayaran melalui proses kepailitan sehingga perlu dicegah perbuatan para kreditur yang akan melakukan tindakan terhadap debitur, terhadap kekayaan debitur ataupun terhadap harta pailit dalam rangka upaya para kreditur tersebut memperoleh tagihan-tagihannya ataupun untuk mengeksekusi jaminannya.
Selama jangka waktu penangguhan, kurator dapat menggunakan harta pailit berupa benda tidak bergerak maupun benda bergerak atau menjual harta pailit yang berupa benda bergerak yang berada dalam penguasaan kurator dalam rangka kelangsungan usaha debitur. Dalam hal ini dapat
dilakukan setelah kurator memberikan perlindungan yang wajar bagi kepentingan kreditur atau pihak ketiga.
Perlindungan yang wajar dimaksud di sini adalah perlindungan yang perlu diberikan untuk melindungi kepentingan kreditur atau pihak ketiga yang haknya ditangguhkan, bentuk perlindungan yang diberikan dapat berupa :
1. Ganti rugi atas terjadinya penurunan nilai harta pailit ; 2. Hasil penjualan bersih ;
3. Hak kebendaan pengganti ;
4. Imbalan yang wajar dan adil serta pembayaran tunai (utang yang dijamin) lainnya.
Sutan Remy Sjahdeini menanggapi masa stay selama 90 (sembilan puluh) hari ini dengan menyatakan bahwa keadaan stay bagi kreditur dan debitur ini biasanya diberikan oleh undang- undang bukan setelah debitur dinyatakan pailit oleh pengadilan, tetapi justru selama berlangsungnya pemeriksaan pailit oleh pengadilan, setelah debitur dinyatakan pailit yang terjadi hanyalah berupa likuidasi terhadap harta pailit si debitur125.
Kreditur pemegang hak jaminan fidusia yang haknya ditangguhkan, oleh undang-undang diberikan kesempatan untuk melakukan perlawanan terhadap ketentuan penangguhan tersebut. Kreditur separatis tersebut dapat mengajukan permohonan kepada kurator untuk mengangkat penangguhan atau mengubah syarat-syarat penangguhan tersebut. Apabila kurator menolak permohonan dari kreditur tersebut, maka kreditur separatis dapat menolak permohonan kepada Hakim Pengawas, apabila Hakim Pengawas menolak untuk mengangkat atau mengubah persyaratan pengangguhan tersebut, kreditur separatis tersebut dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan, dan hasil putusan pengadilan tersebut bersifat final dan mengikat bagi kreditur tersebut dan tidak dapat diajukan kasasi atau peninjauan kembali.
Berdasarkan keterangan Hakim Pengawas dari Pengadilan Niaga Medan bahwa untuk kasus kepailitan di Medan, Hakim Pengawas hampir selalu memberikan kesempatan bagi kreditur separatis pada saat masa stay untuk mengeksekusi benda jaminannya dalam waktu selama 2 (dua)
125
Rudy A. Lontoh, Penyelesaian Utang-Piutang Melalui Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung : Alumni, 2001), hal. 589.
bulan setelah dilakukannya pencocokan utang sebelumnya, dan diadakannya rapat kreditur. Pada saat rapat kreditur inilah diberikan kesempatan kepada kreditur pemegang hak jaminan fidusia untuk mengeksekusi benda jaminannya, pemberian kesempatan oleh Hakim Pengawas ini dilakukan setelah berkoordinasi dengan kurator126. Dalam Pasal 59 UUK dan PKPU, kurator setiap waktu dapat membebaskan benda yang menjadi agunan dengan membayar jumlah terkecil antara harga pasar benda agunan dan jumlah uang yang dijamin dengan benda agunan tersebut kepada kreditur yang bersangkutan, yang dimaksud dengan jumlah terkecil di sini adalah jumlah terkecil antara harga pasar benda agunan dibandingkan dengan besarnya jumlah utang yang dijamin dengan benda agunan, tetapi dalam kenyataannya di lapangan ketentuan ini jarang digunakan oleh kurator khususnya kurator pemerintah yaitu Balai Harta Penginggalan (BHP), dikarenakan berkaitan dengan biaya yang dimiliki oleh BHP. BHP hanya memperoleh biaya dari penjualan asset harta si pailit.127
Apabila masa stay 90 (sembilan puluh) hari tersebut telah lewat dan dalam rapat pencocokan piutang tidak dapat ditawarkan rencana perdamaian, rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima, atau pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh keuatan hukum tetap, maka pada saat ini debitur masuk kedalam masa insolvensi atau dalam masa keadaan tidak mampu membayar. Setelah debitur masuk kedalam masa insolvensi, undang-undang memberikan kesempatan kepada kreditur pemegang hak jaminan fidusia untuk mempergunakan haknya dalam mengeksekusi benda jaminannya. Kreditur pemegang hak jaminan fidusia ini diberikan jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi. Setelah jangka waktu 2 (dua) bulan tersebut lewat, kurator harus menuntut diserahkannya benda yang menjadi agunan untuk selanjutnya dijual dengan cara dijual di muka umum yaitu melalui pelelangan. Apabila penjualan di muka umum tidak tercapai, maka dilakukan dengan penjualan di bawah tangan dengan ijin dari Hakim Pengawas, dan kurator berkewajiban
126
Hasil wawancara pada tanggal 3 Pebruari 2009 dengan Dewa Putu Yusmai Mardika, Hakim Pengawas Pengadilan Niaga Medan.
127
Hasil wawancara pada tanggal 12 Januari 2009 dengan Amri Marjunin, Ketua Balai Harta Peninggalan Medan (BHP Medan).
membayar piutang kepada kreditur yang mempunyai hak untuk menahan suatu benda, sehingga benda itu masuk kembali dan menguntungkan harta pailit.
Kenyataan dalam praktiknya sangat sulit bagi seorang kreditur untuk dapat melakukan eksekusi hak-hak jaminannya dalam jangka waktu hanya 2 (dua) bulan saja. Banyak faktor di luar kendali kreditur pemegang hak jaminan fidusia yang membuat berlarut-larutnya eksekusi hak jaminan fidusia tersebut, sehingga jangka waktu 2 (dua) bulan terasa sangat singkat untuk bisa melaksanakan eksekusi terhadap objek hak jaminan fidusia. Sutan Remy Sjahdeini memberikan contoh atas kesulitan tersebut sebagai berikut : ”Mungkinkah bagi suatu bank untuk menjual mesin-mesin pabrik yang merupakan agunan bagi bank berdasarkan pembebanan hak fidusia hanya dalam waktu 2 (dua) bulan saja ?”. Masa persiapan ditambah masa untuk mendapatkan pembeli sampai penerimaan uang penjualan mesin-mesin pabrik tersebut dapat memakan waktu antara 1 (satu) sampai 2 (dua) tahun bahkan lebih dari 2 (dua) tahun.128
Terhadap pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia yang dilakukan secara lelang atau penjualan di muka umum harus dilakukan melalui prosedur yang telah ditentukan oleh undang- undang, dan setiap prosedur yang harus dijalani membutuhkan waktu baik itu telah ditentukan oleh ketentuan perundang-undangan ataupun tidak ditentukan dalam ketentuan perundang-undangan. Di samping itu untuk menjual objek jaminan fidusia yang memiliki nilai jual tinggi atau asset dalam skala besar tidaklah mudah, disamping penentuan harga pasar objek jaminan fidusia tersebut harus ditentukan oleh perusahaan penilai yang independen juga membutuhkan waktu untuk mendapatkan pembeli yang berminat untuk menjadi peserta lelang.
Untuk memberikan gambaran sulitnya melakukan eksekusi jaminan fidusia, Pengadilan Niaga telah memeriksa dan mengadili perkara permohonan pailit pada peradilan tingkat pertama. Dalam perkara permohonan pailit yang diajukan oleh CV. WIDYA MANDIRI berkedudukan di Medan, diwakili oleh Sdr. Petrus Hendra Suyono sebagai Direktur yang mengajukan permohonan kepailitan ini telah diwakili oleh kuasanya Sdr. Adner Sirait, Advokat selanjutnya disebut sebagai Pemohon.
128
Duduk perkara permohonan mengajukan pailit yang dilakukan oleh pemohon sebagaimana didaftarkan dan tercatat dalam register perkara permohonan kepailitan di PN. Niaga Medan dengan Nomor 01/PAILIT/2006/PN. Niaga Mdn Tanggal 19 Juni 2006, dengan dalil-dalil bahwa pemohon pailit adalah sebuah Perusahaan Komanditer dengan nama CV. WIDYA MANDIRI yang sudah tidak beroperasi sejak tahun 2005 dikarenakan kerugian yang dialami pemohon pailit akibat krisis ekonomi dan peristiwa tsunami sehingga pemohon tidak mampu lagi meneruskan kegiatan usaha yang mengalami kerugian besar.
Pemohon dalam transaksi jual produk hasil-hasil bumi antara lain : pinang, gambir, damar dan kopi dengan pihak supplier (kreditur), akibat kerugian yang sangat besar tidak mampu memenuhi kewajibannya kepada pihak ketiga dan mengakibatkan pemohon mempunyai utang sebesar Rp. 2.459.243.369 (dua miliar empat ratus lima puluh sembilan juta dua ratus empat puluh tiga ribu tiga ratus enam puluh sembilan rupiah).
Pemohon sampai pada saat permohonan pernyataan pailit diajukan tidak dapat direalisasikan pembayaran utangnya kepada kreditur dan utang-utang tersebut telah jatuh tempo sejak tanggal 30 Agustus 2005. Selain utang kepada pihak kreditur yang jumlah utangnya telah disebutkan diatas, pemohon juga mempunyai utang kepada kreditur lainnya yaitu PT. BANK MANDIRI (Persero) Tbk., Commercial Banking Center Medan dengan jumlah utangnya sebesar Rp. 4.400.000.000,- (empat miliar empat ratus juta rupiah) berdasarkan :
1. Surat Pemberitahuan Persetujuan Kredit (SPPK) Nomor CBC.MDN/009/SPPK/2005 Tanggal 6 Januari 2005 ;
2. Surat Pemberitahuan Persetujuan Kredit (SPPK) Nomor CBC.MDN/190/2005 Tanggal 20 Juni 2005.
Pada putusan Pengadilan Niaga ini tidak disebutkan apakah PT. BANK MANDIRI ini statusnya kreditur pemegang hak jaminan fidusia atau hanya kreditur konkuren, status PT. BANK MANDIRI ini diketahui setelah putusan pailit dijatuhkan dan kurator melakukan penyitaan asset dari debitur, maka diketahuilah bahwa PT. BANK MANDIRI tersebut merupakan kreditur pemegang hak jaminan fidusia yang dibuktikan dengan sertifikat jaminan fidusia. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka pemohon mengajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga Medan agar
berkenan memberikan putusan menerima dan mengabulkan permohonan pernyataan pailit pemohon, menyatakan pemohon dalam keadaan pailit dengan segala akibat hukumnya.
Terhadap permohonan pailit oleh pemohon tersebut, maka Hakim memberikan pendapat hukumnya sebagai berikut :
1. Bahwa sebuah Perseroan Komanditer yang sejak tahun 2005 dikarenakan kerugian yang dialami pemohon pailit akibat krisis ekonomi dan peristiwa tsunami, pemohon tidak mampu lagi meneruskan kegiatan usaha karena mengalami kerugian besar ;
2. Pemohon dalam transaksi jual produk hasil-hasil bumi antara lain : pinang, gambir, damar dan kopi bersama dengan beberapa pihak supplier (kreditur), akibat kerugian yang sangat besar tidak mampu memenuhi kewajiban kepada pihak ketiga dan atas transaksi tersebut pemohon mempunyai utang kepada kreditur sebesar Rp. 2.459.243.369 (dua miliar empat ratus lima puluh sembilan juta dua ratus empat puluh tiga ribu tiga ratus enam puluh sembilan rupiah) ;
3. Bahwa selain utang kepada beberapa pihak kreditur tersebut, pemohon juga mempunyai utang kepada kreditur lainnya, yakni PT. BANK MANDIRI (Persero) Tbk., Commercial Banking Center Medan sebesar Rp. 4.400.000.000,- (empat miliar empat ratus juta rupiah) ;
4. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, apabila dapat dibuktikan fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi, dengan syarat-syarat yaitu mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya ; 5. Bahwa menurut pemohon, utang tersebut tidak dapat dilunasinya karena pemohon kesulitan
likuiditas finansial sejak tahun 2005, disebabkan adanya krsisis ekonomi dan bencana tsunami dan kini pemohon menyatakan tidak sanggup lagi membayar utang-utangnya ;
6. Bahwa berdasarkan keseluruhan pertimbangan hukum tersebut diatas, maka permohonan pailit dari pemohon patut dan layak untuk dikabulkan, sehingga pemohon haruslah dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya.
Berdasarkan keterangan dari pihak Balai Harta Peninggalan bahwa pemohon melakukan peminjaman kredit kepada PT. BANK MANDIRI (Persero) Tbk., Commercial Banking Center Medan, dengan jaminan dalam bentuk jaminan fidusia, maka dalam hal ini PT. BANK MANDIRI tersebut merupakan kreditur separatis. Benda jaminan yang dijadikan pemohon dalam melakukan peminjaman kredit kepada PT. BANK MANDIRI tersebut berupa :
1. Stock barang-barang dagangan milik pemberi fidusia, yaitu : pinang bulat, pinang belah, pinang nol bulat, pinang nol belah, pinang rebus, gambir halaban, gambir kuning, gambir coin, gambir lumpang, kayu manis, daun nilam, gagang cengkeh, goni dalam dan goni luar ;
2. Berupa mesin-mesin yaitu : Sulzar – Karachi, Afzal – Karachi, Imco – Singapura, Desai –
Singapura, dan Fajestable – Singapura.
Pada kasus ini PT. BANK MANDIRI ini diberikan kesempatan untuk menjual benda- benda jaminan fidusianya dalam waktu 2 (dua) bulan, tetapi dalam waktu tersebut PT. BANK MANDIRI tidak mampu menjualnya karena waktu tersebut terlalu singkat waktunya untuk mencari pembeli benda jaminan fidusia tersebut, sehingga PT. BANK MANDIRI tersebut menyerahkan kembali benda jaminan fidusia tersebut kepada kurator untuk menjualnya.
Kasus di atas menunjukkan waktu 2 (dua) bulan yang diberikan undang-undang kepada kreditur pemegang hak jaminan fidusia untuk mengeksekusi benda jaminannya sangatlah tidak mungkin dilakukan, apalagi bila sudah berhubungan dengan benda yang nilainya tinggi dan manfaat dari benda tersebut tidak bisa dimulti fungsikan, misalnya mesin-mesin pabrik yang dijaminkan dengan jaminan fidusia terutama apabila pabrik tersebut pabrik kayu. Jika perusahaan tersebut pailit, untuk mencari pembeli dari mesin-mesin tersebut sangat sulit karena pembeli tidak akan mau membelinya sebab mesin tersebut tidak dapat digunakan untuk hal lainnya, dan juga mesin tersebut berfungsi hanya bila bahan baku berupa kayunya itu ada, dan pada saat ini bahan
baku kayu sangat sulit dicari, sehingga untuk mencari pembeli mesin tersebut akan sangat sulit, dan apabila benda jaminan tersebut terjual akan mengakibatkan nilai benda jaminan tersebut akan jatuh dan merugikan kreditur pemegang hak jaminan fidusia tersebut. Misalnya dapat dilihat pada perusahaan PT. Barakas di Tapanuli yang bergerak di bidang perkayuan. Perusahaan tersebut pailit dan menjaminkan mesin-mesinnya kedalam jaminan fidusia kepada PT. BANK BNI Tbk, mesin-mesin tersebut tidak dapat dijual karena tidak ada pembeli yang mau membelinya.
Bank sebagai kreditur pemegang hak jaminan fidusia dalam hal ini selalu memilih jalan tengah atau dengan perdamaian. Bank akan selalu membantu debiturnya apabila debiturnya mengalami kesulitan. Ini menyebabkan jarang bank memohonkan pailit terhadap debiturnya selain bank mempunyai hak benda jaminannya, dan juga tergantung benda yang dijaminkan. Apabila benda yang dijaminkan tersebut sulit untuk dijual, dan jika dijual hanya akan merugikan pihak bank, selain nilai benda jaminan yang jatuh dan juga apabila bank ingin mendapat sisa dari utang debitur tersebut maka bank harus melepaskan hak nya sebagai kreditur separatis dan berubah menjadi kreditur konkuren dimana dalam kreditur konkuren ini maka bank akan berbagi dengan kreditur konkuren lainnya atas asset debitur tersebut.
Apabila bank mengetahui debitur tersebut mengalami kemunduran dalam usahanya maka pihak bank akan segera membantu debitur tersebut dengan masuk kedalam perusahaan tersebut dan melihat dimana letak kemunduran dari debitur tersebut. Dalam hal benda jaminannya berupa benda yang dengan cepat dijual misalnya mobil, maka sebelum usaha dari debitur semakin mundur, bank akan menyarankan agar menjual mobil tersebut sehingga debitur terbantu dan bank mendapat kembali pinjaman yang telah dia berikan kepada debitur. Misalnya pinjaman yang diberikan kepada debitur sebesar Rp. 80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah) dan agunan yang diberikan kepada bank berupa mobil yang harganya Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), maka debitur terbantu dengan mendapat dana segar sebesar Rp. 120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah). Pada dasarnya bank selalu berpinsip sama-sama untung.129
129
Hasil wawancara pada tanggal 19 Januari 2009 dengan Linda, Bank Artha Graha Cabang Medan.
Sehubungan dengan adanya ketidak serasian antara berbagai undang-undang yang mengatur mengenai hak jaminan dalam UUK dan PKPU, maka akan timbul masalah hukum mengenai undang-undang mana yang harus diberlakukan. Dalam hal ini bank sebagai pemegang hak jaminan fidusia dalam melihat pilihan hukum ini, bank mengikuti ketentuan kepailitan walaupun bank mempunyai hak benda jaminan fidusia, bank beralasan memilih ketentuan kepailitan karena peristiwanya terjadi di ruang lingkup kepailitan, oleh karena itu bank ikut dalam ketentuan pailit.130
Apabila kreditur pemegang hak jaminan tersebut melaksanakan haknya yaitu mengeksekusi benda jaminannya, wajib memberikan pertanggungjawaban kepada kurator tentang hasil penjualan benda yang menjadi agunan dan menyerahkan sisa hasil penjualan setelah dikurangi jumlah utang, bunga, dan biaya kepada kurator. Dalam hal hasil penjualan benda jaminan tersebut tidak cukup untuk melunasi piutang yang bersangkutan, kreditur pemegang hak tersebut dapat mengajukan tagihan pelunasan atas kekurangan tersebut dari harta pailit sebagai kreditur konkuren setelah mengajukan permintaan pencocokan piutang.
Kreditur separatis pemegang hak jaminan fidusia yang merasa bahwa nilai objek jaminan fidusianya setelah dijual lebih kecil dibanding dengan piutangnya diberikan kesempatan untuk dapat mengambil kembali seluruh dari jumlah piutang yang dijamin dengan jaminan fidusia tersebut.
Pasal 138 UUK dan PKPU memberikan peluang tersebut kepada kreditur yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya, atau yang mempunyai hak yang diistimewakan atas suatu benda tertentu dalam harta pailit. Peluang tersebut diberikan apabila dapat membuktikan bahwa sebagian piutang tersebut kemungkinan tidak akan dapat dilunasi dari hasil penjualan benda yang menjadi agunan dan dapat meminta diberikan hak-hak yang dimiliki kreditur konkuren atas bagian piutang tersebut tanpa mengurangi hak untuk didahulukan atas benda yang menjadi agunan atas piutangnya. Hak-