• Tidak ada hasil yang ditemukan

309

B. Implikasi Teoritik

Berdasarkan hasil ananilisis data, sesuai fokus penelitian sebagai pokok kajian dalam penelitian ini dikaitkan dengan teori-teori dan temuan-temuan sebelumnya, maka hasil penelitian ini dapat berkontribusi dalam bentuk mendukung, mengembangkan, melengkapi, bahkan mengoreksi terhadap teori-teori sebelumnya. Temuan tersebut secara konseptual dapat dikelompokkan menajdi dua teori. Teori pertama adalah interaksi edukatif. Teori ini kemudian dihubungkan dengan tujuan, bahan pelajaran, aktifitas pembelajaran, metode pembelajaran serta evaluasi pembelajaran sebagai mediumnya, menghasilkan tiga kategorisasi pondok pesantren sebagai temuannya, yaitu : (1) Pondok Pesanten Komprehensif-Interkonektif. (2). Pondok pesantren Salaf-Progresif; dan (3). Pondok pesantren

khalaf-Integratif.

Teori tersebut sebagai temuan dalam penelitian ini, bersifat mendukung dan mengembangkan terhadap teori sebelumnya. Dikatakan mendukung karena teori tersebut sejalan dengan temuan M Bahri Ghazali dan Amin Haidari yang membagi pondok pesantren menjadi tiga kategori, yaitu pondok pesanten salaf (tradisional), pondok pesantren khalaf (modern), serta pondok pesantren perpaduan (komprehensif). Dikatakan mengembangkan karena baik Ghazali maupun Amin Haidari, tidak menjelaskan model-model perpaduan yang diterapkan di masing-masing pondok pesantren. Dalam hal ini peneliti menemukan fakta yang berbeda, didasarkan pada teori paradigma

310

keilmuan yang dibangun oleh Amin Abdullah, yaitu integratif dan

interkonektif.

Paradigma keilmuan integratif dijalankan oleh TMI Al-Amien, memandang keilmuan agama dan umum ibarat sebuah koin (mata uang) dengan dua permukaan. Hubungan antara kedua sisi koin tidak dapat dipisahkan, tetapi secara tegas dan jelas dapat dibedakan. Hubungan keduanya teranyam, terjalin dan terajut sedemikian rupa, sehingga keduanya menyatu dalam satu keutuhan yang kokoh dan kompak.Alasan inilah yang menjadi dasar bagi peneliti untuk mengkategorikannya peantren ini, sebagai pesantren “Khalaf-Integratif.”

Sedangkan pesantren komprehensif dengan paradigma keilmuan

interkoneksitas peneliti temukan di PPSS Situbondo. Antara keilmuan agama

yang dipelajari melalui sistem salaf, dengan pengetahuan “umum” yang dijalankan dengan sistem persekolahan sesuai ketentuan pemerintah. Keduanya dipadukan bukan dengan cara meleburkan yang satu kedalam yang lainnya, melainkan dengan sebuah tawaran konsep yang lebih modest (mampu mengukur kemampuan sendiri), humility (rendah hati) dan human (manusiawi). Kedua disiplim keilmuan itu tetap berjalan pada relnya masing-masing. Tetapi saling tegur sapa, saling membutuhkan, saling koreksi dan saling menghubungkan antar disiplin keilmuan itu tetap terpelihara. Inilah yang manjadi alasas peneliti untuk menyebutnya pondok pesantren ini, sebagai pondok pesantren Komprehensif-Interkonektif.

311

Di sisi lain hasil penelitian ini juga mengoreksi temuan Humaidi Syarif Romas yang mengatakan bahwa pondok pesantren salaf (tradisional) identik dengan pesantren konservatif. Alasan yang digunakannya adalah pondok pesantren salaf sangat mendasarkan kehidupan pesantren pada nilai-nilai sufistik-mistik semata. Pada umumnya sangat dipengaruhi oleh sosok kiai yang memiliki tarekat tertentu. Di samping itu, pengaruh kiai sangat dominan dan kekuasaannya absolut mutlak karena sebagai pemilik sekaligus pendiri pesantren. Dalam kasus PPS. Pasuruan, peneliti menemukan fakta yang berbeda. Dalam kehidupan sehari-hari, pengaruh kiai bukan sebagai kekuasaan absolut mutlak. Telah terjadi proses pendistribuasian tugas dengan jelas dan proporsional. Oleh karena itu, cukup beralasan secara akademik bagi peneliti untuk mengkategorikan pondok pesantren jenis ini, sebagai pondok pesantren Salaf-Progresif.

Teori kedua adalah tentang interaksi edukatif dalam membangun pola relasi guru dan murid. Teori ini telah menghasilkan tiga bangunan pola relasi sosial antara guru dan murid yaitu : (1) Relasi sosial moderasi; (2). Relasi sosial “patronasi; dan (3). Relasi Sosial Egaliter. Teori ini secara umum dapat dikatakan pengembangan sekaligus koreksi terhadap teori Patron

Claient yang teori besarnya dibangaun oleh James C. Scott. Dalam konteks

teori patron-client ini, guru (kiai) dipersepsikan sebagai patron. Otoritas keilmuanya mampu mengantarkan murid (santri) menuju tercapainya cita-cita. Sedangkan murid (santri) dipersepsikan sebagai klien yang membutuhkan intervensi guru untuk meraih cita-citanya.

312

Keduanya merupakan aliansi dari dua kelompok komunitas atau individu yang tidak sederajat. Baik dari status sosial, peran sosial, maupun posisi sosial. Dalam hal ini patron diposisikan sebagai orang yang superior, memiliki peran sosial untuk membantu klien-kliennya sebagai individu atau kelompok yang inperior. Menurut Romas, pola relasi seperti ini hubungan kiai dan santri lebih mengarah pada paternalistik-feodalistik. Kehidupan pesantren didasarkan pada nilai-nilai sufistik-mistik. Pada umumnya sangat dipengaruhi oleh sosok kiai yang memiliki tarekat tertentu, sehingga relasi yang terbangun antara komponen-komponen yang ada di pesantren kurang terbuka.

Namun demikian, Peneliti menemukan fakta, bahwa PPS Pasuruan meskipun sebagai pesantren salaf yang menurut Romas diidentikkan dengan pesantren konservatif, relasi guru dan murid yang terbangun di dalamnya, bukan berpola patronasi paternalistik-feodalistik. Akan tetapi mengarah pada “patronase-organanisatoris-fungsional.” Karena komponen-komponen pe-santren yang ada telah menjalankan fungsinya sesuai distribusi tugas yang telah diatur sesuai prinsip manajemen modern. Oleh karenanya, pengaruh kiai dalam kehidupan interaksi edukatif di pesantren, bukan lagi sebagai kekuasaan absolut mutlak.

Begitu pula dua pondok pesantren yang lainnya. PPSS Sukorejo Situbondo, telah mengembangkan pola relasi keseimbangan (moderasi) antara dua entitas yang berbeda. Teori ini sejalan dengan pendapat Fritz Hieder yang mengatakan bahwa kehidupan sosial seseorang atau kelompok

313

orang berproses dari hubungan kesukaan, persetujuan, kemudian keseimbangan (moderasi) antara tiga pihak. Keseimbangan menunjukkan sebuah situasi dimana di dalamnya unit-unit yang ada dan sentiment-sentiment yang dialami “hidup” berdampingan tanpa tekanan. Meskipun sejatinya masing-masing memiliki pandangan dan prinsip-prinsip yang berbeda.

Sedangkan TMI al-Amien Prenduan, membangun pola relasi egaliter. Sejalan dengan Imam Ghazali yang mengatakan bahwa antara guru dan murid sebenarnya merupakan relasi kemitraan yang didasarkan pada nila-nilai demokratis, humanis, keterbukaan dan saling pengertian antara mereka. Eksistensi guru dan murid harus sama-sama diakui dan dihargai. Juga sesuai dengan teori egaliter yang dikemukakan Hobbes, bahwa manusia itu diciptakan “setara.” Adanya yang lebih kuat diantara mereka dan yang lebih cerdas dari yang lainnya, bukan berarti menghapus adanya sikap kesetaraan (egaliter). Pembedaan sikap seperti itu, justru kemudian akan membuat sikap kecenderungan untuk mengambil keuntungan sepihak dari yang lainnya. Dengan demikian dapat diambil sebuah kongklusi bahwa bangunan relasi guru dan murid di pesantren dapat dibagi menjadi tiga pola yaitu : pola relasi sosial moderasi, relasi patronasi-organisatoris-fungsional dan relasi sosial egaliter.

C. Rekomendasi

Dari hasil penelitian yang ditemukan, peneliti merumuskan beberapa rekomendasi sebagai berikut :

314

1. Bagi pengasuh pondok pesantren, apapun bentuk pondok pesantren yang dipimpinnya, harus mampu senantiasa menjalankan fungsinya sebagai lembega pendidikan Islam tafaqqohu fiddin, penjaga moral, dan sebagai pengayom komunitas masyarakat hidup berbangsa dan bernegara.

2. Bagi pengasuh pesantren, bahwa perbedaan sistem pembelajaran yang diterapkan oleh masing-masing pesantren, sejatinya merupakan varian yang menjadi alternatif pilihan bagi masysrakat dalam mengarahkan putra-putrinya untuk menuntut ilmu sesuai bakat dan kecenderungannya masing-masing,

3. Bagi guru, terjalinannya hubungan yang baik antara guru dan murid dalam sebuah sistem pendidikan, merupakan kunci suksesnya pendidikan. Bagaimanapun baiknya metode pembelajaran yang diterapkan, bagaimanapun sempurnanya sarana yang disediakan, manakala relasi guru dan murid tidak terjalin dengan baik, maka proses pendidikan tersebut tidak akan berhasil dengan baik.

4. Bagi para praktisi pendidikan, tantangan terberat di era melenial ini tentu menjaga moral dan etika, terutama membangun etika komunikasi yang baik antara guru, murid, orang tua serta komponen-komponen yang serba dinamis di era digital sepereti sekarang ini.

BAB V