• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan hasil penelusuran data kepustakaan dan pemeriksaan yang telah dilakukan, baik penelusuran kepustakaan di lingkungan Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, belum ada penelitian mengenai “Akibat Hukum Bagi Notaris dan Akta Yang Dibuatnya Terkait Adanya Keterangan Palsu Dalam Akta Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham Yang Berkaitan Dengan Pengalihan Saham Perseroan”. Meskipun ada beberapa karya tulis yang penulis temukan yang meneliti mengenai Notaris yang melakukan perbuatan melanggar hukum dalam membuat akta outentik, namun secara judul dan subtansial pokok permasalahan yang dibahas berbeda dengan penelitian ini. Adapun penelitian tesis yang berkaitan dengan Akibat Hukum Bagi Notaris dan Akta Yang Dibuatnya Terkait Adanya Keterangan Palsu Dalam Akta Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham Yang Berkaitan Dengan Pengalihan Saham Perseroan adalah :

1. Irda Pratiwi (NIM 087011053), Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, Tahun 2011, Judul Tesis “ Analisis Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Surat Kuasa Yang Dibuat Notaris (Study Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 303/K/Pid/2004)”. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah :

a. Bagaimana akibat hukum yang ditimbulkan oleh Notaris terhadap akta surat kuasa yang mengandung unsur tindak pidana ?

b. Faktor-faktor apakah penyebab terjadinya tindak pidana pemalsuan surat kuasa yang dibuat Notaris dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 303 K/Pid/2004 ? c. Bagaimana upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana pemalsuan surat kuasa

yang dilakukan oleh Notaris ?

2. Parulian Henokh Sitompul (NIM 127011048), Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, Tahun 2015, Judul Tesis “Pertanggungjawaban Notaris Dalam Melaksanakan Tugasnya Sebagai Pejabat Publik Terhadap Akta Yang Diterbitkan Menimbulkan Perkara Pidana (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 1014/K/Pid 2013)”. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah :

a. Bagaimana tanggung jawab Notaris dalam pelaksanaan tugas pembuatan akta menimbulkan perkara pidana berkaitan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1014 K/PID/2013 ?

b. Bagaimana Akibat Hukum terhadap penerbiatan akta notaris yang menimbulkan perkara pidana berkaitan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1014 K/Pid/2013 ?

c. Apa sajakah hal-hal yang membuat seorang Notaris terlibat tindakan pidana khususnya dalam hal pemalsuan akta Notaris berkaitan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 104 K/Pid/2013 ?

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kata teori artinya pandangan atau wawasan13. Teori juga bermakna sebagai pengetahuan dan pengertian yang terbaik.14 Secara umum teori diartikan sebagai pengetahuan yang hanya ada dalam alam pikiran tanpa dihubungan dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat praktis untuk melakukan sesuatu.15 Menurut Mukti Fajar, teori adalah suatu penjelasan yang berupaya untuk menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena atau teori juga merupakan simpulan dari rangkaian berbagai fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya umum.16

Kerangka secara etimologis bermakna garis besar atau rancangan. Teori adalah keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan.17 Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang tertinggi. Teori hukum sendiri boleh disebut sebagai kelanjutan dari mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita dapat merenkonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.18 Kerangka teori

13Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Cahaya Atma Pustaka, Jakarta, 2012, h. 4.

14Bernard, Yoan N.Simanjuntak dan Markus Y.Hage, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi, Genta Publising, Yogyakarta, 2010, h. 41.

15 Sudikno, op.cit., h.7.

16Mukti Fajar, Dualisme Penelitian Hukum Nommatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, h. 134.

17J.JH. Bruggink alih bahasa oleh Arief Shidarta, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, h.2.

18Ibid, h. 253.

merupakan garis besar dari suatu rancangan atas dasar pendapat yang dikemukan sebagai keterangan mengenai suatu peristiwa.19

Setiap penelitian memerlukan adanya landasan teori, sebagaimana dikemukakan oleh M. Solly Lubis bahwa landasan teoritis merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, asas maupun konsep yang relevan digunakan untuk mengupas suatu kasus ataupun permasalahan.20

Menurut Kaelan M.S, Landasan teori terhadap suatu penelitian adalah merupakan dasar-dasar operasional penelitian. Landasan teori dalam suatu penelitian bersifat

strategis artinya memberikan realisasi pelaksanaan penelitian.21

Sehubungan dengan uraian singkat di atas, adapun yang menjadi kerangka teori pada penelitian ini adalah teori kewenangan, teori kepastian hukum, dan teori

pembuktian.

1. Teori Kewenangan

Kewenangan atau wewenang memiliki kedudukan penting dalam konsep hukum publik, dimana kewenangan atau wewenang merupakan kekuasaan hukum, hak untuk memerintah atau bertindak, hak atau kekuasaan pejabat publik untuk mematuhi aturan hukum dalam lingkungan melaksanakan kewajiban publik. Wewenang sebagai konsep hukum publik sekurang-kurangnya terdiri dari

tiga komponen, yaitu: pengaruh, dasar hukum dan konformkitas hukum22.

1. Komponen pengaruh adalah bahwa penggunaan wewenang dimaksudnkan untuk mengendalikan perilaku subjek hukum.

2. Komponen dasar hukum bahwa wewenang itu selalu dapat ditunjukan dasar hukumnya.

3. Komponen konformitas mengandung makna adanya standar wewenang yaitu standar umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu).

Apabila ditinjau darimana kewenangan itu lahir atau diperoleh, maka terdapat tiga kategori kewenanagan, yaitu Artibut, Delegatif, Mandat, yang dapat dijelaskan sebagai berikut :23

1. Kewenangan Atribut

Kewenangan atribut biasanya digariskan atau berasal dari adanya pembagian kekuasaan oleh peraturan Perundang-undangan. Dalam pelaksanaann kewenangan atributif ini pelaksanaanya dilakukan sendiri oleh pejabat atau

19Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1995, h.520.

20 M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1944, h. 80.

21Kaelan M.S., Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat, Paradigma, Yogyakarta, 2005, h. 239.

22 Nur Basuki Winarno, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, 2008, h. 66.

23 Ibid, h. 70.

badan yang tertera dalam peraturan dasarnya. Terhadap kewenangan atributif mengenai tanggung jawab dan tanggung gugat berada pada pejabat atau badan sebaimana tertera dalam peraturan dasarnya.

2. Kewenangan Delegatif

Kewenangan delegatif bersumber dari pelimpahan suatu organ pemerintah kepada organ lain dengan dasar peraturan perundang-undangan. Dalam hal kewenangan delegatif tanggung jawab dan tanggung gugat beralih kepada yang diberi wewenang tersebut dan beralih pada delegataris.

3. Kewenangan mandat

Kewenangan mandat merupakan kewenangan yang bersumber dari proses atau prosedur pelimpahan dari pejabat atau badan yang lebih tinggi kepada pejabat atau badan yang lebih rendah. Kewenangan mandat terdapat dalam hubungan rutin atasan dan bawahan, kecuali bila dilarang secara tegas.

Notaris dalam menjalankan jabatannya sebagai pejabat umum merupakan suatu kewenangan yang diperoleh secara atribut yang terdapat peraturannya didalam Undang-Undang Jabatan Notaris. Sebagai pejabat umum yang diangkat oleh negara, Notaris yang bersifat mandiri dan otonom dapat menjalankan fungsi dan wewenangnya kapan saja dan tanpa memperoleh persetujuan pemerintah pusat, selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang-udangan yang mengatur. Notaris dalam menjalankan tugasnya diwajibkan terlebih dahulu untuk melaksanakan sumpah jabatan, hal ini bertujuan agar dalam melaksanakan tugasnya, notaris senantiasa menjunjung tinggi martabat jabatan notaris.24

Penggunaan teori wewenang dalam penelitian ini dengan tujuan untuk membahas dan menganalisis kewenangan Notaris dalam pembuatan akta berita acara Rapat Umum Pemegang Saham sesuai dengan Undang-Undang Jabatan notaris dan Undang-Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

2. Teori Kepastian Hukum

Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan atau ketetapan.25

Sedangkan hukum adalah kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama, keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksaannya dengan suatu sanski.26 Jadi kepastian hukum adalah peraturan-peraturan yang telah diatur secara pasti dan jelas.

Hukum tanpa nilai kepastian akan hilang makna karena tidak lagi dapat dijadikan pedoman perilaku bagi semua orang. Sebagaimana dikenal dengan istilah ubi jus incertum, ibi jus nullum (dimana tiada kepastian hukum, disitu tidak ada hukum).27

24 Hadia Setia Tunggal, Peraturan Pelaksanaan Undnag-Undang Jabatan Notaris, Dilengkapi Putusan Mahkamah Konstitusi dan AD, ART dan Kode Etik Notaris, Harvarindo, Jakarta, 2006, h. 39.

25 Acham ali, Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Gunung Agung, Jakarta, 2002, h. 85.

26 Sudikno Mertokusumo dalam H. Salim Hs, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, h. 24.

27 Ibid, h. 82.

Menurut Gustaf Radbruch Teori kepastian hukum yaitu hubungan antara keadilan dan kepastian hukum perlu diperhatikan. Oleh karena kepastian hukum harus dijaga demi keamanan dalam negara, maka hukum positif selalu ditaati, walaupun isinya kurang adil atau juga kurang sesuai dengan tujuan hukum. Tetapi dapat pengecualian bilamana pertentangan antara isi tata hukum tentang keadilan begitu besar. Sehingga tata hukum itu tampak tidak adil pada saat itu tata hukum boleh dilepaskan.28

Pendapat Gustav Radbruch didasarkan pada pandangan bahwa kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri. Kepastian hukum merupakan produk dari hukum atau lebih khusus dari perundang-undangan.

Jan M. Otto mengemukakan bahwa kepastian hukum dalam situasi tertentu mensyaratkan sebagai berikut :29

a) Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara;

b) Bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintah) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya;

c) Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;

d) Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum; dan

e) Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.

Lon Fuller mengemukakan bahwa terdapat 8 (delapan) asas sebagai landasan dan syarat-syarat legitimasi bagi implementasi asas legalitas (kepastian hukum), yakni :30

a. Hukum dipresentasikan dalam aturan-aturan umum;

b. Hukum harus dipublikasi;

c. Hukum harus non retroaktif (tidak beraku surut);

d. Hukum harus dirumuskan secara jelas;

e. Hukum harus tidak mengandung pertentangan antara hukum yang satu dengan yang lain;

f. Hukum harus tidak menuntut atau mewajibkan sesuatu yang mustahil;

g. Hukum harus relatif konstan;

h. Pemerintah sejauh mungkin berpegang teguh pada aturan-aturan hukum (yang diciptakan sendiri atau yang diakuinya).

Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu

28 Theo Huibers, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Kanisius, Yogyakarta,1982, h.162.

29Arief Sidharta, Ethika Hukum, Laboraturium Fakultas Hukum, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2008, h. 85.

30 Ibid, h.8.

dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu.31

Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan

diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keraguan (multi tafsir) dan logis dalam artian dia menjadi sistem norma dengan norma lain, sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan karena ketidak pastian aturan dapat berbentuk kontesti norma, reduksi norma atau distrosi norma.32

Sebagaimana diketahui bahwa tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia.

Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal peristiwa konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang berlaku, pada dasarnya tidak boleh menyimpang fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban masyarakat.33

Ronald Dworkin mengemukakan bahwa:

“Law as it is written in the books and law as it is decided by the judge through judicial process (hukum adalah apa yang tertulis di dalam buku maupun yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan)”.34

Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu pertama adanya aturan hukum yang bersifat umum untuk membuat individu mengetahui perbuatan apa saja yang boleh dilakukan atau perbuatan apa saja tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di putuskan.35

Pada dasarnya putusan hakim merupakan bagian dari proses penegakan hukum yang bertujuan salah satunya untuk mencapai kepastian hukum. Dalam upaya

menerapkan kepastian hukum, idealnya putusan hakim harus sesuai tujuan dasar dari suatu pengadilan dan harus mengandung kepastian hukum sebagai berikut:

31Ridwan Syahrani, Rangkuman Instisari Ilmu Hukum, Citra Adity Bakti, Bandung, 1999, h. 23.

32 Ibid., h. 89.

33 Sudikno Mertukusumo dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Yogyakarta, 1993, h.1.

34 Lihat Bismar Nasution, “Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, Makalah, Disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, tanggal 18 Februari 2003, h.1.

35 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, 2008, h.158.

a. Melakukan solusi autoritatif, artinya memberikan jalan keluar dari masalah hukum yang dihadapi oleh para pihak

b. Efisiensi artinya dalam proses harus cepat, sederhana dan biaya ringan

c. Sesuai dengan tujuan undang-undang yang dijadikan dasar dari putusan hakim

Jika dikait dengan penelitian ini, teori kepastian hukum ini dikemukakan dengan tujuan untuk menganalisis akibat hukum dari suatu akta yang dibuat oleh notaris berkaitan dengan akta perubahan anggaran dasar perusahaan. Dengan adanya kepastian hukum, maka akta yang dibuat oleh notaris dalam hal ini Akta Berita Rapat Umum Pemegang Saham dapat memberikan kepastian terhadap isinya.

3. Teori Pembuktian

Sistem pembuktian adalah sistem yang berisi terutama tentang alat-alat bukti apa yang digunakan untuk membuktikan, cara bagaimana alat bukti itu boleh dipergunakan, dan nilai kekuatan dari alat-alat tersebut serta standar/kriteria yang menjadi ukuran dalam mengambil kesimpulan tentang terbuktinya sesuatu (objek) yang dibuktikan. Sistem pembuktian merupakan suatu kebulatan atau keseluruhan dari berbagai ketentuan perihal kegiatan pembuktian yang saling berkaitan dan berhubungan satu dengann yang lain yang tidak terpisahkan dan menjadi satu kesatuan yang utuh.36 Adapun sistem atau teori pembuktian yang dikenal dalam dunia hukum yaitu conviction intime atau teori

pembuktian berdasarkan keyakinan hakim semata-mata, conviction rasionnee atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim dalam batas-batas tertentu atas alasan yang logis, positif wettelijk bewijstheorie atau teori Pembuktian yang hanya berdasarkan kepada alat-alat pembuktian yang disebut oleh undang-undang secara positif, dan negatief wettelijk bewijstheorie atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang secara negatif.37

a. Conviction intime atau Teori pembuktian berdasaran keyakinan hakim semata-mata Conviction intime diartikan sebagai pembuktian berdasarkan keyakinan hakim belaka. Teori pembuktian ini lebih memberikan kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan suatu putusan berdasarkan keyakinan hakim, artinya bahwa jika dalam pertimbangan putusan hakim telah menganggap terbukti suatu perbuata sesuai dengan keyakinan yang timbul dari hati nurani, terdakwa yang diajukan kepadanya dapat dijatuhkan putusan. Keyakinan hakim pada teori ini adalah menetukan dan mengabaikan

36 Adhami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Alumni, Bandung, 2008, h.24.

37Hendar Soetarna, Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana, Alumni, Bandung, 2011, h.11.

hal-hal lainnya jika sekiranya tidak sesuai atau bertentangan dengan keyakinan hakim tersebut38

b. Conviction Rasionnee atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim dalam batas-batas tertentu atas alasan yang logis.

Sistem pembuktian conviction rasionnee adalah sistem pembuktian yang tetap menggunakan keyakinan hakim, tetapi keyakinan hakim didasarkan pada alasan-alasan (reasoning) yang rasional. Dalam sistem ini hakim tidak dapat lagi memiliki kebebasan untuk menentukan keyakinannya, tetapi keyakinannya harus diikuti dengan alasan-alasan yang reasonable yakni alasan yang dapat diterima oleh akal pikiran yang menjadi dasar keyakinannya itu. 39

Conviction rasionnee sebagai jalan tengah antara teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang dan teori pembuktian semata-mata berdasar keyakinan hakim. Dalam teori ini, hakim dapat memutuskan terdakwa bersalah berdasarkan keyakinannya, namun tidak semata-mata keyakinan yang diciptakan oleh hakim sendiri, tetapi keyakinan hakm sampai batas tertentu, yaitu keyakinan hakim yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan kepada ketentuan pembuktian tertentu. 40

c. Positif Wettelijk Bewijstheorie atau Teori Pembuktian yang hanya berdasarkan kepada alat-alat pembuktian yang disebut oleh undang-undang secara positif.

Sistem pembuktian positif wettelijk bewijstheorie adalah pembuktian berdasarkan alat bukti menurut undang-undang secara positif atau pembuktian dengan menggunakan alat-alat bukti yang sebelumnya telah ditentukan dalam undang-undang. Untuk

menentukan kesalahan seseorang, hakim harus mendasarkan pada alat-alat bukti yang tersebut dalam undang-undang, jika alat-alat bukti tersebut telah terpenuhi, hakim sudah cukup beralasan untuk menjatuhkan putusannya tanpa harus timbul keyakinan terlebih dahulu atas kebenaran alat-alat bukti yang ada. Dengan kata lain, keyakinan hakim tidak diberi kesempatan dalam menentukan ada tidaknya kesalahan seseorang, keyakinan hakim harus dihindari dan tidak dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam menentukan kesalahan seseorang.41

Sistem ini hanya sesuai dengan pemeriksaan yang bersifat inkuisitor yang dulu pernah dianut di Eropa yang saat ini sudah tidak digunakan lagi karena bertentangan dengan hak-hak asasi manusia yang saat ini sangat diperhatikan dalam hal pemeriksaan tersangka atau terdakwa oleh negara. Sistem ini sama sekali mengabaikan perasaan hati nurani hakim, di mana hakim bekerja menyidangkan terdakwa seperti robot yang tingkah lakunya sudah diprogram melalui undang-undang. 42

38Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, h.186.

39 Ibid., h.187.

40 Hendar Soetarna, op.cit, h.40.

41Rusli Muhammad, op. cit, h. 190.

42Adhami Chazawi, op cit, h. 27-28.

d. Negatief Wettelijk Bewijstheorie atau Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang secara negatif.

Pembuktian negatief wettelijk bewijstheorie atau pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif adalah pembuktian yang selain menggunakan alat-alat bukti yang dicantumkan di dalam undang-undang, juga menggunakan keyakinan hakim. Sekalipun menggunakan keyakinan hakim, namun keyakinan hakim terbatas pada alat-alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang. Sistem pembuktian ini menggabungkan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim sehingga sistem pembuktian ini disebut pembuktian berganda (doubelen grondslag). 43

Negatief wettelijk bewijstheorie memadukan dua unsur yaitu ketentuan pembuktian berdasarkan undang-undang dan unsur keyakinan hakim menjadi satu unsur yang tidak dapat terpisahkan. Keyakinan hakim dipandang tidak ada apabila keyakinan tersebut tidak diperoleh dari sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan dua alat bukti yang sah dipandang nihil bila tidak dapat menciptakan keyakinan hakim. 44

Penggunaan teori pembuktian dalam penelitian ini adalah untuk mengkaji

pembuktian hakim dalam membuktikan akta yang dibuat oleh notaris yang mengandung keterangan palsu berdasarkan ketentuan Pasal 266 KUHP jo. Pasal 55 KUHP.

2. Kerangka Konsepsi

Kerangka Konsepsi merupakan kerangka yang mengambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin diteliti. Selain itu konsepsi adalah suatu bagian terpenting dari teori, karena konsep adalah bagian penghubung yang menerangkan suatu yang sebelumnya hanya baru ada dipikirkan. Peranan konsep dalam pemeliharaan adalah untuk menghubungkan dunia teori dan obsevasi antara abstraksi dan realitas.45

Pentingnya defini operasional adalah untuk menghindari perbedaan pengertian mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu, dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Dengan adanya penegasan kerangka konsepsi, maka akan diperoleh suatu pandangan dalam menganalisa masalah yang akan diteliti baik pandangan dari aspek yuridis maupun aspek sosiologis. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dirumuskan serangkaian kerangka konsepsi atau defenisi operasional sebagai berikut:

a. Notaris

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Jabatan Notaris atau berdasarkan Undang-Undang lainnya.46

43Rusli Muhammad ,op.cit, h. 187.

44 Hendar Soetarna, op.cit, h. 41

45 Masri Singaribun dkk, Metode Penelitian Surve, LP3E3, Jakarta, 1999, h.15.

46 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

b. Akta

Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang.47 Sedangkan dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Akta Otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu dimana akta itu dibuat.

c. Perseroan Terbatas

Menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 perseroan terbatas ialah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

d. Rapat Umum Pemegang Saham

Rapat Umum Pemegang Saham adalah organ perseroan yang mempunyai

wewenang yang tidak diberikan kepada direksi atau dewan komisaris dalam batas

wewenang yang tidak diberikan kepada direksi atau dewan komisaris dalam batas