BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
3.12. Analisis dan Penyajian Data
Setelah dilakukan pengumpulan data, dilakukan pengolahan data dengan tahap sebagai berikut : (1) Editing, merupakan langkah untuk meneliti kelengkapan data yang diperoleh melalui wawancara ; (2) Koding, adalah usaha untuk mengklasifikasikan jawaban yang ada menurutjenisnya; (3) Tabulasi, adalah kegiatan memasukkan data-data hasil penelitian kedalam tabel berdasarkan variabel yang diteliti; (4) Analisis data, sebelum dilakukan analisis data akan
39 jumlah sampel ≤50, selanjutnya dilakukan pengecekan asumsi linearitas dengan cara membuat grafik scatter,29 Selanjutnya data dianalisis untuk memperoleh nilai korelasi (r). Bila data berdistribusi normal, maka akan dilakukan analisis data menggunakan uji Korelasi Pearson. Apabila data tidak berdistribusi normal dilakukan analisis data menggunakan uji korelasi Spearman.30 Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Statistical Package for Social Sciences (SPSS).
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Studi ini dilakukan di poli rawat jalan RSJ Prof. Dr. M. Ildrem Medan.
Studi ini dilakukan dari Juli sampai dengan Agustus 2019. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara non probability sampling jenis consecutive sampling. Studi ini berhasil mendapatkan 49 orang subjek penelitian. Studi ini merupakan studi analitik korelatif numerik-numerik dengan pendekatan cross-sectional.
Tabel 4.1. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Karakteristik Demografik
Tabel 4.1 memperlihatkan karakteristik demografik berdasarkan kelompok umur, dengan rerata 30.61 tahun dengan simpangan baku 5.89, subjek pada kelompok umur 20-30 tahun yaitu sebanyak 24 orang (48,9%) , dan subjek pada
41 kelompok umur 31-40 sebanyak 25 orang (51.5%). Berdasarkan tingkat pendidikan, SMP 18 orang (36.7%), SMA 28 orang (57,2%), PT 3 orang (6.1%).
Pada status pernikahan, subjek dengan status menikah sebanyak 11 orang (22.5%) dan subjek dengan status tidak menikah 38 orang (77.5%). Begitu juga dengan status pekerjaan, subjek yang bekerja sebanyak 20 orang (40.8%) dan subjek yang tidak bekerja sebanyak 29 orang (59.2%). Berdasarkan lama sakit didapati median 3.00 dengan minimum-maksimum (1-5). Nilai rerata skor PANSS adalah 74.82 dan simpang baku 3.26.
Tabel 4.2. Kadar Homocysteine pada Laki-laki dengan Skizofrenia suku Batak
N Rerata ± SB
(µmol/L)
IK95%
Kadar Homocysteine 49 25.45 ± 9.17 22.82-28.09
Tabel 4.2 memperlihatkan bahwa didapatkan rerata kadar homocysteine pada subjek studi ini diperoleh sebesar 25.45 dan simpangan baku 9.17.
Tabel 4.3. Skor Montreal Cognitive Assessment Versi Indonesia (MoCA-Ina) pada Laki-laki dengan Skizofrenia suku Batak
N Median
(Minimum-Maksimum)
Skor MoCA-Ina 49 22 ( 18-26 )
Tabel 4.3 memperlihatkan bahwa didapatkan median skor MoCA-Ina pada subjek penelitian adalah 22, dengan skor minimum adalah 18 dan skor maksimum adalah 26.
Tabel 4.4. Hasil analisis Uji Korelasi Pearson antara Montreal Cognitive Assessment Versi Indonesia (MoCA-Ina) dan Kadar Homocysteine pada
Laki-laki dengan Skizofrenia suku Batak
Kadar Homocysteine
Skor MoCA-Ina r = - 0,754
p = 0,001 n = 49
Tabel 4.4 memperlihatkan korelasi antara skor MoCA-Ina dengan kadar homocysteine. Sebelum dilakukan uji korelasi antara skor MoCA-Ina dengan kadar homocysteine, telah dilakukan uji normalitas data dengan uji Shapiro-Wilk, karena jumlah subjek pada penelitian ini adalah 49. Namun didapatkan hasil tidak terdistribusi normal pada salah satu variabel. Lalu dilakukan uji korelasi Pearson, dimana sebelumnya dilakukan pengecekan asumsi linearitas dengan cara membuat grafik scatter. Dari hasil diatas, diperoleh nilai p = 0.001 yang menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang bermakna antara skor MoCA-Ina dan kadar Homocysteine. Nilai korelasi Pearson sebesar -0,754 menunjukkan korelasi negatif dengan kekuatan korelasi yang kuat, hal ini menunjukkan bahhwa semakin tinggi kadar homocysteine, maka semakin rendah skor Montreal Cognitive Assesment Versi Indonesia (MoCA-Ina).
43 BAB 5
PEMBAHASAN
5. 1 Diskusi
Penelitian ini merupakan studi analitik korelatif numerik-numerik dengan pendekatan cross-sectional, yaitu menggambarkan dan menganalisis suatu keadaan dalam suatu saat tertentu. Dalam studi ini, yang dianalisis adalah korelasi antara skor Montreal Cognitive Assesment Versi Indonesia (MoCA-Ina) dan kadar Homocysteine pada laki-laki dengan skizofrenia suku batak yang datang berobat ke poliklinik rawat jalan RSJ Prof. Dr. M. Ildrem Medan, dengan melibatkan 49 subjek yang telah memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Penelitian ini terlaksana setelah mendapatkan persetujuan dari komite etik penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Berdasarkan karakteristik demografik dapat dilihat pada tabel 4.1 memperlihatkan bahwa berdasarkan kelompok umur, pada kelompok umur 20-30 tahun yaitu sebanyak 24 orang (48,9%) , dan subjek pada kelompok umur 31-40 tahun sebanyak 25 orang (51.5%). Hasil studi Levin dan kawan-kawan pada tahun 2002 di Israel mendapatkan bahwa dari 150 peserta laki-laki dimana proporsi yang lebih tinggi pada kelompok umur 30-39 tahun, dan perbedaan yang signifikan sepenuhnya terutama pada orang dengan skizofrenia yang lebih muda dari 50 tahun.31
Pada studi ini hanya diambil subjek laki-laki. Hal ini dikarenakan, pada studi Levin dan kawan-kawan pada tahun 2002 di Israel, didapatkan bahwa tingkat homocysteine lebih tinggi pada orang dengan skizofrenia laki-laki yang
lebih muda. Sebagaimana diketahui bahwa onset skizofrenia lebih awal pada laki-laki dari pada perempuan, dan bahwa penyakit lebih sering memburuk secara kronis pada laki-laki yang lebih muda. Pada studi Yang dan kawan-kawan pada tahun 2015 di cina didapatkan bahwa prevalensi hyperhomocysteinemia seiring dengan bertambahnya umur dan secara signifikan lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan.31,32
Pada tabel 4.1 nilai median untuk lama sakit pada studi ini didapatkan nilai median adalah 3.00 dengan minimum-maksimum (1-5) tahun. Pada studi ini hanya diambil subjek orang dengan skizofrenia yang lama sakit 1- 5 tahun. Hal ini dikarenakan, pada studi Di Lorenzo dan kawan-kawan pada tahun 2015 di Italia, didapatkan bahwa secara signifikan terdapat peningkatan kadar homocysteine pada kelompok orang dengan skizofrenia dengan lama sakit > 1 tahun dibandingkan dengan kelompok orang dengan skizofrenia dengan lama sakit < 1 tahun ( uji X2, p = 0.02 ). Pada studi Studi Narayan dan kawan-kawan di India pada tahun 2014, didapatkan bahwa secara statisktik signifikan hubungan antara homocysteine dengan lama sakit ( uji analisis Spearman’s p = 0.0004 ; skor kendall = 940, SE = 330, p = 0.0045 ).33,34
Pada tabel 4.1 berdasarkan tingkat pendidikan, SMP 18 orang (36.7%), SMA 28 orang (57,2%), PT 3 orang (6.1%). Pada status pernikahan, subjek dengan status menikah sebanyak 11 orang (22.5%) dan subjek dengan status tidak menikah 38 orang (77.5%). Begitu juga dengan status pekerjaan, subjek yang bekerja sebanyak 20 orang (40.8%) dan subjek yang tidak bekerja sebanyak 29 orang (59.2%). Pada studi ini didapatkan skor PANSS dengan nilai rerata 74.82 dan simpang baku 3.26.
45 Pada Tabel 4.2 memperlihatkan bahwa didapatkan rerata kadar homocysteine pada subjek studi ini diperoleh sebesar 25.46 dan simpangan baku 9.17. Pada beberapa subjek studi ini diperoleh hasil peningkatan kadar homocysteine. Hal ini sesuai dengan studi terdahulu pada studi Levin dan kawan-kawan pada tahun 2002 di Israel didapatkan bahwa tingkat homocysteine lebih tinggi pada kelompok orang dengan skizofrenia dibandingkan dengan kelompok kontrol sehat. Dimana nilai rerata dan simpangan baku untuk kelompok orang dengan skizofrenia 16.44 ± 11.8 dan kelompok kontrol sehat 10.6 ± 3.6. Pada studi Ma dan kaw an-kawan pada tahun 2009 di Hongkong, didapatkan bahwa kelompok orang dengan skizofrenia memiliki tingkat serum homocysteine yang lebih tinggi dari pada kelompok kontrol sehat ( p < 0.001 ) dengan nilai rerata dan simpangan baku untuk kelompok orang dengan skizofrenia 10.97 ± 3.51 dan nilai rerata dan simpangan baku untuk kelompok kontrol sehat 9.3 ± 2.78. Namun berbeda dengan hasil studi Di Lorenzo dan kawan-kawan pada tahun 2015 di Italia didapatkan bahwa tidak ditemukan secara signifikan perbedaan tingkat homocysteine pada kelompok orang dengan skizofrenia dan kelompok kontrol sehat, dengan nilai rerata dan simpangan baku untuk kelompok orang dengan skizofrenia 16.49 ± 9.08 dan pada kelompok kontrol sehat untuk nilai rerata dan simpangan baku 15.78 ± 5.41.31,33,35
Pada tabel 4.3 memperlihatkan bahwa didapatkan median skor Montreal Cognitive Assesment Versi Indonesia (MoCA-Ina) pada subjek studi ini adalah 22, dengan skor minimum adalah 18 dan skor maksimum adalah 26. Pada studi ini untuk menilai fungsi kognitif pada subjek studi yaitu dengan menggunakan Montreal Cognitive Assesment Versi Indonesia (MoCA-Ina). Pada studi
Ayesa-Arriola untuk menilai fungsi kognitif pada subjek studi menggunakan Rey Auditory Verbal Learning Test (RAVLT), Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS), Grooved Pegboard Test (GPT), the Zoo Map Test, Tower of London Test (TOL), Rey Complex Figure (RCF), Trail Making Test (TMT), Continuous Perfomance Test (CPT) dan Stroop Test. Pada studi Deng dan kawan kawan pada tahun 2018, untuk menilai fungsi kognitif pada subjek penelitian yaitu dengan menggunakan MATRICS Consensus Cognitive in Schizophrenia (MCCB) dan Wisconsin Card Sorting Test (WCST).1,8
Pada tabel 4.4 diperoleh korelasi antara skor MoCA-Ina dan kadar homocysteine pada laki-laki dengan skizofrenia suku batak diperoleh nilai p = 0.001 yang menunjukkan bahwa korelasi antara skor MoCA-Ina dan kadar homocysteine adalah bermakna. Nilai korelasi Pearson sebesar -0.754 menunjukkan korelasi negatif dengan kekuatan korelasi yang kuat. Hal ini menunjukkan, semakin tinggi kadar homocysteine, maka semakin rendah skor Montreal Cognitive Assesment Versi Indonesia (MoCA-Ina). Hasil studi ini sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Moustafa dan kawan kawan pada tahun 2014 di Australia menyebutkan bahwa peningkatan homocysteine dapat juga berkontribusi pada gangguan kognitif. Ditemukan bahwa homosistein berinteraksi dengan reseptor N-Methyl-D-Aspartate (NMDA), menginisiasi oksidative stress menginduksi apoptosis, memicu disfungsi mitokondrial dan menimbulkan kerusakan vascular. Pada studi Deng dan kawan-kawan pada tahun 2018 di Cina menyebutkan bahwa subyek skizofrenia episode pertama secara signifikan memiliki peningkatan serum homocysteine lebih dari 15 µmol/L dan fungsi
47 kognitif yang rendah dibandingkan subyek yang memiliki tingkat homocysteine kurang dari 15 µmol/L (p < 0.05).1,7
Sedangkan pada studi Ayesa-Arriola dan kawan-kawan pada tahun 2012 di Spanyol menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat homocysteine dan gangguan kognitif. Studi ini menyimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara peningkatan tingkat homocysteine dan gangguan kognitif pada pasien psikosis episode pertama. RCF p= 0.81, WAISS-III p= 0.04, RAVLT p =0.05, ZMT-I p = 0.004, ZMT-II p= 0.006, TOL p=0.006.8
5. 2 Kelebihan dan Keterbatasan
Kelebihan dari studi ini adalah ini merupakan studi yang pertama dilakukan di Indonesia untuk mengetahui korelasi antara skor MoCA-Ina dan kadar homocysteine pada laki-laki dengan skizofrenia suku batak. Keterbatasan studi ini adalah tidak menilai korelasi antara perdomain fungsi kognitif dan kadar homocysteine.
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
6.1 Kesimpulan
Dilibatkan 49 subjek penelitian laki-laki dengan skizofrenia suku batak di poli rawat jalan RSJ Prof. Dr. M. Ildrem Medan.
Berdasarkan karakteristik demografi, ditemukan rerata untuk umur
30.61 tahun dengan simpangan baku 5.89. Berdasarkan pada kelompok umur 20-30 tahun yaitu sebanyak 24orang (48,9%) , dan subjek pada kelompok umur 31-40 sebanyak 25 orang (51.5%). Berdasarkan tingkat pendidikan, SMP 18 orang (36.7%), SMA 28 orang (57,2%), PT 3 orang (6.1%). Pada status pernikahan, subjek dengan status menikah sebanyak 11 orang (22.5%) dan subjek dengan status tidak menikah 38 orang (77.5%). Untuk lama sakit didapati median 3.00 dengan minimum-maksimum (1-5). Nilai rerata skor PANSS adalah 74.82 dan simpang baku 3.26
Rerata kadar homocysteine pada laki-laki dengan skizofrenia suku Batak diperoleh sebesar 25.45 dan simpangan baku 9.17.
Didapatkan median skor MoCA-Ina pada subjek penelitian adalah 22, dengan skor minimum adalah 18 dan skor maksimum adalah 26.
Terdapat korelasi antara Skor MoCA-Ina dan kadar homocysteine pada laki-laki dengan skizofrenia suku Batak, diperoleh nilai p = 0.001 yang
49 menunjukkan bahwa korelasi antara skor MoCA-Ina dengan kadar homocysteine adalah bermakna. Nilai korelasi Pearson sebesar -0,754 menunjukkan korelasi negatif dengan kekuatan korelasi yang kuat.
Dengan interpretasi bahwa semakin tinggi kadar homocysteine, maka semakin rendah skor Montreal Cognitive Assesment Versi Indonesia (MoCA-Ina) pada laki-laki dengan skizofrenia suku batak.
6.2 Saran
1. Dengan ditemukannya korelasi yang bermakna antara Skor MoCA-Ina dan kadar homocysteine, dapat dijadikan acuan untuk melakukan pemeriksaan homocysteine pada keparahan gangguan fungsi kognitif pada pasien skizofrenia.
2. Bagi klinisi berikutnya diharapkan dapat untuk meneliti faktor-faktor lainnya yang berperan pada terjadinya peningkatan kadar homocysteine yang mempengaruhi keparahan dari gangguan fungsi kognitif pasien skizofrenia.
DAFTAR RUJUKAN
1. Jing D, Mao X, Zhi L, Xinyuan L. Cognitive Ability and the Level of Serum Homocysteine Correlations in First-Episode Schizophrenia Subjects. Journal of Psychiatry and Brain of Science. 2018 April 24; 3(2): p. 1-6.
2. Zahnia S, Sumekar DW. Kajian Epidemiologis Skizofrenia. Majority. 2016 Oktober; 5(4): p. 160-166.
3. Riedel M, Schmitz M, Østergaard PK, Ferrannini L, Franco MA, Alfano V, et al. Comparison of the effects of quetiapine extended-release and quetiapine immediate-release on cognitive performance, sedation and patient satisfaction in patients with schizophrenia: A randomised, double-blind, crossover study (eXtRa). Schizophrenia Research. 2014 May 8; 1(1): p. 1-7.
4. Bores Ramírez LR, Saracco-Álvarez R, Escamilla-Orozco R, Orellana A.
Validity of the Montreal Cognitive Assessment Scale (MoCA) for the detection of cognitive impairment in schizophrenia. Salud Mental. 2014 November-December; 37(6): p. 517-522.
5. Fisekovic S, Memic A, Pasalic A. Correlation Between MOCA and MMSE for The Assessment of Cognition in Schizophrenia. Acta Inform Med. 2012 September; 20(3): p. 186-189.
6. Bowie CR, Harvey PD. Cognitive deficits and functional outcome in schizophrenia. Neuropsychiatric Disease and Treatment. 2006 January; 2(4):
p. 531-536.
7. Moustafa AA, Hewed DH, Eissa AM, Frydecka D, Misiak B. Homocysteine
51 levels in schizophrenia and affective disorders—focus on cognition. Frontiers in Behavioral Neuroscience. 2014 October; 8(343): p. 1-10.
8. Ayesa-Arriola R, Iglesias RP, Sanchez JMR´, Mata I, Go´mez-Ruiz E, Garcı
´a-Unzueta M, et al. Homocysteine and cognition in first-episode psychosis patients. Eur Arch Psychiatry Clin Neurosci. 2012 March 2; 262(1): p. 557–
564.
9. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. Eleventh ed. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P, editors. New York: Wolters Kluwer; 2015; p. 649-702
10. Smith M, Segal J. httpswww.helpguide.orgarticlesmental-disordersschizophrenia-signs-and-symptoms.htm. [Online].; 2018 [cited 2018 August 5. Available from: httpswww.helpguide.orgarticlesmental-disordersschizophrenia-signs-and-symptoms.htm.
11. Ayano G. Schizophrenia: A Concise Overview of Etiology, Epidemiology Diagnosis and Management: Review of literatures. Journal of Schizophrenia Research. 2016 August 2; 3(2): p. 1-7.
12. Organization WH. The Global Burden of Disease 2004 Update. First Edition ed. Organization WH, editor. Switzerland: World Health Organization; 2004.
13. Trihono. Riset Kesehatan Dasar 2013. Edisi Pertama ed. RI BPdPKKK, editor. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2013.
14. Mboi N. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019. Edisi Pertama ed. Indonesia KKR, editor. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2015.
15. Stahl SM. Stahl’s Essential Psychopharmacology Neuroscientific Basis and Practical Application. Fourth Edition ed. Stahl SM, editor. New York:
Cambridge University Press; 2013; p.155-213
16. Indonesia DKR. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJI-III). Edisi Ketiga ed. Indonesia DKR, editor. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 1993; 103-109
17. Yang Z, Abdul Rashid , Quek YF, Lam M, See , Maniam Y, et al. Montreal Cognitive Assessment as a screening instrument for cognitive impairments in schizophrenia. Schizophrenia Research. 2018 March 4; 1(1): p. 1-6.
18. Ramírez RB, Saracco-Álvarez R, Escamilla-Orozco , Orellana F. Validity of the Montreal Cognitive Assessment Scale (MoCA) for the detection of cognitive impairment in schizophrenia. Salud Mental. 2014 November-December; 37(6): p. 517-522.
19. Husein N, Lumempouw S, Ramli Y, Herqutanto. Neurona - Majalah Kedokteran Neurosains Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia..
[Online].; 2010 [cited 2015 Juli 4. Available from:
httpwww.neurona.web.idpaper-detail.doid=734.
20. Bolander-Gouaille C, Bottiglieri T. Homocysteine Related Vitamins and Neuropsychiatric Disorders. Second edition ed. New York: Springer; 2007.
21. Hardiyanti E. Makalah Kimia Klinik Homosistein. Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin Makassar. 2013 Januari; 1(1): p. 1-12.
22. Milller AL. The Methionine-Homocysteine Cycle and Its Effects on Cognitive
53 Diseases. Alternative Medicine Review. 2003 ; 8(1) : p. 7-19
23. Teunissen CE, van Boxtel MPJ, Jolles , Vente JD, Vreeling F, Verhey F, et al.
Homocysteine in relation to cognitive performance in pathological and non-pathological conditions. Walter de Gruyter. 2005 January; 43(10): p. 1089–
1095.
24. Sadock BJ, Sadock V, Ruiz P. Kaplan & Sadock's Comprehensive Textbook of Psychiatry Volume I/II. Tenth Edition ed. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P, editors. New York: Wolters Kluwer; 2017; p. 2751
25. Heriawan R. Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa sehari-hari Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010 Heriawan R, editor. Jakarta:
Badan Pusat statstk, Jakarta-indonesia; 2011.
26. Indonesia KSNR. httpindonesia.go.idp=8847-Suku Batak _ Indonesia.go.id.
[Online].; 2017 [cited 2018 Januari. Available from:
httpindonesia.go.idp=8847-Suku Batak _ Indonesia.go.id.
27. Suciati R, Agung IM. Perbedaan Ekspresi Emosi pada orang Batak, Jawa,Melayu dan Minangkabau. Jurnal Psikologi. 2016 Desember; 12(2): p.
99-108.
28. Dahlan MS. Besar Sampel Dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. 4th ed. Dahlan MS, editor. Jakarta: Epidemiologi Indonesia; 2016.
29. Dahlan MS. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. 6th ed. Dahlan MS, editor. Jakarta: Epidemiologi Indonesia; 2014.
30. Dahlan MS. Membuat Proposal Penelitian Bidang Kedokteran dan Kesehatan.
2nd ed. Dahlan MS, editor. Jakarta: Epidemiologi Indonesia; 2014.
31. Levine J, Stahl Z, Sela BA, Gavendo S, Ruderman V, Belmaker RH. Elevated homocysteine levels in young male patients with schizophrenia. Am J Psychiatry. 2002 October ; 159 : p. 1790–1792.
32. Yang B, Fan S, Zhi X, Wang Y, Wang Y, Zheng Q and Sun G. Prevalence of Hyperhomocysteinemia in China: A Systematic Review and Meta Analysis. Nutrients. 2015 December ; 7 : p. 74-90
33. Di Lorenzo R, Amoretti A, Baldini S, Soli M, Landi G, Pollutri G, Corradini R, Ferri P. Homocysteine level in schizophrenia patients newly admitted to an acute psychiatric ward. Acta Neuropsychiatrica. 2015 May ; p. 336-344 34. Narayan SK, Verman A, Kattimani S, Ananthanarayanan PH, Adithan C.
Plasma homocysteine levels in depression and schizophrenia in South Indian Tamilian population. Indian J Psychiatry. 2014 January-March ; 56 : p. 46–53 35. Ma YY, Shek CC, Wong MCK, Yip KC, Ng RMK, Nguyen DGH, Po TK.
Homocysteine level in schizophrenia patients. Australian and New Zealand Journal of Psychiatry. 2009 February ; 43 : p. 760-765.