• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4 Aspek Ekonomi Perikanan Madidihang .1 Harga Jual dan Pasar

4.4.4 Analisa Usaha Kapal Sekoci dan Kepemilikan Usaha

Keuntungan dalam usaha perikanan adalah faktor yang penting dalam keberlanjutan atau tidaknya usaha perikanan itu dilakukan. Dalam usaha perikanan tuna, keuntungan dapat dilihat dari dua sisi yaitu keuntungan yang diperoleh pemilik dan keuntungan yang diperoleh ABK atau nelayan. Dalam analisis kinerja usaha, keuntungan yang diperoleh pemilik dapat dilihat dari nilai R/C ratio, pendapatan (net revenue), dan profitability (%). Sedangkan keuntungan yang diperoleh dari ABK atau nelayan yang dilihat adalah besarnya pendapatan dan keberlanjutan untuk memenuhi kebutuhan hidup atau rumah tangganya. Nilai investasi dan penyusutan pada kapal sekoci tersaji pada Tabel 22.

Pada Tabel 22 diperoleh gambaran bahwa investasi awal untuk satu unit kapal sekoci pada tahun 2002 adalah Rp 95 050 000. Dari hasil wawancara di peroleh gambaran bahwa umur teknis sebuah kapal sekoci adalah 5 tahun (60 bulan) sehingga dalam perhitungan pemilik kapal dalam periode tahun 2003-2010 diasumsikan melakukan investasi sebanyak 2 (dua) kali yaitu tahun 2002 dan 2007. Nilai investasi total untuk perahu, alat tangkap, dan alat bantu penangkapan pada tahun 2002 adalah Rp 95 050 000 dan meningkat menjadi Rp 102 060 000 pada tahun 2008, sehingga total investasi nelayan pada periode tersebut adalah Rp 187 110 000. Investasi nelayan tersebut akan mengalami penyusutan yang nilainya semakin bertambah dengan rataan penurunan nilai Rp 14 837 785 per tahun.

Tabel 22 Nilai investasi dan penyusutan investasi kapal sekoci tahun 2002-2010

No Uraian

Nilai Investasi Nilai Penyusutan

2002 2008 2003 2010 1 Perahu sekoci 40 000 000 48 000 000 6 450 000 11 668 860 2 Mesin sekoci: a. Mesin 30 PK 17 500 000 21 000 000 2 687 500 5 105 126 b. Mesin 15 PK 6 500 000 7 800 000 860 000 1 896 190 3 Box pendingin 3 000 000 3 600 000 537 500 875 165 4 Pancing 1 000 000 1 306 669 500 000 653 335 5 GPS 3 000 000 3 600 000 645 000 875 165 6 Peralatan masak 1 500 000 1 800 000 322 500 437 582 7 Kompas 350 000 420 000 75 250 102 103 8 Jangkar 250 000 300 000 32 250 72 930 9 Tali jangkar 500 000 600 000 107 500 145 861 10 Ganco, pisau 500 000 600 000 86 000 145 861 11 Bohlam, aki 750 000 900 000 161 250 218 791 12 Petromax 200 000 240 000 37 625 58 344 13 Rumpon 10 000 000 12 000 000 - - TOTAL 95 050 000 102 060 000 10 927 375 17 226 154

Sumber: Hasil analisis dari data primer.

Selain mengeluarkan biaya investasi di atas, pemilik kapal juga mengeluarkan biaya operasional yang terdiri dari pembelian solar, oli, es, sembako, upah kerja nahkoda dan ABK, pajak dan biaya manajemen yaitu retribusi pengelola PPP Pondokdadap 1.5%, restribusi desa 0.05%, dan bagian pengambek 5 %, serta biaya tak terduga. Perhitungan arus laba didasarkan kepada rataan nilai pendapatan, yaitu sebesar Rp 148 100 625 dengan rataan nilai biaya operasional sebesar Rp 78 658 592. Selisih antara pendapatan dan biaya operasioanal diperoleh laba dengan rataan Rp 69 442 033 per tahun. Seiring dengan meningkatnya harga BBM, es dan sembako, maka laba yang diperoleh dari tahun ketahun berfluktuasi. Pada Tabel 22, diperoleh gambaran bahwa kenaikan laba terjadi dari tahun 2003 sampai 2005, kemudian pada tahun 2006 mengalami penurunan, selanjutnya mulai tahun 2007 kembali stabil dan terus mengalami peningkatan. Gambaran biaya, pendapatan dan laba dari kapal sekoci penelitian tersaji pada Tabel 23.

Berdasarkan nilai kriteria seperti dalam Tabel 23, maka usaha penangkapan ikan tuna dengan menggunakan kapal sekoci di PPP Pondokdadap pada tahun 2003 hingga 2010 sangat menguntungkan bagi pemilik sebagai pengusaha dan pelaku usaha di bidang penangkapan ikan tuna. Kriteria menguntungkan tersebut diperoleh dari hasil perhitungan performa kelayakan usaha dengan yang dapat dilihat dari indikator Revenue cost ratio

(R/C), dari tahun ke tahun menunjukkan nilai yang menguntungkan yaitu berkisar antara 1.74-2.02. Apabila keuntungan yang diperoleh dibandingakan dengan nilai investasi dari kapal sekoci tersebut (profitability) maka diperoleh nilai yang tinggi dari tahun ke tahun, yaitu berkisar antara 68-94%.

Tabel 23 Biaya, pendapatan, serta laba kapal sekoci tahun 2003-2010

Tahun Total Revenue

(Rp) Total Cost (Rp) Profit (Rp)

R/C ratio Profitability (%) Discount Rate (%) 2003 136 955 772.8 78 741 404.53 58 214 368.31 1.74 68 15.68 2004 119 989 790.1 70 962 035.28 49 027 754.84 1.69 58 14.05 2005 167 632 305.0 91 728 474.98 75 903 830.03 1.83 89 15.66 2006 131 025 847.0 67 797 834.49 63 228 012.46 1.93 74 15.1 2007 145 627 087.8 75 466 458.66 70 160 629.12 1.93 82 13.01 2008 153 435 425.7 76 016 522.92 77 418 902.82 2.02 76 14.4 2009 192 312 866.8 96 171 019.64 96 141 847.18 2.00 94 14.23 2010 137 825 901.3 70 918 303.19 66 907 598.14 1.94 66 13.24

Sumber: Hasil analisis (Discount rate di dasarkan pada suku bunga biaya investasi Bank Umum (BPS, 2011).

Apabila keuntungan yang diperoleh dibandingakan dengan nilai investasi dari kapal sekoci tersebut (profitability) maka diperoleh nilai yang tinggi dari tahun ke tahun, yaitu berkisar antara 68-94%. Hal ini berarti apabila modal investasi tersebut diperoleh dari peminjaman dari perbankan (Bank Umum) maka usaha kapal sekoci akan sangat menguntungkan, karena lebih tinggi dari bunga kredit investasi dari bank tersebut yang berkisar antara 13.01-15.66% per tahun. Sebagai gambaran dari perhitungan payback periode, investasi pada tahun 2002 tersebut kembali 27 bulan kemudian (Nilai payback period= 27), sehingga pada tahun 2007 pemilik kapal dapat memperbaharui kembali armadanya.

Tingginya tingkat keuntungan dalam usaha penangkapan ikan tuna di Sendang Biru menjadi daya tarik bagi pengusaha armada sekoci dari daerah lain, seperti Sinjai dan Banjarmasin untuk memindahan kegiatan usahanya ke Sendang Biru. Di Sendang Biru kapal pendatang dari luar daerah tersebut, apabila pemiliknya tidak menetap sebagai penduduk permanen, disebut sebagai nelayan andon. Bentuk investasi lainnya yang berlaku di Sendang Biru adalah adanya pola kerjasama antara pengusaha sekoci Sendang Biru dengan pemilik modal dari luar, seperti dari Kota Surabaya, Bandung, Jakarta, Makasar, dan

Banjarmasin. Pola kerjasama yang disepakati yaitu pengusaha Sendang Biru bertanggung jawab kepada kesuksesan usaha dan membiayai kebutuhan operasional melaut, sedangkan biaya investasi kapal sepenuhnya menjadi tanggungan pemodal dengan pembagian keuntungan adalah 50:50 dari pendapatan bersih.

Pada tahun 2008 tercatat 220 unit kapal yang dikategorikan sebagai kapal lokal (milik pengusaha Sendang Biru) dan sekitar 90-an unit diantaranya merupakan kapal yang dimiliki pengusaha yang berasal dari luar Malang dengan pola kerjasama seperti dijelaskan di atas, sedangkan untuk kapal andon tercatat 129 unit. Komposisi kapal yang ada di Sendang Biru pada tahun tersebut, berdasarkan kepemilikan usaha, 219 unit (63%) milik pengusaha dari luar dan 130 unit (37%) dimiliki pengusaha Sendang Biru. Kondisi ini tidak menguntungkan bagi Pemkab Malang, mengingat besarnya pendapatan yang diperoleh dari ekstraksi sumberdaya ikan tuna dinikmati oleh masyarakat luar Kabupaten Malang (cash out flow). Hal ini diperparah dengan kondisi ABK, yang sebagian besar berasal dari luar Malang, terutama dari Kabupaten Sinjai atau Kalimantan Timur.

Namun demikian, sikap masyarakat Sendang Biru tidak mempermasalahkan pendatang dari luar (ekternal), baik sebagai nelayan andon maupun pemilik usaha baru, karena kedatangan pihak eksternal dianggap menguntungkan pada masyarakat lokal yang memiliki usaha terkait dengan penyediaan modal operasional perahu dan pasokan sembako dan pancing, terutama untuk pengambek. Pada saat ini terdapat pihak eksternal, sebagai nelayan andon memberikan nilai manfaat sebesar 38.05% untuk penduduk lokal, sebagai hasil penjualan solar dan es, walaupun hampir 88,93% pada akhirnya di bawa ke luar Kabupaten Malang. Dengan demikian, masyarakat Sendang Biru membuka diri untuk pendatang (andon), tidak seperti daerah lain yang selalu menolak kedatangan kapal dari luar daerah.