• Tidak ada hasil yang ditemukan

Beberapa Permasalahan Dalam Praktik Peradilan

DALAM KEPAILITAN

A. Permasalahan Eksekusi Jaminan Fidusia Secara Umum dan Dalam Praktik Peradilan 1 Permasalahan Pada Umumnya

2. Beberapa Permasalahan Dalam Praktik Peradilan

1. Benda jaminan fidusia dalam keadaan rusak atau tidak diketahui keberadaannya.

Dalam perjanjian jaminan fidusia, pada pokoknya ditentukan bahwa debitur pemberi fidusia memiliki kewajiban dan tanggung jawab atas keadaan, kehilangan, kemusnahan, pengurangan kualitas atau nilai dan kerusakan barang-barang yang dijadikan objek jaminan fidusia. Oleh karena itu, debitur pemberi jaminan fidusia harus melakukan pemeliharaan agar benda jaminan fidusia dalam keadaan relatif baik. Debitur pemberi jaminan fidusia wajib mengganti benda jaminan fidusia apabila benda tersebut hilang atau rusak atau tidak dapat dipakai lagi. Kewajiban debitur pemberi fidusia harus diletakkan dalam logika berpikir bahwa kreditur penerima memiliki hak atas benda jaminan fidusia dalam kaitannya dengan penjaminan hutang debitur.137

Realisasi ini lebih semakin jelas ketika debitur melakukan wanprestasi yakni tidak memenuhi kewajiban untuk membayar hutang. Pertanggungjawaban atas hutang debitur adalah dengan meletakkan sita atas objek jaminan fidusia yang kemudian dijual menurut ketentuan hukum jaminan.138

Apabila objek jaminan fidusia dalam keadaan rusak, dan debitur tidak dapat melunasi hutangnya, penyitaan benda jaminan atas permintaan kreditur tidak harus menunggu bahwa debitur fidusia memperbaiki benda tersebut seperti dalam keadaan semula sebagaimana pada

137 Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Op. Cit., hal. 302.

138 Ibid.

saat debitur fidusia menjaminkannya. Kelalaian atas kewajiban merawat benda jaminan adalah tanggung jawab debitur fidusia.

Permasalahan mengenai benda jaminan fidusia dalam keadaan rusak dapat dicermati pada putusan Pengadilan Negeri Siantar dalam perkara Sejahtera Bank Umum v.s. Timbul Saragih, No. 26/Pdt.G/1991/PN-PMs, tanggal 11 Oktober 1991. Perkara ini bermula dari Sejahtera Bank Umum (penggugat) memberikan pinjaman kredit investasi kepada Timbul Saragih (tergugat) yang dituangkan dalam perjanjian kredit No. 019.KI/90, tanggal 22 Maret 1990 dan akta pengakuan utang dengan jaminan fidusia No. 113, tanggal 30 Maret 1990.

Dalam pokok perkara, majelis hakim mengabulkan gugatan penggugat sebagian, menyatakan sah dan berharga sita jaminan dan sita milik, menyatakan menurut hukum tergugat telah ingkar janji kepada penggugat. Selanjutnya menghukum tergugat untuk membayar hutang pokok kepada penggugat sebesar Rp. 44.263.000,- ditambah bunga sebesar Rp.5.592.676,- menghukum tergugat untuk membayar bunga atas hutangnya sebesar 1,25% dari hutang pokok sebagai bunga berjalan sejak gugatan didaftarkan di pengadilan hingga putusan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Penyitaan adalah salah satu upaya hukum yang diberikan oleh undang-undang kepada kreditur untuk menjamin tuntutan hak apabila gugatan dikabulkan.139 Dengan demikian maksud kreditur penerima fidusia untuk meletakkan sita terhadap benda jaminan fidusia adalah untuk menjamin hak dari kreditur penerima fidusia dan untuk menjaga adanya usaha debitur pemberi fidusia menyingkirkan atau menjauhkan benda dari kreditur penerima fidusia.140 Yang dimaksud dengan menyingkirkan atau menjauhkan benda yang disita adalah dengan melakukan penjualan atau menghilangkan benda jaminan.141 Dengan penyitaan benda jaminan fidusia dimaksudkan bahwa kreditur penerima fidusia mempersiapkan agar kepentingannya dapat dilaksanakan lewat putusan hakim. Ini berarti benda jaminan fidusia

139

Pasal 227 HIR pada prinsipnya mengatakan apabila ada persangkaan yang beralasan bahwa seseorang berhutang mencari akal akan menggelapkan atau menjauhkan barang dari kreditur, akan dapat diletakkan sita untuk menjaga hak kreditur.

140 Bandingkan Djazuli Bachar, Eksekusi Putusan Perkara Perdata, Segi Hukum dan Penegakan Hukum, (Jakarta : Akademika Pressindo, 1987), hal 53.

141

yang disita tidak boleh lagi dialihkan kepada siapapun. Debitur pemberi fidusia yang menguasai benda jaminan fidusia kehilangan kewenangannya dan apabila benda jaminan itu diasingkan atau dialihkan maka perbuatan tersebut tidak sah dan merupakan perbuatan pidana.142

Yang menjadi masalah adalah penyitaan benda jaminan fidusia sudah tidak ada lagi atau bendanya tidak ditemukan lagi. Dalam hukum acara perdata, penyitaan yang demikian lazim disebut dengan istilah sita niet bevindin. Tidak ditemukannya benda jaminan yang disita di lapangan pada saat pelaksanaan sita dapat terjadi terhadap semua barang yang ditunjuk penggugat atau hanya mengenai barang tertentu saja. Sita niet bevinding telah digariskan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 1962 tanggal 25 April 1962. Dalam surat tersebut pengertian niet bevinding harus diberikan makna yang luas yakni meliputi secara nyata barangnya tidak diketemukan, secara nyata barangnya tidak ada, sifat dan jenis tidak cocok dengan yang dikemukakan penggugat, dan batas-batas serta luas yang dikemukakan penggugat tidak sesuai dengan kenyataan dilapangan.143 Tujuan dari surat edaran tersebut adalah untuk menghindari penyitaan benda jaminan yang tidak pasti. Hasil temuan penelitian mengenai sita niet bevinding adalah benda jaminan fidusia tidak ditemukan lagi, kreditur penerima jaminan fidusia tidak dapat menunjukkan benda jaminan fidusia, benda jaminan fidusia tidak diketahui keberadaannya, benda jaminan fidusia sudah tidak ada lagi dan kreditur fidusia tidak dapat menunjukkan benda jaminan fidusia.

Kasus perjanjian jaminan fidusia yang objeknya telah disita dan tuntutan kreditur dikabulkan hakim tetapi ternyata barangnya tidak ditemukan lagi dapat dilihat dari putusan Pengadilan Negeri Medan dalam perkara Bank Internasional Indonesia v. Kwan Pok Keng, Liaw Tjai Hoa dan Ng Tjin San, No. 462/Pdt. G/PN-Mdn, tanggal 23 Juni 1992.

142

2. Benda jaminan fidusia merupakan harta bersama.

Dalam UUJF tidak ada ketentuan yang mengatur tentang benda jaminan fidusia yang berasal dari harta bersama. Yang menjadi persoalaan adalah apakah seorang istri dapat menjaminkan harta benda secara fidusia yang diperoleh selama perkawinan tanpa izin suami. Yang dimaksud dengan harta benda yang diperoleh selama perkawinan adalah harta benda bersama.144 Undang-undang tidak menjelaskan, atas usaha siapa harta benda itu diperoleh, apakah atas jerih payah isteri atau suami ; yang terpenting bagi hukum adalah harta benda itu diperoleh selama perkawinan, juga undang-undang tidak menjelaskan luas cakupan harta bersama tersebut.145 Menurut Kompilasi Hukum Islam, harta bersama meliputi harta benda berwujud dan harta benda tidak berwujud. Harta benda berwujud meliputi benda bergerak dan benda tidak bergerak.146

Suami atau istri dapat melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama dengan persetujuan kedua belah pihak.147 Perbuatan hukum yang dimaksud antara lain menyewakan, menjual dan menjaminkan harta bersama untuk memperoleh fasilitas kredit.148 Ratio yuridis diperlukannya persetujuan suami atau isteri jika salah satu pihak hendak menggunakan harta bersama adalah didasarkan kepada keseimbangan antara hak dan kedudukan suami isteri baik dalam rumah tangga maupun kehidupan masyarakat.149

Permasalahan mengenai harta bersama dijadikan objek jaminan fidusia dapat dilihat pada Putusan Pengadilan Negeri Medan dalam perkara Renny Helena Hutagalung melawan PT. Sumatra Berlian Motors dan Bank Bali, No. 107/Pdt.G/1994/PN Mdn, tanggal 3 Agustus 1994 ; Putusan PN Medan No. 60/Pdt.Plw/1994/PN Medan jo. Putusan Pengadilan Tinggi Medan dalam perkara PT. Sumatera Berlian Motors v. Maruli H.T.T. Pardede ; Bank Bali ; Reny Helena Hutagalung jo. Putusan Mahkamah Agung No. 3935 K/Pdt/1996.

143

M. Yahya Harahap, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Conservatior Beslag, (Bandung : 1990), hal. 98.

144

Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

145 Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Op. Cit. , hal. 341.

146

Pasal 91 ayat (1) dan (2) Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991. 147

Pasal 36 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 148 Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991.

Berdasarkan dokumen-dokumen dalam perkara yang dikemukakan tersebut ditemukan bahwa seorang isteri mengadakan perjanjian jual beli mobil dengan pihak Showroom sebagai penjual. Harga mobil dibiayai oleh fasilitas kredit bank. Sebagai jaminan hutang kepada bank, pihak pembeli/debitur menjaminkan mobil tersebut secara fidusia. Ternyata debitur ingkar janji dan perkaranya diajukan ke pengadilan. Benda jaminan fidusia disita dan debitur harus membayar hutang kepada bank.150 Kemudian suami melakukan perlawanan dengan dasar bahwa mobil yang dijadikan jaminan hutang adalah harta bersama. Putusan pengadilan memenangkan suami dari debitur sehingga sita harus diangkat atau dicabut.151

Selanjutnya bahwa atas putusan tersebut, pihak penjual mengajukan banding dan ternyata tidak berhasil.152 Pada akhirnya, perkara tersebut diajukan ke tingkat kasasi. Dalam putusannya, Mahkamah Agung berpendapat bahwa mobil yang dijadikan jaminan hutang adalah harta bersama, dan menolak permohonan kasasi PT. Sumatera Berlian Motors.153

Dari ringkasan perkara tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa harta bersama dapat dijadikan jaminan hutang termasuk lembaga jaminan fidusia dengan ketentuan harus ada persetujuan dari suami atau isteri. Dalam praktik bank, apabila suami atau isteri hendak meminjam kredit dengan menjaminkan harta bersama, harus mendapat izin dari salah satu pihak dan diberikan secara tertulis. Tujuannya adalah agar ketika bank akan melelang benda jaminan, salah satu pihak suami atau isteri tidak melakukan perlawanan.

3. Debitur Mengajukan Gugatan Perdata terhadap Kreditur.

Permasalahan lainnya dalam praktik peradilan yang dapat menghambat proses eksekusi jaminan fidusia adalah debitur mengajukan gugatan perdata terhadap kreditur. Untuk

149

Pasal 31 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 150

Lihat Putusan Negeri Medan dalam perkara Renny Helena Hutagalung melawan PT. Sumatra Berlian Motors dan Bank Bali, No. 107/Pdt.G/1994/PN Mdn, tanggal 3 Agustus 1994.

151

Lihat Putusan PN Medan No. 60/Pdt.Plw/1994/PN Mdan 152

Lihat Putusan Pengadilan Tinggi Medan dalam perkara PT. Sumatera Berlian Motors v. Maruli H.T.T. Pardede ; Bank Bali ; Reny Helena Hutagalung

153

mencermati permasalahan ini dapat dilihat dalam perkara antara PT. Nikko Securities v. PT. Gemawidia Statindo Komputer, No. 24/Pailit/2001/PN. Niaga/Jkt. Pst.jo. No. 28 K/N/2001 jo. No. 024 PK/N/2001.

Dalam perkara ini permohonan kepailitan diajukan oleh PT. Nikko Securities agar PT. Gemawidia Statindo Komputer dinyatakan pailit karena tidak membayar promissory notes yang telah jatuh tempo. PT. Gemawidia Statindo Komputer adalah perusahaan teknologi informasi yang telah memenangkan tender penyelenggaraan proses remote trading pada Bursa Efek Jakarta dengan syarat apabila PT. Gemawidia Statindo Komputer mengakuisisi PT. Danamon Sanatel. Karena ketiadaan modal kemudian PT. Gemawidia Statindo Komputer mengadakan aliansi strategis dengan PT. Nikko Securities untuk mengakui sisi PT. Danamon Sanatel, kemudian disepakati skema akuisisi PT. Danamon Sanatel oleh PT. Gemawidia Statindo Komputer yang dibiayai oleh PT. Nikko Securities yang dituangkan dalam bentuk Promissory Notes.154

Skema akuisisi disepakati senilai Rp. 38 Milyar yang dibayar melalui beberapa termin, dan klausula batal apabila pembeli tidak berhasil memenuhi kewajibannya. Termin I sebesar Rp. 5,7 milyar dapat dilaksanakan, namun termin kedua tidak berhasil dilaksanakan karena PT. Nikko Securities tidak memenuhi pembayaran. Konsekwensinya PT. Gemawidia Statindo Komputer gagal mengakui sisi PT. Danamon Sanatel dan uang muka Rp. 5,7 milyar tidak dapat dikembalikan. Atas dasar ini maka PT. Nikko Securities menggugat PT. Gemawidia Statindo pailit.155

Majelis Hakim Pengadilan Niaga mengabulkan permohonan PT. Nikko Securities dan menyatakan PT. Gemawidia Statindo pailit karena tidak membayar promissory notes sebesar 7 milyar rupiah yang telah jatuh tempo. Seminggu sebelum putusan pailit ditetapkan PT. Gemawidia Statindo mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas dasar wanprestasi. Meskipun Pengadilan Niaga Jakarta Pusat memutuskan kepailitan PT. Gemawidia Statindo, begitu juga majelis Kasasi Niaga dan Peninjauan Kembali di Mahkamah

154

Sunarmi, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, Op.,Cit., hal. 271.

Agung, namun Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tetap menerima gugatan, melanjutkan pemeriksaan dan mengabulkan permohonan sita jaminan terhadap PT. Nikko Securities.156

Dari kasus ini terdapat dua keputusan pengadilan yang berbeda, yang pada akhirnya merugikan kepentingan kreditur. Padahal Pasal 28 secara tegas menentukan bahwa proses gugatan di persidangan lain harus ditunda dengan adanya putusan pailit.

Adanya putusan yang saling bertentangan ini, dalam praktiknya mempersulit kedudukan kurator untuk melaksanakan tugasnya sehingga pada akhirnya putusan pailit tidak dapat dilaksanakan dan merugikan kepentingan kreditur.