• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAHASAN HASIL TEMUAN

A. Interaksi Edukatif di Pondok Pesantren

5. Evaluasi Pembelajaran

277

humanistik dan integralistik.65 Bertujuan agar mampu melahirkan murid (santri) yang layak untuk disebut waladun saleh.

5. Evaluasi Pembelajaran

Evaluasi pembelajaran adalah suatu kegiatan yang dilakukan dalam interaksi edukatif, guna mendapatkan data tentang sejauh mana keberhasilan murid (santri) dalam belajar dan keberhasilan guru dalam mengajar. Instrumen yang dapat digunakan guru dalam pelaksanaan evaluasi, berupa seperangkat alat penggali data. Seperti tes perbuatan, tes tulis, dan tes lisan. PPSS menggunakan sistem evaluasi, terdiri dari Ujian Tengah Semister (UTS), Ujian Akhir Semister (UAS) dan Ujian Nasional (UN) bagi kelas akhir untuk lembaga pendidikan formal.66 Sedangkan Madrasah Diniyah dengan kurikulum pesantren, tanpa mengikuti ujian nasional yang diselenggarakan pemerintah. Instrumen penilaian yang diterapkan menggunakan tes tulis, tes lisan, hafalan serta ujian praktik baik yang dilaksanakan di lembaga internal pesantren, maupun melalui penugasan ke lembaga lain di luar pesantren. Seperti Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) dan lain sebagainya.

Untuk persyaratan kenaikan atau kelulusan bagi kelas akhir, murid tidak cukup lulus secara akademik melalui beberapa ujian tersebut di atas,

65Pendekatan pembelajaran tidak dapat dilepaskan dari paradignma dalam pendidikan. Paradigma

yang berbeda akan berdampak pada pemahaman tentang hakekat pendidikan termasuk di dalamnya metode pembelajaran. Untuk itu, secara teoritis dan filosofis metode pembelajaran dapat dibedakan menjadi metode pembelajaran humanistik dan integralistik, baca : Tobroni, Pendidikan

Islam:, 121.

66Mahmudi Bajuri. Kepala Tata Usaha Bidang Pendikan PPSS, Wawancara, Situbondo: 12 Juni

2017.

278

tetapai mereka juga dipersyaratkan lulus Ujian Kempetensi Kepesantrenan (UKK). UKK adalah sistem evaluasi yang diatur oleh pesantren dan mengikat semua lembaga yang ada di bawah binaan pondok PPSS, berisi materi tentang tiga ciri karakter PPSS, yaitu :(a) berakhlaqul karimah, (b) mampu membaca al-Qur’an dengan baik; dan (c). bisa membaca dan memahami kitab klasik sesuai jenjang pendidikannya masing-masing.67

Pelaksanaan evaluasi tiga aspek karakter kepesantrenan ini, dilaksanakan dengan menggunakan format ujian tulis dan lisan untuk aspek kepampuan membaca al-qur’an dan pemahaman kitab klasik. Sedangkan aspek akhlaqul karimah dinilai dengan observasi atau pemantauan tingkah laku saat proses pembelajaran dan diluar pembelajaran. 68 Termasuk dalam kategori akhlakul karimah adalah ketaatan santri dalam menjalankan aturan-aturan pesantren yang berlaku. Penilaian aspek akhlakul karimah ini terintegrasi dengan penilaian pondok pesantren.

PPS Pasuruan, sampai sekarang belum menerapkan sistem evaluasi ala pendidikan formal yang diselenggarakan oleh pemerintah, seperti Ujian Nasional (UN). Meskipun di dalamnya juga menyelenggarakan pembelajaran klasikal (MMU) yang ijazahnya telah mendapatkan pengakuan dari pemerintah (mu’adalah). Ada beberapa ragam sistem

67Pesan ini selalu disampaikan pengasuh ke-3 diberbagai kesempatan dan dijadikan sebagai

kebijakan penyelenggaraan lembaga pendidikan di PP. Salafiyah Syafi’iyah Sukjorejo Situbondo. Mahmudi Bajuri, Wawancara, Situbondo: 12 Juni 2017..

68 Mahmudi Bajuri, Wawancara, Situbondo: 12 Juni 2017.

279

evaluasi yang dipergunakan PPS, sebagai alat ukur dalam melakukan penilaian terhadap hasil belajar murid (santri). Mulai dari ujian tulis, lisan, setoran hafalan bahkan sistem penugasan (guru tugas) ke beberapa lembaga pendidikan yang membutuhkannya.

Pelaksanaan tugas mengajar (guru tugas) selama satu tahun di lembaga pendidikan yang membutuhkan, diwajibkan bagi murid (santri) Madrasah Tsanawiyah Mitahul Ulum dan menjadi persyaratan untuk memperoleh ijazah. Kriteria murid (santri) yang bisa melaksanakan kewajiban tugas mengajar, sejak tahun 1435-1436 H minimal berusia 19 tahun dan memiliki kamampuan akademik yang mamadai.69 Mualai tahun pelajarn 1438-1439 H (2018-2019 M), kewajiban tugas mengajar bukan di MTs, tetapi dinaikkan di tingkat Madrasah Aliyah.70Aspek penilaian yang paling pokok di PPS adalah pada kemampuan baca kitab dan akhlakul karimah. Dua hal pokok inilah sistem penilaiannya diintegrasikan dengan kegiatan pembelajaran ma’hadiyah.

TMI. al-Amien Prenduan, penerapan sistem evaluasi dilakukan melalui ujian yang meliputi ujian pertengahan tahun, ujian akhir tahun, ujian muraja’ah ammah 1 (ujian mid semister 1 sebelum ujian pertengahan tahun), dan ujian muraja’ah II (ujian mid semister II sbelum ujian akhir tahun). Pada ujian pertengahan tahun dan ujian akhir tahun, disamping dilaksanakan ujian tulis (tahriri), juga dilaksanakan ujian lisan

69 Tim Penyusun Jurnal Tamassya, Berakhlak Bermartabat, (Pasuruan: Sekretariat PP. Sidogiri,

2016), 83.

70Abdul Kadir, Alumni Sidogiri Tahun 2000, Wawancara, Situbondo 29 Mei 2018.

280

pada materi bahasa Arab dan Inggris. Ujian tersebut biasanya berlangsung enam hari ujian lisan dan sembilan hari ujian tulis. Sedangkan pada

muraja’ah ammah, dilaksanakan ujian tulis saja. Berlangsung selama

sembilan hari. Hasil dari ujian-ujian tersebut menentukan terhadap kenaikan kelas disamping pula melihat aspek khuluqiyahnya.

Untuk sistem evaluasi kelulusan, dilakukan melalui Evaluasi Tahap Akhir (EBTA). Terdiri dari ujian shafahi dan tahriri. Ujian-ujian tersebut, menentukan kelulusan santri. Disamping itu melihat pada keaktifan dan kelulusan dalam mengikuti kegiatan-kegiatan atau program-program kelas akhir (niha’i) serta aspek khuluqiyahnya.71

Melalui sistem evaluasi yang telah diterapkan di masing-masing ketiga pondok pesantern tersebut, menunjukkan bahwa telah terjadi proses kegiatan telaah atau penilaian terhadap aspek-aspek dalam kegiatan pembelajaran. Baik dari sisi konteks, input, proses maupun hasil pembelajaran. Hal ini sejalan dengan evaluasi model Kaufman, R and Thomas S yang membedakan jenis evaluasi manjadi lima, yaitu ; (a) evaluasi konteks (context evaluation), (b). Evaluasi input (input

evaluation), (c) evaluasi proses (process evaluation), (d). Evaluasi hasil

(product evaluation), dan (e). Evaluasi lulusan (out come).72

Sedangkan inti dari seluruh proses evaluasi itu menurut Gronlund dan Linn adalah proses mengumpulkan, menganalisis, dan

mengi-71Fathol Mu’in, Kepala BAUK IDIA Prenduan, Wawancara, Sumenep: 13 Maret 2018.

72Kaufman, R and Thomas S, Evaluation Wethot Fear (New York : New Viepoints, 1980), 34.

281

nterpretasi informasi secara sistematis untuk menetapkan sejauh mana ketercapaian tujuan pembelajaran. Sasaran utama evaluasi pembelajaran adalah informasi yang dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk pengambilan keputusan dalam proses kegiatan pembelajaran.73

Selanjutnya Gronlund dan Linn mengidentifikasi ada lima prinsip utama yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan evaluasi pembelajaran. Prinsip-prinsip tersebut adalah : (1). Mengkhususkan kepada apa yang dievaluasi secara jelas memiliki prioritas utama dalam proses evaluasi. Sebelum menetapkan alat evaluasi, spesifikasi karakteristik yang diukur perlu ditetapkan secara jelas; (2). Teknik evaluasi harus dipilih berdasarkan karakteristik performansi yang diukur. Dalam memilih teknik evaluasi, disamping mengacu pada objektifitas, akurasi dan keterpercayaan, juga mempertimbangkan kesesuaian teknik dengan aspek karakteristik sasaran yang diukur; (3). Eavaluasi yang komprehensif memerlukan berbagai teknik evaluasi. Tidak ada instrumen atau prosedur tunggal yang bisa digunakan untuk mengukur semua proses dan hasil belajar; (4). Penggunaan teknik evaluasi secara tepat, memerlukan kesadaran atas keterbatasannya. Suatau penmgukuran akan memiliki eror yang perlu dipertimbangkan dengan mantap; dan (5). Evaluasi merupakan alat untuk mencapai tujuan, bukan merupakan tujuan

73Gronlund, N.E, and Linn, R,L, Mesurement and Evaluation in Teaching ( New York : Macmillan

Publishing Company, 1990), 19.

282

itu sendiri. Evaluasi adalah suatu proses untuk memperoleh informasi sebagai dasar pengambilan keputusan.74

Pelaksanaan evaluasi pada ketiga pondok pesantren melalui tes tulis, lisan maupun ujian praktik atau penugasan, telah memenuhi dua unsur penilaian yaitu pengukuran dan penilaian. Pengukuran

(mea-surenment) adalah proses kegiatan untuk mengetahui keadaan secara

kwantitatif. Juga dapat dikatakan kegiatan yang sistematis untuk menyatakan suatu keadaan atau gejala dalam bentuk kwantitatif.75 Hal ini sejalan dengan pendapat Gronlund dan Linn yang mengatakan bahwa pengukuran adalah proses memperoleh deskripsi nomerik tingkat ketercapaian individu terhadap karakteristik tertentu yang diharapkan.76

Kegiatan evaluasi mencakup kegiatan pengukuran dan penilaian. Evaluasi sebagai proses kegiatan menentukan “value” berdasarkan patokan-patokan tertentu seperti baik, sangat baik, terpuji dan sebagainya. Pengukuran dalam evaluasi di pondok pesantren ini diteraptan melalui ujian tulis. Dengan ujian tulis itu, santri bisa mendapatkan skor atau angka-angka terhadap suatu keadaan atau gejala yang telah diproleh melalui tes tulis tadi. Karena hasil pengukuran ini masih belum cukup, maka dipadukan dengan ujian lainnya berupa lisan atau ujian praktik, sehingga kemudian dapat dilakukan pemberian nilai (value) sesuai patokan yang telah ditentukan.

74Ibid, 23.

75 Allen, M.J. and Yon, W.M, Intruction to Measrement Theory (California : Brooks/Cole

Publishing Company, 1979), 49.

76Gronlund, N.E, and Linn, R,L, Mesurement and Evaluation in Teaching, 25.

283

Melihat corak interaksi edukatif dari berbagai analisis data di atas, interaksi edukatif yang dijalankan kitiga pondok pesantren tersebut, dapat dibedakan menjadi interaksi edukatif langsung (direct educational

interaction) dan interaksi edukatif tidak langsung (indirect educational interaction). Interaksi edukatif langsung (direct educational interaction)

terjadi dalam proses pembelajaran di kelas, pengajian kitab serta bentuk-bentuk kegiatan yang bersifat akademik lainnya. Sedangkan interaksi edukatif tidak langsung (indirect educational interaction), berupa bentuk-bentuk kegiatan yang memanfaatkan segala sarana maupun prasarana dalam pesantren,77 baik yang diatur secara sistemik maupun insidental sesuai dengan tradisi pesantren secara berkesinambungan.

Dua model Interaksi edukatif tersebut, diarahkan pada penanaman sejumlah norma dan nilai-nilai religius dalam jiwa murid (santri) pada setiap aspek kehidupan di pesantren. Dalam perspektif interaksi edukatif sistem pendidikan pondok pesantren, guru (kiai) dan murid (santri) berada dalam relasi kejiwaan, diikat dengan satu tujuan, melalui interaksi yang dibangunnya karena saling membutuhkan (sismbiosis mutualisme).78 Juga sejalan dengan konstruksi pendidikan itu sendiri esensinya adalah guru membantu murid untuk memahami bagaimana pengetahuan diperoleh dan

77Ahmad Syamsu Rizal, Transformasi Corak Edukasi Dalam Sistem Pendidikan Pesantren, Dari

Pola Tradisi ke Pola Modern, Ta’lim, Vol. 9 No. 2 (Tahun 2011), 107.

78 Seluruh mahluk hidup yang ada di Planet Bumi adalah saling mempengaruhi anatara satu

dengan yang lainnya. Oleh karenanya, tak satupun mahluk hidup dapat bertahan dengan berinteraksi dengan mahluk hidup yang lainnya. Hubungan atau interaksi mahluk hidup yang saling membutuhkan ini secara sosiologis dekenal dengan sibiosis mutualisme.

284

memberikan pengaruh terhadap posisi sosial murid secara individu maupun kelompok.79

Proses ini kemudian melahirkan efek imitasi,80 karena guru (kiai) sebagai orang yang dikagumi, dianggap memiliki keunggulan dan kelebihan terutama dalam bidang pengetahuan ilmu agamanya. Kemudian murid (santri) menghormatinya dan cederung meniru terhadap apa yang telah diperbuat oleh guru (kiai). Imitasi yang begitu kuat itu, terutama menyangkut nilai-nilai moral, pada gilirannya akan melahirkan proses identifikasi. 81 Proses

identifikasi dimaksud dalam pengertian terdapat proses adopsi oleh murid

(santri) terhadap nilai-nilai yang ada pada guru (kiai). Melalui proses tersebut, prilaku-prilaku sosial, gagasan-gagasan serta konsepsi-konsepsi pemikiran kemudian ditransmisikan dari guru (kiai) kepada murid (santri) melalui proses interaksi edukatif. 82 Disinilah guru (kiai) dalam interaksi edukatif di pesantren, telah memainkan perannya sebagi significant others,83sesuai falsafah pembelajaran pondok pesantren yang didasarkan pada sebuah hikmah : “At-thariqatu ahammu mina al-ma>ddah, al-mudarrisu ahammu

79 Karen Howard, The Emergences of Children’s Multicultural Sensitivity: An Elementary School

Music Cultural Project, Journal of Research Music Education (2018), Vol. 66(3), 261-277

80Imitasi dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku.

Namun demikian, imitasi juga tidak jarang mengakibatkan terjadinya hal-hal yang negatif, misalnya yang ditiru adalah tindakan yang menyimpang dari kaidah-kaidah atau nilai-nilai kebaikan. Aspek negatif lainnya, imitasi berpotensi melemahkan atau mematikan daya kreasi seseorang, baca : Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2012), 57.

81Identifikasi; Sebenarnya, identifikasi ini merupakan kecenderungan-kecenderungan atau

keinginan-keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. Identifikasi sifatnya lebih mendalam daripada imitasi, karena kepribadian seseorang dapat terbentuk atas dasar proses ini. Ibid, 58.

82Ahmad Syamsu Rizal, Transformasi Corak Edukasi; 108.

83Muhadjir Effendy (Mendikbud RI), Guru Harus Menjadi The Significant Others, dalam :

http://dis-dik.riau.go.id/home/berita/1523-guru-harus-jadi--the-significant-others-, diakses tanggal 11 Mei 2018.

285

min al-thariqah, wa ruuhu al-mudarrisi ahammu min al-mudarrisi” (metode

lebih penting daripada materi, guru lebih penting daripada metode, dan jiwa guru lebih penting daripada guru itu sendiri).84