• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Akibat Hukum Bagi Notaris Yang Memasukkan Keterangan Palsu Dalam Akta Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham (Studi Putusan Pidana

Selanjutnya Pada tanggal 23 November 2010 sekitar jam 10 wib Adinata Tupel selaku Direktur bersama dengan Masdundung selaku komisaris PT

D. Analisis Akibat Hukum Bagi Notaris Yang Memasukkan Keterangan Palsu Dalam Akta Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham (Studi Putusan Pidana

No. 69/Pid.B/2016/PN. Plk)

Notaris sebagai pejabat umum yang menjalankan sebagian dari kekuasan negara di bidang hukum perdata terutama untuk membuat alat bukti otentik (akta notaris). Dalam pembuatan akta notaris baik dalam bentuk akta partij maupun akta relaas, notaris bertanggung jawab supaya setiap akta yang dibuat mempunyai sifat otentik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.158

Kewajiban notaris untuk dapat mengetahui peraturan hukum yang berlaku di Negara Indonesia juga serta untuk mengetahui hukum apa yang berlaku terhadap para pihak yang datang kepada notaris untuk membuat akta. Hal tersebut sangat penting agar supaya akta yang dibuat oleh notaris tersebut memiliki otentisitasnya sebagai akta otentik karena sebagai alat bukti yang sempurna.159 Namun dapat saja notaris melakukan suatu kesalahan dalam pembuatan akta. Kesalahan-kesalahan yang mungkin dapat terjadi mulai dari salah pengetikan sampai dengan isi akta. Akta-akta yang dibuat oleh notaris akan dikoreksi oleh hakim pada saat akta notaris tersebut diajukan ke pengadilan sebagai alat bukti.

Dalam menjalankan profesinya sebagai pejabat umum, maka notaris harus mengikuti segala ketentuan peraturan yang berlaku. Apabila notaris melakukan suatu perbuatan melawan hukum ataupun tindak pidana, maka notaris dapat dituntut secara pidana atas perbuatan yang telah ia lakukan.

Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap

lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat

158 G.H.S Lumban Tobing, op.cit., h.84.

159 Ibid.

didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan dan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu dapat dipersalahkan.160

Pembuktian adalah perbuatan membuktikan.Pembuktian adalah suatu proses bagaimana alat-alat bukti tersebut dipergunakan, diajukan ataupun dipertahankan, sesuatu hukum acara yang berlaku. Sementara itu membuktikan berarti memperlihatkan bukti atau meyakinkan dengan bukti. Menurut Van Bummelen adalah memberikan kepastian yang layak menurut akal (redelijk) tentang: a) apakah hal yang tertentu itu sungguh-sungguh terjadi; b) apa sebabnya demikian halnya. Pengertian bukti, membuktikan dan pembuktian dalam konteks hukum tidak jauh berbeda dengan pengertian pada

umumnya.161

Menurut M.Yahya Harahap, pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang

membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh digunakan hakim membuktikan kesalahan terdakwa.162

Dalam konteks hukum acara pidana, pembuktian merupakan inti persidangan perkara pidana karena yang dicari dalam hukum acara pidana adalah kebenaran materiil, yang menjadi tujuan pembuktian adalah benar bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.Untuk membuktikan kesalahan terdakwa, pengadilan terikat oleh cara-cara/ ketentuan-ketentuan pembuktian sebagaimana diatur dalam undang-undang.Pembukian yang sah harus dilakukan di dalam sidang pengadilan sesuai dengan prosedur/ cara-cara yang berlaku dalam hukum pembuktian.163

Hukum pembuktian adalah merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.164 Munir Fuady

mendefenisikan hukum pembuktian itu sebagai suatu proses dalam hukum acara perdata, hukum acara pidana, maupun hukum acara lainnya yakni penggunaan prosedur

kewenangan hakim untuk menilai fakta atau pernyataan yang dipersengketakan di pengadilan untuk dapat dibuktikan kebenarannya.165

160 Waluyadi, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana(Sebuah Catatan Khusus), Mandar Maju, Bandung, 1999, hal 15.

161 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemindanaan Indonesia, PT.Pradnya Paramita, Jakarta. 1993. H. 17.

162 M. Yahya Harahap, Pembahasan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan,

Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, h. 273.

163Ibid.

164 H.P. Panggabean, Hukum Pembuktian Teori Praktik dan Yurisrpudensi Indonesia, Alumni, Bandung, 2012, h. 1.

165 Ibid., h.2.

Dalam Putusan Pidana No. 69/Pid.B/2016/PN. Plk majelis hakim melihat dan membuktikan bahwa telah terjadi suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh notaris AP. Tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh notaris tidak hanya dari segi pidana tetapi juga secara perdata. Terhadap ketentuan-ketentuan Pasal 16 (1) huruf i. Pasal 16 (1) huruf k, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 jo.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris, yang menyebabkan suatu akta menjadi batal demi hukum, maka pihak yang dirugikan dapat menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga pada notaris.

Dalam hal suatu akta notaris dibatalkan oleh putusan hakim di pengadilan, maka jika menimbulkan kerugian bagi para pihak yang berkepentingan, notaris dapat dituntut untuk memberikan ganti rugi, sepanjang hal tersebut terjadi disebabkan oleh karena kesalahan notaris, selain itu notaris juga dapat diancam dengan pidana penjara jika terbukti melakukan tindak pidana dalam pemalsuan keterangan pada akta.166

Ada beberapa teori pembuktian dalam hukum pidana, salah satunya adalah teori pembuktian yang berdasarkan undang-undang secara positif (Positive wettelijk

bewijstheorie). Dikatakan secara positif, karena hanya didasarkan kepada undang-undang saja. Artinya, jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Teori ini disebut juga dengan teori pembuktian formal.

Teori pembuktian formal bertujuan menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dam mengikat para hakim secara ketat menerapkan peraturan pembuktian undang-undang tersebut.167 Sistem seperti ini sudah tidak dianut lagi dalam praktik peradilan karena dibanyak hal keyakinan hakim yang jujur dan berpengalaman adalah sesuai dengan public opinion.168

Selain teori pembuktian berdasarkan undang-undang, ada pula teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atau yang sering disebut dengan conviction intime. Sistem ini yang menentukan kesalahan terdakwa sementara ditentukan penilaian keyakinan hakim, kelemahan sistem ini adalah besar keyakianan hakim tanpa dukungan alat bukti yang cukup. Ada kecenderungan hakim untuk menerapkan keyakinannya membebaskan terdakwa dari dakwaan tindak pidana walaupun kesalahannya telah terbukti. Sistem pembuktian (conviction in time), sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan dengan keyakinan hakim. Sebaliknya walaupun kesalahan terdakwa tidak terbukti berdasarkan alat-alat bukti yang sah,

166 Adhami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Alumni, Bandung, 2008. h.66.

167 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Edisi ke-2, Sinar Grafika, Jakarta, 2012. h. 278.

168 HP Panggabean., op. cit., h. 82.

terdakwa bisa dinyatakan bersalah, semata-mata atas dasar keyakinan hakim. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini.169

Teori pembuktian selanjutnya adalah teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction raisonnee). Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi, putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi tertentu sesuai dengan kelengkapan alat bukti.

Keyakinan hakim dalam sistem conviction raisonnee harus dilandasi legal reasoning atau alasan-alasan yang harus “reasonable” yakni berdasarkan alasan yang dapat diterima.

Berdasarkan Pasal 183 KUHAP berbunyi sebagai berikut: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakianan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Berdasarkan ketentuan tersebut bahwa pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah (Pasal 184 KUHAP) dan disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut.170 Dengan penerapan sistem ini, pemidanaan itu berdasarkan pada sistem pembuktian ganda, yaitu pada peraturan undang-undang dan pada keyakinan hakim, dasar peraturan hakim bersumber pada peraturan perundang-undangan.171

Dalam mempertanggung jawabkan perbuatannya notaris dapat bertanggung jawab atas perdata maupun administratif, serta secara pidana, sesuai dengan pelanggaran ataupun kelalainnya.172 Untuk menentukan pertanggung jawaban tersebut ada beberapa tolak ukur yaitu harus adanya unsur-unsur yang tegas dalam undang-undang tentang perbuatan notaris ataupun hal-hal yang dilarang dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris yaitu:

a. Menjalankan jabatan diluar wilayah jabatannya;

b. Meninggalkan wilayah jabatanya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah;

c. Merangkap sebagai pegawai negeri;

d. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara;

e. Merangkap jabatan sebagai advokat;

f. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta;

g. Merangkap jabatan sebagai pejabat pembuat akta tanah dan/ atau pejabat lelang kelas ii di luar tempat kedudukan notaris;

h. Menjadi notaris pengganti; atau

169 M. Yahya Harahap, op cit, hal 277.

170 Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, Akademi Pressindo, Jakarta, 1983. h. 254.

171 Ibid.

172 Ibid., h.67.

i. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris.173

Selain itu, akibat dari perbuatan notaris yang melawan hukum sehingga

menimbulkan kerugian bagi pihak lain juga dapat menyebabkan notaris dikenakan sanksi administratif, sanksi perdata, dan sanksi pidana.

Sebagaimana yang terjadi dalam kasus Notaris AP dalam putusan Perdata No.

130/Pdt.G/2014/PN. Plk yang terbukti melakukan perbuatan melawan hukum. Selain itu, notaris AP juga terbukti melanggar Undang No 30 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang No 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris yang mengkibatkan akta yang dibuat oleh Notaris AP tidak memiliki kekuatan hukum serta dinyatakan batal demi hukum.

Dengan adanya putusan perkara perdata yang menetapkan Notaris AP terbukti melakukan pelanggaran kode etik jabatan notaris serta ikut dalam melakukan perbuatan melawan hukum maka Notaris AP juga dapat dituntut dengan sanksi pidana. Selanjutnya Notaris AP dilaporkan dan dituntut oleh pelapor dengan tuduhan melakukan suatu tindak pidana sebagaimana dalam Putusan Pidana No. 69/Pid.B/2016/PN.Plk, Notaris AP dituntut dengan Pasal 266 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Terhadap kasus pidana, untuk membuktikan bahwa Notaris AP bersalah melakukan suatu tindak pidana maka dibutuhkan barang bukti dan alat-alat bukti. Sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 184 KUHAP, yaitu:

1. Keterangan saksi 2. Keterangan ahli 3. Surat

4. Petunjuk

5. Keterangan terdakwa

Pembuktian tertinggi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah bukti tulisan, sedangkan dalam KUHAP yaitu berupa adanya bukti surat. Bukti tertulis maupun bukti surat dapat berupa akta otentik maupun akta dibawah tangan, akta partij maupun akta relaas yang dibuat oleh notaris.174 Dalam menjalankan wewenangnya, notaris memiliki kewajiban yang harus dipatuhi dalam menjalankan fungsinya sebagai seorang pejabat umum (Pasal 16 UU Jabatan Notaris).

Berkaitan tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris AP dalam kewenangannya sebagai pejabat umum untuk membuat suatu akta maka unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa harus bisa dibuktikan. Berikut analisa pembuktian unsur-unsur Pasal 266 ayat (1) Jo. Pasal 55 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana.175

1. Unsur barang siapa

Barang siapa adalah setiap orang (natuurlijke persoon) yang cakap menurut