• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAHASAN HASIL TEMUAN

A. Interaksi Edukatif di Pondok Pesantren

4. Metode Pembelajaran

270

Azyumardi Azra menengarai perkembangan pesantren di atas, se-bagai akibat dari respon pesantren terhadap modernisasi pendidikan Islam dan perubahan sosial kemasyarakatan. Pengembangan yang dila-kukan kemudian mancakup hal-hal: (1). Pembaharuan substansi atau isi pendidikan pesantren dengan memasukkan subjek-subjek umum dan vokasional (2). Pembaharuan kelembagaan, seperti sistem klasikal dan penjenjangan; (3). Pembaharuan pengelolaan, seperti eskperimentasi dan

diversifikasi lembaga pendidikan Islam; (4). Pembaharuan fungsi, dari

fungsi kependidikan untuk juga mencakup fungsi sosial-ekonomi.49 Apapun kondisinya, setidaknya ada tiga fungsi pokok pesan-tren yang harus dijaga : (1). Transmisi pengetahuan Islam (transmission of islamic

knowledge); (2). Pemeliharaan tradisi Islam (maintenance of islamic tradition); (3). Pembinaan calon-calon ulama (reproduction of ulama).50

4. Metode Pembelajaran

Hasil temuan peneliti tentang metode pembelajaran yang digunakan ketiga pondok pesantren tersebut, dapat dipetakan sebagai berikut : Pertama PPSS. Beberapa metode yang digunakan dalam proses pembelajaran, disesuaikan dengan lembaga pendidikan yang ada di dalamnya. Untuk pendidikan non formal dan madrasah diniyah menggunakan metode pembelajaran klasik seperti bandongan, sorogan,

hafalan, lalaran dan mudha>karah (bahsul masa’il). Sedangkan

49Azyumardi Azra, Pendidikan Islam :, 105.

50Azyumardi Azra, Esei-Esei Intelaktual Muslim dan Pendidikan Islam (Jakarta : Logos Wacana

Ilmu, 1998), 89.

271

lembaga pendidkan formal, menggunakan metode pembelajaran modern, sesuai dengan materi pelajaran yang disampaikan dan kreatifitas guru masing-masing. Setiap lembaga memberikan keleluasaan pada guru untuk menggunakan berbagai metode dalam setiap mata pelajaran, untuk menghindari kejenuhan dalam proses pembelajaran. Hal ini tentu diselaraskan dengan visi-misi dan tujuan lembaga yang dijabarkan dalam struktur kurikulum.

PPSS juga tetap mempertahankan metede pembelajaran salaf klasik seperti sorogan dan bandongan, dengan pendekatan “extensive reading”; yaitu para kiai yang membaca kitab (pengajian kitab klasik) memberikan interpretasi secara luas terhadap konten kitab yang dibacanya. Bahkan, kadang-kadang mendialogkan dengan pendapat di luar itu, yang masih terkait dengan kitab yang diajarkannya.51 Kemudian mengkombinasikan dengan metode-medode modern pada lembaga pendidikan formal yang berafiliasi pada program pemerintah,

Kedua, PPS Pasuruan, ada empat metode (bandongan, sorogan,

hafalan dan mudha>karah), yang senantiasa diterapkan sebagai fokus

utama, yaitu; (a). Bandongan, digunakan saat kiai atau ustadz membacakan, menerjemahkan, menerangkan kalimat demi kalimat suatu kitab tertentu dengan cara (bahasa) jawa.52 (b). Sorogan. Dipraktikkan

51 Asmuki, Transformasi Pesantren Sukorejo dari Hutan Menjadi Pusat Pendidikan (Situbondo :

PPSS, 2014), 67-68

52Bahasa Jawa tetap dipertahankan dalam pengajian kitab baik yang dibaca langsung oleh kiai,

maupun oleh para ustad, meskipun penjelasannya kadang-kadang pakai Bahasa Indonesia. dipertahankannya Bahasa Jawa dalam pengajian kitab karena waktu menerima (ngaji) pertamanya

272

dalam proses pemnbelajaran di kelas maupun di luar kelas. Guru meminta salah satu murid untuk membaca kitab dan menerjemahkannya kata demi kata ke dalam bahasa Jawa. Pada biasanya kitab yang dibaca murid itu mengulangi salah satu bab atau sub bab yang telah dijelaskan oleh ustadnya pada pertemuan sebelumnya.53(c). Hafalan, dipraktikkan murid (santri) dengan cara membuat jadwal hafalan sendiri di luar jam pelajaran di kelas. Kemudian disetorkan pada guru dengan sistem

sorogan. Hafalan ini, meskipun awalnya terasa berat, karena menjadi

rutinitas, dan dikemas dalam suasana yang manarik maka lama kelamaan menjadi terbiasa bagi para santri. (d), Mudha>karah (bahsul masa’il), setiap malam selasa dan jum’at oleh santri Madrasah Tsanawiyah, Aliyah dan Kulliatus Syar’ah. Untuk santri pemula terdapat metode pembelajaran khusus yaitu metode al-Miftah li al-Ulu>m. Metode ini berisi tentang tata cara membaca kitab dengan cepat, dengan target waktu satu tahun mampu baca kitab sesuai standar yang telah ditentukan.

Dari beberapa metede tersebut di atas, yang paling ditekankan di PPS Pasuruan adalah bandongan, sorogan, dan hafalan. Diselenggarakan di masjid, mushalla, asrama-asrama santri, rumah kiai maupun secara klasikal yang dilaksanakan di Madrasah Diniyah. Pengajian kitab klasik yang dijalankan dengan memakai bahasa jawa dan lebih dominan pada pendekatan “intensive reading. Yaitu membaca kitab secara cepat dan

dulu dari para guru penduhulu pondok Sidogiri adalah menggunakan Bahasa Jawa, ada semacam nasab keilmuan . Dsiamping itu, Bahasa Jawa bisa sesuai dengan kedudukan lafadz sorfiyah,

nahwiyahya, Mas. Aminullah Bq, Wawancara (Sidogiri Pasuruan : 27 Juli 2017).

53Observasi Peneliti, tanggal 28 Juli 2017

273

sesuai kaidah nahwu sharrof. Jarang sekali memberikan penalaran atau penjelasan lebih luas dari yang dibacanya.

Metode pengajaran kitab-kitab Islam klasik seperti yang dipraktikkan pada kedua pondok pesantren tersebut, sebenarnya menurut Dhofier, pada masa lalu merupakan satu-satunya pengajaran formal yang disampaikan di lingkungan pesantren,54 dengan bandongan dan sorogan sebagai metode pembelajaran utamanya. Metode pembelajaran tradisional berikutnya adalah mentoring,55 serta setoran hafalan.56

Ketiga, TMI al-Amien. Metode pembelajaran yang diterapkan lebih dominan metode pembelajaran modern. Metode yang biasa digunakan dalam pembelajaran klasikal, antara lain : ceramah, diskusi dan risetasi. Diterapkan pula inquiri, active learning, snowballing, drilling, dan semacamnya.57 Secara umum terdapat banyak kesamaan dengan sistem pembelajaran di luar pesantren. Seperti keharusan menyusun RPP. bagi guru dan perangkat pembelajaran lainnya. Disamping itu, ada dua pola yang dikembengkan oleh TMI dengan istilah : (1) Amaliah al-Tadris, proses interaksi edukatif antara guru dan murid dimana guru melalui

54Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, 50.

55 Mentoring diterapkan di pesantren sebagai metode pembelajaran tradisional karena kemampuan

santri yang heterogen. Meskipun dalam satu kelas kitab yang dipelajari sama, tetapi kemampuan dalam memahaminya berbeda. Oleh karenanya dilakukan mentoring oleh santri yang sudah “menguasai” terhadap santri yang masih belum memahami dengan baik materi kitab tersebut. Mentoring pada biasanya dilakukan secara sukarela antar sesama santri, baca : Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, 106.

56 Hafalan merupakan salah satu cara yang ditempuh oleh pesantren dalam proses pebelajaran,

terutama materi dasar keagamaan. Para santri biasanya menghafal kita sesuai ketentuan, di luar jadual pelajaran yang ada. Kemudian menyetorkannya kepada kiai atau ustadz pada waktu-waktu tertentu. Setoran biasanya bersifat individual, dan tanpa penjelasan arti dan makna., ibid.

57KH. Tijani Syadily, Direktur TMI Al-Amien Prenduan, Wawancara, Sumenep : 28 Juli 2017.

274

pengetahuannya berusaha untuk merubah prilaku murid dalam segala aspeknya. Kegiatan ini diterapkan bagi murid kelas I sampai kelas II, dan (2) al-Tarbiyah wa al-Ta’lim. Mereka dididik tidak hanya mendapat pelajaran dari guru, tetapai juga dilatih praktik mengajar, bagaimana cara mengajar Matematika, Fisika, Tafsir, Fiqih dan sebagainya, bahkan ada ujian mengajar.58

Enam hal pokok tersebut, sejalan dengan hasil penelitian Mardiyah di Pondok Modern Gontor. Belajar dari interaksi edukatif yang terjadi di sana, Mardiyah membagi tiga metode pembelajaran menjadi : (1), Metode deduktif; bertujuan untuk mensukseskan pewarisan ilmu ke-islaman tertentu. Operasionalnya bersifat doktrinal. Kajiannya bersifat partikuler. Metode ini memang sesuai bagi upaya pewarisan ilmu ke-islaman yang bersumber dari kitab-kitab klasik; metode ini digunakan bagi santri-santri yang masih kelas pemula; (2). Metode induktif; bertujuan membina keluasan wawasan keislaman dalam rangka membekali santri memiliki kemampuan dalam mendalami ilmu keisalaman sendiri dari berbagai sumber aslinya. Metode ini menawarkan alternatif pemikiran terhadap bahan pelajaran untuk dikritisi oleh santri. Metode ini pun sesuai dengan pemberian bahan pelajaran bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadith yang memberikan inspirasi dan motivasi kepada santri untuk mempergunakan penalarannya, dalam memahami mata pelajaran; (3). Metode deduktif-induktif-kritis; di mana al-Qur’an dan

58 KH. Tidjani Syadily, Wawancara, Sumenep : 28 Juni 2017.

275

hadith dipergunakan sebagai tolok ukur pembenaran dalam mengkritisi permasalahan kehidupan yang berkembang di masyarakat. Kegiatan diskusi antar santri untuk mencoba menyelesaikan masalah, dan ustadz sebagai fasilitator.59

Penerapan beberapa metode pembelajaran tersebut di atas (klasik maupun modern), secara paradigmatik adalah: Pertama, memper-timbangkan prilaku murid (santri), dari segi “multiple intelligencenya,” yakni bukan hanya memperhatikan aspek kecerdasan intelektual semata, tetapi juga memperhatikan kecerdasan emosional dan spiritualnya.60 Dua

kecerdasan terakhir ini tidak kalah pentingnya dalam menentukan keberhasilan hidup murid (santri). Bahkan menurut Danah Zohar, justru kecerdasan spiritual yang sangat menentukan keberhasilan murid (santri). Karena dengan melalui kecerdasan spiritual kecerdasan yang lain dapat terkondisikan dan berkembang secara maksimal.61 Begitu pula Ary Ginanjar Agustion, menggambarkan dengan argumentasi yang sangat baik peran spiritualisasi dalam mengintegrasikan dan memaksimalkan fungsi seluruh komponen-komponen kepribadian manusia. Sebaliknya, orientasi materialisme berperan memisah-misahkan dan membelenggu masing-masing komponen kepribadian manusia;62

59Mardiyah, Kepemimpinan Kiai Dalam Memelihara Budaya Organisasi, 180.

60Tobroni, Pendidikan Islam: Paradigma Teologis, Filosofis dan Spiritualitas (Malang : UMM

Press, 2008), 122.

61Danah Zohar, dan Ian Marshal, SQ : Spiritual Intellegence, The Ultimate Intelligence (London :

Bloomsbury, 2000), 3.

62Ary Ginanjar Agustion, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ

(Jakarta : Arga, 2004), 219.

276

Kedua, pembelajaran di pesantren, muaranya pada terbentuknya

murid (santri) sebagai waladun ṣaleh. Santri yang keberadaannya

bermanfaat bagi dirinya dan lingkungannya. Untuk menjadi murid (santri)

waladun ṣaleh itu, tidak cukup hanya mengetahui kaidah-kaidah agama

semata, malainkan diperlukan manusia yang kalau merujuk kepada pendapat Haward Garder dikatakan manusia yang memiliki kecerdasan majmuk. Yakni: kecerdasan akal (intellektual quotien atau IQ), kecer-dasan ruhani (spiritual guotien atau SQ), kecerkecer-dasan nafsani (emotional

guotien atau SQ), dan kecerdasan jasmani (adversity guotien atau AQ).63

Sikap keilmuan yang seperti ini dalam kasus pondok pesantren, bisa dilihat dari proses pembelajaran yang dikembangkannya. PPSS misalnya, tersirat dalam penyataan visinya, yaitu; “lahirnya generasi muslim khairo ummah,” PPS Pasuruan, bisa dilihat dari konsentrasinya dalam pembelajaran agama Islam dan akhlak, tetapi juga menekankan kreatifitas santri melalui entrepreneurship. Sedangkan TMI, KH. Idris Djauhari (pengasuh ke-II) mempopulerkan kecerdasan majmuk atau multi skill ini dengan istilah “Multi Terampil”.64 Yaitu pendidikan kecakapan hidup para santri, mulai dari kecakapan motorik kasar hingga motorik halus. Dengan demikian, telah tergambar bahwa aktifitas pembelajaran yang diterapkan pada ketiga pondok pesantren ini, bisa dikatakan menggunakan metode pembelajaran dengan paradigma

63Danah Zohar, dan Ian Marshal, SQ : Spiritual Intellegence, 5.

64Mashuri Toha, Al-Amien Resonansi Doa Sang Kiyai, dalam

http://al-amien.ac.id/resonansi-doa-sang-kiyai/, diakses tanggal 22 Desember 2017

277

humanistik dan integralistik.65 Bertujuan agar mampu melahirkan murid (santri) yang layak untuk disebut waladun saleh.