• Tidak ada hasil yang ditemukan

AMSAL DAN SASTRA HIKMAT LAIN.

Dalam dokumen PENDAHULUAN DAN GARIS GARIS BESAR ALKI (Halaman 62-65)

Sebagaimana penulisan puisi pada zaman purba tidak terbatas pada bangsa Ibrani, demikian juga bentuk sastra dari Amsal bukanlah khas Ibrani. Kita tidak perlu heran jika menemukan kumpulan- kumpulan amsal di Mesir dan Mesopotamia pada zaman purba. Beberapa karya seperti itu patut diperhatikan, tetapi ada dua yang paling penting-Story of Ahikar dan Wisdom of Amen-em-opet, yang harus dianggap rendah dalam beberapa detail.

Salah satu yang paling tua di antara karya-karya Hikmat ini adalah Instruction of Ptah-Hotep, yang berasal dari sekitar 2450 SM di Mesir. Ada beberapa hal dalam karya tersebut yang diduga memiliki persamaan dengan Kitab Amsal, tetapi gaya penulisannya seperti amsal dan dalam beberapa hal gagasan-gagasannya sama. Misalnya, dalam Instruction of Ptah-Hotep ada perintah agar anak-anak taat, perintah agar rendah hati, bersikap adil, berhati-hati jika berada di meja orang yang terhormat, lebih banyak mendengarkan daripada berbicara dan sebagainya. Jelas nasihat yang saleh seperti itu sudah ada sejak lama dan merupakan sifat lazim masyarakat Timur. Persamaan antara tulisan-tulisan itu dengan Amsal tidak membuktikan apa-apa mengenai asal-usul kitab yang kita bicarakan ini. Pandangan serupa berlaku untuk Instruction of Ani dan sastra Mesir mula-mula lainnya. Beberapa karya sastra Mesopotamia patut diperhatikan. Apa yang dikenal sebagai Ayub versi Babel, berjudul I

Will Praise the Lord of Wisdom, mengingatkan kita pada Ayub dam Alkitab kita. Di situ diceritakan

seorang laki-laki dengan penyakit hebat yang disembuhkan oleh dewa-dewa. Ada juga Dialogue

about Human Misery, yang kadang-kadang disebut Kitab pengkhotbah versi Babel. Kesamaan kata-

katanya dengan Kitab Pengkhotbah kecil sekali, tetapi di dalamnya ada beberapa petuah. Berbagai batu tulis dari Babel yang berasal dari abad kedelapan SM atau sebelumnya, berisi juga amsal-amsal yang menasihati orang untuk membalas kejahatan dengan kebaikan, tidak berkata-kata gegabah, tidak ikut dalam pertengkaran orang lain, dsb. Lagi-lagi, karena prinsip-prinsip moral ini sangat umum, maka keberadaannya di dalam batu-batu tulis itu tidak membuktikan apa-apa mengenai asal-usul Kitab Amsal, kecuali bahwa kitab itu dengan demikian seharusnya dianggap bertentangan

dengan latar belakangnya. Sebagaimana Musa mungkin mengambil dari hukum-hukum Hammurabi, dan sebagaimana Daud menggunakan beberapa bentuk puisi Kanaan, demikian juga Salomo dan para penerusnya mempunyai kekayaan materi latar belakang untuk digunakan sebagai ilustrasi. Tetapi, dalam semua hal ini, bahan kuno yang bersifat umum itu dibentuk lagi oleh sang penulis Ibrani, yang dengan ilham Roh Allah menulis penyataan Allah bagi umat-Nya. (Semua tulisan ini dapat dilihat secara enak dalam koleksi hasil suntingan James B. Pritchard, Ancient Near Eastern Texts Relating to

the Old Testament, edisi kedua).

Yang lebih penting bagi penelaahan kita ialah Story of Ahikar, sebuah cerita dari Mesopotamia yang dibumbui banyak amsal. Cerita tersebut telah lama dikenal, sebab ada bagian-bagiannya yang muncul pada tulisan-tulisan pengarang Kristen mula-mula. Tetapi pada tahun 1906, sebelas lembar papirus yang memuat kisah tersebut ditemukan dalam penggalian-penggalian terhadap koloni Yahudi di Elefantin, Mesir. Salinan ini berasal dari sekitar 400 SM. Ahikar adalah penasihat Raja Sanherib dan Raja Esarhaddon di Asyur (Siria) sekitar 700 SM. Dia mengadopsi kemenakan laki-lakinya, yang dengan tipu muslihat membujuk raja untuk mengeksekusi Ahikar. Tetapi, sang eksekutor yang bersahabat dengan terhukum, menyembunyikan Ahikar untuk sementara, kemudian memulihkan kedudukannya ketika murka raja telah mereda. Dua pertiga dari buku kecil ini berisi ucapan-ucapan Ahikar yang menampilkan sejumlah persamaan dengan Amsal. W. O. E. Oesterley dalam The Book

Of Proverbs (hlm. xxxvii-lii) mencatat tiga puluh tiga persamaan, yang barangkali merupakan jumlah

yang agak dibesar-besarkan. Story (op. cit. hlm. 329-336) juga memberikan perbandingan-

perbandingan penting. Sebagian besar dari persamaan-persamaan ini bersifat umum. Misalnya, Ahikar memperingatkan orang untuk tidak memandang perempuan yang dandanannya merangsang atau menaruh nafsu birahi terhadapnya, karena ini adalah dosa terhadap Allah (bdg. Ams 6:25, dsb.). Dia juga mendesak seorang ayah untuk menundukkan anak laki-lakinya ketika anak itu masih muda, jika tidak maka dia akan memberontak ketika dia merasa lebih kuat (bdg. Ams 19:18). Tetapi, disangsikan bahwa ada kaitan langsung antara amsal-amsal Ahikar dengan amsal-amsal dalam Alkitab. Lebih jauh, amsal-amsal dari Ahikar kurang memiliki nilai moral seperti Kitab Amsal. Amsal-amsal tersebut tidak menampilkan perbedaan antara orang bijaksana dengan orang berdosa, yang menjadi ciri khas dari Amsal; sebaliknya amsal-amsal itu lebih bersifat sekular. Meskipun demikian, Kitab Amsal kadang-kadang memakai latar belakang sekular ini untuk mengembangkan ajaran moralnya.

Sesungguhnya, sulit menentukan-jika ada ketergantungan-karya mana yang menjadi peminjam. Story

of Ahikar, kendatipun berlatar belakang Asyur, telah beredar di antara bangsa Yahudi dan di

kemudian hari di antara orang-orang Kristen. Salinan terbaik yang kita miliki adalah dari sumber Yahudi. Amsal-amsal Ahikar sangat mungkin dipengaruhi oleh Kitab Amsal atau oleh

perbendaharaan amsal umum bangsa Yahudi, (lihat Tafsiran tentang Ams 23:14 mengenai kemungkinan Ahikar meminjam dari Amsal).

Beberapa orang menganggap kasus tersebut berbeda dengan Wisdom of Amen-em-Opet bangsa Mesir. Kumpulan amsal yang luar biasa ini bahkan lebih banyak memiliki kesamaan dengan kitab dalam Alkitab daripada yang dimiliki Ahikar. Tanggal penyusunannya tidak pasti. Papirus di atas lebih baru daripada karya ini, tetapi papirus sendiri tidak dapat diketahui tanggalnya. F. Ll Griffith mengerjakan penerjemahan utama dari bahasa Mesir. Oesterley melaporkan tanggal yang diberikan oleh Griffith untuk kitab tersebut ialah abad ketujuh sampai keenam SM, sedang H. O. Lange bahkan memberikan tanggal yang lebih belakangan. Oesterley sendiri menetapkan tanggal karya tersebut adalah abad kedelapan atau sesudahnya (The Wisdom of Egypt, hlm. 9, 10). Albright mendukung tanggal lebih awal, kira-kira 1100-1000 SM (op. cit. hlm. 6). Jika tanggal ini diterima, gagasan apapun mengenai asal-usulnya pasti bermuara pada karya asli bangsa Mesir. John A. Wilson (ANET, hlm. 421), dalam terjemahannya atas karya tersebut, tidak mempunyai komitmen apapun mengenai tanggal penulisan. Sifat dari persamaan-persamaan tersebut harus diamati. Dalam telaahnya yang tajam, Oesterley melihat bahwa Wisdom of Amen-em-Opet sama sekali tidak berciri Mesir. Karya ini memiliki etika yang tinggi serta konsep mulia tentang Allah-menunjuk pada semacam monoteisme. Dia menyatakan bahwa "yang seperti itu tidak ditemukan di manapun dalam sastra Mesir zaman pra-Kristen" (op. cit.,

hlm. 24). Oesterley menemukan beberapa persamaan dengan kitab-kitab dalam Perjanjian Lama selain Amsal, misalnya Ul 19:14; 25:13-15; 27:18; 1Sam 2:6-8; Mzm 1; Yer 17:6 dst.). Tetapi ayat- ayat ini tidak terlalu penting, karena sebagian besar membicarakan tema-tema yang juga terdapat dalam Kitab Amsal, di mana terdapat banyak persamaan-Oesterly mencatat lebih dari empat puluh persamaan (The Book of Proverbs, hlm. xxxvii-liii). Persamaan-persamaan itu terdapat dengan banyak bagian dari Amsal. Tetapi, yang paling menonjol adalah dengan bagian Ams 22:17-23:14. Semuanya kecuali lima dari ayat-ayat ini memiliki persamaan dengan Amen-em-Opet. Yang paling mencolok dari semua, kitab Mesir ini dibagi menjadi tiga puluh pasal (yang cukup panjang) dan ditutup dengan nasihat untuk menaati tiga puluh pasal ini. Bagian ini dalam Kitab Amsal, yang meluas sehingga mencakup Ams 22:17-24:22, katanya berisi tiga puluh petuah (Oesterley, op. cit. hlm. 192). Kata pengantar dari bagian ini dalam Amsal adalah "Bukankah sudah kusuratkan bagimu beberapa perkara

yang indah" (Ams 22:20, dalam Terjemahan Lama). Ini bisa dengan lebih benar dibaca dengan sedikit sekali vokal yang berbeda, "Tiga puluh petuah sudah kutuliskan untukmu" (dari Alkitab versi Bahasa Indonesia Sehari-hari). Harus diakui bahwa penemuan hanya tiga puluh petuah dalam enam puluh sembilan ayat ini agak tidak terduga. Dan tiga puluh petuah tersebut nyaris tidak sepanjang tiga puluh pasal dari kitab Mesir itu. Toh, persamaannya menonjol. Oesterley (The Wisdom of Egypt, hlm. 105) menunjukkan fakta yang aneh bahwa bagian Ams 22:17-23:12 mempunyai persamaan dengan seluruh ayat kecuali tiga ayat pada bagian-bagian yang terserak dalam karya Mesir itu. Tetapi, bagian- bagian lain dari Amsal yang mempunyai lebih sedikit persamaan, yakni pada umumnya persamaan dengan pasal X dan pasal XXI dari Amen-em-Opet. Dari sini dia menjelaskan dengan cukup masuk akal bahwa penggunaan bahan pinjaman berbeda pada bagian-bagian yang berlainan dari dua kitab itu. Tidak ada karya yang meminjam langsung dari karya lainnya. Pada beberapa bagian, dua-duanya diambil dari sumber petuah-petuah yang sama. Tetapi dari keunikan karya bangsa Mesir itu Oesterley berpendapat bahwa dua-duanya bersumber pada latar belakang hikmat dan teologi Ibrani:

Barangkali kita bisa melihat lebih jauh. Banyak yang telah diperoleh dari bacaan, "Tiga puluh petuah sudah kutuliskan untukmu." Jelas bahwa tiga puluh petuah dalam bagian Amsal ini bukan disalin dari kitab bangsa Mesir yang terdiri dari tiga puluh pasal di atas. Sebenarnya, separuh terakhir dari bagian dalam Kitab Amsal tidak memiliki persamaan sama sekali dengan kitab Mesir itu. Kata "tiga puluh" dalam Amsal mungkin mengikuti contoh "tiga puluh" pada karya bangsa Mesir, tetapi bagaimanapun juga, itu bukan dipinjam secara meniru mentah-mentah. Sebaliknya, kita perlu melihat di sini contoh lain tentang pemakaian khusus bilangan dalam sastra Hikmat. Contoh-contoh yang terkenal ialah keterangan-keterangan yang berbentuk klimaks "tiga hal… bahkan, ada empat hal" yang terlalu sulit untuk dimengerti (Ams 30:18 dst.) atau "enam perkara bahkan, tujuh perkara" (Ams 6:16-19). Keterangan-keterangan itu dapat dicocokkan dengan sastra Ugarit. Baal dikatakan membenci dua persembahan, bahkan tiga (C. H. Gordon, Ugaritic Literature, hlm. 30). Baal merebut enam puluh enam kota, bahkan tujuh puluh tujuh kota (ibid., hlm. 36). Kemudian, tujuh puluh tujuh saudara, bahkan delapan puluh delapan yang disebutkan (i bid., hlm. 55). Banyak contoh lain dapat diberikan. Tampaknya dalam petuah-petuah dari Amen-em-Opet dan dalam Ams 22:20 kita mempunyai dua contoh pemakaian tertulis dari bilangan tiga puluh, yang mungkin dapat diperbanyak jika sumber- sumber kita mengenai Hikmat bangsa Mesir dan bangsa Ibrani kuno lebih lengkap. Mengenai perbandingan-perbandingan yang rinci dari Kitab Amsal dengan peribahasa-peribahasa Mesir, lihat tafsiran atas ayat-ayat di dalam Tafsiran.

Kita juga perlu menyebut dua kitab apokrif, Yesus bin Sirakh, kira-kira dari tahun 180 SM, dan Kebijaksanaan Salomo, yang mungkin sedikit lebih belakangan. Yang luar biasa menarik, kitab-kitab ini dalam beberapa hal mencontoh Kitab Amsal. Tetapi, dua-duanya berasal dari zaman belakangan, dan memperlihatkan perkembangan lebih jauh dalam personifikasi hikmat dan dalam soal-soal lain. Materi-materinya diambil dari Kitab Amsal, bukan sebaliknya, dan karena itu kita tidak perlu banyak mengacu pada kitab-kitab tersebut untuk tujuan kita sekarang.

Dalam dokumen PENDAHULUAN DAN GARIS GARIS BESAR ALKI (Halaman 62-65)

Dokumen terkait