• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAHASAN HASIL TEMUAN

B. Pola Relasi Guru dan Murid Sebagai Implikasi Interaksi Edukatif

3. TMI. PP al-Amien Prenduan Sumenep

292

diambil suatu konklusi bahwa pola relasi sosial antara guru dan murid yang terbentuk melalui proses interaksi edukatif di PPS Pasuruan dapat dikategorikan sebagai pola relasi patronase. Namun demikian, bukan relasi sosial patronasi yang mengarah pada “paternalistic-feodalistik” yang sangat mendasarkan kehidupan pesantren pada nilai-nilai

sufistik-mistik semata, 106 melainkan mengarah pada pola

“patronase-organanisatoris-fungsional.” Karena, meskipun PPS sebagai pesantren

salaf telah melakukan pembagian tugas dengan baik dan terjadi penjenjangan dalam melakukan interaksi dari masing-masing komponen-komponen pesantren yang ada. Oleh karena itu, pengaruh kiai dalam kehidupan interaksi edukatif di pesantren, bukan sebagai kekuasaan absolut mutlak, karena telah ada proses pendistribuasian tugas dengan jelas dan proporsional.

3. TMI. PP al-Amien Prenduan Sumenep

Interaksi edukatif yang dijalankan oleh unsur-unsur pondok pesantren yang ada di TMI Al-Amien, menganut pola kesetaraan (egalitarian). Kesetaraan yang dimaksudkan adalah baik kiai maupun ustadz dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik berinterkasi dengan murid (santri), tidak ada perbedaan (setara) diantara mereka. Mereka bertindak dan bekerja sesuai SOP yang berlaku di TMI.107 Interaksi

106 Chumaidi Syarief Romas, Kekerasan di Krajaan Surgawi (Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2003),

46.

107 Semua aktifitas di TMI ditatur sedemikian rupa, semua kegiatan diatur dengan Standard

Operating Prosedur, yang kemudian dalam aplikasinya dikontrol dengan bel yang disebut dengan TENGKO (Teng Komando), dalam : Ust. Fathol Mu’in, Wawancara, Sumenep : 13 Maret 2018.

293

edukatif diantara mereka, bisa berlasngung kapanpun dan di manapun, dengan tiga prinsip utama yang dijalakannya, yaitu : (a). Shuhbah; yakni berbaur dengan cara melibatkan diri di tengah-tengah kegiatan santri (b).

Dakwah; senantiasa menyeru mereka (santri) terhadap kebaikan dan

menjauhkan diri dari kemungkaran; dan (c). Uswah ; yakni memberikan contoh tauladan yang baik bagi para santri.108

Pola kesetaraan juga terlihat dari cara kiai melayani santri, mereka penuh keakraban dan tidak terkesan birokratis.109 Keakraban itu terjadi, tidak hanya di tempat-tempat dan waktu-waktu tertentu saja, di arena olahraga sekalipun, mereka berbaur sebagai teman bermain.110 Santri diperlakukan bukan hanya sebagai murid dalam sebatas ikatan proses pembelajaran, tetapi lebih dari itu, mareka dianggap seperti anak sendiri dan sebagai patner mitra sejajar dalam jalinan relasi sosial sehari-hari.

Demikian pula kesetaraan tersebut juga diwujudkan melalui sikap keterbukaan kiai menampung arpirasi berupa kritik atau keluh kesah yang disampaikan oleh santri pada kiai. Kritik, saran atau usulan melalui forum diskusi bukanlah hal yang tabu. Dialog kiai dengan santri disediakan waktu khusus, yaitu setiap hari Jum’at pagi yang dikenal dengan dialog mingguan. Tidak ada batasan materi yang didialogkan pada forum itu, tergantung keinginan para santri. Apakah tentang kebijakan pesantren, kegiatan sehari-hari, materi pelajaran, lingkungan, bahkan tentang guru

108 Ust. Fathol Mu’in, Wawancara, Sumenep : 13 Maret 2018.

109 KH. Ghozi Mubarok, Wawancara, Sumenep 12 Juni 2017.

110 Ibid.

294

sekalipun tidak jarang menjadi materi pembahasan dalam diskusi tersebut.111 Juga hak kontrol, kritik dan saran yang konstruktif oleh para santri terhadap kiai atau ustadz, bisa melalui kotak saran yang dikenal dengan “Kotak Putih”. Kotak Putih tersebut, tersedia di setiap pojok ruangan untuk menampung suara (aspirasi) santri yang belum tercover dalam dialog mingguan.112

Pola relasi kesetaraan ini al-Gazali mengistilahkan dengan relasi kemitraan, yaitu relasi antara guru dan murid yang didasarkan pada nila-nilai demokratis, humanis, keterbukaan dan saling pengertian antara mereka. Eksistensi guru dan murid sama-sama diakui dan dihargai.113 Hal ini sejalan dengan ajakan Paulo Freire untuk meninggalkan praktik model pendidikan “gaya bank”. Praktik pendidikan gaya bank ini, potensi murid hanya dipandang sebelah mata, sedangkan guru menganggap dirinya sebagai orang yang serba bisa. Akibatnya, praktik pendidikan dijalankan bagaikan kegiatan menabung di bank. Murid dianggap “celengan,” sedangkan guru adalah penabungnya. Praktik seperti ini, tidak terjadi proses komunikasi dua arah, karena tidak ada kesetaraan antara mereka.114

Padahal, menurut Hobbes manusia diciptakan “setara.” Adanya yang lebih kuat diantara mereka dan yang lebih cerdas dari yang lainnya, bukan berarti menghapus adanya sikap kesetaraan. Karena sikap pembedaan

111 Ibid.

112 Ibid.

113 Harizal Anhar, Interaksi Edukatif Menurut Pemikiran Al-Gazali, Jurnal Ilmiah Islam Futura

Vol. 13. No. 1 (Agustus, 2013), 38.

114Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas (Jakarta: LP3S, 2008), 52-53.

295

seperti itu, justru kemudian akan membuat sikap kecenderungan untuk mengambil keuntungan sepihak dari yang lainnya.115

Kesetaraan yang diberlakukan pada murid tanpa memandang latar belakang si murid, berangkat dari perasaan kemanusiaan yang menyadari adanya kesamaan hak dengan lainnya dalam banyak hal. Perbedaan latar belakang suku, asal daerah maupun faham keagaan santri seperti yang terjadi di TMI al-Amien tidak menjadi penghalang untuk hidup berdampingan satu sama lain, sehingga mampu membuat adanya kesadaran persaudaraan sosial. Sebastian Cherng menyebutnya sebagai kesadaran multikultural, sehingga guru memiliki kepekaan sosial dan menghargai perbedaan latar belakang kultur si murid dan mampu menjalin hubungan yang lebih baik dengan murid.116

Sikap kesetaraan atau kesamaan derajat itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) semakna dengan “egaliter,” yaitu setiap orang memiliki kesamaan derajat dengan yang lainnya.117 Bagi masyarakat egaliter, prinsip sikap berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah, selalu jadi pegangan dalam kehidupan relasi sosialnya. Saling menghargai, saling memcintai, bersifat demoktaris, sikap rela berkorban serta menikmati haknya sebagai bagian dari kehidupan masyarakat adalah sebuah

115 Muhammad Barir, Sejarah Kelas dan Masyarakat Egaliter, 36.

116 Hua-Yu Sebastian Cherng dan Laura A. Davis, Multicultural Matters: An Investigation of key

Assumptions of Multicultural Education Reform in Teacher Education, Jurnal of Teacher

Education, (2017), 1-18.

117 Pengertian Egaliter, dalam : https://www.kanalinfo.web.id/2016/10/pengertian-egaliter.html,

diakses tanggal 15 November 2018

296

keniscayaan.118

Ajaran Islam telah memberikan tuntunan bahwa setiap manusia berkedudukan sederajat (egaliter) dihadapan Allah SWT. Tidak ada yang lebih unggul antara yang satu dengan yang lainnya, kecuali hanyalah ketakwaannya kepada Allah Swt. Rasulullah Saw dalam sebuah khutbahnya juga pernah menyampaikan; bahwa tidak ada golongan atau suku yang lebih unggul dari yang lainnya. Bahkan, suku Arab sekalipun yang sebangsa dengan Nabi dan merupakan suku di mana tempat Nabi Muhammad Saw dilahirkan, kecuali yang membedakan adalah kadar ketakwaannya kepada Allah. Hal ini terekam dalam sebuah hadith yang dirilis oleh Abi Nadhroh, yaitu :

ْةَﺮْﻀَﻧ ِْﰊَأ ْﻦَﻋَو

:َلﺎَﻗ

»

:َلﺎَﻘَـﻓ ِﻖْﻳِﺮْﺸﱠﺘﻟا ِمﱠ�َأ ِﻂَﺳَو ُِﰲ َﻢّﻠَﺳَو ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﷲ ﻰﱠﻠَﺻ ِِﱯﱠﻨﻟا َﺔَﺒْﻄُﺧ َﻊَِﲰ ْﻦَﻣ ِْﲏَﺛﱠﺪَﺣ

َﺠَﻌِﻟ َﻻَو ،ٍّﻲِﻤَﺠَﻋ ﻰَﻠَﻋ ٍِّﰊَﺮَﻌِﻟ َﻞْﻀَﻓ َﻻ َﻻَأ ،ٌﺪِﺣاَو ْﻢُﻛَﺑﺎَأَو ٌﺪِﺣاَو ْﻢُﻜﱠﺑَر ﱠنِإ ،ُسﺎﱠﻨﻟا ﺎَﻬﱡـﻳَأ َ�

ِﻤ

،ٍِّﰊَﺮَﻋ ﻰَﻠَﻋ ٍّﻲ

؟ُﺖْﻐَﻠَـﺑَأ ،ىَﻮْﻘﱠـﺘﻟِﺑﺎ ﱠﻻِإ َدَﻮْﺳَأ ﻰَﻠَﻋ َﺮَْﲪَأ َﻻَو ،َﺮَْﲪَأ ﻰَﻠَﻋ َدَﻮْﺳَأ َﻻَو

ﷲ ﻰﱠﻠَﺻ ِﷲ ُلْﻮُﺳَر َﻎَﻠَـﺑ :اﻮُﻟﺎَﻗ

ِﻪْﻴَﻠَﻋ

َﻢﱠﻠَﺳَو

119

.

Dari Abu Nadhrah telah menceritakan kepadaku orang yang pernah mendengar khutbah Rasulullah SAW ditengah-tengah hari Tasyriq. beliau bersabda: “Wahai sekalian manusia! Rabb kalian satu, dan ayah kalian satu (maksudnya Nabi Adam). Ingatlah. Tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang Ajam (non-Arab) dan bagi orang ajam atas orang Arab, tidak ada kelebihan bagi orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, bagi orang berkulit hitam atas orang berkulit merah kecuali dengan ketakwaan. Bukankah aku sudah menyampaikan?” mereka menjawab: Iya, benar Rasulullah SAW telah menyampaikannya.”

118 Ibid.

119 al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani, "Fath al-Bari bi Sharhi Shahih al-Bukhari" (Beirut, Lebanon: Darul Kutub Islami), Juz. X, 248.

297

Sikap keterbukaan kiai, ustadz dan para santri di TMI, untuk memosisikan dirinya sesuai dengan porsi dan kapasitasnya masing-masing, telah memberikan kesan bahwa kehidupan relasi sosial yang dibangun melalui interaksi edukatif, nampak sangat dinamis dan bersikap egaliter. Sikap egaliter tersebut yang peneliti temukan melalui data-data lapangan setelah didiologkan dengan beberapa teori, maka pola relasi yang terbangun antara guru dan murid di TMI, dapat diketegorikan sebagai “Pola Relasi Sosial Egaliter”, dengan tipologoli pondok pesantren

Khalaf-Integratif.

Sebagai “pondok modern,” meskipun Ta’li>m al-Muta’allin tidak diajarkan melalui sistem bandongan melainkan dikemas dalam pembelajran klasikal, namun penghormatan dan kepatuhan santri terhadap kiai tetap terjaga dengan baik. Akan tetapi penghormatan tersebut bersifat sewajarnya, tidak terkesan berlebihan. Seperti ketika berpapasan dengan kiai di jalanan, murid hanya berhenti sejenak dengan maksud mendahulukan kiai. Tidak sampai buka sandal, menepi (nyese) serta membungkukan badan dan lain sebagainya.

Dari berbagai analisis hasil termuan di atas, bangunan relasi sosial guru dan murid ketiga pondok pesantren itu, termasuk dalam ketegori relasi sosial assosiatif.120 Relasi sosial assosiatif (kooperatif) itu terjadi

karena adanya kesamaan orientasi setiap komunitas yang ada di dalamnya.

120 James P. Spradley dan David McCurdy, Anthropology:11. Gillin dan Gillin membagi relasi

sosial assosiatif ini menjadi : assosiatif kooperatif, assosiatif akomodatif serta relasi sosial

assosiatif asimilatif. Baca : John Lewis Gillin dan John Philip Gillin, Cultural Sociology (New

York : The Macmillan Company, 1954), 501.

298

Menurut Cooley, dikarenakan individu atau kelompok yang bekerjasama di dalamnya, menyadari akan adanya kesamaan kepentingan dan tujuan, serta mampu mengendalikan diri bila mana terdapat salah satu kepentingan yang belum terpenuhi diantara mereka.121

Juga termasuk relasi sosial assosiatif (akomodatif), dilihat dari homoginitas santri yang mondok di pesantren. Mereka berasal dari berbagai daerah dengan status dan stratifikasi sosial yang berbeda-beda. Dari sinilah dituntut adanya sikap akomodatif terutama dari kiai, para ustad dan pengurus pesantren dalam menjalankan interaksi edukatifnya. Dalam perspektif Gillin dan Gillin akomodatif ini dimaknai adaptasi,122 didasarkan pada argumentasi, bahwa para santri sebagai makluk sosial perlu penyesuaian dengan lingkungan yang ada di sekitarnya. Dari proses adaptasi tersebut, maka kemudian berkembang menjadi proses

asimilasi.123

Murid (santri) melalui bimbingan guru (kiai) melakukan asimilasi ke dalam suatu komunitas pondok pesantren. Ia tidak lagi membedakan dirinya dengan keluarga besar pondok pesantren. Santri tidak lagi dianggap sebagai orang asing, malainkan bagian dari pondok pesantren. Sekat-sekat antara santri dengan santri, santri dengan guru serta unsur-unsur pesantren lainnya lebur menjadi satu sebagai keluarga besar pondok

121Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2012), 65,

dan Herabuddin, Pengantar Sosiologi ( Bandung : CV. Pustaka Setia, 2015), 2014-2015. .

122John Lewis Gillin dan John Philip Gillin, Cultural Sociology, 505, baca juga : Soerjono

Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, 69.

123 Ibid.

299

pesantren. Singkatnya, asimilasi ditandai dengan pengembangan beberapa sikap yang sama, walaupun kadangkala bersifat emosional demi mencapai satu tujuan. Paling tidak, tercapainya integrasi dalam organisasi, pikiran dan tindakan.124

Pola relasi assosiatif tersebut kemudian menghasilkan posisi dan peranan sosial masing-masing dalam individu maupun kelompok yang ada di pesantren. Merujuk pada pendapat Ralph Linton, posisi sosial disini dapat dimaknai sebagai kedudukan (status) sosial. Sedangkan peranan (role) adalah menjalankan hak dan kewajiban yang sesuai dengan kedudukan (status) sosial tadi. Perbedaan antara posisi (status) dengan peranan, sebenarnya untuk kepentingan ilmu pengetahuan saja. Faktanya, keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan. Karena yang satu bergantung kepada yang lainnya, begitu juga sebaliknya. Tak ada peranan tanpa kedudukan atau tak ada kedudukan tanpa peranan.125

Menjadi catatan penting di sini, kedudukan (status) sebagai guru yang terjadi di ketiga pondok pesantren ini bersifat achieved status. Kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usaha-usaha yang disengaja. Kedudukan ini tidak hanya diperoleh berdasarkan kelahiran (asribed status) semata, akan tetapi bersifat terbuka bagi siapa saja. Tergantung dari kemampuan masing-masing dalam mengejar cita-citanya. Misalnya, setiap orang dapat menjadi hakim asalkan memenuhi

124Ibid, 73-74.

125Ralph Linton, The Study Of Man, An Introdauction (New York: Appleton Century,1956), 105.

300

persayaratan tertentu. Terserah kepada yang bersangkutan apakah dia mampu menjalani syarat-syarat tersebut. Apabila tidak, maka tak mungkin kedudukan sebagai hakim akan tercapai olehnya. Sama halnya dengan profesi sebagai guru. Setiap orang dapat menjadi guru dengan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu yang semuanya tergantung pada usaha-usaha dan kemampuan yang bersangkutan untuk menjalaninya.126

Pengangkatan guru di pesantren telah diatur sedemikian rupa. Baik dari segi kualifikasi akademiknya, maupun kompetensinya. Ada proses tahapan-tahapan rekrutmen yang diatur berdasarkan sistem tata kelola yang berlaku di masing-masing pondok pesantren. Begitu juga bagi seorang kiai dalam pendidikan pondok pesantren, meskipun dalam posisinya sebagai pemimpin pondok pesantren bisa diproleh karena “asribed status”, akan tetapi dalam menjalankan perannya sebagai guru (pendidik), butuh keahlian dan skill dalam mengajar. Skill tersebut hanya dapat diproleh melalui achieved status tadi. Dari sinilah kemudian wajar posisi seorang guru sedikitnya harus memiliki tiga kompetensi, yaitu kompetensi profesional, kompetensi paedagogik, kompetensi personal dan kompetensi sosial.127

Proses relasi sosial moralis assosiatif antara guru dan murid itu, melalui pola komunikasi satu dimensi, dua dimensi bahkan tiga dimensi. Hal itu sejalan dengan pendapat Sya’roni, yang dikuatkan oleh Djamarah

126Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, 211.

127 UU. RI Nomor 20 Tahun 2003, tentang “Sistem Pendidikan Nasional”

301

dalam kajiannya melalui pendekatan keterampilan proses, bahwa relasi sosial moralis guru dan murid dapat berlangsung melalui tiga cara, yaitu: (1). Relasi satu dimensi (komunikasi sebagai aksi); (2). Relasi dua dimensi interaksi); serta (3). Relasi multi dimensi (komunikasi-transaksi). 128 Dari sinilah kemudian menghasilkan bangunan relasi sosial antara guru dan murid dengan pola relasi sosial moderasi,

patronasi-organisatoris-fungsional dan pola relasi sosial-egaliter, Sesuai dengan

interaksi edukatif yang dijalankannya dan tipe pondok pesantren sebagai cirikhas yang dimilikinya.

C. Perbedaan Interaksi Edukatif dalam Membangun Pola Relasi Guru dan