• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manfaat Penelitian

Dalam dokumen TESIS OLEH YOSEVA HOTNAULI (Halaman 24-0)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.5. Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai korelasi antara skor Montreal Cognitive Assessment Versi Indonesia (MoCA-Ina) dan kadar homocysteine pada laki-laki dengan skizofrenia suku Batak di Instalasi rawat jalan RSJ Prof. Dr. M. Ildrem Medan.

2. Hasil penelitian ini dapat diharapkan sebagai acuan bahan penelitian lainnya yang sejenis.

3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pertimbangan untuk melakukan pemeriksaan homocysteine dan fungsi kognitif, pada praktek klinik.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Skizofrenia 2.1.1. Definisi

Skizofrenia adalah kumpulan sindroma klinis yang ditandai dengan kerusakan psikopatologi yang melibatkan kognisi, emosi, persepsi, dan aspek perilaku yang bermanifestasi pasa pasien dan mempengaruhi perjalanan penyakit dan berlangsung lama. Gangguan ini biasanya dimulai sebelum umur 25 tahun,menetap sepanjang hidup dan mempengaruhi seseorang dari semua kelas sosial. Baik penderita maupun keluarganya mengalami permasalahan sosial dari masyarakat akibat ketidak tahuan yang besar mengenai penyakit tersebut.9

Skizofrenia adalah gangguan otak yang mempengaruhi cara seseorang berperilaku, berpikir, dan melihat dunia. Orang dengan skizofrenia sering memiliki persepsi yang merubah realitas. Mereka mungkin melihat atau mendengar hal-hal yang tidak ada, berbicara dengan cara yang aneh atau membingungkan, percaya bahwa orang lain berusaha untuk menyakiti mereka, atau merasa seperti mereka terus-menerus diawasi. Hal ini dapat membuat sulit untuk bernegosiasi aktivitas kehidupan sehari-hari, dan orang-orang dengan skizofrenia menarik diri dari dunia luar atau bertindak dalam kebingungan dan ketakutan. Meskipun skizofrenia adalah gangguan kronis, ada bantuan yang tersedia. Dengan dukungan, pengobatan, dan terapi, banyak orang dengan skizofrenia dapat berfungsi secara independen dan hidup memenuhi.10

2.1.2. Epidemiologi

Risiko skizofrenia di keluarga, tingkat pertama dari penderita orang dengan skizofrenia adalah 10%. Jika kedua orang tua memiliki skizofrenia, risiko skizofrenia pada anak mereka adalah 40%. Kesesuaian untuk skizofrenia adalah sekitar 10% untuk kembar dizigot dan 40-50% untuk kembar monozigot.

Prevalensi seumur hidup skizofrenia secara umum diperkirakan sekitar 1% di seluruh dunia. Namun, review sistematis oleh Saha dan kawan-kawan, dari 188 studi yang diambil dari 46 negara menemukan risiko seumur hidup dari 4.0 per 1000 penduduk; estimasi prevalensi dari negara-negara yang paling maju secara signifikan lebih rendah dibandingkan dari negara digolongkan sebagai negara berkembang atau sedang berkembang. Imigran ke negara-negara maju menunjukkan tingkat peningkatan skizofrenia, dengan risiko memperluas ke generasi kedua.11

Di Amerika Serikat, sekitar 0.05 % dari total populasi diobati dengan diagnosa skizofrenia setiap tahunnya dan hanya setengah dari seluruh pasien orang dengan skizofrenik memperoleh pengobatan, meskipun mengalami gangguan yang berat. Prevalensi skizofrenia adalah sama antara laki-laki dan perempuan. Bagaimanapun perbedaan kedua jenis kelamin adalah pada onset dan perjalanan penyakit. Onset adalah lebih awal pada laki-laki daripada perempuan.

Umur puncaknya 25 sampai 35 tahun. Onset skizofrenia sebelum usia 10 tahun atau sesudah 60 tahun sangat jarang. Sembilan puluh persen pasien yang mendapat pengobatan skizofrenia berusia antara 15 sampai 55 tahun. Secara umum, wanita dengan skizofrenia mempunyai hasil yang lebih baik dibandingkan pria.9

9 Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada April 2016 menyebutkan ada 21 juta penderita orang dengan skizofrenia di seluruh dunia.

Data Global Burden Disease (WHO 2004) menunjukkan bahwa skizofrenia termasuk dalam 20 besar penyakit terkait Years Lost due to Disability (YLD).12

Menurut data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013, prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia seperti gangguan psikosis adalah 1,7 per 1000 penduduk, ini berarti lebih dari 400.000 orang menderita gangguan jiwa berat (psikosis). Angka pemasungan untuk orang dengan gangguan jiwa berat sebesar 14.3 % atau sekitar 57.000 kasus gangguan jiwa yang mengalami pemasungan. Sedangkan untuk Sumatera Utara sebesar 0,9 permil.13,14

2.1.3. Etiologi

2.1.3.1. Faktor Genetik

Terdapat kontribusi genetik bagi sebagian bahkan mungkin semua bentuk dari skizofrenia, dan proporsi yang tinggi dari varian dalam kecenderungan untuk skizofrenia adalah karena adanya pengaruh genetik, misalnya, skizofrenia dan gangguan yang berkaitan dengan skizofrenia, dimana hal tersebut muncul pada nilai hubungan yang meningkat di antara kerabat biologis pasien orang dengan skizofrenia.9

2.1.3.2. Faktor Biokimia 2.1.3.2.1. Hipotesis Dopamin

Rumusan yang paling sederhana dari hipotesis dopamin adalah bahwa skizofrenia merupakan hasil dari terlalu banyaknya aktivitas dopaminergik. Teori ini berkembang dari dua observasi. Pertama, efikasi dan potensi dari obat-obat antipsikotik misalnya, antagonis reseptor dopamin yang berkaitan dengan

kemampuan mereka untuk bertindak sebagai antagonis dari reseptor dopamine D2. Kedua, obat-obatan yang meningkatkan aktivitas dopaminergik merupakan psychotomimetic.9

2.1.3.2.2. Serotonin

Saat ini beberapa hipotesis menyatakan bahwa serotonin yang berlebihan merupakan penyebab dari simtom positif dan simtom negatif dari skizofrenia.

Aktivitas antagonis serotonin dari clozapin dan antipsikotik untuk menurunkan gejala-gejala positif pada pasien orang dengan skizofrenia yang kronik.9

2.1.3.2.3. Norepinefrin

Anhedonia telah lama diperhatikan sebagai ciri yang penting dari skizofrenia. Degenerasi neuronal selektif di dalam sistem saraf norepinefrin dapat menjelaskan aspek simtomatologi dari skizofrenia. Namun, data biokimia dan farmakologi yang berhubungan hal ini masih belum meyakinkan.9

2.1.3.2.4. Hipotesis GABA

Neurotransmiter ɣ-aminobutyric acid (GABA) memiliki pengaruh pada patofisiologi skizofrenia berdasarkan penemuan bahwa beberapa penderita skiofrenia mengalami pengurangan neuron GABAergik di hipokampus.9

2.1.3.2.5. Neuropeptida

Neuropeptida seperti substance P dan neurotensin terletak di lokasi yang sama dengan katekolamin dan neurotransmitter indolamin dan mempengaruhi aksi dari neurotransmiter indolamin dan mempengaruhi aksi dari neurotransmiter ini.

Perubahan dari mekanisme neuropeptida dapat memfasilitasi, menghambat, atau merubah pola tujuan dari sistem saraf.9

11 2.1.3.2.6. Glutamat

Glutamat merupakan neurotransmitter utama dalam sistem safar pusat dan kadang-kadang dianggap sebagai ― master switch‖ dari otak, karena dapat membangkitkan hampir semua neuron sistem saraf pusat.9

2.1.3.2.7. Asetilkolin dan Nikotin

Beberapa studi postmortem pada skizofrenia telah menunjukkan penurunan reseptor muskarinik dan nikotin dibagian caudal dari putamen, hipokampus dan beberapa bagian dari korteks prefrontal, dimana reseptor tersebut berperan dalam susunan dalam sistem neurotransmiter yang terlibat dalam kognitif, dimana terjadi gangguan dalam skizofrenia.9

2.1.3.3. Neuropatologi

Pada abad ke-19, ahli neuropatologi gagal untuk menemukan dasar neuropatologi untuk skizofrenia, dan oleh karena itu mereka mengklasifikasikan skizofrenia sebagai gangguan fungsional. Pada akhir abad ke-20, para peneliti telah membuat langkah-langkah yang signifikan dalam menyingkap dasar neuropatologi dari skizofrenia, terutama pada sistem limbik dan bangsal ganglia, mencakup abnormalitas neuropatologi atau neurokimia pada korteks cerebral, thalamus dan batang otak.9

2.1.3.4. Sirkuit Saraf

Evolusi bertahap dari konseptualitas skizofrenia sebagai gangguan yang meliputi area-area yang berlainan dari otak sebagai pandangan perspektif skizofrenia sebagai gangguan dari sirkuit saraf otak. Sebagai contoh, bangsal ganglia dan cerebellum secara timbal balik berkaitan dengan lobus frontalis, dan abnormalitas pada fungsi lobus frontalis terlihat dalam beberapa studi pencitraan

otak. Hal ini juga dapat memberikan hipotesis bahwa lesi perkembangan yang dini pada jalur dopaminergik ke korteks prefrontal menghasilkan gangguan fungsi prefrontal dan sistem limbik dan menyebabkan simtom positif dan negatif serta gangguan kognitif yang dapat diamati pada orang dengan skizofrenia.9

2.1.3.5. Metabolisme Otak

Studi menggunakan magnetic resonance spectroscopy, suatu teknik untuk mengukur konsentrasi molekul spesifik di otak, menemukan bahwa orang dengan skizofrenia memiliki level phosphomonoester dan fosfat inorganik yang lebih rendah serta level phosphodiester yang lebih tinggi dibanding kelompok kontrol.

Selanjutnya, konsentrasi dari N-acetyl aspartate lebih rendah di hipokampus dan lobus frontral pada orang dengan skizofrenia.9

2.1.3.6. Elektrofisiologi

Beberapa studi elektroensefalografi menunjukkan bahwa banyak orang dengan skizofrenia mempunyai rekaman yang abnormal, peningkatan aktifitas terhadap prosedur aktivasi, penurunan aktifasi alfa, peningkatan aktifitas theta dan delta, kemungkinan aktifitas epileptiform yang lebih dari biasanya. Orang dengan skizofrenia juga menunjukkan ketidakmampuan untuk menyaring suara-suara yang tidak relevan dan sangat sensitif terhadap lingkungan yang bising. Kerasnya suara dapat membuat sulit berkonsentrasi dan mungkin menjadi faktor timbulnya halusinasi pendengaran. Sensitivitas terhadap suara ini mungkin berkaitan dengan gangguan genetik.9

13 2.1.4. Simtom Klinis

Beberapa penelitian membuat sub kategori dari simtom penyakit ini kedalam 5 bagian yaitu : simtom positif, simtom negatif, simtom kognitif, simtom agresif dan simtom depresi/cemas.15

1. Simtom positif

Waham, halusinasi, penyimpangan dan pernyataan yang berlebih-lebihan dalam berbahasa dan berkomunikasi, pembicaraan/perilaku yang tidak beraturan, perilaku katatonik dan agitasi.

2. Simtom negatif

Afek tumpul, penarikan emosi, rapport yang buruk, ketidak pedulian, menarik diri dari kehidupan sosial, ganguan berfikir abstrak, alogia, avolisi, anhedonia, gangguan pemusatan perhatian.

3. Simtom kognitif

Gangguan berpikir, inkoherensia, asosiasi yang longgar, neologisme, gangguan pengolahan informasi.

4. Simtom agresif

Permusuhan, penghinaan verbal, penyiksaan fisik, menyerang, melukai diri sendiri, merusak barang-barang, impulsive, tindakan seksual.

5. Simtom depresi/cemas

Mood depresi, mood cemas, perasaan bersalah, ketegangan, iritabilitas cemas.15

2.1.5. Kriteria Diagnosis

Kriteria diagnosis untuk skizofrenia berdasarkan PPDGJI-III adalah sebagai berikut:16

Gangguan skizofrenia berdasarkan PPDGJI-III umumnya ditandai oleh distorsi pikiran dan persepsi yang mendasar dan khas, dan oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted). Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual yang dipertahankan, walaupun defisit kognitif tertentu dapat berkembang kemudian. Walaupun tidak ada simtom-simtom patognomonik yang khusus, dalam praktek ada manfaatnya untuk membagi simtom-simtom tersebut ke dalam kelompok-kelompok yang sering terdapat secara bersama-sama, misalnya :16

(a) ―thought echo‖, ―thought insertion‖ atau ―withdrawal‖ dan ―thought broadcasting‖

(b) Waham dikendalikan (delusion of control), waham yang dipengaruhi (delusion of influence) atau ―passivity‖, yang jelas merujuk pada pergerakan tubuh atau pergerakan anggota gerak, atau pikiran, perbuatan atau perasaan (sensations) khusus; persepsi delusional;

(c) Suara halusinasi yang berkomentar secara terus-menerus terhadap perilaku pasien, atau mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri, atau jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh;

(d) Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budayanya dianggap tidak wajar serta sama sekali mustahil, seperti misalnya mengenai identitas keagamaan atau politik, atau kekuatan dan kemampuan ―manusia super‖

15 (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain);

(e) Halusinasi yang menetap dalam setiap modalitas, apabila disertai baik oleh waham yang mengambang/melayang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus-menerus;

(f) Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan(interpolasi) yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme;

(g) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), sikap tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas serea, negativisme, mutisme, dan stupor;

(h) Simtom-simtom ―negatif‖ seperti sikap sangat masa bodo (apatis), pembicaraan yang terhenti, dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;

(i) Suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan dari beberapa aspek perilaku perorangan, bermanifestasi sebagai hilangnya minat, tak bertujuan, sikap malas, sikap berdiam diri (self-absorbed attitude) dan penarikan diri secara sosial.16

2.1.6. Pedoman Diagnostik

Persyaratan yang normal untuk diagnostik skizofrenia ialah harus ada sedikitnya satu simtom tersebut di atas yang amat jelas (dan biasanya dua simtom atau lebih apabila simtom-simtom itu kurang tajam atau kurang jelas) dari simtom yang termasuk salah satu kelompok simtom (a) sampai (d) tersebut di atas, atau paling sedikit dua simtom dari kelompok (e) sampai (h) yang harus selalu ada secara jelas selama kurun waktu satu bulan atau lebih.16

2.2. Fungsi Kognitif Pada Skizofrenia

Penurunan kognitif pada proses memori, memori deklaratif dan perhatian adalah gejala dasar skizofrenia yang berkontribusi heterogenitas di fenomenologis gejala ekspresi dan pengaruh pada kompleksitas, keragaman dan hasil dari penyakit. Skizofrenia adalah gangguan kronis melibatkan sekitar 1% dari populasi umum. Prefrontal korteks memainkan peran yang dominan dalam kehidupan psikis manusia, karena mengintegrasikan informasi yang datang langsung dari daerah limbik, neokorteks, batang otak, hypothalamus dan secara tidak langsung melalui talamus dari hampir semua wilayah otak, sehingga disfungsional, yang tertentu struktural dan atau perubahan fungsional dalam hal ini bagian dari sistem susunan syaraf pusat menuju kuantitatif dan gangguan kualitatif kesadaran, perencanaan, pelaksanaan tindakan, kuantitatif dan kualitatif gangguan penglihatan, konsentrasi, pidato, emosi dan mempengaruhi. Sebagai kelompok, orang dengan skizofrenia memiliki prestasi yang lebih rendah padaberbagai tes kognitif, terutama yang berkaitan dengan regulasilobus frontal seperti perhatian, yang penggunaan strategi dan pemecahan masalah.5

17 2.3. Montreal Cognitive Assessment (MoCA)

Montreal Cognitive Assessment (MoCA) dirancang sebagai instrumen skrining cepat untuk disfungsi kognitif ringan. Hal ini menilai domain kognitif yang berbeda: perhatian dan konsentrasi, fungsi eksekutif, memori, bahasa, keterampilan visuoconstructional, pikiran konseptual, perhitungan, dan orientasi.

Waktu untuk mengelola Moca adalah sekitar 10 menit. Total skor adalah 30 poin;

skor 26 atau di atas dianggap normal.17

MoCA memiliki sensitivitas 90%, dan spesifitas 87% untuk menilai fungsi konitif. Di Indonesia, MoCA telah divalidasi ke dalam bahasa Indonesia oleh Husein dan kawan-kawan pada tahun 2009 dan disebut sebagai MoCA-Ina. Tes MoCA versi Indonesia (MoCA-Ina) telah valid menurut kaidah validasi transkultural dan dipercaya sehingga dapat digunakan.18,19

2.4. Homocysteine

Senyawa Homocysteine (Hcy) pertama kali ditemukan tahun 1932 dan diberi nama oleh du Vigneaud. Homocysteine (2 amino 4 mercaptobutanoic acid ) merupakan non protein sulfhydryl amino acid, yang metabolismenya terletak pada persimpangan antara jalur transulfurasi dan remetilasi biosintesis metionin.20

Homocysteine merupakan senyawa antara yang dihasilkan pada metabolisme metionin suatu asam amino esensial yang terdapat dalam beberapa bentuk di plasma. Sulfhidril atau bentuk tereduksi dinamakan homocysteine, dan disulfida atau bentuk teroksidasi dinamakan homocysteine. Bentuk disulfida juga terdapat bersama-sama dengan sistein dan protein yang mengandung residu sistein reaktif (homocysteine yang terikat protein), bentuk ini dinamakan disulfida

campuran. Bentuk teroksidasi merupakan bagian terbesar (98-99%) dalam plasma sedangkan bentuk tereduksi hanya 1% dari total homocysteine dalam plasma.

Dalam keadaan normal homosistein dalam darah relatif sangat sedikit, dengan kadar antara 5-15 umol/L. Kadar homocysteine di kompartemen ekstrasel ditentukan oleh beberapa hal yaitu pembentukannya di dalam sel, metabolisme dan eksresinya.21

Gambar 1.Jalur Metabolisme Homocysteine.

(Dikutip dari :Bolander-Gouaille C, Bottiglieri T. Homocysteine Related Vitamins and Neuropsychiatric Disorders. Second edition ed. New York: Springer; 2007.)

Tahap pertama metabolisme homocysteine adalah pembentukan S-adenosil metionin (Gambar 1) yang merupakan donor metil terpenting pada reaksi transmetilasi. adenosilmetinin, selanjutnya mengalami demetilasi membentuk S-adenosilhomocysteine, yang kemudian dihidrolisis menjadi adenosin dan homocysteine. Homocysteine selanjutnya memasuki jalur transsulfurasi atau jalur remetilasi. Sekitar 50% homocysteine yang memasuki transsulfurasi, secara irrevesibel berikatan dengan serin melalui pengaruh enzim sistasionin β-sintase, untuk membentuk sistasionin. Sistasionin ini selanjutnya di metabolisme menjadi

19 sistein dan α–ketobutirat melalui pengaruh γ-sistasionase. Sistein yang terbentuk dari homocysteine ini akhirnya di rubah menjadi sulfat dan di sekresikan ke dalam urin.21

Pada jalur remetilasi, homocysteine akan mengalami daur ulang menjadi metionin melalui 2 reaksi yang berbeda. Reaksi pertama memerlukan enzim 5-metil tetra hidrofolathomocysteine–5-metil transferase (metionin sintase). Untuk aktivitas enzim ini dibutuhka n metikobalamin sebagai kofaktor dan metiltetrahidrofolat sebagai kosubstrat. Metiltetrahidrofolat dibentuk dari tetrahidrofolat oleh pengaruh enzim metiltetrahidrofolat reduktase (MTHFR).

Reaksi ini terjadi di semua jaringan. Jalur kedua dikatalisir oleh enzim betain homocysteinemetil transferase. Reaksi dengan betain ini terutama terbatas di dalam hati. Proses daur ulang serta penyimpanan homocysteine akan menjaminpenyediaan metionin yang cukup.21

Pada keadaan kelebihan metionin, dimanfaatkan jalur transfulfurasi dengan meningkatkan regulasi sistasionin β sintase dan mengurangi regulasi jalur remetilasi, sedangkan bila terdapat defisiensi metionin dimanfaatkan jalur remetilasi.21

2.4.1. Faktor yang mempengaruhi Homocysteine

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan kadar homocysteine dalam darah ;21

1. Genetik

Gen untuk enzim sistasionin β sintase terletak pada kromosom 21, maka pada sindroma Down atau trisomi 21 dapat dijumpai keadaan yang

sebaliknya yaitu peningkatan enzim sistasionin β sintase. Penurunan kadar homocysteine plasma dijumpai pada anak dengan sindrom Down.

2. Usia

Kadar homocysteine plasma meningkat seiring dengan peningkatan usia.

Penyebabnya kemungkinan adanya penurunan kadar kofaktor atau adanya kegagalan ginjal yang sering dijumpai pada pasien lanjut usia. Selain itu aktivitas enzim sistasionin β sintase juga menurun seiring dengan meningkatnya usia.

3. Jenis Kelamin

Tingkat homocysteine rata-rata pada laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan. Sesudah menopause konsentrasi homocysteine akan meningkat. Perbedaan kadar homocysteine pada wanita dan pria mungkin disebabkan perbedaan hormon sex terhadap metabolisme homocysteine.

4. Disfungsi Ginjal

Terdapat korelasi positif antara kadar homocysteine dan kreatinin serum, walaupun mekanismenya belum jelas. Pada gagal ginjal kronik kadar homocysteine plasma akan meningkat 2-4 kali dari normal. Konsentrasi ini akan menurun setelah dialisis. Peningkatan homocysteine pada gagal ginjal mungkin disebabkan gangguan metabolisme.

5. Nutrisi dan Gaya Hidup

Korelasi negatif antara kadar folat serum dan B12 telah terbukti pada orang normal. Hyperhomocysteine didapat antara lain disebabkan oleh defisiensi vitamin B6, vitamin B9 dan vitamin B12. Merokok, dan minum

21 kopi dan minum yang mengandung alkohol, menyebabkan homocysteine meningkat.

6. Penyakit

Terdapat beberapa penyakit yang dihubungkan dengan peningkatan kadar homocysteine yaitu psoriasis, keganasan dan pemakaian obat-obatan.

Beberapa keganasan seperti Ca mamae, ovarium dan pankreas juga menunjukkan peningkatan kadar homocysteine. Plasma homocysteine juga dipengaruhi oleh obat-obatan seperti methotrexate, nitrous oxide, phenytoin, carbamazepine, azaribine, kontrasepsi oral dan penicillamine.

2.4.2 Hubungan Homocysteine dan Skizofrenia

Homocysteine merupakan asam amino non-protein neurotoksik yang telah dikemukakan sebagai faktor resiko independen untuk skizofrenia melalui efek perkembangan pada struktur dan fungsi otak. Peningkatan kadar plasma total homocysteine telah dikaitkan dengan disfungsi kognitif dalam beragam gangguan neurologis dan psikiatri.Homocysteine dikenal untuk berinteraksi dengan glutamatergic transmission di otak, ini merangsang reseptor NMDA meningkat masuknya kalsium ke dalam neuron yang memuncak pada neurotoksisitas dan apoptosis. Homocysteine juga menyebabkan stress oksidatif dan metilasi DNA yang menyimpang. Implikasi ini akan menjelaskan homocysteinemia pada skizofrenia.7,20

Sejumlah besar studi menegaskan adanya hubungan antara peningkatan kadar plasma homocysteine dan defisit kognitif pada penyakit Alzheimer, penyakit Parkinson, multiple sclerosis, gangguan bipolar dan skizofrenia.

Sebaliknya, beberapa studi sebelumnya belum memiliki bukti yang kuat hubungan antara kadar plasma homocysteine dan disfungsi kognitif pada skizofrenia.7

2.4.3. Hubungan Fungsi Kognitif dan Homocysteine

Homocysteine telah terbukti menjadi faktor risiko independen untuk disfungsi kognitif. Studi individu dengan jangkauan luas gangguan kognitif secara konsisten menunjukkan peningkatan plasma homocysteine dan kofaktor enzimatik yang menurun terlibat dalam metionin dan metabolisme homocysteine. Total plasma homocysteine plasma juga seperti menjadi penanda jaringan yang paling konsisten dalam kofaktor kekurangan gizi, serta kinerja kognitif pada orang tua. 22

Studi Teunissen dan kawan-kawan pada tahun 2005 di Belanda, menyatakan bahwa homocysteine berhubungan pada asfek kognitif dan neurologi.

Homocysteine merupakan marker fungsi kognitif dan sekaligus fungsi neurologis spesifik, ini disebabkan oleh mekanisme neuro degeneratif yang secara umum menyebabkan ketidakseimbangan jalur transmetilasi sehingga menyebabkan gangguan kognitif. Jalur transmetilasi aktif pada setiap sel sistem saraf pusat.

Efek homocysteine pada fungsi sel sistem saraf pusat dapat mempengaruhi secara intraseluler dan ekstraseluler, sehingga berefek terhadap ketidak-seimbangan parenkim sel sistem saraf pusat atau melalui efek pada vaskular sehingga meyebabkan aterosklerosis dan stroke.23

Stress oksidatif merupakan mekanisme yang sering sehubungan dengan peningkatan level homocysteine. Stress oksidatif dapat menyebabkan peningkatan kadar homocysteine karena autooksidasi dari kelompok sulfhydryl sehingga pada tikus peningkatan kadar homocysteine menyebabkan peningkatan kadar oksidasi, sel sistem saraf pusat dilaporkan terjadinya disfungsi kognitif. Peningkatan

23 homocysteine juga menyebabkan stress oksidatif melalui eksitotoksisitas.

Homocysteine dapat menginduksi eksitotoksisitas dengan mempengaruhi glutamate melalui pompa natrium kalium yang diobservasi setelah pemberian homocysteine pada tikus muda. Pompa natrium kalium penting untuk menjaga keseimbangan potensial membrane dan fungsi beberapa fungsi reseptor.

Eksitotoksisitas menyebabkan peningkatan influx kalsium intraseluler yang menyebabkan efek banyak fungsi seluler dan secara keseluruhan mempengaruhi beberapa stress oksidatif dan kematian sel, sehingga memungkinkan peningkatan homocysteine diinduksi oleh stress oksidatif.23

Mekanisme homocysteine menginduksi efek inhibisi dari mekanisme perbaikan DNA atau penurunan afibilitas metionin yang esensial untuk transfer metil melalui S-adenosilmetionin yang merupakan salah satu mekanisme sintesis dan degradasi dari neurotransmitter. Hyperhomocysteine dapat meningkatkan S-adenosil homocysteine yang menginhibisi metil transferase dan aktivitas ini ditunjukkan pada penurunan fungsi otak pada penyakit Alzheimer.23

2.5. Positive and Negative Syndromes Scale (PANSS)

Positive and Negative Syndromes Scale (PANSS) dikembangkan pada akhir tahun 1980-an yang bertujuan untuk menilai simtom klinis dari skizofrenia.

Skala ini diadaptasi dari skala psikopatologi sebelumnya, termasuk Brief Psychiatric Rating Scale(BPRS). PANSS memuat 30 item dalam tiga subskala, tujuh item meliputi simtom positif (misalnya, delusi dan halusinasi), tujuh item meliputi simtom negatif (misalnya, social withdrawal, flat affect, lack of motivation), dan 16 item meliputi psikopatologi umum (misalnya, ansietas dan

depresi). PANSS digagas sebagai instrumen operasional yang memperlihatkan gambaran seimbang gejala positif dan negatif, serta suasana hati (mood) dan gejala kecemasan. Penilaian dapat diselesaikan dalam waktu 30 hingga 40 menit.

Reliabilitasnya baik dan validitasnya sangat baik.24

2.6. Suku Batak

Berdasarkan buku ensiklopedia, suku bangsa di Indonesia, jumlah suku

Berdasarkan buku ensiklopedia, suku bangsa di Indonesia, jumlah suku

Dalam dokumen TESIS OLEH YOSEVA HOTNAULI (Halaman 24-0)