• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fungsi Kognitif Pada Skizofrenia

Dalam dokumen TESIS OLEH YOSEVA HOTNAULI (Halaman 34-0)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Fungsi Kognitif Pada Skizofrenia

Penurunan kognitif pada proses memori, memori deklaratif dan perhatian adalah gejala dasar skizofrenia yang berkontribusi heterogenitas di fenomenologis gejala ekspresi dan pengaruh pada kompleksitas, keragaman dan hasil dari penyakit. Skizofrenia adalah gangguan kronis melibatkan sekitar 1% dari populasi umum. Prefrontal korteks memainkan peran yang dominan dalam kehidupan psikis manusia, karena mengintegrasikan informasi yang datang langsung dari daerah limbik, neokorteks, batang otak, hypothalamus dan secara tidak langsung melalui talamus dari hampir semua wilayah otak, sehingga disfungsional, yang tertentu struktural dan atau perubahan fungsional dalam hal ini bagian dari sistem susunan syaraf pusat menuju kuantitatif dan gangguan kualitatif kesadaran, perencanaan, pelaksanaan tindakan, kuantitatif dan kualitatif gangguan penglihatan, konsentrasi, pidato, emosi dan mempengaruhi. Sebagai kelompok, orang dengan skizofrenia memiliki prestasi yang lebih rendah padaberbagai tes kognitif, terutama yang berkaitan dengan regulasilobus frontal seperti perhatian, yang penggunaan strategi dan pemecahan masalah.5

17 2.3. Montreal Cognitive Assessment (MoCA)

Montreal Cognitive Assessment (MoCA) dirancang sebagai instrumen skrining cepat untuk disfungsi kognitif ringan. Hal ini menilai domain kognitif yang berbeda: perhatian dan konsentrasi, fungsi eksekutif, memori, bahasa, keterampilan visuoconstructional, pikiran konseptual, perhitungan, dan orientasi.

Waktu untuk mengelola Moca adalah sekitar 10 menit. Total skor adalah 30 poin;

skor 26 atau di atas dianggap normal.17

MoCA memiliki sensitivitas 90%, dan spesifitas 87% untuk menilai fungsi konitif. Di Indonesia, MoCA telah divalidasi ke dalam bahasa Indonesia oleh Husein dan kawan-kawan pada tahun 2009 dan disebut sebagai MoCA-Ina. Tes MoCA versi Indonesia (MoCA-Ina) telah valid menurut kaidah validasi transkultural dan dipercaya sehingga dapat digunakan.18,19

2.4. Homocysteine

Senyawa Homocysteine (Hcy) pertama kali ditemukan tahun 1932 dan diberi nama oleh du Vigneaud. Homocysteine (2 amino 4 mercaptobutanoic acid ) merupakan non protein sulfhydryl amino acid, yang metabolismenya terletak pada persimpangan antara jalur transulfurasi dan remetilasi biosintesis metionin.20

Homocysteine merupakan senyawa antara yang dihasilkan pada metabolisme metionin suatu asam amino esensial yang terdapat dalam beberapa bentuk di plasma. Sulfhidril atau bentuk tereduksi dinamakan homocysteine, dan disulfida atau bentuk teroksidasi dinamakan homocysteine. Bentuk disulfida juga terdapat bersama-sama dengan sistein dan protein yang mengandung residu sistein reaktif (homocysteine yang terikat protein), bentuk ini dinamakan disulfida

campuran. Bentuk teroksidasi merupakan bagian terbesar (98-99%) dalam plasma sedangkan bentuk tereduksi hanya 1% dari total homocysteine dalam plasma.

Dalam keadaan normal homosistein dalam darah relatif sangat sedikit, dengan kadar antara 5-15 umol/L. Kadar homocysteine di kompartemen ekstrasel ditentukan oleh beberapa hal yaitu pembentukannya di dalam sel, metabolisme dan eksresinya.21

Gambar 1.Jalur Metabolisme Homocysteine.

(Dikutip dari :Bolander-Gouaille C, Bottiglieri T. Homocysteine Related Vitamins and Neuropsychiatric Disorders. Second edition ed. New York: Springer; 2007.)

Tahap pertama metabolisme homocysteine adalah pembentukan S-adenosil metionin (Gambar 1) yang merupakan donor metil terpenting pada reaksi transmetilasi. adenosilmetinin, selanjutnya mengalami demetilasi membentuk S-adenosilhomocysteine, yang kemudian dihidrolisis menjadi adenosin dan homocysteine. Homocysteine selanjutnya memasuki jalur transsulfurasi atau jalur remetilasi. Sekitar 50% homocysteine yang memasuki transsulfurasi, secara irrevesibel berikatan dengan serin melalui pengaruh enzim sistasionin β-sintase, untuk membentuk sistasionin. Sistasionin ini selanjutnya di metabolisme menjadi

19 sistein dan α–ketobutirat melalui pengaruh γ-sistasionase. Sistein yang terbentuk dari homocysteine ini akhirnya di rubah menjadi sulfat dan di sekresikan ke dalam urin.21

Pada jalur remetilasi, homocysteine akan mengalami daur ulang menjadi metionin melalui 2 reaksi yang berbeda. Reaksi pertama memerlukan enzim 5-metil tetra hidrofolathomocysteine–5-metil transferase (metionin sintase). Untuk aktivitas enzim ini dibutuhka n metikobalamin sebagai kofaktor dan metiltetrahidrofolat sebagai kosubstrat. Metiltetrahidrofolat dibentuk dari tetrahidrofolat oleh pengaruh enzim metiltetrahidrofolat reduktase (MTHFR).

Reaksi ini terjadi di semua jaringan. Jalur kedua dikatalisir oleh enzim betain homocysteinemetil transferase. Reaksi dengan betain ini terutama terbatas di dalam hati. Proses daur ulang serta penyimpanan homocysteine akan menjaminpenyediaan metionin yang cukup.21

Pada keadaan kelebihan metionin, dimanfaatkan jalur transfulfurasi dengan meningkatkan regulasi sistasionin β sintase dan mengurangi regulasi jalur remetilasi, sedangkan bila terdapat defisiensi metionin dimanfaatkan jalur remetilasi.21

2.4.1. Faktor yang mempengaruhi Homocysteine

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan kadar homocysteine dalam darah ;21

1. Genetik

Gen untuk enzim sistasionin β sintase terletak pada kromosom 21, maka pada sindroma Down atau trisomi 21 dapat dijumpai keadaan yang

sebaliknya yaitu peningkatan enzim sistasionin β sintase. Penurunan kadar homocysteine plasma dijumpai pada anak dengan sindrom Down.

2. Usia

Kadar homocysteine plasma meningkat seiring dengan peningkatan usia.

Penyebabnya kemungkinan adanya penurunan kadar kofaktor atau adanya kegagalan ginjal yang sering dijumpai pada pasien lanjut usia. Selain itu aktivitas enzim sistasionin β sintase juga menurun seiring dengan meningkatnya usia.

3. Jenis Kelamin

Tingkat homocysteine rata-rata pada laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan. Sesudah menopause konsentrasi homocysteine akan meningkat. Perbedaan kadar homocysteine pada wanita dan pria mungkin disebabkan perbedaan hormon sex terhadap metabolisme homocysteine.

4. Disfungsi Ginjal

Terdapat korelasi positif antara kadar homocysteine dan kreatinin serum, walaupun mekanismenya belum jelas. Pada gagal ginjal kronik kadar homocysteine plasma akan meningkat 2-4 kali dari normal. Konsentrasi ini akan menurun setelah dialisis. Peningkatan homocysteine pada gagal ginjal mungkin disebabkan gangguan metabolisme.

5. Nutrisi dan Gaya Hidup

Korelasi negatif antara kadar folat serum dan B12 telah terbukti pada orang normal. Hyperhomocysteine didapat antara lain disebabkan oleh defisiensi vitamin B6, vitamin B9 dan vitamin B12. Merokok, dan minum

21 kopi dan minum yang mengandung alkohol, menyebabkan homocysteine meningkat.

6. Penyakit

Terdapat beberapa penyakit yang dihubungkan dengan peningkatan kadar homocysteine yaitu psoriasis, keganasan dan pemakaian obat-obatan.

Beberapa keganasan seperti Ca mamae, ovarium dan pankreas juga menunjukkan peningkatan kadar homocysteine. Plasma homocysteine juga dipengaruhi oleh obat-obatan seperti methotrexate, nitrous oxide, phenytoin, carbamazepine, azaribine, kontrasepsi oral dan penicillamine.

2.4.2 Hubungan Homocysteine dan Skizofrenia

Homocysteine merupakan asam amino non-protein neurotoksik yang telah dikemukakan sebagai faktor resiko independen untuk skizofrenia melalui efek perkembangan pada struktur dan fungsi otak. Peningkatan kadar plasma total homocysteine telah dikaitkan dengan disfungsi kognitif dalam beragam gangguan neurologis dan psikiatri.Homocysteine dikenal untuk berinteraksi dengan glutamatergic transmission di otak, ini merangsang reseptor NMDA meningkat masuknya kalsium ke dalam neuron yang memuncak pada neurotoksisitas dan apoptosis. Homocysteine juga menyebabkan stress oksidatif dan metilasi DNA yang menyimpang. Implikasi ini akan menjelaskan homocysteinemia pada skizofrenia.7,20

Sejumlah besar studi menegaskan adanya hubungan antara peningkatan kadar plasma homocysteine dan defisit kognitif pada penyakit Alzheimer, penyakit Parkinson, multiple sclerosis, gangguan bipolar dan skizofrenia.

Sebaliknya, beberapa studi sebelumnya belum memiliki bukti yang kuat hubungan antara kadar plasma homocysteine dan disfungsi kognitif pada skizofrenia.7

2.4.3. Hubungan Fungsi Kognitif dan Homocysteine

Homocysteine telah terbukti menjadi faktor risiko independen untuk disfungsi kognitif. Studi individu dengan jangkauan luas gangguan kognitif secara konsisten menunjukkan peningkatan plasma homocysteine dan kofaktor enzimatik yang menurun terlibat dalam metionin dan metabolisme homocysteine. Total plasma homocysteine plasma juga seperti menjadi penanda jaringan yang paling konsisten dalam kofaktor kekurangan gizi, serta kinerja kognitif pada orang tua. 22

Studi Teunissen dan kawan-kawan pada tahun 2005 di Belanda, menyatakan bahwa homocysteine berhubungan pada asfek kognitif dan neurologi.

Homocysteine merupakan marker fungsi kognitif dan sekaligus fungsi neurologis spesifik, ini disebabkan oleh mekanisme neuro degeneratif yang secara umum menyebabkan ketidakseimbangan jalur transmetilasi sehingga menyebabkan gangguan kognitif. Jalur transmetilasi aktif pada setiap sel sistem saraf pusat.

Efek homocysteine pada fungsi sel sistem saraf pusat dapat mempengaruhi secara intraseluler dan ekstraseluler, sehingga berefek terhadap ketidak-seimbangan parenkim sel sistem saraf pusat atau melalui efek pada vaskular sehingga meyebabkan aterosklerosis dan stroke.23

Stress oksidatif merupakan mekanisme yang sering sehubungan dengan peningkatan level homocysteine. Stress oksidatif dapat menyebabkan peningkatan kadar homocysteine karena autooksidasi dari kelompok sulfhydryl sehingga pada tikus peningkatan kadar homocysteine menyebabkan peningkatan kadar oksidasi, sel sistem saraf pusat dilaporkan terjadinya disfungsi kognitif. Peningkatan

23 homocysteine juga menyebabkan stress oksidatif melalui eksitotoksisitas.

Homocysteine dapat menginduksi eksitotoksisitas dengan mempengaruhi glutamate melalui pompa natrium kalium yang diobservasi setelah pemberian homocysteine pada tikus muda. Pompa natrium kalium penting untuk menjaga keseimbangan potensial membrane dan fungsi beberapa fungsi reseptor.

Eksitotoksisitas menyebabkan peningkatan influx kalsium intraseluler yang menyebabkan efek banyak fungsi seluler dan secara keseluruhan mempengaruhi beberapa stress oksidatif dan kematian sel, sehingga memungkinkan peningkatan homocysteine diinduksi oleh stress oksidatif.23

Mekanisme homocysteine menginduksi efek inhibisi dari mekanisme perbaikan DNA atau penurunan afibilitas metionin yang esensial untuk transfer metil melalui S-adenosilmetionin yang merupakan salah satu mekanisme sintesis dan degradasi dari neurotransmitter. Hyperhomocysteine dapat meningkatkan S-adenosil homocysteine yang menginhibisi metil transferase dan aktivitas ini ditunjukkan pada penurunan fungsi otak pada penyakit Alzheimer.23

2.5. Positive and Negative Syndromes Scale (PANSS)

Positive and Negative Syndromes Scale (PANSS) dikembangkan pada akhir tahun 1980-an yang bertujuan untuk menilai simtom klinis dari skizofrenia.

Skala ini diadaptasi dari skala psikopatologi sebelumnya, termasuk Brief Psychiatric Rating Scale(BPRS). PANSS memuat 30 item dalam tiga subskala, tujuh item meliputi simtom positif (misalnya, delusi dan halusinasi), tujuh item meliputi simtom negatif (misalnya, social withdrawal, flat affect, lack of motivation), dan 16 item meliputi psikopatologi umum (misalnya, ansietas dan

depresi). PANSS digagas sebagai instrumen operasional yang memperlihatkan gambaran seimbang gejala positif dan negatif, serta suasana hati (mood) dan gejala kecemasan. Penilaian dapat diselesaikan dalam waktu 30 hingga 40 menit.

Reliabilitasnya baik dan validitasnya sangat baik.24

2.6. Suku Batak

Berdasarkan buku ensiklopedia, suku bangsa di Indonesia, jumlah suku bangsa yang ada Indonesia secara keseluruhan mencapai 1.300 suku bangsa.

Selain jenisnya yang beragam, jumlah atau ukuran populasi dari setiap jenis suku bangsa juga sangat bervariasi. Suku Batak merupakan suku bangsa terbesar nomor urut kedua di Indonesia setelah suku Sunda sebanyak 36.7 juta jiwa (15.5%), dimana suku Batak sebanyak 8,5 juta (3.6 %). Suku Batak merupakan salah satu suku bangsa Indonesia yang terletak di Sumatera Utara. Nama Batak merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur. Suku bangsa yang dikategorikan kedalam suku Batak yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola dan Batak Mandailing. Banyak teori dan pendapat yang mempertanyakan asal usul suku batak, arti perkataan batak dan keberadaan suku bangsa di nusantara.Keterangan tertua tentang batak berasal dari Yunani dan Tiongkok. Keterangan-keterangan itu, mulai sejak abad pertama masehi.25, 26, 27

25 2.7. Kerangka Teori

Gambar 2. 2 Kerangka Teori Disfungsi Reseptor

DNA

Apoptosis Neuronal dan

disfungsi dopaminergik Homosistein

Stress Oksidatif

Disfungsi Mitokondrial Penyimpangan

metilasi DNA

2.8. Kerangka Konsep

Variabel Bebas Variabel Terikat

-Defisiensi Vitamin B (B6,B9,B12), usia, jenis kelamin,penggunaan alkohol dan merokok

Variabel Perancu

Gambar 2. 3 Kerangka Konsep Kadar

Homocysteine Pada laki-laki

dengan skizofrenia suku

batak

Fungsi Kognitif (Skor MoCA-Ina)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan studi analitik korelatif numerik-numerik dengan pendekatan Cross-sectional study, yang menilai Korelasi antara skor Montreal Cognitive Assessment Versi Indonesia (MoCA-Ina) dan kadar Homocysteine laki-laki dengan skizofrenia suku Batak.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

 Tempat Penelitian :

- Pengambilan sampel penelitian ini ini dilakukan di Poliklinik rawat jalan RSJ Prof.Dr. M.Ildrem Medan .

- Pemeriksaan kadar homocysteine dilakukan di laboratorium unit terpadu FK-USU Lantai 2.

 Waktu penelitian : Juli 2019 – Agustus 2019

3.3. Populasi Penelitian dan Sampel Penelitian

 Populasi target : Laki-laki dengan skizofrenia suku Batak di Poliklinik rawat jalan RSJ Prof. Dr. M. Ildrem Medan.

 Populasi terjangkau : Laki–laki dengan skizofrenia suku Batak di Poliklinik RSJ Prof. Dr. M. Ildrem Medan periode Juli 2019 sampai dengan Agustus 2019.

 Sampel penelitian : Laki-laki dengan skizofrenia suku Batak di Poliklinik RSJ Prof. Dr. M. Ildrem Medan periode Juli 2019 sampai dengan September 2019 yang memenuhi kriteria inklusi.

 Cara pengambilan sampel : dengan cara Nonprobability sampling tipe

consecutive sampling. Dimana semua subjek yang datang berurutan dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subjek yang diperlukan terpenuhi.

3.4 Kriteria Inklusi dan Ekslusi Kriteria Inklusi:

1. Laki-laki suku Batak dengan skizofrenia yang telah didiagnosis berdasarkan PPDGJ III

2. Usia antara 20 – 40 tahun.

3. Lama sakit 1 – 5 tahun 4. Total skor PANSS 60 - 80

5. Mengerti bahasa Indonesia, bersedia sebagai responden dan dapat diwawancarai.

6. Mendapat pengobatan antipsikotik risperidon 4 mg/hr/oral dalam dosis terbagi.

7. Pendidikan terakhir minimal Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau sederajat.

8. Frekuensi merokok ≤ 10 batang/hari (perokok ringan) Kriteria Eksklusi :

1. Memiliki gangguan medik umum dan atau komorbiditas lainnya 2. Riwayat penggunaan alkohol dan zat lainnya.

3. Riwayat pemakaian suplemen yang mengandung Vitamin B ( B 6, B 9, B 12 )

29 3.5. Besar Sampel

3.5.1. Perhitungan Besar Sampel

Besar sampel minimal yang dibutuhkan untuk mendeteksi Korelasi antara Skor Montreal Cognitive Assessment Versi Indonesia (MoCA-Ina) dan kadar Homocysteine Pada Laki-laki suku Batak dengan Skizofrenia digunakan rumus sebagai berikut:

Untuk jumlah sampel didapatkan:28

(( )

)

Keterangan :

n : Jumlah subjek penelitian Alpha (α) : Kesalahan tipe I

Zα : Nilai standar alpha, ditetapkan sebesar 5%, sehingga Zα= 1.964

Beta (β) : Kesalahan tipe II

Zβ : Nilai standar beta, ditetapkan sebesar 10%, sehingga = Zβ= 1.282

r : Koefisien korelasi minimal yang dianggap bermakna (-0.45)

Studi ini merupakan studi yang sampai sejauh pencarian literatur yang dilakukan penulis merupakan studi pertama yang meneliti korelasi Skor Montreal Cognitive Assessment Versi Indonesia (MoCA-Ina) dan kadar homocysteine pada laki-laki dengan skizofrenia suku Batak. Oleh sebab itu, untuk memperoleh nilai

korelasi minimal yang dianggap bermakna (r), dilakukan studi pendahuluan dengan merekrut 20 subjek orang dengan skizofrenia dan dilakukan prosedur studi dengan hasil seperti terlihat pada tabel berikut :

Tabel 3.1 Pengukuran Skor MoCA-Ina dan Kadar Homocysteine

No Nama SKOR

31 Berdasarkan data dari tabel diatas, dapat dihitung nilai r adalah -0,45

Dengan demikian didapatkan :

(( )

)

(( )

( ) ( ))

(

)

(

) (

) ( )

3.6 Persetujuan Setelah Penjelasan/ Inform Consent

Semua subjek penelitian telah mengisi persetujuan secara tertulis untuk ikut serta dalam penelitian dengan terlebih dahulu diberi penjelasan secara terperinci dan jelas.

3.7 Etika Penelitian

Penelitian ini telah mendapat persetujuan dari Komite Etik Penelitian di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3.8 Cara Kerja Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini meliputi persiapan, pengambilan data, pengolahan data, penyusunan hasil penelitian, analisis hasil penelitian, dan penyusunan akhir hasil penelitian.

 Tahapan persiapan meliputi pengurusan ijin penelitian dari tempat

penelitian dan komite etik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

 Pengambilan data didahului dengan skrining menggunakan kriteria inklusi

dan ekslusi, Individu yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memiliki eksklusi dijelaskan tentang maksud dan tujuan penelitian.

 Subjek yang dipilih dimintai persetujuan untuk mengikuti penelitian setelah mendapatkan penjelasan informed consent.

 Pengisian data demografik subjek.

 Melakukan penilaian PANSS terhadap subjek studi. Berdasarkan hasil

penilaian antara peneliti dengan intereter dengan menggunakan uji komparatif kesesuaian numerik (Bland Altman) karena variabel yang digunakan adalah variable dengan skala numerik, dengan hasil sebagai berikut ;

Tabel 3.2 Skor Total PANSS

Interrater Penulis Selisih

72 71 1

75 75 0

73 74 -1

77 77 0

33

71 72 1

76 76 0

72 71 1

73 73 0

72 72 0

76 75 1

75 76 -1

72 72 0

74 74 0

75 74 1

71 71 0

73 73 0

74 73 1

77 76 1

74 73 1

71 70 1

Skor Total PANSS

Minimal = rerata selisih – 1.96 x simpang baku

= 0.35 – ( 1.96 x 0.671 ) = -0.965 Maksimal = rerata selisih + 1.96 x simpang baku

= 0.35 + ( 1.96 x 0.671 ) = 1.665

 Tahapan berikutnya, seluruh subjek penelitian, dikumpulkan dan

dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan kadar homocysteine pada subjek penelitian. Cara pengambilan sampel darah dilakukan sebelum minum obat ± 6-8 jam oleh petugas laboratorium RSJ Prof. Dr. M. Ildrem Medan, sampai jumlah subjek yang diinginkan tercukupi, yang kemudian akan diperiksa di laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara untuk mendapatkan hasil kadar serum homocysteine. Setelah melakukan pengambilan sampel darah maka dilakukan penilaian serta perhitungan Skor Montreal Cognitive Assessment Versi Indonesia (MoCA-Ina) pada pasien.

 Data hasil kadar homocystein yang telah diterima dan Skor Montreal Cognitive Assessment Versi Indonesia (MoCA-Ina) pada pasien selanjutnya akan dianalisis.

35 3.9 Kerangka Kerja

Laki-laki dengan skizofrenia suku batak

Ekslusi Inklusi

Persetujuan setelah penjelasan dengan melakukan informed

concent

Pengukuran skor PANSS

Pengambilan Sampel Darah

Pengukuran skor MoCA-Ina

Hasil Kadar Homocysteine Darah

Pengambilan Sampel Analisis Data

3. 10. Identifikasi Variabel

a. Axis : Kadar Homocysteine b. Ordinat : Skor MoCA-Ina

3.11. Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional

2 Homocysteine Asam amino yang

37

7 Status Pekerjaan suatu kegiatan yang dilakukan

9 Skala PANSS Rating

12 Perokok ringan (perokok yang dimana jumlah rokok yang dikonsumsi ≤10 batang/hari),

Wawancara Perokok ringan Nominal

3.12. Analisis dan Penyajian Data

Setelah dilakukan pengumpulan data, dilakukan pengolahan data dengan tahap sebagai berikut : (1) Editing, merupakan langkah untuk meneliti kelengkapan data yang diperoleh melalui wawancara ; (2) Koding, adalah usaha untuk mengklasifikasikan jawaban yang ada menurutjenisnya; (3) Tabulasi, adalah kegiatan memasukkan data-data hasil penelitian kedalam tabel berdasarkan variabel yang diteliti; (4) Analisis data, sebelum dilakukan analisis data akan

39 jumlah sampel ≤50, selanjutnya dilakukan pengecekan asumsi linearitas dengan cara membuat grafik scatter,29 Selanjutnya data dianalisis untuk memperoleh nilai korelasi (r). Bila data berdistribusi normal, maka akan dilakukan analisis data menggunakan uji Korelasi Pearson. Apabila data tidak berdistribusi normal dilakukan analisis data menggunakan uji korelasi Spearman.30 Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Statistical Package for Social Sciences (SPSS).

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Studi ini dilakukan di poli rawat jalan RSJ Prof. Dr. M. Ildrem Medan.

Studi ini dilakukan dari Juli sampai dengan Agustus 2019. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara non probability sampling jenis consecutive sampling. Studi ini berhasil mendapatkan 49 orang subjek penelitian. Studi ini merupakan studi analitik korelatif numerik-numerik dengan pendekatan cross-sectional.

Tabel 4.1. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Karakteristik Demografik

Tabel 4.1 memperlihatkan karakteristik demografik berdasarkan kelompok umur, dengan rerata 30.61 tahun dengan simpangan baku 5.89, subjek pada kelompok umur 20-30 tahun yaitu sebanyak 24 orang (48,9%) , dan subjek pada

41 kelompok umur 31-40 sebanyak 25 orang (51.5%). Berdasarkan tingkat pendidikan, SMP 18 orang (36.7%), SMA 28 orang (57,2%), PT 3 orang (6.1%).

Pada status pernikahan, subjek dengan status menikah sebanyak 11 orang (22.5%) dan subjek dengan status tidak menikah 38 orang (77.5%). Begitu juga dengan status pekerjaan, subjek yang bekerja sebanyak 20 orang (40.8%) dan subjek yang tidak bekerja sebanyak 29 orang (59.2%). Berdasarkan lama sakit didapati median 3.00 dengan minimum-maksimum (1-5). Nilai rerata skor PANSS adalah 74.82 dan simpang baku 3.26.

Tabel 4.2. Kadar Homocysteine pada Laki-laki dengan Skizofrenia suku Batak

N Rerata ± SB

(µmol/L)

IK95%

Kadar Homocysteine 49 25.45 ± 9.17 22.82-28.09

Tabel 4.2 memperlihatkan bahwa didapatkan rerata kadar homocysteine pada subjek studi ini diperoleh sebesar 25.45 dan simpangan baku 9.17.

Tabel 4.3. Skor Montreal Cognitive Assessment Versi Indonesia (MoCA-Ina) pada Laki-laki dengan Skizofrenia suku Batak

N Median

(Minimum-Maksimum)

Skor MoCA-Ina 49 22 ( 18-26 )

Tabel 4.3 memperlihatkan bahwa didapatkan median skor MoCA-Ina pada subjek penelitian adalah 22, dengan skor minimum adalah 18 dan skor maksimum adalah 26.

Tabel 4.4. Hasil analisis Uji Korelasi Pearson antara Montreal Cognitive Assessment Versi Indonesia (MoCA-Ina) dan Kadar Homocysteine pada

Laki-laki dengan Skizofrenia suku Batak

Kadar Homocysteine

Skor MoCA-Ina r = - 0,754

p = 0,001 n = 49

Tabel 4.4 memperlihatkan korelasi antara skor MoCA-Ina dengan kadar homocysteine. Sebelum dilakukan uji korelasi antara skor MoCA-Ina dengan kadar homocysteine, telah dilakukan uji normalitas data dengan uji Shapiro-Wilk, karena jumlah subjek pada penelitian ini adalah 49. Namun didapatkan hasil tidak terdistribusi normal pada salah satu variabel. Lalu dilakukan uji korelasi Pearson, dimana sebelumnya dilakukan pengecekan asumsi linearitas dengan cara membuat grafik scatter. Dari hasil diatas, diperoleh nilai p = 0.001 yang menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang bermakna antara skor MoCA-Ina dan kadar Homocysteine. Nilai korelasi Pearson sebesar -0,754 menunjukkan korelasi negatif dengan kekuatan korelasi yang kuat, hal ini menunjukkan bahhwa semakin tinggi kadar homocysteine, maka semakin rendah skor Montreal Cognitive Assesment Versi Indonesia (MoCA-Ina).

43 BAB 5

PEMBAHASAN

5. 1 Diskusi

Penelitian ini merupakan studi analitik korelatif numerik-numerik dengan pendekatan cross-sectional, yaitu menggambarkan dan menganalisis suatu keadaan dalam suatu saat tertentu. Dalam studi ini, yang dianalisis adalah korelasi antara skor Montreal Cognitive Assesment Versi Indonesia (MoCA-Ina) dan kadar Homocysteine pada laki-laki dengan skizofrenia suku batak yang datang berobat ke poliklinik rawat jalan RSJ Prof. Dr. M. Ildrem Medan, dengan melibatkan 49 subjek yang telah memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Penelitian ini terlaksana setelah mendapatkan persetujuan dari komite etik penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Berdasarkan karakteristik demografik dapat dilihat pada tabel 4.1 memperlihatkan bahwa berdasarkan kelompok umur, pada kelompok umur 20-30 tahun yaitu sebanyak 24 orang (48,9%) , dan subjek pada kelompok umur 31-40 tahun sebanyak 25 orang (51.5%). Hasil studi Levin dan kawan-kawan pada tahun 2002 di Israel mendapatkan bahwa dari 150 peserta laki-laki dimana proporsi yang lebih tinggi pada kelompok umur 30-39 tahun, dan perbedaan yang signifikan sepenuhnya terutama pada orang dengan skizofrenia yang lebih muda dari 50 tahun.31

Pada studi ini hanya diambil subjek laki-laki. Hal ini dikarenakan, pada studi Levin dan kawan-kawan pada tahun 2002 di Israel, didapatkan bahwa tingkat homocysteine lebih tinggi pada orang dengan skizofrenia laki-laki yang

lebih muda. Sebagaimana diketahui bahwa onset skizofrenia lebih awal pada laki-laki dari pada perempuan, dan bahwa penyakit lebih sering memburuk secara kronis pada laki-laki yang lebih muda. Pada studi Yang dan kawan-kawan pada

lebih muda. Sebagaimana diketahui bahwa onset skizofrenia lebih awal pada laki-laki dari pada perempuan, dan bahwa penyakit lebih sering memburuk secara kronis pada laki-laki yang lebih muda. Pada studi Yang dan kawan-kawan pada

Dalam dokumen TESIS OLEH YOSEVA HOTNAULI (Halaman 34-0)